Bab 16
Fiore menunggu dengan dada berdebar keras, panggilan untuk magang di Genaro Group. Pertama kalinya ia akan bekerja di kantor, mencoba keberuntungan selain di supermarket. Seandainya diterima, pasti akan sangat menyenangkan dan membahagiakan. Informasi didapat dari Rexton soal lowongan ini. Ia sempat bertanya pada pemuda itu, kenapa tidak mendaftar untuk diri sendiri, jawaban Rexton sedikit tidak masuk akal untuknya.
"Karena aku merasa di sana bukan bidangku. Lebih suka kerja keliling di lapangan."
Di dunia ini hanya sedikit orang yang tidak ingin bekerja di kantor besar, salah satunya adalah Rexton. Fiore tidak bertanya lebih lanjut, memilih untuk menghormati pilihan masing-masing. Rexton punya kepribadian unik dan suka kebebasan, bisa jadi bekerja di kantor membuatnya tertekan.
Fiore melirik beberapa kandidat magang yang sedang menunggu panggilan intervew. Semuanya sekitar tiga puluh orang dengan jumlah laki-laki lebih sedikit dibandingkan perempuan. Fiore tidak berani menyapa dan bertanya lebih dulu melihat bagaimana modis dan kerennya pada kandidat. Ia sempat mendengar kasak-kusuk kalau rata-rata para kandidat berasal dari kampus ternama, tiga orang dari kampus yang sama dengannya tapi tidak saling mengenal satu sama lain. Fiore menduga mereka adalah kakak tingkatnya. Percakapan lirih tiga orang di sampingnya membuatnya ingin tahu dan menajamkan pendengaran untuk mencari informasi yang diharapkan berguna.
"Gue kenal dua orang di sini, satu si baju merah. Cewek gatel, anak pehabat eselon satu di balai kota. Semoga dia nggak diterima karena ngandelin koneksi orang dalam."
Pandangan Fiore seketika tertuju pada perempuan muda berbaju merah yang duduk dua deret di hadapannya. Cantik dengan wajah bulat dan kulit putih. Pandangannya mengisyaratkan kalau dirinya orang penting.
"Satu lagi cowok di pojokan, pakai kemeja biru. Si paling tampan, menurut dia sih. Mantan model kelas teri yang menganggap diri hebat. Semoga gue keterima biar bisa ngalahin mereka."
Kali ini Fiore mengamati cowok di sudut ruang. Tinggi, berambut kecoklatan, dan memang tampan menggemaskan. Berbeda dengan Reton yang punya wajah tampan layaknya laki-laki, si model lebih terlihat cantik. Seakan mengerti kalau sedang diperhatikan, si model mengarahkan tatapan pada Fiore. Kepergok menatap terlalu lama, Fiore mengalihkan pandangan pada sepatu orang-orang yang bergosip di sampingnya. Yang baru saja memberi informasi adalah cowok dengan rambut tersisir rapi ke belakang. Rupanya di sini saling mengenal, sebuah informasi yang baru saja diketahui dan membuat gugup.
"Eh, lo dapat info magang dari siapa?"
Fiore kaget saat si cowok penggosip mendadak bertanya padanya. Ia tersenyum kaku. "Dari temen."
Si cowok menaikkan sebelah alis. "Temen? Dia kerja di sini?"
Fiore menggeleng. "Bukan, temen gue kerja di restoran dan salah satu pelanggang bilang ada lowongan magang di sini."
"Oh, temen lo pelayan? Kirain mah orang penting gitu." Tatapan tidak percaya bercampur sedikit penghinaan terlontar dari mata mereka ke arah Fiore. "Jangan nangis kalau nggak kepilih karena rata-rata punya koneksi orang dalam."
Tanpa perlu diingatkan Fiore mengerti cara menempatkan diri. Ia tetap akan mencoba meskipun rasa optimisnya melesak ke dalam bumi. Seandainya tidak terpilih pun, paling tidak punya pengalaman intervew di kantor besar. Tiga orang penggosip menggeser duduk mereka dan kini tatapan tertuju pada Fiore. Apakah dianggap aneh karena tidak punya orang dalam? Fiore tidak mengerti.
Semua orang menegakkan tubuh saat pintu ruang intervew dibuka. Para pelamar mulai dipanggil satu per satu dan Fiore mendapat nomor dua puluh dari tiga puluhan orang peserta.
"Belum mulai intervewnya?"
Pesan dari Rexton muncul. Fiore menjawab sambil tersenyum berseri-seri.
"Belum, baru nomor lima."
"Kamu nomor berapa?"
"Dua puluh."
"Oh, masih lama."
"Makanya ajakin aku ngobrol. Kalau nggak aku bisa stress."
"Kenapa stress? Santai aja."
"Tadi dengar cerita katanya pada punya koneksi. Pasti nanti yang kepilih yang punya orang dalam."
"Fiore, kamu punya orang dalam. Kamu lupa?"
"Hah, siapa?"
"Akulah. Kalau lagi antar makanan ke sana, aku masuk ke dalam kantor. Namanya orang dalam juga'kan?"
Entah apa yang membuat Fiore tertawa, padahal candaan Rexton sangat garing dan sama sekali tidak ada komedinya. Setidaknya bisa membantunya mengurangi stress karena menunggu.
"Nggak usah mikir orang dalam atau koneksi. Kamu tetap jadi diri sendiri dan jujur saja. Kalau HRD, suka, mau kamu ada orang dalam atau nggak, ya nggak ada masalah. Semangat, Fiore!"
"Yes, aku semangat. Eh satu orang lagi giliranku. Doakan aku lolos, ya? Nanti aku traktir makan sebagai tanda terima kasih."
"Ahsiaap!"
"Keluarga Halilitar?"
"Hooh, panutan!"
Lagi-lagi Fiore tertawa lirih. Setelah itu mematikan ponsel dan memasukkan ke dalam tas. Ia tidak akan membiarkan dirinya diganggu dering ponsel saat intervew. Karena ini menyangkut masa depan dan juga hidup matinya. Tidak berlebihan kalau mengatakanb demikian, karena kalau diterima magang di sini otomatis pengalamannya bertambah. Dengan begitu di masa depan akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan yang bagus dengan gaji yang tinggi. Cita-citanya adalah membawa adiknya keluar dari rusun kumuh itu.
Fiore bangkit dengan gugup saat namanya dipanggil. Tiba di ruangan berpendingin, ada tiga orang di hadapannya. Dua laki-laki dan satu perempuan menghadap meja panjang. Ketiganya menatap bersamaan saat dirinya memberi salam. Dilanjutkan dengan sisi tanya jawab dan Fiore berusaha menjawab sebaik mungkin. Sisanya diserahkan pada Tuhan dan tim HRD yang akan menentukan nasibnya.
"Pemberitahuaan akan kami kirimkan via email, dua puluh empat jam dari sekarang."
Kata-kata penutup dari mereka diberi anggukan terima kasih oleh Fiore. Ia keluar dari ruang HRD dengan kaki gemetar serta tubuh berpeluh karena terlalu tegang.
**
Jarang sekali Rexton datang ke kantor bila tidak dipanggil. Sore ingin sengaja datang menemui Sutoko hanya untuk bertanya bagaimana intervew Fiore.
"Secara garis besar, Fiore punya kemampuan mendesign yang bagus di antara kanditat lain."
Rexton mengangguk cepat. "Nah'aku bilang juga apa."
"Tapi, ada satu hal yang kurang darinya, Tuan."
"Apa?"
"Percaya diri, dan jawaban yang keluar dari bibirnya terlalu bermain aman."
Rexton mendesah, menyandarkan kepala di sandara sofa. Menatap Sutoko yang berdiri di balik meja. Tanpa perlu diberitahu Rexton pun paham tentang masalah Fiore yang ini. Bisa jadi lingkungan, asal usul, serta kepribadiannya yang membuat gadis itu seolah tidak punya rasa percay diri. Padahal Fiore berotak encer, dan penuh dengan ide-ide kreatif. Sepertinya memang harus dibimbing agar Fiore bisa mengembangkan diri.
"Tuan Muda berniat untuk bekerja di sini kalau Fiore diterima?"
"Belum saatnya, kamu tahu bukan kalau proyekku belum selesai, Pak?"
"Bisa dikerjakan di sini, Tuan."
"Hasilnya tidak akan memuaskan kalau tidak terjun secara langsung. Kalau di divisimu Fiore tidak bisa diterima karena tidak memenuhi syarat, taruh dia di divisi Kak Barry saja."
Sutoko mengulum senyum menatap anak majikannya. Sebagai orang yang sudah lama berkecimpung di dunia bisnis dan ikut membangun Genaro Group, ia mengerti arti perintah Rexton. Fiore harus masuk Genaro Group, entah di sini atau Divisi lain, dalam arti kata tidak boleh ditolak. Sutoko mau tidak mau menggumi gadis bernama Fiore. Secara tampilan sangat sederhana, tapi mampu mengambil hati sang tuan muda. Rupanya memang benar pepatah yang mengatakan tidak boleh menilai seseorang dari luar saja.
"Tuan Muda tidak usah kuatir, Fiore akan berada di bawah bimbingan saya."
Rexton mengacungkan dua jempol. "Nah'itu baru namanya teman. Makasih, Pak."
Memakai kaos putih dan celana denim yang sudah pudar warnanya, beralaskan kaki sandal selop biasa, Rexton keluar dari ruangan Sutoko. Di perusahaan ini jarang orang yang mengenalinya. Rata-rata mereka lebih tahu Martin, Edy. Atau Barry sebagai pewaris muda Genaro. Banyak desas-desus yang mengatakan kalau calon pewaris paling muda adalah seorang pemberontak dan suka foya-foya. Rexton belum masuk kantor tapi namanya sudah buruk.
Tidak ada orang yang menyapa atau bersikap sopan saat Rexton menyusuri ruang pegawai. Mereka beranggap dirinya hanya pegawai biasa. Meskipun dikagumi karena berwajah tampan dengan postur tinggi, tapi banyak yang mencibir pekerjaannya. Rexton berharap cepat keluar dari gedung untuk bertemu Fiore. Di depan lift namanya dipanggil seseorang.
"Kamu datang nggak mau mampir ke kantorku?"
Rexton mengenali suara itu. Membalikkan tubuh untuk menatap Barry yang berdiri dengan seorang asisten. Barry hendak memanggil nama adik iparnya tapi terputus oleh Rexton yang mendadak membungkuk.
"Pak Barry, maaf saya baru saja mengantar makanan ke ruangan Pak Sutoko."
Rexton terpaksa melakukan sandiwara karena ada banyak pegawai mengantri lift. Begitu namanya disebut, orang-orang ini akan tahu identitasnya. Untungnya Barry memahami sandiwaranya, melambai untuk meminta Rexton mendekat.
"Sini, ambil wadah kosong dan uang di kantorku."
Rexton mengangguk sopan. "Baik, Pak. Terima kasih pengertiannya."
Diiringi oleh tatapan penuh tanya dari para pegawai, Rexton menjajari langkah Barry menuju kantor laki-laki itu.
"Orang-orang pasti bingung kenapa ada kurir makanan datang ke kantor manajer," bisik Rexton pada kakaknya iparnya.
"Biarkan saja mereka bingung. Dari pada aku yang kebingungan harus menjlaskan pada istriku kenapa adiknya datang tapi nggak ngajak aku ngobrol."
"Dasar suami takut istri!"
"Namanya juga cinta. Seenggaknya Riona setia. Dari pada kamu? Baru pacaran udah diselingkuhi."
"Nyindir?"
"Kagak, cuma ngasih tahu. Makanya lain kali kenalan pakai nama lengkap. Rexton Genaro. Biar cewek itu siapa kamu."
"Nggak minat!"
Rexton tidak lagi ingin mengingat Anne. Tidak lagi fokus pada cewek itu. Lebih baik bekerja dan membantu Fiore, lebih menyenangkan menjalani hidup setelah putus dari Anne. Lagi pula kalau Anne kembali padanya karena nama keluarga, lebih baik berpacaran dengan cewek yang mau terima ia apa adanya. Bayangan Fiore muncul dan tanpa sadar Rexton tersenyum.
"Kemarin di kantor sebelah ada orang kesurupan."
Kata-kata Barry saat menutup pintu membuat Rexton mengernyit. "Hari gini masih percaya takhayul."
"Kamu tahu nggak tanda-tanda orang kesurupan? Persis kayak kamu sekarang. Pandanga menerawang dan senyum-senyum nggak jelas. Lagi jatuh cinta?"
Rexton hanya mendengkus, menolak untuk menjawab pertanyaan kakak iparnya. Apakah ia jatuh cinta atau bukan, itu urusan pribadinya.
"Ngomong-ngomong, Fiore mau ditempatkan di mana? Divisiku, Pak Sutoko, atau di hatimu?"
Rexton menahan diri untuk tidak memukul kakak iparnya saat terdengar ejekan dilanjutkan tawa keras. Rupanya tidak ada yang bisa ia rahasiakan dari mereka. Ia yakin setelah ini kakaknya pun akan tahu masalah Fiore.
.
.
Di Karyakarsa sebentar lagi ending.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top