Bab 5
Hubungan pertemanan Anne dan Fiore memburuk seiring dengan berjalannya waktu. Fiore tidak mengerti kenapa dirinya harus disangkut pautkan dengan masalah Anne dan Rexton. Tidak ingin larut dalam masalah mereka, Fiore memutuskan untuk menghindar sementara waktu dan memilih untuk pulang menengok adiknya. Keadaan di rumah ternyata lebih buruk dari dugaannya. Penuh dengan sampah dan bau busuk tercium dari segala penjuru. Ia mendesah saat melihat Fariz berjuang untuk menyapu rumah sedang Dornia entah kemana. Kaki sang adik yang ditopang tingkat, diseret-seret sementara tangannya yang mungil memegang sapu. Hatinya terasa sakit melihatnya.
"Kamu makan saja, kakaka bawa makanan."
Fariz menerima dengan mata berbinar. "Makasih."
"Duduk sana, biar kakak yang bersih-bersih. Selesai makan, kamu mandi. Baju kotor biar kakak yang cuci."
Sementara adiknya makan, Fiore bergerak sigap membersihkan rumah. Menyapu, mengumpulkan sampah, dan mengepel. Setelah itu membersihkan kamar mandi yang luar biasa kotor dan berbau tidak sedap. Selesai semua ia membeli galon air minum dan mencuci baju. Fariz yang kelelahan tertidur di ranjang. Fiore mengusap lembut wajah adiknya yang kurus. Merasa dirinya tidak berdaya karena tidak bisa menolong adiknya dari kesulitan.
"Semoga kakak dapat kerjaan yang lebih bagus, ya? Nanti kamu ikut aku."
Suara pintu didobrak membuat Fiore berjengit. Terlambat untuk menutup pintu kamar, Diorna muncul sambil menyeringai dan berujar lantang.
"Anak keparat! Pulang juga lo akhirnya. Mana uang?"
Fiore menatap adiknya yang pulas, takut kalau menganggu bergegas keluar dan menutup pintu. "Maa, uang apa lagi? Barusan aku bayar sewa untuk rumah ini."
Diorna melotot. "Apa kata lo? Emangnya lo pikir bayar sewa saja sudah cukup? Tidaaak! Masih banyak kebutuhan yang harus lo kasih buat kita. Mana uang, serahkan sekarang."
"Nggak ada, Maa."
Tidak peduli pada rengekan Fiore, Diorna membuka pintu kamar dengan paksa dan meraih tasnya. Mengambil dompet lalu membawanya keluar tentu saja membanting pintu. Mengambil sisa uang yang ada di dompet Fiore dan melemparkan pada gadis itu.
"Dasar pelit! Ada uang tapi sengaja nggak mau ngasih."
Fiore memungut dompet yang berceceran di lantai. "Uang itu untuk Fariz, Ma."
"Fariz masih kecil. Nggak butuh uang banyak-banyak. Ngomong-ngomong, besok lo harus ada di rumah. Nggak peduli gimana pun keadaanya."
"Kenapa memangnya?"
Diorna menyeringai, giginya yang kuning terlihat jelas dari sela bibir yang membuka. Wajahnya yang keriput terlihat penuh kegembiraan yang aneh dan menyeramkan.
"Temanku, si Joko yang kaya raya itu naksir lo. Dia mau lo jadi simpanan dan gue setuju. Uang panjar udah gue terima. Gue jamin lo bakal hidup enak sama dia. Emang bini pertamanya galak tapi kalau lo bisa punya anak, perempuan tua itu pasti diam."
"Hah, Mama menjualku?"
"Halah, jangan sok teraniaya lo. Siapa yang mau jual lo? Gue nawarin hal baik buat lo?"
"Nggak mau!"
"Enak aja, uang panjang udah terima lo nggak mau? Nggak bisa, lo harus mau!"
"Kalau gitu aku nggak akan pulang! Enak saja Mama menjualku."
"Berani lo nggak pulang, gue bunuh adik lo itu!"
Pertengkaran mereka berlanjut semakin parah saat Dornia lagi-lagi kehilangan kendali. Membuka pintu kamar dan ingin memukul Fariz untuk memberi Fiore peringatan. Demi melindungi adiknya, Fiore menelungkup dan membiarkan tubuhnya menjadi sasaran kemaran Diorna. Ia sudah biasa dipukul dan dianiaya, bisa menahan semua rasa sakit tapi tidak dengan Fariz yang masih kecil.
"Kakak, Kakaaa."
Fariz menangis saat merasakan tubuh Fiore makin lama makin melemas di atas tubuhnya dengan darah mengucur dari wajah. Diorna baru saja menghantam kepala Fiore dengan helm dan membuat gadis itu pingsan.
**
Rexton menatap malas pada Anne yang menghadang langkahnya. Ia baru saja selesai bekerja dan bersiap ke minimarket untuk menjemput Fiore. Siapa sangka Anne datang dan ingin bicara dengannya. Ia tahu kalau hal ini cepat atau lambat pasti terjadi, sayangnya sekarang bukan waktu yang tepat untuk meladeni Anne. Tdak ada lagi tenaga untuk bicara dengan gadis yang sudah membohonginya.
"Mau apa kamu? Kita nggak ada urusan lagi," ucap Rexton ketus.
Anne merentangkan tangan di depan motor Rexton. Menjawab dengan tidak gentar. "Kamu harus mendengarkan aku dulu."
"Nggak ada yang harus dibicarakan. Hubungan kita jelas sudah berakhir!"
"Enak aja, aku belum putus sama kamu."
Rexton terbelalak, mendengkus keras, lalu tertawa lirih. Tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Kamu nggak mau putus? Jelas-jelas kalau kamu sudah selingkuh dan tidur dengan laki-laki itu. Apa maumu sebenarnya?"
Anne menggigit bibir, bingung dengan perasaannya sendiri. Ia memang sudah tidur dengan Ardan, resmi menjadi kekasih pemuda itu tapi hatinya tidak rela melepas Rexton.
"Bisa nggak kamu beri aku kesempatan. Buat aku putus sama Ardan dan setelah itu kita kembali kayak dulu. Terus terang aku masih sayang sama kamu."
"Astagaa! Anne, kamu bisa nggak jangan terlalu percaya diri.Kamu pikir aku cinta mati sama kamu sampai rela dibodohi? Nggak! Aku suka dan cinta sama kamu, karena kamu udah pernah nolong aku waktu itu. Tapi, aku tetap nggak mau jadi pecundang hanya buat kamu. Kalau memang kamu suka sama Ardan, silakan saja. Kita putus dan akhiri semua! Jangan saling ganggu lagi!"
Anne menggigit bibir, merasa semua di luar perkiraannya. Tadinya ia mengira Rexton akan memohon agar ia kembali, mengingat betapa cintanya laki-laki itu padanya. Tapi ternyata dugaannya salah, Rexton tetap kukuh dengan pendiriannya untuk putus.
"Rexton, aku salah, aku khilaf. Mungkin kamu nggak ngerti tapi buat cewek macam aku, ingin juga pergi ke tempat-tempat yang glamour dan mewah. Ardan sering mengajakku ke restoran, bar, pesta di mana orang-orang kaya berkumpul. Dia juga membelikanku barang-barang mahal, semua yang dia lakukan nggak akan pernah bisa aku dapatkan dari kamu. Mengingat keadaanmu yang, yaah, gitulah."
"Dengan kata lain aku miskin. Oke, aku paham. Selamat karena kamu udah nemu laki-laki kaya yang tepat buat kamu."
"Tapi, aku juga masih sayang kamu kamu."
"Jangan serakah, Anne. Sebaiknya kamu pergi, aku ada janji."
"Mau kemana dengan siapa?" tanya Anne cepat.
"Bukan urusanmu!" Rexton meraih helm dan memakainya.
"Jangan bilang kalau kamu mau pergi sama Fiore."
Rexton menatap Anne sekilas lalu menstarter motornya. "Udah aku bilang, bukan urusanmu. Minggir, atau aku tabrak!"
Anne terpaksa menyingkir, meskipun hatinya membara karena marah dan iri. Ia curiga Rexton akan menemui Fiore karena ada beberapa saksi mata yang melihat keduanya mengobrol hingga jauh malam di depan minimarket. Fiore menghindarinya, begitu pula Rexton. Meremas kedua tangan di depan tubuh, Anne mengguman dengan penuh kemarahan.
"Nggak akan aku biarkan kalian bersama!"
Rexton meninggalkan halaman restoran menuju ke minimarket, memaki dalam hati karena kemunculan Anne menghambat langkahnya. Tiba di minimarket ia dibuat terkejut karena Fiore tidak tampak batang hidungnya dari sore. Padahal harusnya masih kerja. Temannya mengatakan kalau Fiore tidak biasanya begitu. Rasa kuatir menghinggapi Rexton. Ia memutuskan untuk pergi ke rumah susun di mana Fiore dan keluarganya tinggal.
Tiba di tempat yang padat dan kumuh dengan penerangan yang apa adanya, Rexton dibuat kebingungan. Bagaimana caranya tahu tempat tinggal Fiore sedangkan ia tidak mengenal satu orang pun di sini. Setelah memarkir motor ia menghampiri kedai nasi yang masih buka dan bertanya-tanya.
"Kamu temannya Fiore?" ujar pemilik kedai dengan kaget. Perempuan pendek berwajah bulat itu menunjuk ke arah tangga dengan gemetar. "Penjaga keamanana baru saja naik karean ada laporan dari sang adik kalau kakaknya dipukuli hingga pingsan. Aku rasa sebentar lagi mereka akan turun."
Rexton terbelalak. "Lantai berapa rumahnya, Bu?"
Pemilik kedai belum menjawab saat dari arah tangga muncul seorang laki-laki dan perempuan yang memapah Fiore. Rexton bergegas menghampiri mereka, menyambar tubuh Fiore dan memeluknya.
"Siapa kamu?" tanya si penjaga laki-laki.
"Pak, Bu, jangan kuatir. Saya temannya Fiore, biar saya yang bawa ke rumah sakit."
Rexton meraih tubuh Fiore dan menggendongnya, menaiki taxi yang sedang parkir di halaman dan meminta agar sopir membawa ke rumah sakit. Sepanjang jalan, ia terus mengusap wajah Fiore yang berdarah dan penuh luka.
"Fiore, kamu harus bertahan. Sebentar lagi kita sampai rumah sakit."
Rexton terus memanjatkan doa-doa untuk keselamatan Fiore, berjanji dalam hati kalau gadis dalam pelukannya selamat, akan melindungi seumur hidup.
"Aku nggak akan biarkan mereka menyakitimu lagi, Fiore. Bila perlu aku akan menikahimu agar kamu bisa bebas dari rumah itu."
.
.
Di Karyakarsa update bab baru.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top