Bab 20
Anne berdiri ragu-ragu di dekat lorong, menatap Ardan yang bersandar di dinding sambil merokok. Ia ingin menyapa tapi rasa enggan menyergap kuat. Entah kenapa timbul rasa segan bercampur takut tiap kali ingin bersama Ardan. Tidak seindah sewaktu pendekatan dulu. Ardan terlampau superior, angkuh, dan merasa sangat berkuasa, membuat Anne sedikit tertekan. Ia bersiap untuk membalikkan tubuh dan berlalu saat namanya dipanggil.
"Anne, mau kemana kamu?"
Menghela napas panjang, Anne menoleh dan tersenyum sambil mengedipkan sebelah mata. "Aku lihat kamu lagi sibuk ngobrol. Makanya nanti aja mau ngomongnya."
Ardan mendekat, merangkul bahu Anne dan membawanya ke sudut. "Untung kamu datang, aku mau ngomong soal si sialan itu. Babi kurang ajar!"
Anne terbelalak. "Siapa?"
"Tukang antar makanan yang pernah datang ke apartemen. Katamu teman kalian. Ternyata dia selalu bersama Fiore. Antar jemput Fiore di minimarket dan kampus."
Anne mengepalkan tangan. "Benarkah?"
"Iya, beberapa hari lalu aku ke minimarket malah ketemu dia. Kita hampir saja ribut, tapi dia pengecut. Panggil banyak orang buat ngeroyok kami. Kenapa kamu nggak bilang soal dia? Mana aku tahu kalau dia ternyata juga naksir Fiore!"
Tertegun mendengar informasi dari Ardan, rasa hati Anne menjadi gundah bukan kepalang. Ia sudah pernah dengar selentingan soal kedekatan Fiore dan Rexton. Tapi tidak menyangka sampai sedekat itu.
"Fiore dulu suka sama dia, mungkin sampai sekarang masih suka dan ngejar-ngejar dia," dalih Anne.
Ardan berdecak, menggeleng dengan cepat. "Sayang sekali cewek secantik Fiore malah suka sama cecunguk itu. Dulu aku pikir si Fiore itu biasa aja, karena nggak pernah dandan, nggak pernah pakai outfit yang modis. Ternyata setelah berdiri dekat, dia lumayan cakep." Saat melihat wajah Anne yang mencebik, Ardan terbahak-bahak. Meraih dagu kekasihnya dan melayangkan kecupan ringan. "Jangan kuatir, kamu tetap paling cakep buatku."
Anne tanpa malu memeluk Ardan, seolah ingin menegaskan kalau laki-laki muda ini adalah miliknya. Tidak ingin Ardan menyukai Fiore. Sudah cukup Rexton saja yang tertipu oleh Fiore, ia tidak ingin kehilangan Ardan juga. Ia berniat untuk mampir dan menginap di apartemen kekasihnya malam ini. Ingi bercinta sampai semua perhatian tertuju padanya. Belum sempat niat diutarakan, ada panggilan dari tiga orang yang berdiri di samping mobil Ardan.
"Woi, Bro. Lihat ini, ban lo kempes!"
Ardan melepaskan pelukan Anne dan bergegas ke arah mobilnya. "Ban mana yang kempes?"
"Semuanya kempes. Kok bisa, sih?"
Melotot ke arah ban mobil yang keempatnya kempes, Ardan meradang. "Tadi baik-baik aja, kenapa mendadak gini?"
Tidak ada yang bisa menjawab pertanyaannya. Ardan menendang pelek, meringis kesakitanb lalu berteriak keras.
"Sialaan! Siapa pelakunya, hah? Siapa yang ngerjain gue?"
Semua yang mendengar teriakan hanya terdiam, menurut mereka ban kempes itu memang hal biasa. Tapi keempatnya kempes secara bersamaan memang sangat luar biasa.
**
Rexton mendapat tugas ke sebuah pertemuan bersama Riona dan Barry. Ingin menolak tapi sang papa memaksa. Mau tidak mau ia pergi ke pertemuan sebagai wakil perusahaan. Lagi pula Fiore malam ini sedang bekerja dan membuatnya bosan karena sendirian di kos. Biasanya ada Fiore yang menemani mengobrol, setelah dipikir-pikir memang lebih baik ke pesta.
Setelah diterima magang, Fiore tidak lagi bekerja di minimarket. Sudah ada pegawai baru dan juga Rexton melarang, takut akan bertemu Ardan lagi. Waktu magang dimulai masih dua Minggu kedepan. Menggunakan waktunya yang longgar, Anne bekerja serabutan. Dari mulai tukang cuci piring, pengasuh anak, sampai pelayan di pesta. Untuk malam ini tidak tahu apa yang dikerjakannya, Fiore hanya mengatakn tergabung dalam sebuah yayasan pengarah acara.
"Wah, tampannya adikku," puji Riona sambil mengusap dada Rexton yang memakai jas malam abu-abu gelap. "Jarang sekali melihatmu memakai jas. Tumben mau ikut ke pesta?"
Rexton yang sedang menyisir menghentikan gerakan dan menatap sang kakak dengan bingung. "Kok pesta? Bukannya pertemuan?"
"Jangan bilang kamu pikir pertemuan di gedung, mendengarkan pemaparan visi dan misi dari orang-orang? Memang, itu hanya setengah jam kalau nggak salah. Setelah itu ya, mengobrol biasa. Jatuhnya lebih ke pesta dari pada pertemuan."
Merasa terjebak, Rexton ingin membatalkan partisipasinya tapi Riona memaksanya tetap ikut. Mau tidak mau, tetap pergi ke pesta yang diyakini sangat membosankan. Ternyata dari Genaro Group hanya ada mereka bertiga, tadinya Rexton mengira akan bertemu Edy dan Martin, tapi dugaannya salah. Ia justru bertemu dengan Fania karena ternyta keluarga gadis ini yang menggagas pertemuan. Rexton sekarang mengerti kenapa dipaksa untuk menghadiri pesta.
"Rexton, sangat jarang melihatmu di pesta." Fania memeluk Rexton tanpa malu. "Jas ini cocok untukmu."
Rexton membiarkan dirinya dipeluk dan menggeliat pelan untuk melepaskan diri. "Halo, Fania. Kamu pasti kenal kakakku dan suaminya."
Fania mengangguk ke arah Rioan dan Barry tapi tidak memeluk mereka.
"Aku senang kalian semua datang, nanti ada beberapa temanku juga di pesta ini. Aku ingin memperkenalkan mereka dengan kalian."
Rexton tidak bereaksi, begitu juga Barry. Sebagai gantinya Riona yang tersenyum kecil berusaha untuk tetap akrab. Meskipun sikap Fania yang ramah ditujukan hanya untuk Rexton, ia berusaha mengesampingkan itu. Datang kemari sebagai utusan Genaro Group, harus tetap ramah dan sopan apa pun yang terjadi.
"Ah, kami menantikannya."
Setelah itu mereka duduk di meja bundar untuk mendengarkan pidato dari wakil menteri. Rexton mulai bosan karena isi pidato sama sekali tidak berbobot menurutnya. Ia memeriksan pesan yang terkirim untuk Fiore. Sudah dari dua jam lalu dan sama sekali belum ada balasan. Ia tidak tahu gadis itu sedang sibuk apa.
Selesai pidato, wakil menteri berkeliling untuk berkenalan dengan para tamu. Mengenal sebagian besar orang yang hadir dan saat tiba di meja Rexton,ekpresinya terlihat sangat terkejut.
"Apakah ini anak dan menantu Tuan Gabino?"
Riona mengangguk ramah. "Benar, Pak. Saya Riona, ini suami saya Barry dan adik saya, Rexton."
Si wakil menteri mengamati Rexton dari atas ke bawah, menepuk lengan Rexton dengan kebanggaan terlihat jelas.
"Pantas saja papamu sangat bangga denganmu, ternyata memang kamu setampan ini Rexton."
"Terim kasih pujiannya, Pak."
"Sering-sering datang ke pertemuan, biar bisa kenal gadis-gadis cantik. Ada Fania, dan beberapa lagi lainnya."
Fania tersipu malu saat namanya disebut. Mencuri pandang ke arah Rexton yang bicara serius dengan Wakil Menteri. Ia pun sangat kagum dan terkesan dengan Rexton. Demi bisa bertemu dengannya rela membujuk sang papa untuk mengundang Rexton secara khusus. Rasa senangnya sungguh tidak terbayang saat pemuda yang diharapkannya benar-benar muncul di sini.
Setelah Wakil Menteri kembali ke mejanya, acara ramah tamah dimulai. Para tamu mulai beranjak untuk berbincang satu lain, orchestra dimulai dan seorang penyanyi terkenal menghibur di panggung. Makanan mulai diedarkan oleh pelayan berseragam. Rexton mulai bosan, ingin cepat pulang ke kos. Dari ujung matanya ia melihat Fania terus menerus melemparkan senyum padanya.
"Fania itu beneran naksir kamu. Lihat, kemanapun pergi matanya ke kamu terus," bisik Rioan pada adiknya.
"Bosan sekali aku di sini," gumam Rexton.
"Sabar, tiga puluh menit lagi kamu bisa pulang." Barry menyela, menunjuk meja Wakil Menteri berada. "Begitu laki-laki tua itu pergi, kita bisa pulang."
Rexton ingin membantah tapi memilih untuk tetap diam dan menyesap minumannya. Menghindari alkohol karena tidak ingin mabuk. Ia berniat untuk beranjak ke toilet saat pandangannya tertuju pada pelayan berseragam. Mengucek matanya dan melotot seketika.
"Sial, kenapa ada Fiore di sini?"
Riona menatap adiknya bingung. "Ada siapa?"
"Fiore, Kaak. Teman sekampus, dia jadi pelayan di sini. Itu yang rambutnya dikuncir, cantik dan ramping. Sial, dia menuju ke sini, Kak. Tolong aku!" ucap Rexton panik. Menunduk ke bawah meja, hingga separuh tubuhnya tidak terlihat. Benar saja dugaannya, Fiore datang menawarkan cemilan.
"Nona, ada canape yang enak lezat sekali."
Riona bertukar pandang dengan suaminya, menahan senyum melihat tingkah Rexton. Menerima tisu dan satu buah canape dari Fiore lalu menggigitnya.
"Enak."
Fiore tersenyum. "Terima kasih."
Gadis itu hendak berlalu saat Riona menahan tangannya. "Maaf, mau tanya sesuatu."
Bola mata Fiore terbeliak, tidak biasanya bertemu tamu yang sangat ramah. "Silakan, Nona. Ada yang bisa saya bantu?"
Riona menatap Fiore lekat-lekat, menggaumi wajah cantik dengan bola mata bersinar indah. Pantas saja kalau Rexton suka, gadis di depannya memang cantik dan menggemaskan.
"Rambutmu lebat, pakai vitamin rambut apa?"
Untuk sesaat Fiore tercengang lalu menunduk malu. "Nggak pakai vitamin apa-apa, Nona. Hanya conditioner saja setelah keramas."
"Begitu rupanya. Oke, makasih."
Setelah Riona melepaskan cengkeramannya, Fiore berpamitan pergi. Riona menendang kaki Rexton.
"Udah pergi dia."
Rexton muncul dari bawah meja sambil menghela napas panjang. "Sial! Aku nggak bisa di sini lama-lama."
"Wakil Menteri belum pergi." Barry memperingatkan.
"Gimana kalau Fiore kemari lagi?"
"Aku rasa nggak, dia masih berkeliling membagikan canape. Ngomong-ngomong, gadis itu cantik dan pekerja keras. Aku suka dia."
Rexton mendesah, melirik sang kakak yang tersenyum. Ia juga ingin mengatakan pada Riona kalau dirinya juga suka dengan Fiore. Tapi sekarang ini otaknya justru sibuk berpikir bagaimana caranya keluar dari gedung ini tanpa ketahuan oleh Fiore.
"Rexton, ayo, kita dansa."
Fani datang ke meja mereka dan Rexton menghela napas panjang, merasa malam ini sedang sial.
.
.
Cerita ini tersedia di google playbook, Karyakarsa, dan sedang open PO.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top