Bab 21

Permintaan Fania untuk berdansa tidak membuat Rexton tertarik. Ia terdiam, menatap ke arah Fiore menghilang. Tidak bisa bisa dipastikan apakah Fiore tidak akan datang lagi kemari. Sekarang memikirkan bagaimana menolak ajakan dari tuan rumah. Tidak ingin dianggap sombong, tapi berada di antara orang-orang yang sedang berbisnis dengan dalih pesta tidak menbuatnya tertarik. Ia melirik sang kakak, berharap bisa mendapatkan bantuan. Riona ternyata sangat mengerti isi pikiran Rexton.

"Kalau aku jadi kamu nggak akan ajak Rexton berdansa'

Fania mengalihkan pandangan pada Riona. "Kenapa begitu?"

"Kakak, tolong. Jangan buka aibku," gumam Rexton.

Riona bertukar pandang dengan suaminya lalu tertawa lirih. Sikap Rexton yang menunduk malu membuat Fania penasaran.

"Rexton kenapa, Kak?"

Rione berdehem sebentar. "Adikku, gerakannya sekaku robot. Kalau kamu mengajak dia berdansa, harus siap kakimu terluka karena terus menerus diinjak."

Barry mengiayakan dengan kata-kata yang meyakinkan. "Kalau sekedar kaku, aku pun kaku makanya nggak pernah dansa sama istri. Tapi Rexton jauh lebih parah. Saranku, ajak orang lain untuk dansa atau mengobrol saja. Demi agar kakimu tetap utuh!"

Tawa Riona dan Barry meledak bersamaan. Fania awalnya merasa tidak yakin kalau mereka bicara serius tapi saat melihat wajah muram Rexton mau tidak mau harus percaya. Dalam hatinya kecewa karena kesempatan untuk intim dengan Rexton musnah. Ia memberanikan diri datang, membuang harga diri untuk mendekat dan mengajak. Hal yang tidak pernah dilakukannya mengingat dirinya yang biasa disanjung dan dipuja. Laki-laki yang berusaha mendekat untuk mendapatkan hatinya, bukan malah sebaliknya. Sikap Rexton yang terlihat tidak tertarik dengannya membuat penasaran.

Fania adalah model terkenal, cantik, dan kaya raya. Dengan keluarga pebisnis serta dekat dengan kekuasaan. Banyak yang mengira dekat dengannya akan membawa kemegahan dan kemasyuran serta membuka peluang bisnis. Namun, hanya satu dua yang membuatnya tertarik, tidak benar-benar merasa ingin dekat. Baru dengan Rexton hatinya berdebar. Tampan, kaya raya, pewaris bisnis, dan punya hubungan baik dengan saudara. Calon bagus untuk jadi pendamping. Ia akan mendekat apa pun caranya. Fania memutuskan untuk duduk dan mengbrol kalau tidak bisa berdansa.

"Kalau gitu kita ngobrol aja, Rexton. Mau ke ruang lain yang lebih sunyi?"

Sebuah tawaran yang berani dan terang-terangan membuat semua yang mendengar tertegun. Rexton diselamatkan dari keharusan untuk menjawab saat seorang perempuan mendatangi Fania.

"Teman-temanmu menunggu di ruang VIP."

"Kenapa nggak langsung kemari?"

"Kata mereka ingin berunding satu hal dulu sebelum masuk."

"Berunding soal apa?"

"Entahlah, kamu tanya sendiri."

Wajah Fania menyiratkan kejengkelan. Menoleh pada Rexton, ia melontarkan permintaan maaf karena tidak bisa menemani mengobrol lalu pergi bersama temannya.

"Akhirnya, aku bisa pulang sekarang," ucap Rexton sambil menghela napas panjang.

"Masa mau pulang sekarang? Terlalu cepat," protes Riona. "Kamu mau biarkan aku bicara sama orang-orang itu sendirian?"

"Orang-orang siapa?"

"Itu, relasi, klien, teman Genaro Group. Sebentar lagi pasti berdatangan ke meja ini untuk berbasa-basi."

"Ada suamimu, Kak. Kenapa takut?"

"Aku nggak takut, kamu malah yang takut? Siapa yang kamu takuti? Fania atau Fiore."

"Jelas Fiore," celetuk Barry. "Dia nggak mau kalau cewek yang ditaksirnya tahu tentang penyamarannya, Fiore datang untuk intervew aja, dia pura-pura jadi tukang antar makanan ke kantor. Bayangkan kalau Fiore tahu siapa pewaris Genaro Group? Rexton pasti anggap pembohong."

Riona terbelalak, lalu tawanya pecah. "Ya Tuhan, serius dia nyamar jadi tukang antar makanan?"

"Iya, khusus untuk mengancam Pak Sutoko. Harus menerima Fiore magang, kalau tidak akan ada konsekuensinya. Kasihan Pak Sutoko, sudah tua harus terima ancaman dari laki-laki bucin."

"Ckckck, katanya hanya teman sampai begitunya."

"Mana ada hanya teman?"

"Pasti lebih dari sekedar teman. Apa Rexton sudah move on dari mantan?"

"Jatuh cinta dengan Fiore."

"Siapa yang jatuh cinta? Hanya ingin bantu Fiore saja." Rexton bangkit, merapikan jas dan bersiap untuk pergi. "silakan kalian bergosip. Aku pulang dulu. Urus sendiri para laki-laki tua yang akan datang kemari. Bye!"

"Eh, Fiore datang!" celetuk Riona.

Rexton menunduk secepat kilat lalu bangkit dengan jengel saat melihat Riona dan Barry terpingkal-pingkal, Tidak menyangka akan dikerjai mereka berdua.

"Kayak anak kecil kalian!"

Sambil bersungut-sungut Rexton meninggalkan ballroom pesta. Menyelinap di antara para tamu menuju ke pintu keluar. Berharap tidak bertemu dengan Fiore. Ia akan menunggu gadis itu selesai kerja di kos saja, saat pulang nanti akan bertanya lebih banyak hal tentang pekerjaannya. Mengendarai mobilnya sendiri, Rexton melesat meninggalkan tempat pesta.

**

Fiore membawa baki di tangan, menawarkan beragam cemilan kepada para tamu. Dari mulai canape, pastel, ataupun makanan lain. Menyelinap dari satu meja ke meja lain, dan menawari dengan ramah serta penuh kesopanan. Banyak yang mengabaikan, mengusir dengan tidak sopan, tapi beberapa menerima tawarannya dengan hangat. Berada di antara orang-orang kaya dengan gaya glamour mereka adalah suatu kebanggaan tapi juga menuntut rasa sabar. Dari awal mendaftar untuk pekerjaan paruh waktu ini, ia sudah diingatkan untuk sabar, tidak boleh marah dan terbawa perasaan atau emosi. Tugasnya menjadi pramusaji atau pelayan dari para tamu yang datang. Segala resiko, asalkan bukan pelecehan harus diterimanya.

"Canape, Tuan?"

Fiore menawari dua laki-laki yang sedang berbicang. Keduanya serempak menoleh dan salah seorang menjawab.

"Gadis Cantik, apakah canapenya enak?"

"Enak, Tuan."

"Kamu sudah mencobanya?"

Sebuah pertanyaan yang sedikit menjebak. Fiore tersenyum manis. "Bagaimana kalau Tuan mencobanya sendiri. Dengan begitu Tuan bisa memberi saya masukan apakah canapenya enak atau nggak?"

"Hahaha, gadis pintar dan cerdas. Aku suka jawabanmu. Baiklah, berikan kami masing-masing satu dan biarkan kami mencobanya."

Fiore memberikan tisu lebih dulu baru canape. Menunggu kedua laki-laki itu selesai makan lalu menyelinap pergi. Tidak memberikan kesempatan pada mereka untuk memperpanjang basa-basi. Ia terus bergerak hingga tiba di meja besar paling ujung dengan beberapa orang berkumpul serta mengobrol seru. Terbelalak saat mengenali satu orang dan hendak perg tapi terlambat.

"Fiore? Kamu ngapain di sini?"

Ardan, memakai jas hitam, menunjuk Fiore dengan pandangan menyelidik. Mengamati penampilan Fiore dalam seragam pelayan dan baki di tangan.

"Kamu kenal pelayan ini?" tanya Fania yang duduk di sebelah Ardan.

"Kenal, kami sekampus. Wah-wah, nggak nyangka bakalan lihat kamu di sini."

Kelompok di meja sekitar sepuluh orang dengan empat perempuan. Tatapan mereka secara serempak tertuju pada Fiore yang berdiri kaku. Ingin pergi tapi takut dianggap tidak sopan. Sedangkan tetap di sini sama saja seperti mencari masalah.

"Nggak nyangka, pelayan doang tapi kuliah di kampus ternama. Pasti bea siswa," ucap Fania.

Entah apa yang lucu, semua orang tertawa mendengar kata bea siswa. Ardan bahkan terbahak-bahak. Seorang gadis miskin yang mendapatkan besa siswa karena kepintarannya apakah dianggap hina? Fiore meneguk ludah, teringat untuk tidak terbawa perasaan karena sedang bekerja.

"Tuan, Nona, mau mencoba canape? Kalau nggak mau, saya pamit undur diri."

Ia menawari sekilas, tidak ingin memperpanjang masalah dengan kelompok ini. Namun, niatnya tidak mudah terlaksana saat Fania membentak.

"Tunggu! Mau kemana kamu? Aku menyuruhmu tetap di sini!"

"Tapi—"

"Nggak usah takut, ada aku yang akan menemanimu, Fiore. Ngomong-ngomong, kamu cantik sekali biarpun pakai seragam pelayan," puji Ardan. Berdecak di luar kesadaran.

Fiore menghela napas panjang, kuatir dengan masalah yang akan datang padanya. "Maaf, saya—"

"Fiore, kamu harus tahu. Fania ini tuan rumah. Jangan sampai kamu dipecat sama manajermu gara-gara ngelunjak sama tuan rumah." Ardan memberitahu dengan senyum terkulum. Teringat saat Fiore berusaha menolaknya dan hampir baku hantam dengan Rexton. Rasa dendam muncul dalam dada Ardan. "Sebaiknya kamu tetap berdiri di situ. Siapa tahu kami ingin makan canape."

"Saya harus melayani tamu lain," tolak Fiore.

"Tidak perlu. Kalau aku minta kamu di sini berarti tidak boleh pergi!" Fania memerintah dengan galak. Tidak memberikan kesempatan pada Fiore untuk membantah. Entah kenapa ia tidak suka dengan gadis pelayan ini. Ardan yang biasanya tidak suka dengan gadis berstatus lebih rendah, terlihat sangat memuja. Belum lagi sikap Fiore yang seolah enggan untuk menunduk, membuat Fania makin kesal. Ia adalah tuan rumah, yang memperkejakan banyak orang di pesta ini, bisa-bisanya seorang gadis miskin menentangnya. "Aku ingin kamu melayani kami secara pribadi, menawari canape, minuman, dan mengambil apa pun yang kami mau!"

"Asyik! Aku mau dilayani sama Fiore!"

Ardan dan beberapa temannya tertawa senang, sedangkan Fiore terdiam menunduk. Apes sekali malam ini bertemu Ardan yang ia yakin pasti ingin balas dendam padanya. Ia sedang memutar otak untuk keluar dari situasi ini, sayangnya tidak punya alibi yang kuat. Dengan pasrah Fiore mengangguk, mengikuti perintah Fania untuk melayani orang-orang di meja. Anak orang-orang kaya adalah makluk menyebalkan, itu benar adanya. Mereka dengan seenak jidat memerintah Fiore. Dari mulai meminta air minum, menuang anggur, mengambil beragam makanan hingga beberapa kali. Alhasil, belum tiga puluh menit melayani mereka sudah membuat lelah.

Fania memerintah tanpa ampun, salah sedikit akan marah dan membentak. Ardan sangat semena-mena, menggunakan kesempatan ini untuk menunjukkan superiornya.

"Fiore, tolong ambilkan minum. Moctail yang segar!"

Saat Fiore datang dengan segelas moctail, dengan sengaja Ardan menumpahkan isinya hingga menciprati sepatu kulitnya.

"Aduh, sepatu jadi basah dan jelek, Fiore tolong kamu lap!"

Perintah yang membuat Fiore tercengang. Ardan mengulurkan kakinya yang terbungkus sepatu basah. Teman-temannya tertawa menegejek.

"Kenapa diam? Kamu nggak dengar perintah Ardan?" celetuk Fania. "Lap sepatunya sekarang!"

Orang-orang ini memang sengaja mengerjai untuk mempermalukannya. Ardan dan Fania adalah kombinasi teman yang sempurna. Fiore memejam, berusaha menjaga harga dirinya tapi teringat akan gajinya yang tidak akan keluar kalau bertingkah. Fania sebagai tuan rumah mampu bersikap kejam padanya. Mengambil tisu, ia siap berjongkok untuk mengelap sepatu Ardan. Meski harus mengorbankan seluruh harga dirinya.

"Fania, apa aku boleh tanya sesuatu?"

Sebuah suara yang lembut datang menyapa. Fania terperanjat, bangkit dari kursinya. Menarik ujung seragam Fiore agar menjauh dari meja.

"Kak Riona boleh tanya apa saja."

Riona mengangguk pada semua orang yang ada di sana dan pandangannya tertuju pada Fiore. Fania menggeleng ke arah Ardan lalu mengusir Fiore.

"Pergi sana! Kamu keliling lagi, jangan di sini!"

Fiore menghela napas lega, mengambil baki kosong dan mengangguk penuh terima kasih pada Riona sebelum menghilang ke arah kerumunan. Malam ini ia selamat dari Fania dan Ardan, berharap kelak tidak akan bertemu mereka lagi.

Ardan yang tidak puas karena usahanya mengerjai Fiore dianggap kurang, ingin mengajukan protes pada Fania. Namun semua kekesalannya ditelan lagi saat Fania memperkenalkan Riona yang baru datang bersama suaminya.

"Ardan, kenalkan ini Kak Riona dan suaminya Kak Barry. Mereka dari Genaro Group."

Ardan seketika berdiri dari kursi dan membungkuk ke arah Riona dan Barry. Tidak menyangka akan bertemu dengan orang hebat. Keluarganya sangat ingin menjadi wakil hukum dari Genaro Grup tapi sampai sekarang belum ada kesempatan itu. Ia berharap bisa membantu sang papa melobi malam ini. Sayangnya Riona dan Barry ingin mengajak Fania bicara secara pribadi. Ardan tidak bisa menahan kekesalannya kali ini saat melihat Fania menjauh bersama Riona dan suaminya. Tidak bisa dekat dengan keluarga Genaro dan kehilangan Fiore, ia merasa sisa pesta akan sangat membosankan.
.
.
Cerita ini sedang PO dan versi lengkap tersedia di Karyakarsa serta google playbook.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top