Bab 19

"Siapa kalian? Kenapa mengepung kami?" teriak Ardan.

Si laki-laki bertato melotot lalu meludah ke tanah dengan tangan menunjuk ke arah Ardan. Ada belati runcing tergenggam di jemari. "Kami siapa? Bukan urusan lo. Cuma mau bilang, sebaiknya pergi kalau mau nggak pincang!"

Ardan bertukar pandang dengan teman-temannya, tentu saja semua ketakutan dikeroyok preman. Anehnya Rexton terlihat tenang, ia menduga ada yang tidak beres.

"Jangan bilang kalau preman ini suruhan lo!"

Rexton mengangguk. "Bukan suruhan tapi temen. Mereka temen-temen gue."

"Pantes aja, orang miskin kayak lo pasti temenan sama sampah."

"Anjing lo, ya!" Si preman bertato memaki. "Sedari tadi gue dah sabar-sabarin biar lo kabur. Malah mancing emosi gue!"

Ardan mengangkat dagu, menolak untuk mengalah dan pergi. "Emang bener yang gue bilang, kalau kalian semua sampah! Ingat, keluarga gue pengacara semua. Kalau sampai sedikit aja gue luka-luka, kalian tanggung akibatnya!"

Si Tato terbeliak, menoleh ke arah teman-temannya. "Woi, kita ngadepin pengacara. Takut nggak tuh?"

"Takut banget!"

"Takut sekali!"

"Ampe kencing di celana, saking takutnya gue!"

Para preman saling pandang lalu tertawa bersamaan. Membuat Ardan menjadi semakin marah. Ia menatap Rexton yang berdiri tenang dengan penuh kebencian. Tidak menyadari saat si tato mendekat.

"Jangankan keluarga pengacara, keluarga menteri juga bisa kita ilangin kalau mau. Kita gebuk rame-rame, injak-injak sampai tulang patah setelah itu mayat buang ke laut. Nggak masalah masuk penjara, tapi kalian hilang. Mau coba?"

Temna-teman Ardan mulai gentar. Mereka bersiap-siap pergi dan menarik ujung pakaian Ardan. Meskipun marah tapi pikiran Ardan masih waras. Ia mengepalkan tangan, bersungut-sungut pada Rexton sebelum pergi.

"Gue nggak akan tinggal diam setelah ini. Lihat aja pembalasan gue! Babi lo semua!"

Para preman bersorak saat Ardan dan teman-temannya bergegas pergi. Rexton menghampiri si tato, menjabat tangan dan mengucapkan terima kasih. Setelah semua orang bubar, Fiore yang kakinya mendadak lemah duduk di kursi dengan gemetar.

"Fiore, kamu nggak apa-apa?" tanya Rexton kuatir. Wajah Fiore sangat pucat.

Fiore menggeleng. "Aku nggak apa-apa, cuma takut aja. Ardan songong sekali, untung ada para preman itu. Ngomong-ngomong, gimana caranya kamu kenal mereka? Maksudku para preman itu?"

Rexton menyeringai dengan wajah menyiratkan rasa nakal. "Dari dulu udah kenal mereka. Kalau restoran sedang ada makanan sisa, sering aku bungkus untuk mereka. Bukan sisa makanan orang, tapi hidangan yang udah terlanjur dimasak."

"Iya, aku tahu maksudmu."

"Dari situ kami mulai akrab. Kadang-kadang kalau mereka lapar memang suka minta makanan atau rokok."

"Pantas aja. Untung mereka datang, kalau nggak?"

"Nggak usah dipikir. Kamu belum makan'kan? Ayo, kita ke restoran mi. Lagi ada diskon."

"Perasaan diskon melulu?"

"Kenapa protes, yang penting perut kita kenyang. Bisa jalankan?"

"Bisalah!"

Rexton menggiring Fiore ke arah motor, dan berlalu diiringi tatapan para preman yang bersembunyi dalam bayang-bayang. Ada sekitar sepuluh orang, menatap motor Rexton yang menjauh.

"Kalau bukan Boss melarang, pingin gue hantam si sombong itu!"

"Si Boss lagi sama ceweknya. Nggak mu ribut-ribut."

"Ceweknya ganti ya?"

"Cakepan yang sekarang, baik lagi, kagak sombong. Suka ngasih roti sama pengamen."

"Hooh, dua-duanya baik. Gue beruntung punya boss yang baik. Ada apa-apa bisa bantu."

Si Tato mendengarkan percakapan anak buahnya dalam diam. Yang membuat Rexton disegani dan dihormati bukan karena lebih kuat atau lebih kaya tapi karena baik hati. Ia sendiri pernah ditolong saat istrinuya melahirkan dan Rexton memanggil ambulan bahkan membiayai persalinan. Seumur hidup utang budi sama Rexton dan siap membela kalau ada yang menyakiti.

"Si kampret itu satu kampus sama boss'kan?" tanya Si Tato pada anak buahnya.

"Hooh, Bang."

"Kalau ada waktu, kerjai dia. Ingat, jangan terlalu kentara."

"Siaap, Bang! Laksanakan!"

**

Mereka makan di meja sudut dekat jendela. Restoran masih ada pengunjung meskipun sudah malam. Rexton memesan mi daging yang dimasak pakai rempah-rempat, yang disajikan dengan sayur pokcay dan bihun. Fiore menambahkan chili oil dan menyesap kuah dengan nikmat.

"Enaknya, dari tadi aku lapar." Fiore makan dengan lahap, tidak peduli dengan Rexton yang menatapnya sambil tersenyum. "Udah pingin pulang, Ardan malah ganggu aja."

Rexton yang sudah kenyang memilih cemilan untuknya, berupa lumpia ayam dengan saos kacang. "Aku baru mau tanya soal itu. Ngapain dia cari kamu?"

Fiore menggeleng. "Nggak tahu. Mendadak muncul, ngoceh panjang lebar soal pingin obrol apalah. Bikin aku kesal aja."

Mengamati Fiore yang makan dengan lahap, benak Rexton bertanya-tanya tentang Ardan. Situasi yang terjadi sedikit aneh menurutnya, karena Ardan mendadak mendekati Fiore. Ia yakin ada sesuatu yang diinginkan laki-laki itu dari Fiore.

"Kamu tahu kalau dia pacarnya Anne?" tanya Fiore tiba-tiba.

Rexton menaikkan sebelah alis. "Kamu lupa aku memergoki Anne di apartemennya."

"Astaga, aku lupa. Maafin karena jadi nenek-nenek pelupa. Jujur aku takut banget kamu marah dan ngamuk sama Ardan."

"Aku ngamuk sama dia? Kenapa?"

"Karena ngerebut Anne, apalagi?"

Rexton terdiam sesaat lalu menghela napas sambil menggeleng. "Fiore, masalah Anne udah berlalu berbulan-bulan lalu. Aku aja udah lupa, kenapa kamu masih ingat?"

"Eh, emangnya nggak sakit hati?"

"Sakit hati juga udah berlalu. Ngapain juga aku pelihara sakit hati lama-lama? Nggak bisa move on ntar."

"Benar juga. Kalau Anne bisa moe on, masa kamu nggak bisa?"

"Nah itu tahu. Lain kali kalau Ardan menganggumu lagi, panggil siapa saja orang yang ada di minimarket. Preman, tukang ngamen, atau siapa pun itu. Biar mengusir Ardan pergi."

"Harusnya dia nggak berani datang lagi."

"Aku harao juga gitu. Cowok bebal, entah apa yang dia mau dari kamu. Lebih baik kalau kita jauh-jauh dari dia dan juga Anne."

Fiore mengangguk, senang mendengar pernyataan Rexton. Ia memang sempat kuatir kalau Rexton belum bisa melupakan Anne karena itu ingin bertengkar dengan Ardan. Tapi rupanya kekuatirannya tidak beralasan. Ia menandaskan sisa mi dengan lahap, dilanjutkan dengan makan es serut spesial buatan koki. Es serut yang dihias indah warna merah muda dengan toping irisan mangga dan strawnberry yang lezat.

"Kokinya baik ya? Kalau kita datang udah dikasih diskon, dibuatin makanan enak juga."

"Aku orang dalam, kamu lupa?"

"Nggak, sih, senang aja punya teman kayak kamu."

"Hanya teman?" celetuk Rexton spontan.

Fiore menatapnya, untuk sesaat tercengan sampai akhirnya tersadar dengan notifikasi yang masuk ke ponselnya. Fiore membuka email dan terbelalak senang.

"Rexton, aku diterima magang di Genaro Group. Aku diterimaa!"

Rexton mengulurkan tangan untuk menjabat Fiore. Saat lengannya digenggam, ia meraih bahu Fiore dan memeluk hangat. Mengusap-usap punggung dengan lembut.

"Selamat, ya, Fiore. Kamu memang hebat."

Fiore mengerjap, terkejut dengan pelukan Rexton yang mendadak. Ia mengepalkan tangan, sampai akhirnya memberanikan diri membalas pelukan Rexton. Tidak peduli pada pengunjung lain yang melihat atau pun para pelayan yang terkikik. Jeritan anak kecil yang melengking menyadarkan keduanya.

"Patut kita rayakan, keberhasilanmu ini."

Fiore tertawa malu-malu. "Ini udah merayakan. Kita makan bersama."

"Nggak, harusnya lebih spesial lagi."

Rexton berpamitan ke toilet, dan kembali beberapa menit kemudian. Meminta Fiore menghabiskan es serutnya. Tak lama koki datang membawa tumpeng buah. Potongan beragam macam buah yang dibuat beragam tumpeng yang lucu.

"Selamat untuk Fiore!" Tulisan yang tertera di dasar tumpeng, dibuat dari irisan buah juga membuat Fiore terperanjat senang.

"Ya ampun, lucunyaa. Terima kasih untuk semua orang." Dalam keadaan gembira, Fiore meraih jemari Rexton dan mengecupnya. "Terima kasih, ini pasti idemu."

Rexton kehabisan kata, bukan karena ucapan terima kasih Fiore yang membuatnya terharu melainkan kecupan di tangannya. Ia yakin Fiore tidak sadar melakukannya karena terlampau senang. Tidak keberatan dengan kemesraan yang diterimanya, Rexton menahan diri untuk tidak merengkuh Fiore dan menciumnya. Bibir yang merah, mata yang berbinar bahagia, serta senyum yang lebar dan tidak dibuat-buat, Rexton menyadari terpesona dengan gadis di depannya. Sedikit menyesal saat jemarinya dilepas.

"Kamu baik banget, Rexton. Jadi orang yang selalu merayakan apa pun dalam hidupku. Kelak aku juga akan merayakan harimu."

"Janji?"

"Janji apa?"

"Kamu akan selalu merayakan hariku, apa pun itu."

Fiore mengulurkan kelingkingnya. "Tentu saja, aku janji sama kamu."

Kelingking mereka bertaut layaknya anak kecil membuat janji. Demi Fiore, tertawa ceria, mulai makan satu per satu tumpeng buah yang dibuat khusus untuknya. Malam itu tanpa sepengetahuan Fiore, Rexton menberikan bonus untuk koki dan pelayan yang lain. Setelah itu membawa Fiore berkeliling kota dengan motor, menikmati angin malam yang sejuk.

"Kamu lebih suka naik motor atau mobil?" tanya Rexton di sela-sela laju kendaraan.

"Aku mah naik apa saja oke, yang penting ada kamu yang antar jadi nggak capek-capek lagi."

"Motor kehujanan tapi cepat, mobil aman dari hujan dan panas tapi lambat karena macet."

"Rexton, naik sepeda atau angkutan umum pun aku nggak masalah. Ayo, ngebuut!"

Keduanya tertawa membelah malam, saat lengan Fiore melingkari pinggangnya, dengna lembut Rexton meremasnya. Perasaan tentram dan bahagia seperti ini hanya dirasakan saat bersama Fiore. Rexto tidak pernah merasakan hal yang sama kala bersama Anne.
.
.
Versi online tersedia di google playbook

Sedang open PO untuk versi cetak

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top