Bab 24

Fiore menghitung semua utang adiknya. Dari mulai utang beras, cemilan, hingga kebutuhan sehari-hari seperti sabun, sampo, dan gas. Pemilik warung orang yang baik, memberikan semua yang diminta Fariz karena tahu kalau Fiore yang akan bertanggung jawab. Total utang nyaris mencapai satu juta, dan Fiore melunasi semua. Memberikan sedikit deposito untuk pembelian selanjutnya. Pemilik warung, seorang perempuan paryh baya bertubuh gempal tersenyum lebar menerima uang dari Fiore.

"Kamu ini gadis yang baik, Fiore. Kebutuhan Fariz dan mamanya kamu yang tanggung. Padahal sebagai anak kamu nggak ada kewajiban untuk itu."

"Mau gimana, Bu. Yang penting adik saya bisa makan."

"Kasihan Fariz, masak dan bebersih rumah sendiri karena mamanya yang tolol itu sibuk pacaran dan judi."

Hati Fiore tidak nyaman saat mendengar cerita tentang Fariz. Adiknya yang cacat harus hidup menderita bersama Dornia yang sama sekali tidak bertanggung jawab. Kalau bukan karena dirinya, Fariz tidak akan bisa sekolah dan makan. Ia menyesal tidak bisa menjaga adiknya sekolah, sudah pasti Fariz dibuli karena kondisi tubuhnya. Fiore hanya bisa menghela napas panjang, merasa bersalah tapi juga tidak berdaya. Keadaan memaksanya untuk keluar dari rumah itu.

"Kalau aku tetap di sana, pasti mati digebuki, Bu."

Pemilik warung mengangguk dengan wajah muram. "Memang, keputusanmu sudah tepat untuk tidak lagi tinggal di sana. Jangan merasa bersalah, Fiore. Lagipula, tinggal di luar bikin kamu lebih bebas untuk kuliah dan kerja. Ngomong-ngomong, tadi aku udah bilang belum kalau Dornia punya pacar baru?"

Fiore mengangguk. "Sudah, Bu."

"Perempuan itu bukan lagi istri almarhum papamu. Dia tidak lagi punya hubungan denganmu. Apalagi pacarbya sekarang tinggal di rumah susun itu. Bukannya itu milik papamu?"

"Iya, Bu."

"Berarti milikmu dan Fariz. Gugat aja biar perempuan itu tahu diri." Pemilik warung terlihat sangat jengkel setiap kali bicara soal Dornia. Kebenciannya terlihat jelas dan tidak ditutupi. "Kamu tunggu di sini, biar suamiku manggil Fariz."

Duduk di bangku kayu depan warung sambil makan kerupuk, pikiran Fiore melayang pada ide tentang menjual rumah susun miliknya. Ia dengan senang hati melakukan itu, mengusir Diorna dan merawat Fariz. Namun, tidak semudah itu melakukannya karena Diorna menyembunyikan sertifikat. Ia harus menemukan lebih dulu sebelum menjualnya.

"Kak Fiore!"

Fariz berteriak, berjalan terpincang-pincang dengan tongkat di tangan. Fioter tersenyum lebar, mengembangkan lengan.

"Fariz, gimana kabarmu? Baik saja'kan?"

Fariz mengangguk. "Iya, Kak. Makasih udah beliin beras dan lainnya."

"Kamu masak sendiri? Kenapa nggak beli di warung?"

"Kalau beli warung nggak cukup, Kak. Soalnya Mama dan temannya suka minta. Kalau Fariz beli beberapa bungkus, mahal Kak."

"Mereka nggak maksa kamu beli di warung nasi?"

"Mama nyurih tapi Fariz nolak. Kasihan Kakak kalau keluar uang banyak-banyak."

Hati Fiore tersentuh dengan sikap adiknya yang tulus. Tidak tega meninggalkan Fariz sendirian di sini tapi demi masa depan harus dilakukan.

"Kalau Fariz capek masak, pingin makan enak, minta sama Bu Pemilik warung ini atau warung nasi untuk bantu beli. Nanti kakak yang bayar."

"Iya, Kak. Kok aku nggak lihat Kak Rexton?" Fariz celingukan, pandangannya mengitari sekitar.

Fiore tersenyum, mengusap pipi adiknya. "Kak Rexton lagi kerja. Nggak bisa datang."

"Oh gitu, lain kali aja Kak Rexton kemari, ya Kak."

"Tentu saja, Sayang. Kamu kangen ya?"

"Hooh, kangen Kak Rexton."

Mereka tidak sempat mengobrol lebih banyak saat dari arah tangga terdengar teriakan. Fiore yang ketakutan bangkit buru-buru dan berniat pergi tapi beberapa orang mendekat dan mengurungnya. Mereka adalah teman-teman judi Dornia. Perempuan itu berjalan cepat menuruni tangga digandeng seorang laki-laki muda dengan kulit putih dan tubuh kerempeng.

"Mau kemana kamu anak kurang ajar!"

Fiore memeluk Fariz, seakan ingin berlindung di balik tubuh rapuh adiknya. Menatap penuh kebencian pada Dornia dan pacar barunya. Laki-laki muda dengan tampang licik itu menatap Fiore dengan penuh minat.

"Dornia, kenapa kamu nggak bilang kalau anakmu cantik?"

Dornia mencebik marah. "Kamu udah lihat fotonya di rumah, Sayang."

"Memang, tapi aslinya lebih cantik."

"Oh, gitu? Kamu naksir dia?"

"Nggak, dong. Tetap kamu yang ada di hatiku."

Sikap manja keduanya membuat Fiore mual. Dornia jatuh cinta dengan pemuda yang nyaris seumuran dengan Fiore tanpa rasa canggung, bermesraan di depan umum dan membuat semua yang melihat menjadi risih. Laki-laki muda itu tersenyum sambil mengedipkan sebelah mata pada Fiore.

"Hai, anak gadis Dornia yang cantik. Namamu Fiore? Kenalkan aku Mamed. Kita kenalan, lalu ngobrol-ngobrol di atas gimana?"

"Nggak mauu!" Fariz berteriak keras. "Jangan mau, Kak. Nanti kamu dipukuli lagi sama Mama."

Dornia melotot pada anaknya. "Fariz, jangan bicara begitu sama mama. Kamu mau jadi anak durhaka? Cepat kemari!"

Fariz menggeleng, Fiore mendekap adiknya erat-erat. Orang-orang tidak memberinya celah untuk pergi. Mereka mengepung, menyeringai dengan menunjukkan gigi kuning serta aroma tubuh seperti bir basi karena jarang tersentuh air. Ia mengenal orang-orang ini sebagai teman berjudi Dornia.

"Fariz, pulanglah. Kakak harus pergi. Jaga diri baik-baik, ingat yang kakak bilang tadi soal makan."

"Eit, nggak bisa begitu, Fiore. Kalau Fariz ke atas, kamu harus ikut!" ucap Mamed. Tersenyum lebar dengan tatapan mesum tertuju pada Fiore. "Kita bisa bicara baik-baik di rumah. Ayo, Fiore. Mamamu dan aku menunggumu."

Fiore menggeleng. "Nggak! Aku harus pergi."

"Pergi kemana? Rumahmu di sini?"

"Siapa bilang? Rusun memang milikku tapi sertifikat entah kemana. Jangan-jangan Mama menggadaikannya?"

Dornia maju, melangkah cepat melewati kekasihnya dan berdiri di depan Fiore. Melayangkan pukulan tapi ditepis oleh Fiore membuat tubuhnya oleng.

"Sialan! Memangnya kenapa kalau sertifikat gue gadai? Lo bisa apa?"

Fiore menggeram marah. "Rusun itu almarhum papa yang beli. Hasil dari keringatnya bekerja, bisa-bisanya Mama jual? Buat apa? Judi?"

"Apa urusan lo soal duit? Rusun itu dah jadi milik gue, lo nggak berhak ikut campur lagi. Ayo, ikut gue!"

"Nggak mau!"

Terjadi tarik menarik antara Dornia dan Fiore, dengan Fariz terjepit di tengah. Teman-teman Dornia makin mendekat begitu pula Mamed. Mereka mengurung Fiore dengan rapat, tidak memberinya kesempatan untuk melarikan diri. Semua orang atas perintah Dornia ingin menangkap Fiore dan membawanya naik.

"Lo harus ikut, bantu bersih-bersih rumah, masak, dan beri kami uang!"

"Nggak ada uang!"

"Anak kurang ajar!"

Dornia mengamuk dan memaki, dibantu Mamed berusaha menarik Fariz lepas dari pelukan Fiore. Orang-orang berteriak menimbulkan keributan di depan warung. Fiore terselamatkan saat suami pemilik warung datang bersama anggota keamanan, pengurus rusun, dan warga. Mereka menghadang Dornia dan kelompoknya. Pemilik warung menarik Fiore ke dalam rumahnya.

"Pergi sana! Lewat pintu belakang!"

Fiore mengangguk. "Terima kasih, Bu! Saya nitip motor, kapan-kapan saya ambil!"

"Ya udah, sana pergi!"

Demi kecepatan dan keselamatan, Fiore berlari keluar dari pintu belakang. Pergi arah jalan raya dan memanggil ojek yang mangkal di sana untuk mengantarnya ke kampus. Merasa lega karena terbebas dari Dornia dan gerombolannya. Ia masih teringat tatapan Mamed yang tertuju padanya dan bulu kuduknya merinding seketika.

Rexton menelepon saat ia baru saja tiba di kampus. Bertanya keberadaannya. Fiore menjawab baru saja kembali dari rusun, tidak sampai setengah jam Rexton datang menjemputnya.

"Pasti nggak bawa motor." Rexton mengulurkan helm padanya.

Fiore menyeringai. "Memang."

"Kenapa? Ketemu mama tirimu?" Melihat Fiore menunduk, Rexton bertanya perlahan. "Coba bilang, apa yang dia mau kali ini?"

"Dia minta aku naik ke atas buat bantu beberes sama masak. Terus punya pacar baru seumur aku gitu. Sialan tuh cowok, kelihatan banget kurang ajarnya!"

"Kamu kesal dan takut tapi masih ke sana sendiri tanpa ngajak aku?"

"Kamu sibuk, Rexton. Aku nggak enak."

"Lebih baik kamu ngerasa nggak enak di awal dari pada akhirnya malah ada masalah. Kalau nggak dibantu ibu warung, emang kami bisa bayangin apa yang terjadi? Kamu diseret ke atas dan entah apa yang akan dilakukan Dornia sama pacarnya itu. Nggak kepikiran sampai ke sana'kan?"

Fiore menggeleng perlahan. "Nggak kepikiran sampai sana. Lagian aku nggak tahu Dornia punya pacar."

"Sekarang udah tahu, masih berani ke sana sendiri?"

"Nggak berani."

"Masa? Nggak percaya aku sama kamu!"

Fiore menggigit bibir, meraih lengan Rexton dan mengguncangnya. "Jangan gitulah, aku menyesaaal sekali karena datang ke sana sendiri. Jangan marah, Rexton. Aku janji pokoknya kalau ke sana akan ajak kamu."

Rexton menatap lekat-lekat, mencari kesungguhan dari kata-kata Fiore. "Janji?"

"Iyaa, janji demi apa pun yang penting dalam hidupku. Kalau aku akan menepati perkataanku padamu."

"Memangnya apa yang penting dalam hidupmu?"

Pertanyaan Rexton membuat Fiore terdiam. Nyaris mengatakan kesungguhan dan isi hatinya tapi merasa malu. Namun, pandangan intens dari Rexton membuat Fiore menemukan keberanian.

"Fariz dan kamu. Kalian orang-orang paling penting dalam hidupku."

Rexton tersenyum, matanya berkilat mendengar jawaban Fiore. Mengulurkan tangan untuk mengusap rambut yang halus.

"Gadis pintar. Sekarang naik ke motor, kita pulang!"

Fiore melompat ke boncengan, memakai helm, dan memeluk pinggang Rexton. Ajakan untuk pulang bersama terdengar sangat menyenangkan untuknya. Debar bahagia dengan jantung yang bertalu karena cinta dirasakan oleh Fiore sepanjang jalan menuju kosan.
.
.
Versi lengkap tersedia di Karyakarsa dan Playbook.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top