Bab 4
Dua hari ini Fiore tidak pulang karena kerja lembur. Salah satu pegawai minimarket sedang sakit. Ia mengirim pesan pada adiknya, bertanya tentang makan, obat, dan segala macam. Setelah tahu adiknya belum makan apa pun dari pagi, ia menelepon pemilik warung nasi di lantai dasar dan meminta agar diantar nasi untuk adiknya. Awalnya pemilik warung menolak karena tidak ingin bertemu Dornia. Hubungan keduanya tidak baik dari dulu tapi Fiore memohon-mohon.
"Bu, adik saya bisa mati kalau nggak makan. Kalau memang Ibu nggak mau ketemu Mama, minta tolong penjaga yang mengantar nasi. Saya sanggup memberi uang lebih."
Bujukannya berhasil, pemilik warung meminta tolong penjaga mengantar makanan, roti, serta air minum untuk Fariz dan melaporkan pada Fiore.
"Kasihan adikmu, lemas sekali karena nggak makan. Untung kamu masih ingat dia. Perempuan sialan itu sibuk main kartu!"
Hati Fiore teriris membaca pesan dari pemilik warung, merasa tidak berdaya dengan keadaan yang menimpa adiknya. Tidak banyak yang bisa dilakukannya sekarang selain memberi makan dan juga membeli obat-obatan untuk Fariz. Kalau keadaan tidak juga membaik, Fiore berencana membawa memasukkan adiknya ke sekolah asrama, dengan begitu Fariz akan punya kehidupan yang lebih baik dan bersosialisasi dengan banyak teman. Ia sudah mencari tahu tentang sekolah yang sesuai dan uangnya belum mencukupi saat ini.
Menjelang shift pertama berakhir, Fiore kedatangan tamu. Anne berdiri di dekat meja kasir dengan pandangan tajam. Fiore yang sedang melayani pembeli tidak mengindahkannya. Setelah tahu kabar soal adiknya, ia sedang tidak mood bicara dengan orang apalagi bertengkar. Fiore lupa kalau Anne jenis orang yang tidak bisa ditolak, begitu pegawai baru datang dan jam kerja berakhir, tanpa permisi ia dipaksa keluar. Di teras samping keduanya berhadapan, Fiore yang lelah memilih untuk duduk sementara Anne berdiri sambil berkacak pinggang.
"Apa lo yang ngasih tahu soal gue sama Rexton?"
Fiore mengyuagr rambut sambil memijat kepala yang pening."Lo ngomong apaan, sih?"
"Halah, jangan mungkir lo. Bener'kan Rexton tahu tentang gue sama Ardan dari lo?"
"Anne, kita temenan udah lama. Selama ini gue selalu tutup mata tentang semua hal yang lo lakuin, tapi masalah hubungan lo sama Rexton, gue nggak bisa tutup mata karena kalian berdua sama-sama teman gue."
"Ngaku juga lo! Kalau lo yang nyuruh Rexton ke apartemen Ardan."
Menatap Anne yang mengamuk dengan heran, Fiore tidak mengerti dengan pola pikirnya. " lo linglung atau bodoh? Emangnya gue yang tentuin kemana dan kapan Rexton mau antar makanan? Emangnya gue pemilik kedai mi? Gue juga yang minta Ardan pesan mi? Pakai otak sebelum ngomong!"
Anne berkacak pinggang, menatap Fiore dengan kemarahan terselubung. Tentu saja ia tahu kalau tuduhannya tidak mungkin terjadi. Hanya saja ia membutuhkan seseorang untuk disalahkan setelah apa yang terjadi. Masih teringat bagaimana peristiwa itu terjadi, tidak menyangka kalau pengantar makanan adalah Rexton. Ia senagaja memilih mi karena tidak ingin bertemu dengan Rexton yang terbiasa bekerja di kedai nasi, tapi justru menjadi hari apesnya. Hari itu, ia baru saja selesai bercinta dengan Ardan. Sengaja menginap untuk menemani kekasih barunya. Meski begitu ia masih belum rela melepaskan Rexton. Masih ingin bersama laki-laki yang selalu royal padanya. Ternyata bermain dua kaki tidak selamanya berjalan mulus.
"Gue tahu selama ini lo naksir Rexton."
Pernyataan Anne membuat Fiore tertegun. Tidak mengira kalau perasaannya bisa terlihat begitu jelas.
"Lo selalu bersikap jadi gadis baik dan perhatian sama Rexton, sayangnya dia malah milih gue dan bukannya lo. Pasti lo sakit hati dan iri bukan? Karena itu lo seneng saat tahu gue selingkuh? Gue kasih tahu biar lo paham. Kalau Rexton nggak mau putus sama gue, dia memohon biar gue tetap buat dia. Rexton itu cinta mati sama gue, gimana perasaan lo, hah?"
Rasa lelah, mengantuk, dan kesal berbaur menjadi satu dalam benak Fiore. Setelah bekerja delapan jam, yang diinginkannya hanya berbaring tapi justru menerima omelan dari Anne. Menengadah, ia menatap Anne lekat-lekat. Menyipit karena pancaran cahaya matahari yang sangat terang. Selama bersahabat ia selalu mengalah dan menuruti kemauan Anna, apa pun itu tapi tidak untuk yang satu ini. Bangkit dari kursi, Fiore berujar pelan dan tegas.
"Gue nggak tahu lo ngomong apa. Urusan lo sama Rexton, sebaiknya kalian selesaikan berdua. Satu hal lagi yang harus lo tahu, jangan lagi-lagi minta bantuan gue buat bersihin masalah lo. Gue dah muak!"
"Hei, mau kemana lo? Gue belum selesai ngomong!"
Anne berusaha meraih lengan Fiore tapi ditepiskan dengan kuat. Membuka pintu dan masuk dengan langkah cepat menuju kamar belakang, Fiore menahan kejengkelan karena waktu istirahatnya terganggu. Bukan kali ini saja Anne menyalahkannya untuk semua hal yang terjadi, tidak hanya sekali ia membantu membereskan masalah-masalah gadis itu. Sekarang ia tidak punya tenaga lagi untuk jadi sahabat yang baik. Berbaring di ranjang kecil dengan kipas angin berputar di samping, Fiore memejam dan mennyerah pada kantuk.
**
Rexton terbangun dengan perut kelaparan, sang kepala pelayan menyuguhkan sup ikan dengan rumput laut, iga sapi goreng, dan banyak lagi untuknya. Ia makan perlahan, mengunyah sambil mengirim pesan pada Fiore. Tentu saja mengucapkan terima kasih pada gadis itu. Kalau bukan karena pertolongannya, bisa dipastikan dirinya terkapar di pinggir jalan karena mabuk.
"Kamu pulang malam ini?"
Fiore menjawa satu jam kemudian, meminta maaf karena baru bangun. "Malam ini aku di minimarket. Besok aku pulang untuk ambil pakaian dan nengokin Fariz. Habis itu balik lagi untuk shift malam."
"Sibuknya, gadis yang rajin."
"Demi uang, mau gimana lagi. Pinginnya, sih, istirahat dan jalan-jalan."
Jawaban Fiore membuat Rexton menghela napas panjang. "Kenapa nggak cuti malam ini? Aku ingin mengajakmu pergi."
"Hah, tumben. Dalam rangka apa?"
"Nggak ada apa-apa. Kebetulan restoran tempatku kerja lagi banyak diskon. Kalau kamu mau, aku bisa mengajakmu ke sana. Ada lauching menu baru."
Rexton menunggu jawaban Fiore agak lama, menduga gadis itu pasti sedang sibuk. Pesan dari Anne muncul dan ia mengabaikannya. Ia berpikir untuk mencari waktu yang tepat demi memutuskan masalah hubungan mereka. Tidak ingin terikat dengan Anne yang peselingkuh. Tidak peduli kalau gadis itu ingin bersama orang lain, asalkan tidak terikat dengannya lagi. Cinta membara yang dirasakannya untuk Anne beberapa waktu lalu kini padam dan tidak ada gairah lagi untuk menyalakannya.
"Baiklah, aku mau. Tapi aku nggak tahu bisa pergi jam berapa."
Kali ini jawaban Fiore datang dan Rexton tersenyum. "Nggak masalah jam berapapun, aku menunggumu."
Sejujurnya Rexton tidak mengerti dengan perasaannya sendiri karena merasa sangat lega setelah putus dari Anne. Dengan begitu ia bisa bebas berteman dengan Fiore. Jauh di lubuk hatinya ia merasa lebih nyaman saat bersama Fiore setelah hubungannya dengan Anne berakhir. Bebas untuk bepergian kemana pun dan kapanpun tanpa merasa bersalah.
Kepala pelayan memberitahu kalau ada tamu datang, tanpa melihat Rexton sudah bisa menduga siapa tamunya. Sang kakak perempuan yang cantik jelita bersama suaminya datang bersamaan dan menyapa ceria.
"Adikku, Sayang. Cintaku, gantengku, akhirnya kamu di rumah juga."
Rexton tidak bisa menghindar saat lehernya dipeluk dari belakang dan sang kakak mengecupi pipinya.
"Kak, suamimu lihat loh. Apa nggak malu?" tegur Rexton.
Riona tidak peduli tetap memeluk adiknya. "Suamiku tahu kalau istrinya ini sedang rindu pada adiknya yang berandalan dan tidak pernah pulang. Iya'kan, Sayang?"
Barry tertawa lirih, mengenyahkan diri di sofa besar ruang keluarga. "Silakan kalian bertengkar, aku nggak akan ganggu."
"Dasar suami takut istri," gerutu Rexton.
"Jangan gitu, gimana pun juga dia itu kakak iparmu."
Rexton memutar bola mata, melepaskan pelukan sang kakak dan mengelap bibir dengan tisu lalu bangkit menuju sofa, mengenyakkan di depan Barry. Riona mengikuti adiknya, seolah tidak mau terpisah, memilih duduk di samping Rexton.
"Tumben kalian datang, ada apa?"
"Masih tanya lagi. Mommy sedih karena kamu nggak pernah pulang," jawab Riona.
"Kak, please. Memangnya aku percaya kamu bilang gitu? Mulai kapan Mommy kita yang centil dan genit itu pernah merasa sedih? Aku yakin sekarang ini dia sedang sibuk melakukan amal, atau kegiatan sosial dengan kelompoknya itu."
Kali Riona tertawa. "Ternyata kita sama-sama mengenal Mommy dengan baik sampai aku nggak bisa bohong sama kamu. Daddy yang memintaku datang, katanya kamu sudah menyelesaikan pekerjaanmu?"
Rexton mengangguk lalu memanggil pelayan untuk mengambilkan laptopnya. "Aku sudah kirim ke Kak Barry, biar dilihat dulu sebelum diberikan ke Daddy. Kalau ada yang salah, biar aku perbaiki, Kak."
Barry mengacungkan kedua tangan. "Siip, begitu pulang dari sini aku akan periksa. Ngomong-ngomong PS-mu berfungsi bukan?"
"Tentu saja, mau main?"
"Ayo!"
Riona berkacak pinggang saat melihat adik dan suaminya duduk di atas karpet menghadap ke televisi layar lebar masing-masing dengan game konsole di tangan.
"Rexton, aku datang diminta Daddy untuk membujukmu pulang dan aktif ke kantor. Kata Daddy kamu bisa tetap lanjut kuliah, atau melakukan apa pun yang kamu mau asal pulang."
"Nggak mau, aku nggak suka di rumah," jawab Rexton sambil lalu.
"Oke, kalau gitu kapan kamu aktif ke kantor? Selama ini kamu bekerja dalam diam. Orang-orang mengira kalau kamu pewaris yang payah!"
"Pasti yang bilang begitu, paman dan sepupu-sepupu kita yang arogan itu. Kakakku, Sayang. Jangan kuatir, aku bisa menjaga diri."
Rexton kembali fokus pada permainan di depannya, mengalihkan perhatian dari perkataan Riona tentang dirinya sebagai pewaris yang manja dan tidak kompeten. Ia tahu siapa saja yang menilai dirinya seperti itu, saat ini sedang tidak ingin menanggapi. Menunggu sampai pendidikannya selesai, ia akan kembali ke posisinya.
"Kak, di kantor ada posisi untuk pegawai design magang nggak?" Kali ini Rexton bnertanya pada Barry.
"Untuk siapa?"
"Teman sekampus, hasil kernya cukup bagus."
"Oh, boleh dicoba. Kebetulan ada posisi magang. Nanti hubungi aja phak HRD dan bilang atas rekomendasiku."
Rexton tersenyum, membayangkan reaksi Fiore saat tahu akan magang di Genaro Group. Gadis itu layak mendapatkan kesempatan yang baik. Tidak menyadari sang kakak yang menatap ingin tahu pada senyum lebar yang mencuat dari bibirnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top