Bab 3
Hubungan Rexton dan Anne baru berjalan beberapa bulan. Secara tidak sengaja bertemu dalam sebuah kecelakaan, mereka akhirnya dekat satu sama lain. Fiore yang lebih dulu mengenal Rexton, sebagai pelanggan minimarket. Mahasiswa pasca sarjana yang sangat rajin bekerja dan sering menggunakan meja minimarket untuk mengerjakan soal. Sampai suatu hari Rexton mengajak berkenalan dan saling sapa setiap kali bertemu.
Fiore terkesan saat tahu Rexton berkuliah di kampus yang sama dengannya. Dengan biaya yang tidak murah dan menanggung semua sendiri dari hasil bekerja.
"Siang aku jadi admin kantor, lumayanlah part time. Sore kuliah, dan malam sesekali jadi tukang antar makanan. Pokoknya apa saja aku lakukan untuk biaya hidup dan kuliah."
"Keren sekali, Rexton. Di kampus itu biayanya mahal."
"Kamu juga keren, dapat bea siswa di sana. Belajar yang rajin Fiore, biar dapat kerjaan yang bagus nanti kalau sudah sarjana."
"Semoga saja bisa."
"Ngomong-ngomong kamu ada rencana kerja di mana?"
Pertanyaan Rexton membuat Fiore menjawab tanpa pikir panjang karena tahu apa yang diinginkannya. "Di Genaro Group."
Rexton terdiam sesaat, terlihat sedikit terkejut. "Kenapa di sana? Posisi apa yang kamu inginkan?"
Kali ini pandangan Fiore sedikit menerawang saat menjawab. "Aku pernah mengantar barang ke gedung Genaro Group. Besar, luas, dan tinggi dengan para pegawainya tampil cantik serta elegan.Aku membayangkan diriku menjadi bagian dari mereka pasti akan keren sekali dan posisi yang aku inginkan adalah designer untuk produk mereka. Bukankah Genaro punya beragam produk? Designer marketing, apa pun itu pasti akan senang kalau bisa kerja di sana."
Penjabaran Fiore tentang Genaro Group membuat Rexton tersenyum. Memang di kota ini nama keluarga Genaro cukup terkenal sebagai salah satu keluarga konglomerat dengan banyak bisnis. Tiga generasi masih hidup dan sehat sampai saat ini membuat mereka terkenal bukan hanya kaya tapi juga pekerja keras dengan pola hidup yang sehat. Setidaknya itu yang terlihat dari luar, tanpa orang-orang tahu bagaimana keadaan yang sebenarnya.
"Fiore, aku berdoa sungguh-sungguh semoga kamu bisa kerja di sana."
"Terima kasih doanya, Kak Rex."
Umur mereka terpaut tiga tahun tapi Rexton menolak kalau dipanggil 'kakak'. Tidak ingin terlihat tua hanya karena panggilan belaka. Fiore menurut, memanggil dengan nama dan menjadikan mereka lebih akrab. Sampai akhirnya Rexton mengenal Anne dan semuanya menjadi lebih renggang. Fiore sadar diri untuk menjaga jarak karena tidak ingin terlalu akrab dengan kekasih sahabatnya. Sampai akhirnya malam ini ia melihat laki-laki yang disukainya mabuk karena patah hati.
"Apa yang kurang dari aku, coba katakan Fiore? Selama ini dia minta apa saja aku turuti. Saat orang tuanya berulang tahun pernikahan, aku juga yang membiayai pesta. Kamu pasti ingat itu bukan?"
Fiore menganggguk, mengingat tentang pesta yang diadakan Anne dengan uang dari Rexton. "Tentu saja."
"Bukan aku ingin mengungkit-ungkit semua kebaikan, tapi setidaknya Anne tahu kalau cintaku tulus. Ternyata dia sama sekali tidak peduli dengan ketulusan itu. Menganggap perasaanku hanya sekedar permainan belaka. Bagaimana bisa dia tidur dengan laki-laki lain? Saat bersama, aku selalu menjaganya, tidak ingin menodainya sebelum kami menikah dan dia menjual diri sendiri."
Mengambil tisu, Fiore membersihkan meja dari sisa-sisa bir yang tumpah. Mengamati Rexton yang menelungkup di atas meja. Jemarinya gatal ingin merapikan rambut kecoklatan yang tebal itu. Ia tidak tega melihatnya menderita karena cinta tapi tidak ada yang bisa dilakukannya selain hanya menjadi pendengar yang baik. Teringat akan ancaman Anne yang melarangnya bicara dengan Rexton tentang Ardan. Fiore menyimpan sendiri rahasia busuk sahabatnya tapi ternyata Tuhan punya jalan lain. Anne membuka sendiri boroknya tanpa ia ikut campur.
"Sebenarnya selama ini aku bertanya-tanya, apakah benar Anne mencintaiku? Dia manja, baik, dan ramah hanya saat menginginkan sesuatu. Berbeda dengan kamu yang selalu lembut setiap saat, Anne itu punya sifat yang sedikit sulit dihadapi. Mudah marah, mudah mengamuk, dan sering marah tanpa alasan. Kalau bukan karena apa yang dulu pernah dilakukannya padaku, mungkin aku tidak akan tahan bersamanya. Kami bersama, aku berusaha untuk tulus, dan ternyata begini akhirnya. Sial!"
Rexton meraung dan memaki. Fiore bergegas masuk untuk mengambil air dingin dan menyerahkan pada laki-laki itu. Memaksanya untuk minum dan mencuci muka. Rexton awalnya menolak dan Fiore memaksa. Tidak hanya itu, Fiore juga menyeduh mi kari panas dan memaksa laki-laki itu memakannya.
"Dari tadi kamu muntah, pasti perutmu kosong dan kurang nyaman. Sudah minum birnya, makan dulu, nanti aku antar pulang."
"Nggak lapar!"
"Kalau nggak mau makan, aku suapi. Jangan sampai kamu membuatku melakukannya Rexton."
Di luar dugaan, Rexton membuka mulut dan berucap 'aaa' dengan pelan. Tindaknnya membuat Fiore tercengang sesaat.
"Ayo, katanya mau suapi aku. Aaa, aku mau makan."
Dengan gemas, Fiore menyendok mie dan sedikit ragu-ragu menyodorkan ke mulut Rexton. Pergelangan tangannya dicengkeram oleh Rexton dan diarahkan langsung ke mulut yang membuka. Fiore menyuapi perlahan, awalnya hanya bercanda dan ternyata satu mangkok mi hingga tandas. Selama makan Rexton hanya menandang Fiore tanpa kata. Membuka mulut untuk setiap suapan dan mengunyah perlahan.
Suasana di sekitar minimarket masih ramai oleh para pejalan kaki yang rata-rata adalah mahasiswa yang lapar saat tengah malam. Beberapa pekerja yang baru keluar dari bar, atau pun orang-orang yang kelaparan dan mencari makanan hangat dari minimarket. Keduanya tidak peduli saat beberapa pasang mata menatap penuh selidik, terutama para gadis yang cekikikan karena sekilas terlihat keduanya seperti pasangan yang sedang bermesraan. Rexton tidak peduli meskipun Fiore sedikit jengah. Selesai makan, Rexton mengucapkan terima kasih dengan suara sedikit goyah karena mengantuk.
"Kos kamu di mana? Aku antar pulang. Jangan naik motor nanti jatuh, bahaya."
Rexton menggeleng. "Nggak usah, aku pulang sendiri aja. Bahaya kalau cewek pergi malam-malam."
"Tapi—"
"Aku naik taxi, motor tetap aku taruh sini jadi kamu nggak usah kuatir. Okee?"
Fiore mengangguk, cukup puas dengan keputusan Rexton yang dianggap bijaksana. "Oke, setuju kalau begitu. Kamu tunggu di sini, aku panggil taxi."
"Siip, makasih Fiore yang cantik dan baik hati."
Fiore tersenyum, mengedipkan sebela mata lalu bergegas ke pinggir jalan untuk menyetop taxi. Dengan lembut Fiore memapah Rexton masuk ke taxi.
"Jangan lupa kasih tahu di mana alamatmu."
Rexton bersandar pada jok dan mengangguk. "Pasti itu. Kamu masuk sana, jangan lama-lama di luar."
Fiore menutup pintu dan melambai saat taxi mulai berjalan, berharap Rexton tiba dengan selamat. Cukup lega karena saat patah hati Rexton tidak melakukan hal buruk, hanya bercerita dan mabuk di depannya. Setidaknya ia bisa mencegah laki-laki itu melakukan perbuatan tercela. Fiore tak hentinya memaki Anne karena menyia-nyiakan laki-laki yang begitu baik.
Di dalam taxi yang membawanya meluncur di jalanan yang sedikit sepi, pandangan Rexton menerawang. Membayangkan kejadian beberapa bulam lalu, saat dirinya mengalami kecelakaan yang cukup parah dan Anne menolongnya. Gadis yang begitu cantik dan lembut, Rexton jatuh cinta dengan segala kebaikan yang disuguhkan. Siapa sangka ternyata itu hanya topeng belaka. Ia mendesah, menoleh ke arah belakang dan mendapati Fiore masih berdiri sambil melambai. Hatinya berkecamuk tidak menentu, berandai-andai akan banyak hal. Semisalnya waktu itu Anne tidak menolongnya, bisa jadi ia akan mendekati Fiore dengan lebih serius.
"Kak, benar ini tujuannya?"
Pertanyaan sopir taxi mengalihkan perhatian Rexton dari Fiore. Ia mengangguk dan menunjuk gerbang tinggi di mana ada beberapa orang berjaga.
"Lurus aja, berhenti di pos penjagaan."
Sopir taxi menuruti perintahnya, berhenti pos penjagaan dan Rexton membuka kaca jendela. Beberapa penjaga itu seketika membungkuk dan mengucapkan salam.
"Selamat datang, Tuan Rexton."
Rexton melambai sambil lalu, tidak memperhatikan sikap sopir taxi yang menegang seketika. Bagaimana tidak, seumur hidup baru kali ini memasuki wilayah perumahan yang terkenal paling mewah dan paling mahal di kota. Ia tidak menyangka kalau pelanggan mabuk yang terlihat biasa saja ternyata penghuni area ini.
"Bang, stop di rumah nomor dua belas."
"Iya, Tuan."
Tanpa sadar si sopir taxi mengubah panggilan, dan menghentikan taxi di depan rumah nomor dua belas yang cukup besar dengan tiga lantai. Ada banyak mobil mewah terparkir di halaman tanpa pagar. Rexton membuka taxi dan membayar dengan jumlah yang cukup banyak termasuk tips untuk si sopir yang menerima dengan gembira.
"Tuan, terima kasih untuk tipsnya."
Rexton mengangguk. "Hati-hati, Bang."
"Iya, Tuan."
Seorang laki-laki separuh baya menghampiri saat Rexton berdiri di pinggir jalan. "Tuan, tumben pulang larut."
"Ehm, kepalaku pusing."
"Tuan mabuk rupanya. Mari, saya antar ke kamar dan sebaiknya mandi sebelum tidur."
Lampu teras menyala terang benderang, saat si kepala pelayan membuka pintu. Dua pelayan menyongong mereka dan si laki-laki tua memberikan perintah-perintah.
"Cuci sepatu, Tuan dan juga pakaiannya, jangan sampai ada bekas alkohol."
Rexton menurut saat dipapah ke dalam lift menuju kamarnya yang ada di lantai dua. Membiarkan si kepala pelayan merawatnya dan selesai mandi, ia berbaring di ranjang yang besar dan hangat. Mencoba untuk terlelap tanpa memikirkan Anne. Rasanya tidak percaya ia patah hati pertama kali di usia segini. Sungguh menggelikan sekaligus menjengkelkan.
"Anne, bisa-bisanya kamu melakukan itu. Padahal aku sudah serius dengan hubungan kita. Entah apa yang membuatmu mengkhinatiku."
Setelah bergumam dalam keheningan, Rexton jatuh tertidur dengan pulas.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top