Fifteenth Day, Fifteenth Mission : Plan to Leave Him?


Pameran telah dibuka. Dalam sekejap, suasana menjadi ramai oleh orang-orang. Berbagai macam seni rupa berupa lukisan, pahatan, ukiran, fotografi atau karikatur komik lainnya banyak menjadi rebutan para pengunjung. Ada yang datang ke pameran bersama keluarga, teman, pacar, dan ada pula yang seorang diri.

Sebenarnya, (name) tidak sendirian. Ada Killua yang sedang membeli takoyaki walaupun kentang goreng, sushi, okonomiyaki dan makanan lainnya sudah banyak di pangkuan gadis itu. Namun, Killua memaksa untuk menambah lagi agar ia puas menyantap makanan di pameran.

Awalnya, (name) menolak dengan alasan khawatir kalau massa tubuhnya naik. Tapi, Killua membalas, "Meskipun kau memakan seluruh makanan yang ada di dunia, kujamin kau tidak akan gemuk sedikitpun."

Entah dari mana datangnya perasaan tenang untuk melahap habis makanan yang Killua belikan untuknya. Jadi, (name) tidak keberatan ditinggal lama oleh Killua meski sudah setengah jam berlalu. "Jangan bilang kalau Killua pergi keliling satu pameran," gumam (name).

Gadis itu tak dapat membohongi dirinya sendiri, ia tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Bagaimana jika Killua terluka? Dihadang orang jahat di tengah jalan? Ataukah Killua pergi ke toilet umum yang antreannya panjang dan berakhir mengompol di celana? (Name) jadi pusing memikirkannya.

Gadis itu pun tidak tahu mengapa ia tak bisa membiarkan Killua terluka, kecuali jika Killua terluka karena dirinya. "Oh, baguslah, aku masih memiliki pemikiran peran protagonis berkedok antagonis," kekehnya.

Detik berikutnya, (name) terdiam. Salahkah langkah yang diambilnya kini? Gadis itu mengerti bahwa dengan membalas dendam takkan mengembalikan keluarganya yang telah tiada, kedua orang tuanya pun tidak bisa hidup lagi bagaimanapun juga.

Namun, tujuan (name) sebenarnya hanya untuk membuat keluarga Zoldyck merasakan hal yang sama dan mendapatkan balasan setimpal atas apa yang mereka lakukan terhadap keluarganya.

Apakah seharusnya (name) ikut bersama Miu ke Roma? Memulai hidup baru sebagai gadis sebatang kara yang tinggal bersama kakak sepupunya. Itu jauh lebih baik dan jauh lebih sederhana daripada kehidupan rumitnya saat ini; terjebak bersama target incarannya dalam satu lingkaran yang sama.

Tetapi, (name) sempat berpikir, bukankah jika gadis itu ikut bersama Miu, ia tidak akan merasakan yang namanya berpacaran? (Name) tidak akan tahu bagaimana rasanya berkencan, makan berdua dengan orang lain, dan bepergian bersama pacar.

Sebelum bertemu Killua, (name) selalu sendirian tanpa siapapun. Dan setelah Killua hadir dalam hidupnya, ia merasa ada yang mengisi kekosongan hari-harinya. Hidup gadis itu terasa lebih berwarna dengan keceriaan dan kebahagiaan yang telah lama sirna, menghilang tak tersisa seiring dengan kepergian kedua orang tuanya. Belum tentu Miu memiliki waktu untuk dihabiskan bersamanya, bukan? Miu pun masih harus bekerja di sana, (name) pasti akan sendirian lagi.

Karena itulah, (name) memutuskan untuk bertahan lebih lama. Memanfaatkan sisa waktu yang dimilikinya untuk mengenal Killua lebih jauh dan mengakhirinya secepat mungkin.

"Dan kalau bisa Killua kembali secepatnya," ucap (name) gusar. "Aku bingung, ke mana perginya anak itu?"

Tapi ia yakin, Killua pasti bisa menjaga dirinya sendiri. Killua sangat kuat dan bahkan lebih kuat darinya, gadis itu meringis miris mengingat hal tersebut. Dan mungkin tanpa (name) sekalipun, Killua bisa melakukan apa saja.

'Jadi ... tidak apa-apa jika aku meninggalkannya, kan?' batin gadis itu, seketika perasaan bersalah menyergapnya.

(Name) sudah berpikir berkali-kali untuk mengambil tindakan. Putus, membuat harapan menjadi pupus. Putus, menghilangkan rasa nyaman dan percaya terhadap seseorang. Dan putus, untuk mengakhiri sebuah awal dari suatu hubungan. Gadis itu ingin memutuskan jalinan benang merah yang menjeratnya dengan Killua dalam ikatan takdir.

(Name) tahu, cepat atau lambat, pasti Killua akan segera mengetahui kedoknya. Semuanya akan terbongkar pada akhirnya. Kemudian tiba saatnya Killua akan hancur, merasakan sakit hati yang teramat sangat karena gadis itu.

Atau lebih buruknya, Killua bisa saja membunuh sang gadis bersama perasaannya detik itu juga.

Akan tetapi, Killua juga harus tahu kalau (name) mengambil setiap langkah atas keinginannya sendiri. Meskipun awalnya sempat menolak, pada akhirnya pun (name) bisa mengatasi keadaan dan mengikuti alur permainan yang dibuatnya sendiri. Lagi pula, (name) sendiri yang akan menanggung risikonya.

(Name) mengaku, ia tidak bisa membedakan antara cinta dan sekadar suka. Entah mana yang akan menjadi akhirnya, apakah sebatas sebagai gunting dalam lipatan ataukah lebih dari itu? (Name) akan mencari tahu.

"Killua ke mana, ya? Lama sekali."

Mencari tahu ke mana Killua berkeliling pameran untuk berburu makanan, lebih baik segera dilakukan. (Name) tetap tak ingin Killua terluka, kecuali karena dirinya.

***

"Lama sekali!"

Sudah kesebelas kalinya Killua menggerutu. Bahkan, dia menghitung berapa banyak gerutuan yang terlontar dari mulutnya saking bosan dan tak sabar menunggu pesanannya.

Gurita bakar dengan mayones. Entah dari mana asal muasal makanan tersebut, akan tetapi, rasanya sepertinya cukup enak melihat antrean panjang orang-orang yang menunggu untuk mencicipi makanan tersebut.

Tak hanya makanannya, penjualnya pun aneh; seorang pria paruh baya yang konyol memakai topeng kepala gurita dengan ikat kepala, mengenakan yukata berwarna cokelat dengan obi berwarna merah tua. Mungkin itu pakaian khas makhluk aneh sepertinya

"Oi, Paman Gurita!" Killua sengaja bersuara keras sehingga menjadi pusat perhatian, namun dia cuek saja dan melanjutkan, "Mana pesananku?"

Si Paman Gurita membalas dengan suara berat, "Tunggulah sebentar, bocah. Apakah kau mau kaki jenjang nona-nona cantik ini pegal karena menunggu?"

Dahi Killua berkedut, kedua tangannya terkepal erat. 'Selera rendah memang payah! Nenek-nenek tua begitu dibilang cantik? (Name) jelas jauh lebih cantik!'

"Pacarku lebih cantik, tahu!"

"Pacar? Pacarmu itu laki-laki atau perempuan?"

"Tentu saja perempuan!" Killua langsung mencak-mencak, "Aku masih normal, tahu!"

Tumpukan kayu yang Killua duduki seketika berjatuhan ketika dia melompat turun. Melihat hal tersebut, si Paman Gurita mengacungkan pisau daging yang digunakan untuk mencincang daging gurita pada Killua.

"Jangan berlagak seperti itu, bocah. Aku yakin kau abnormal seperti anak-anak zaman sekarang yang lain."

Kepalan tangan Killua semakin mengerat sampai buku-buku jarinya memutih. Killua sebisa mungkin menahan diri untuk tidak membakar si Paman Gurita menggunakan Narukami miliknya.

"Hei, Paman Gurita!" Killua mencoba untuk tidak menunjuk orang menggunakan jari tengah, dia masih tahu diri dan tahu bahwa itu tidak sopan.

"Tidak semua anak zaman sekarang sama, pola pikir setiap manusia tetap berbeda-beda, tahu? Ah, kurasa kau tidak tahu, bahkan kau mungkin bukan manusia. Tapi, bagus jika kau atau orang dewasa lainnya tahu, tidak semua anak seusia kami memiliki kekeliruan dalam tindakan. Aku tahu apa yang kupikirkan dan apa tindakan yang tepat. Jangan sembarangan menilai."

Killua membalikkan badan dan berjalan menjauh dengan penuh kepercayaan diri. Killua memang tidak peduli terhadap orang-orang yang tak memiliki hubungan dengannya. Namun, apabila orang-orang tersebut memiliki hubungan dengannya sementara dirinya tidak demikian, Killua hanya akan buka mulut untuk menyuarakan pendapatnya sendiri.

Toh, sekarang hukum yang berlaku di dunia ini adalah untung dan menguntungkan. Sudah bukan memberikan dan mendapatkan imbalan lagi, seperti entah kapan masa-masa penuh keberadaban itu pernah ada.

Diam-diam, Killua menghela napas. "Apa benar aku dan (name) juga sama saja? Aku bahkan tak tahu bagaimana pola pikir wanita."

***

"Ah, aku tak tahu apa yang Killua pikirkan!"

(Name) membanting plastik bungkus gurita bakar yang dibelinya tadi ke bangku taman. Begitu ia berhasil mendapatkan makanan aneh itu, (name) justru gagal mendapatkan Killua kembali. Padahal, kalau bersabar menunggu sebentar lagi saja, Killua bisa membeli gurita bakar tersebut.

"Sayang sekali gurita bakarnya," ucap (name) sambil menatap sebungkus gurita bakar yang dibelinya beberapa saat lalu. "Kalau sudah dingin tidak enak, apa aku beli makanan lain saja? Tapi, apalagi? Sepertinya, semua makanan di sini sudah kumakan."

'Karena Killua yang membelinya,' lanjut (name) dalam hati.

Gadis itu memandang sekelilingnya yang disesaki orang-orang. Banyak barang-barang yang dijual di pameran menjadi incaran. Bahkan, beberapa penjual mengatakan bahwa barang yang dijualnya mampu menangkal sial atau membawa keberuntungan.

(Name) tak percaya terhadap jimat atau benda semacamnya. Baginya, usahanya sendirilah yang membuahkan hasil. Lagi pula, ia tidak mau berharap lebih kepada apa atau siapapun, lagi.

Termasuk Killua sendiri yang pernah sekali (name) harapkan menjadi seseorang yang tepat untuknya. Namun, setelah apa yang ia pikirkan dan rencanakan, rasanya mustahil. Mana ada orang yang membalas dengan kebaikan di zaman sekarang. Mungkin kalau ada sekalipun harus diabadikan di museum.

"Hm...." (Name) merenung, gadis itu benar-benar bingung sekarang. "Hah ... aku tak tahu harus ke mana...," lirihnya.

"Ada apa? Kau tersesat?"

"Eh?!"

***

Bersambung....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top