Bab 15
"Lo ngomong apaan?" sergah Fiore panas. Makian Anne membuatnya terhina. "Siapa yang jadi pager? Siapa yang tanaman? Nggak ngaca lo?"
Anne berkacak pinggang, mengibaskan rambut lebatnya ke belakang dan meludah ke arah Fiore. "Cuih, jelas lo yang pagar. Cewek nggak tahu diri, bisa-bisanya ngedeketin cowok gue!"
"Mantan!" sela Rexton dengan tenang. Melemparkan piring dan garpu plastik ke dalam tempat sampah lalu berdiri di samping Fiore. "Kita semua tahu, sebelum aku kenal kamu, lebih dulu kenal sama Fiore. Jadi yang kamu bilang itu nggak benar. Lagipula, aku bukan tanaman yang harus dijaga dan Fiore juga bukan pagar. Pergilah, jangan bikin masalah."
Pembelaan Rexton membuat Anne meradang. Menunjuk ke arah Fiore dengan wajah memerah karena kesal bercampur dengan panas yang membakar kulit. Ia sudah berusaha untuk menjadi yang terbaik dan dikalahkan begitu saja oleh Fiore. Siapa sangka standnya sampai jam segini menjadi salah satu yang masih tersisa. Sedangkan stand Fiore justru sudah rapi dan bersiap pulang. Ia dan teman-temannya sengaja memilih makanan viral dan kekinian untuk menarik minat pembeli tapi hasilnya justru di luar dugaan. Kalah oleh makanan kampung yang sederhana. Sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal pikiran Anne. Ditambah Rexton datang untuk mendukung saingannya, hati Anne membara oleh marah dan dendam.
"Aku bikin masalah? Yang benar aja? Kamu harus tahu Rexton, kalau Fiore ini rubah berbulu domba. Berpura-pura lugu untuk menarik simpati tapi yang sebenarnya adalah dia itu ular berbisa. Diam-diam menyelinap ke kamar dan mematukmu. Dia itu cewek beracun!"
"Lo ngomong apaan, sih?" Fiore mendesah, menatap bingung pada Anne yang mengamuk. "Datang ke stand orang buat ngamuk-ngamuk. Mending lo urus stand sendiri, belum habis makanan kalian'kan? Ingat, harus tetap perjanjian kalian?"
Anne berkacak pinggang, mengangkat dagu. "Perjanjian apaan?Siapa yang ngomong?"
"Kalianlah, waktu datang ke kelas dan ngomong, kalau kami bisa ngalahin kalian. Selama sebulan kalian harus traktir makan siang untuk kelompok kami. Jangan lupa itu?"
"Nggak sudi!"
"Oh, mau ingkar? Coba aja kalau berani. Gue akan sebar rekaman soal janji itu. Lihat gimana malunya kalian ntar."
Anne menghentakkan kaki ke tanah. "Berani kalian menyebar rekaman tanpa ijin? Rexton, kamu lihat sendiri bukan kalau cewek ini beneran ular?"
Rexton mengangkat bahu. "Aku nggak ikut campur masalah janji tapi yang dibilang Fiore benar, kamu sudah kalah. Janji harus ditepati."
"Rexton! Kenapa kamu buta sama cewek itu? Dia cuma pura-pura baik sama kamu?"
"Memangnya kamu nggak?" sela Rexton pelan. "Awalnya juga kamu baik, Anne."
Anne menggigit bibir, ingin meraih lengan Rextoin tapi ditepiskan dengan kuat. "Rexton, aku memang salah. Aku minta maaf. Aku tahu kamu masih sayang sama aku, makanya kamu marah. Kasih aku kesempatan sekali lagi buat memperbaiki keadaan."
"Keadaan apa yang mau diperbaiki?"
"Semuanya, aku rela melakukan apa pun demi kamu. Rexton, tolonglah. Maafkan aku. Untuk kamu tahu, aku sudah putus dari Ardan."
Fiore menatap sepasang mantan kekasih yang sedang bicara lirih di depannya. Kemarahan Anne mereda dan bentakan berubah menjadi kata-kata lembut. Rexton sendiri terlihat masih menyimpan perasaan pada Anne, tatapan matanya yang lekat dan intens pada lawan bicaranya adalah bukti. Fiore merasa menjadi penggangu, dan bersiap untuk pergi saat Rexton tanpa disangka merangkul bahunya.
"Fiore, kalau dah selesai kita pulang. Katanya ngantuk?"
Fiore mengangguk bingung. "Iya, mau pulang sekarang."
"Pamitan dulu sama temanmu yang lain."
"Rexton! Aku belum selesai bicara!"
Rexton mengabaikan teriakan Anne, menggandeng Fiore untuk berpamitan setelah itu berjalan cepat menuju parkiran motor. Anne memejam, mengepalkan tangan di samping tubuh. Ia tidak akan membiarkan Fiore merebut apa yang menjadi miliknya begitu saja Ia tidak akan menyerah begitu saja pada gadis kampung itu.
Selesai bazar, Anne menuju apartemen yang sudah dikenalnya. Sebelumnya ia sudah berdandan dan mempercantik diri. Penjaga apartemen mengenalinya dan membiarkannya masuk tanpa pertanyaan. Anne berdiri di depan uni Ardan, memencet bel hingga pintu terbuka. Ardan hanya memakai celana pendek dan sepertinya sedang tidur siang.
"Ganggu orang tidur aja. Ada apa kamu kemari?"
Anne menyingkirkan lengan Ardan yang menutupi pintu dan menyelonong masuk. Menghirup udara apartemen yang beraroma bunga. Tempat tinggal orang kaya memang selalu wangi, itu yang membuatnya suka.
"Anne, cepat bilang mau apa kamu?"
Membalikkan tubuh, Anne mengulum senyum. Mendekati Ardan dan tanpa malu-malu meraba selangkangan Ardan.
"Nggak pakai celana dalam dan lagi tegang, wow banget, Ardan. Pasti titidmu gede banget sekarang."
"Fuck!"
Anne tahu kalau Ardan tidak bisa menolak sentuhannya. Dengan berani ia merogoh ke arah celana Ardan untuk meremas kejantanan yang menegang. Tersenyum saat melihat Ardan memejam dan menikmati sentuhannya.
"Aku datang untuk minta maaf, nggak tahan kalau mau marahan sama kamu lama-lama. Sayang, maafin aku, ya?"
Ardan menghela napas panjang, mengernyit karena nikmat dari jari Anne yang memijat kemaluannya. Ia mengulurkan tangan ke arah dada Anne, membuka blus dan juga kait bra untuk meremas dada yang membusung.
"Kangen sama remasan gini?" bisiknya.
Anne menggigit bibir. "Kangen sama semuanya."
"Dasar cewek gatal. Emang nggak bisa jauh-jauh dari sex."
Ardan mendorong Anne ke sofa dan menindihnya. Melumat bibir yang merah dan ranum. Ia memang masih kesal dengan sikap Anne yang menurutnya kampungan, tapi tidak bisa menolak kemesraan yang disodorkan. Laki-laki manapun tidak akan tahan kalau ada dada yang membusung, puting yang menegang, dan paha yang terbuka lebar untuknya. Gadis yang selalu siap untuk bercinta dengannya tidak dapat ditolak. Mereka berciuman dengan panas dalam. Ardan melucuti pakaian Anne, mengecupi tubuhnya dari atas ke bawah dan setelah memastikkan kalau siap serta basah, menyatukan pinggul. Desahan panjang penuh kenikmatan terdengar di penjuru apartemen.
"Anne, harusnya kamu nggak bikin aku kesal. Kita bisa ena-ena tiap saat."
Anne menggigit bibir, menahan gairah. "Iyaa, aku janji nggak akan bikin kamu kesal lagi. Ah, yang cepat, Sayang."
"Aku suka saat kamu mode gatal begini."
Anne tidak peduli meski dimaki binal atau gatal. Datang kemari selain menyerahkan tubuh juga untuk hal lain. Saat ini hanya Ardan yang bisa membantunya untuk membalaskan sakit hatinya pada Fiore. Setelah bercinta dengan intens dan panas, keduanya tergeletak bersimbah peluh di sofa. Ardan tersenyum, mengecup bibir Anne.
"Enak rasanya, padahal kita nggak ngesex cuma beberapa Minggu."
Anna tersenyum, mengusap dada telanjang Ardan. "Bilang aja kamu kangen."
"Memangnya kamu nggak kangen?"
"Kangen banget. Di kampus kalau lihat kamu bawaan pingin nyamperin terus cium, tapi aku tahu nggak bisa sembarangan gitu."
"Tentu saja, kamu bakalan diusir satpam kalau nekat gitu."
Anne menggeleng, duduk di sofa dan meraih rokok di atas meja. Menyulut lalu mengisapnya. "Aku nggak takut sama satpam tapi lebih takut sama kasak-kusuk dan gosip. Kamu tahu kalau gosip di kampus cepat sekali nyebarnya. Entah benar atau salah, mereka nggak peduli. Gosip itu bikin aku takut!"
"Gosip apaan emangnya? Tentang kita?"
Anne mengangguk. "Di kampus pada bilang kalau kita ribut besar dan kamu mukul aku sampai berdarah-darah. Katanya mereka juga kamu bayar orang buat mukulin aku. Seram'kan gosipnya? Makanya aku takut dekat kamu biar nggak nambah masalah."
"Gosip sinting! Dari mana asalnya?" bentak Ardan marah.
Anne mendesah, mengarang cerita di otaknya. Ia harus berhasil mempengaruhi Ardan kali ini. "Kamu kenal Fiore, mantan sahabatku?"
Ardan mengangguk. "Iya, kenal sekilas. Dengar-dengar dia juga suka sama aku, makanya kalian rebutan."
Gosip itu membuat Anne kaget tapi berusaha menyembunyikan ketekejutan di dadanya. "Memang, Fiore itu di depan aja kesannya kayak gadis baik-baik padahal hatinya busuk. Pernah sekali dia lihat pipiku merah padahal jatuh, tapi dia mengira kamu memukulku. Entah apa yang membuatnya benci sama kamu, aku nggak ngerti. Bisa jadi dia sengaja buat narik perhatian kamu, Sayang."
"Masuk akal. Cewek itu emang kelihatan selalu menghindar kalau ketemu aku. Mungkin merasa bersalah atau bisa jadi marah karena nggak bisa dekatin aku."
"Bener, makanya nyebar-nyebar gosip yang nggak jelas. Aku ingin ngasih dia pelajaran, karena itu mau minta bantuan kamu."
"Bantuan apa?"
"Ada nggak teman buat deketin Fiore? Bikin Fiore jatuh cinta dan tergila-gila, setelah itu putusin dan campakkan dia. Cewek macam dia harus dikasih pelajaran biar tahu diri. Dia pikir semua orang bakalan suka sama dia."
Ardan meraih rokok dan menyulutnya sebatang, memikirkan perkataan Anne. "Apa menurutmu itu pelajaran yang bagus untuk Fiore?"
"Sepadan, biar dia ngerti kalau masalah cinta nggak boleh buat main-main. Kamu ada teman buat disuruh deketin dia nggak?"
Ardan tersenyum kecil. "Teman banyak tentu saja tapi menurutku lebih bagus kalau aku langsung yang turun tangan."
Anne terbelalak. "Apa? Kamu mau pacarin dia?"
"Hanya buat main-main, bukannya ada gosip dia suka sama aku? Kenapa nggak kita manfaatin itu? Aku deketin dia, pacarin, lalu putusin. Gimana? Kamu setuju?"
Anne tidak setuju tentu saja kalau Ardan harus berpacaran dengan Fiore meskipun pura-pura. Namun, pembalasan dendam dan sakit hatinya lebih penting. Ia berpikir untung dan rugi sebelum akhirnya mengangguk.
"Deal, Sayang. Kamu lakukan saja, aku mendukungmu."
Ardan menyeringai, membayangkan akan melakukan pendekatan pada Fiore yang lugu itu. "Gadis malang, dia tidak tahu sedang bermain-main dengan siapa."
.
.
Bab baru tayang di Karyakarsa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top