Bab 17

Selagi menunggu panggilan dari Genaro Group, Fiore masih tetap bekerja di minimarket seperti biasa. Kebetulan pihak toko belum menemukan pegawai pengganti. Fiore dengan senang hati bekerja untuk menambah pemasukan. Lagipula ia bukan jenis orang yang suka berleha-leha di rumah, memikirkan biaya hidup yang melambung tinggi, menganggur hanya akan menambah bebannya.

Sekarang ini ia terbantu dengan biaya kontrakan yang gratis, urusan makan juga sering mendapatkannya dari Rexton. Pemuda itu hampir setiap hari membawakan makan untuknya.

"Dapat dua porsi makanan tambahan, katanya bonus."

Lain hari alasannya berbeda.

"Manajer bilang sesekali bawa makanan buat keluarga. Biar bisa ngerasin makanan enak."

Makanan yang dibawa pun tidak pernah sama, sesekali nasi, mie, roti, dan banyak lagi. Sampai-sampai Fiore curiga kalau Rexton membeli dengan uang sendiri tapi kecurigaannya ditepis dengan tenang.

"Gajiku nggak seberapa, belum lagi buat bayar uang kuliah, bayar ini dan itu, mana cukup buat beliin kamu makan?"

Penjelasan masuk akal kalau semisalnya yang mengatakan adalah orang biasa. Berbeda dengan Rexton yang dalam satu hari bisa berpindah tiga restoran untuk bekerja. Fiore curiga kalau semua makanan dibayar tapi tidak ingin melukai hati Rexton. Makan dengan lahap, menerima apa pun yang diberikan, dan tidak lagi banyak bertanya.

"Menurutmu aku diterima nggak, ya?" tanya Fiore saat pulang dari interview dan bertemu Rexton di luar gedung. Pemuda itu mengatakan sedang mengantar makanan dan memang ada box di motornya. "Kamu jauh amat kerjanya? Dari restoran kemari lumayan jaraknya."

Rexton menunjuk motornya. "Naik, aku antar pulang. Nggak apa-apa kalau jauh asalkan tipsnya lumayan. Lagipula yang bayar ongkos kirim pembeli juga."

Melaju di jalanan yang ramai, Fiore memakai helm dan memeluk punggung Rexton yang kokoh. Menyukai parfum yang dipakainya, harum citrusi yang segar dan nyaman di hidung. Seorang pengantar makanan yang selalu rapi dan wangi itu adalah Rexton. Saat berhenti di lampu merah, Rexton menoleh tiba-tiba. Wajahnya nyaris menyentuh Fiore yang bersandar di bahu. Terlalu dekat hingga seperti ingin berciuman. Fiore tersenyum dan mundur dengan dada berdebar keras.

"Kamu pasti diterima, tunggu saja dengan tenang. Kalau pun nggak diterima masih banyak perusahaan lain. Tenang saja, koneksiku banyak dan luas." Rexton berujar untuk menenangkan Fiore yang kuatir.

"Semua kandidat mempunyai potensi masing-masing, selain itu juga dari universitas ternama."

"Kampus kita juga bergengsi, Fiore."

"Memang, tapi aku nggak ada orang dalam seperti mereka."

"Justru kalau kamu terpilih tanpa orang dalam bukankah membanggakan?" Selesai berujar seperti itu, Rexton menghela napas panjang. Teringat akan dirinya menekan Sutoko dan Barry agar Fiore diterima sebagai pegawai magang. Ia mengenal keluarga dan koneksi beberapa kandidat lain. Tidak ingin ikut campur karena itu wewenang Sutoko. Tapi Fiore harus diterima, itu adalah perintah dan bukan permintaan. "Kamu masih kuliah juga karena beasiswa. Berarti kamu pintar dibandingkan yang lain. Jangan patah semangat."

"Entah kenapa kata-katamu terdengar sangat menenangkan." Fiore menjawab setengah melamun. Mengerjap ke arah jalanan yang berdebu dengan kendaraan yang lalu lalang.

"Fiore, memang begitu kenyataannya. Kamu pintar dan keren!"

Suara dan pujian Rexton berlomba dengan deru kendaraan. Meski begitu Fiore bisa mendengar dengan jelas pujian itu.

"Waah, aku tersanjung sampai lupa nginjak tanah."

"Kami nginjak motor emang."

Keduanya tertawa bersamaan, menembus udara yang panas tanpa hujan. Fiore tidak akan menolak kalau dibawa mutar seharian meskipun panas asalkan bersama Rexton. Rasa cintanya memang sereceh ini.

"Ada bagusnya juga punya teman orang dalam."

"Aku ini hits dan banyak orang sayang makanya suka ngasih informasi."

"Kok kedengarannya kayak geer, ya?"

"Aku rajanya geer emang."

Fiore tergelak, mencubit pinggang Rexton yang meringis. Motor kembali melaju di jalanan yang ramai. Sekarang ini hubungan mereka bisa dikatakan lebih dekat dari teman, tapi tidak lebih dari pacar. Tidak ada yang berani bergerak lebih dulu karena keduanya saling menunggu. Justru dengan hubungan seperti sekarang bebas untuk bersikap dan berpendapat tanpa takut saling menykiti. Fiore menyukai Rexton dan ingin menyimpan rasa itu dalam-dalam. Mengutarakan kalau waktunya tepat tapi tidak sekarang.

Rexton bukan hanya jadi sahabat tapi juga pendengar yang baik. Mereka sering duduk di teras kos, makan cemilan, dan bercerita tentang apa yang terjadi hari ini. Beberapa teman kos terkadang ikut nimbrung, mereka seperti membentuk satu perkumpulan besar dan menyenangkan. Entah dari mana asal mulanya para penghuni kos menganggap mereka berpasangan. Baik Fiore maupun Rexton tidak ada yang ingin menjelaskan, membiarkan orang-orang berpikir semaunya.

"Gue seneng punya tetangga macam Fiore yang pinter masak. Tiap malam ada aja cemilan buat kita. Kadang gue pulang larut perut kosong, ngetuk kamar Fiore pasti ada makanan."

"Gue juga gitu, Fiore emang penyelamat kita."

Sebenarnya Fiore juga tidak punya banyak uang untuk membuat makanan bagi mereka terus menerus. Rextonlah yang selalu menyediakan bahan kebutuhan dari minyak, beras, sampai sayur mayur. Fiore tidak pernah kelaparan sekarang dan membagi dengan penghuni lain.

"Kerja sambil melamun. Awas kesurupan."

Fiore berjengit, menoleh. Menatap pada Ardan yang berdiri tidak jauh darinya. Ia sedang menyusun barang-barang, mengelap rak, hingga tidak sadar ada orang di belakangnya.

"Kasir di depan." Menatap Ardan yang membawa beberapa botol minuman, Fiore mununjuk arah pintu.

Ardan tersenyum lebar. "Aku tahu di mana letak kasir. Memang mau ngajak kamu ngobrol aja."

"Aku lagi kerja, dilarang untuk mengobrol."

"Benar juga, Fiore memang pekerja yang baik. Gimana kalau selesai kerja kita ngobrol? Jam berapa kamu selesainya?"

Fiore tidak menjawab, hatinya justru dipenuh pertanyaan tentang sikap baik Ardan. Ada yang berbeda dengan pemuda di depannya. Kenapa mendadak bersikap ramah dengan senyum lebar? Pasti ada yang disembunyikan. Entah niat apa yang ada dalam pikirannya, Fiore tidak akan pernah terjebak.

"Aku lembur sampai besok," jawab Fiore berbohong. Jam kerjanya sebentar lagi selesai dan ia memang tidak ingin mengobrol dengan Ardan.

Ardan berdecak tidak percaya. "Mana ada orang kerja dua puluh empat jam. Fiore, jangan berbohong."

"Terserah apa katamu. Ardan, tolong minggir. Jangan menyulitkanku."

Beberapa pengunjung menatap Ardan dengan tatapan kesal karena menghalangi jalan. Ardan terpaksa menyingkir tapi tidak beranjak. Memandang Fiore yang masih sibuk menata barang-barang di rak. Ia memutar otak untuk membuat Fiore pergi dengannya. Gadis sederhana ini rupanya tidak mempan dengan pesonanya, terpakas harus mencari cara lain.

Ardan tidak akan menyerah untuk menarik perhatian Fiore. Ia memang sedang membantu Anne balas dendam. Namun di lain pihak juga ingin membuktikan kebenaran gosip yang beredar kalau Fiore juga naksir padanya. Ia banyak bertemu para cewek yang naksir dan sikap mereka terlihat jelas seperti ingin mencari perhatian. Bicara dengan nada manja dan sikap genit. Entah kenapa Fiore justru berbeda. Terlihat acuh tak acuh padanya. Apakah benar kabar soal naksir itu? Ardan bertanya-tanya dalam hati.

"Fiore, aku nggak akan menyulitkanmu kalau kamu janji mau ngobrol sama aku."

Fiore mendesah. Tidak mengerti apa yang diinginkan Ardan darinya.,

"Kita udah ngobrol dari tadi. Kamu menghalangi jalan dan bikin pengunjung kesal. Ardan, jangan membuatku kesulitan."

"Memangnya kalau kamu kesulitan kenapa? Takut dipecat? Jangan kuatir soal itu. Kalau dipecatk aku punya banyak kenalan yang beberapa di antaranya punya minimarket. Gampang aja kalau mau cari kerjaan baru. Kamu tahu aku siapa bukan?"

"Bukan itu maksudku."

"Lalu apa maksudmu? Dari tadi kamu nolak aku, sampai-sampai aku bingung harus gimana."

"Kamu nggak harus gimana-gimana, aku nggak minta apa pun dari kamu. Cuma pingin kamu keluar sekarang, aku lagi kerja."

"Janji dulu kamu mau ngobrol sama aku selesai kerja."

"Udah aku bilang aku lembur."

"Tapi pasti ada istirahatnya. Nggak mungkin nggak ada'kan?"

Fiore menahan kesal di dada karena sikap Ardan yang memaksa. Ia sampai kehabisan kata untuk menyingkirkan pemuda ini dari hadapannya. Semoga manajer toko tidak mengecek CCTV, kalau tidak pasti dirinya kena masalah. Di ujung lorong ada beberapa cewek datang. Membawa keranjang di tangan, memilih makanan sambil tertawa-tawa dengan pandangan tertuju pada Ardan. Fiore menebak para cewek itu adalah fans Ardan karena terlihat sangat tertarik menatap ke arahnya. Ia menyusun barang di rak terakhir, saat gadis-gadis itu mendekat.

"Ardan, tumben kamu di sini."

"Belanja!" jawab Ardan menunjuk minuman di tangan.

"Biasanya di minimarket kampus."

"Lagi pingin jalan aja. Kalian sudah selesai?"

"Sudah."

"Bisa nggak ke kasir dulu, jangan ngobrol di sini. Kalau mau kita ngobrol di depan." Ardan mengedipkan sebelah mata dan cewek-cewek itu mengangguk dengan wajah memerah. Meninggalkan lorong sambil berbisik satu sama lain.

Fiore hanya tercengang dengan kemampuan Ardan merayu. Dalam sekejap lorong yang berisik menjadi sunyi.

"Fiore, nggak ada lagi yang ganggu kita. Gimana? Kita lanjutkan ngobrolnya? Kapan kamu selesai kerja?"

"Ardan, tolonglah."

"Tolong apa? Selamatin hati kamu dari gelombang kasmaran?" Ardan menyandarkan tubuh pada rak di depan Fiore. Mengamati wajah cantik tanpa riasan dengan rambut dikuncir sederhana. Dilihat dari dekat, Fiore malah terlihat makin cantik. "Fiore, aku siap menerjang ombak itu sama kamu."

"Fiore, sedang apa di sini?"

Fiore dan Ardan menoleh bersamaan ke arah datangnya suara. Rexton berdiri dengan helm di tangan.

"Waktunya pulang," ucapnya melanjutkan sambil menunjuk helm. "Ayo!"
.
.
.
Di Karyakarsa sudah ending.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top