Bab 13

Setelah menginap selama dua hari, Fariz diantar pulang oleh Fiore dan Rexton. Tidak ingin bertemu Diorna, keduanya mengantar Fariz hanya sampai halaman rumah susuh. Fiore memberikan uang dan makanan untuk adiknya. Tidak lupa membeli beberapa setel pakaian, tas, serta sandal.

"Kalau kangen sama kakak, kirim pesan atau telepon. Nanti kakak datang kalau bisa."

"Iya, Kak."

"Kalau ada yang sakit, entah badan atau kaki juga harus ngomong. Bulan depan kaka jemput buat periksa ke dokter, sudah lama kamu nggak terapi."

Fariz mengangguk, menatap Fiore yang merapikan barang-barang untuknya. Seorang satpam akan membantu membawa barang-barangnya ke atas. Rexton muncul, memberikan satu kotak berisik cokelat dan permen.

"Fariz, kakak sudah bayar kedai yang di sini untuk kamu makan sehari tiga kali sehari selama satu bulan. Nanti kalau sudah habis, kakak bayar lagi."

Tanpa diduga Fariz memeluk Rexton. Melingkarkan tangannya yang kurus dan kecil ke pinggang Rexton.

"Kakak, terima kasih sudah baik sama aku dan Kak Fiore."

Rexton mengusap kepala Fariz dengan haru. "Sama-sama Fariz. Semoga kita bisa main lagi."

Fiore tercekat, menahan tangis saat harus melepas adiknya. Ia sengaja tidak memberi uang yang banyak karena pasti diambil Diorna. Sebagai gantinya ia menitip pesan pada pemilik warung kelontong, untuk memberikan apa pun yang diminta adiknya dan akan dibayar lewat tranfer. Soal makan dan kebutuhan sehari-hari selama satu bulan ke depan sudah beres, sekarang tinggal satu hal yang diharapkan Fiore adalah adiknya tetap sehat dan tidak mengalami penyiksaan.

"Ayo, kita pulang. Aku antar kamu ke kampus."

Keduanya berjalan baru mencapai setengah halaman saat terdengar teriakan keras.

"Fiore, berhenti. Gue mau ngomong!"

Fiore menoleh dan terbelalak melihat Diorna. Serasa melihat hantu, ia meraih jemari Rexton dan berlari ke arah mobil.

"Aku nggak mau ngomong sama dia."

"Larii!"

Keduanya bergandengan dan tidak saling melepaskan genggaman hingga tiba di mobil. Rexton menyalakan mobil dan keluar dari parkiran bertepatan dengan Dornia yang mencapai tempat mereka, da tigga laki-laki tua bersamanya.

"SUNDAL KURANG AJAR! BISA-BISANYA KABUR! FIORE, TURUUN! GUE MAU NGOMONG!"

Mobil melewati mereka, tiga laki-laki yang semula berniat menggertak dengan menghadang, terpaksa melompat minggir karena Rexton tidak menghentikan kendaraan. Setelah keluar dari lingkungan rumah susun, Fiore bernapas lega.

"Syukurlah, dia nggak ngejar. Pasti Fariz akan diintrograsi nanti."

"Fariz belum paham alamat'kan?" tanya Rexton dari balik kemudi.

"Paham harusnya tapi aku yakin Fariz nggak akan ngomong apa-apa ke perempuan itu. Kasihan, terjebak di rumah neraka. Semoga Fariz kuat sampai aku punya cukup uang."

"Fiore, kapan tes di Genaro Group?"

"Lusa, kemarin Tim HRD yang mengabari."

"Semoga kamu lolos."

"Amin, aku juga berharap begitu. Besok ada bazar di kampus. Kamu tahu bukan?"

Rexton mengangguk. "Bazar untuk kegiatan amal. Kamu jual apa sama kelompokmu?"

"Makanan traditional sama kerajinan tangan dari sulam menyulam. Jangan lupa datang kalau kamu ada waktu."

"Tentu saja aku datang. Nggak akan melewatkan bazzar."

"Jangan lupa borong, karena jujur saja kami takut kalah."

"Memangnya ada lombanya?"

Fiore menghela napas panjang, menimbang-nimbang apakah perlu untuk jujur atau tidak. Sebenarnya merasa malu untuk mengatakan karena takut dibilang kampungan atau berlebihan. Terlebih sedikit banyak ada sangkut pautnya dengan Rexton. Fiore berusaha untuk menyimpan sendiri karena tidak ingin membuat Rexton merasa tertekan.

"Kenapa diam, Fiore? Ada hubungannya dengan Anne?"

Fiore menoleh dengan heran. "Hei, kok bisa tahu kamu? Kalau ini ada hubungannya dengan Anne."

Rexton mengetuk dasbord mobil dan menyeringai. "Di lihat dari wajahmu, sudah kelihatan jelas kalau ada hubungannya dengan Anne meskipun kamu nggak bilang. Ada apa? Coba cerita?"

"Minggu lalu, begitu rencana bazar terbentuk, Anne dan teman-temannya mendatangi kami. Mengatai macam-macam dan intinya mengatakan akan mengalahkan kami. Sejujurnya kami nggak peduli, bazar itu untuk amal bukan untuk saling mengalahkan tapi mereka itu provokatif sekali. Nggak tahu siapa yang bilang, tapi gosip tentang aku dan Anne sudah menjalar ke mana-mana. Sekarang di kampus terkenal mantan sahabat yang bertikai. Katanya aku naksir cowoknya Anne. Kurang ajar!"

"Anne pasti yang menyebarluaskan itu. Kamu mau aku ngomong sama dia?"

Fiore menggeleng. "Nggak perlu, aku nggak mau ngasih kepuasan ke Anne dan anggapan kalau aku kalah. Lagi pula yang geer bukan kamu tapi orang lain. Ardan pernah mencegatku hanya untuk tanya, apa benar aku suka sama dia. Ya Tuhaan, kenapa gosipnya jadi aneh? Siapa juga yang naksir Ardan?"

Curahan hati Fiore membuat Rexton terdiam. Tidak menyangka kalau situasi akan berkembang menjadi sedikit pelik. Ingin rasanya ia bicara dengan Anne tentang masalah ini tapi Fiore benar. Anne akan merasa menang kalau didatangi dan diajak bicara soal ini. Jalan satu-satunya adalah mememangkan bazar dan membuat kelompok Anne terdiam.

"Kalian jual makanan traditional? Seperti apa?"

"Pecel, gado-gado, siomay dan sejenisnya."

"Kelompok Anne?"

"Kue viral, dari mulai crepes, lava, leker, dan sejenisnya. Makanan yang disukai anak-anak. Secara jenis saja kami sudah kalah."

"Terlalu cepat menyerah kamu ini, padahal makanan traditional juga nggak kalah keren dari makanan kekinian. Gini aja, aku ajak kamu ke restoran tempatku kerja. Kamu bicara dengan kokinya dan minta petunjuk soal penyajian, rasa, dan resep."

"Emangnya boleh? Takut ganggu kerja."

"Jam segini boss belum datang, koki itu hubungannya cukup baik denganku jadi nggak usah kuatir. Mau?"

"Iya, mau."

Mereka menuju ke restoran yang biasa menyajikan makanan khas daerah. Di tengah jalan Rexton menyempatkan diri mengirim pesan pada manajer dan mengabari kedatangannya. Meminta untuk menjaga rahasia karena ia akan datang bersama teman. Manajer menjawab kalau semua sudah disiapkan. Benar saja, saat mereka tiba di restoran beberapa pelayan hanya menyapa sekedarnya begitu pula manajer. Rexton mengajak Fiore ke belakang.

"Kamu tunggu sebentar, kokinya masih sibuk."

"Aku merasa nggak enak hati karena ganggu."

"Nggak, tenang aja. Selama koki bicara sama kamu, aku akan di dapur buat gantiin."

Fiore tersenyum, menepuk-nepuk lengan Rexton dengan lembut. "Terima kasih sekali lagi untuk bantuannya. Sebenarnya aku bingung juga, kamu ada berapa restoran? Bukannya di restoran bebek, mie, lalu ini? Masih sempat kuliah lagi."

"Tiga restoran itu satu pemilik, bisa dibilang aku kerja untuk satu boss cuma di tiga tempat aja."

"Waah, hebat. Pasti kaya raya dia."

"Entahlah, bisa jadi. Nah itu orangnya datang."

Koki restoran adalah laki-laki berusia pertengahan tiga puluhan dengan tubuh bugar. Mengangguk kecil pada Rexton yang bergegas ke dapur. Duduk di teras belakang dan setelah berbasa-basi, Fiore mengutarakan niatnya. Sang koki menjelaskan, memberi saran dan segala macam, Fiore dengan tekun mencatat. Tiga puluh menit kemudian, semua pertanyaan terjawab. Sebelum kembali ke kampus, Rexton mengajak Fiore makan siang dengan menu pecel, gado-gado, dan makanan daerah lain. Persis yang akan menjadi ide bazar.

"Waah, ternyata kalau dibuat begini menarik juga," pujia Fiore pada cara koki menatap pecel.

"Kalau kamu ikuti caranya, dibuat untuk versi murah meriah pasti nggak akan kalah sama kelompok Anne."

"Oke kalau begitu, aku akan coba. Rexton, terima kasih untuk semuanya. Kamu banyak sekali bantu aku."

"Fiore, kita teman. Sudah semestinya saling bantu."

Fiore tersenyum cerah, meskipun hanya berstatus teman tapi sudah sangat senang karena dekat dengan Rexton. Kalau suatu saat nanti laki-laki itu jatuh cinta dengan perempuan lain, ia sudah siap. Untuk waktu ini ingin menikmati kebersamaan.

"Kenapa senyum-senyum?" tanya Rexton melihat Fiore makan sambil tersenyum lebar.

"Lagi bayangin sesuatu."

"Soal apa?"

"Banyak hal, tapi yang paling bikin aku senang kalau bisa diterima magang di Genaro Group. Aku merasa bebanku akan sedikit terangkat. Sekarang ini aku mengandalkan keberuntunganku karena dekat sama kamu untuk mencapai semua hal. Rexton, bisa dibilang kamu keberuntunganku."

Hati Rexton tersentuh mendengar kata-kata Fiore. Ia tidak pernah menyangka akan ada orang yang mengatakan kalau dirinya adalah keberuntungan. Padahal yang dilakukannya hanya membantu. Ia senang membuat Fiore tersenyum, ikut bahagi saat gadis itu juga bahagia dan tidak suka melihatnya menangis. Rexton pernah melakukan dan merasakan hal yang sama saat bersama Anne. Bedanya adalah Anne sangat menuntut tidak cuma waktu, perhatian, tapi juga uang. Sedangkan Fiore tidak begitu, justru Rexton ingin memberi lebih banyak tapi selalu ditolak.

Pandangan Rexton tidak bisa lepas dari wajah Fiore yang cantik. Berpenampilan sederhana hanya dengan blus, bedak, serta lipstik tipis tapi terlihat menawan. Bukan jenis cantik memukau hanya saja enak untuk dilihat. Semakin lama diperhatikan semakin cantik, membuat dada Rexton berdebar tidak menentu. Ia mengingatkan diri sendiri untuk sadar karena baru saja putus dengan Anne, tidak seharusnya naksir sahabatnya. Apa kata orang nanti? Untuk kali ini ia ingin pendekatan lebih perlahan agar hubungan yang terbina juga langgeng.

Setelah mengantarkan Fiore ke kampus, Rexton ke kantor. Sudah lama tidak ke sana, ingin mengecek keadaan saja. Tanpa perlu mengganti pakaian, ia melarikan kendaraan ke arah perkantoran yang berada di pusat kota. Kebetulan sang kakek sedang ada di kantor, dengan begitu mereka bisa mengobrol. Kedatangannya disambut para eksekutif dan manajer dengan senyum sumringah.

"Tuan Muda apa kabar?"

"Sudah lama nggak mampir ke kantor."

"Sibuk," jawab Rexton singkat.

"Ada yang bisa kami bantu, Tuan Muda?"

"Nggak ada."

"Bagaimana kalau menggunakan lift VIP untuk ke atas Tuan Muda?"

Rexton mengangkat tangan, menatap lima orang yang sedang mengiringi langkahnya. "Aku hanya ingin bertemu Kakek, kalian nggak perlu antar. Aku tahu jalan ke kantor."

Mereka ingin menjawab tapi tidak ada kesempatan karena Rexton menutup lift dan meluncur ke atas. Menyandarkan tubuh pada dinding, Rexton membiarkan para pegawai keluar masuk lift yang sama dengannya. Mereka mengobrol tentang pekerjaan, membawa setumpuk dokumen di lengan, dan yang paling menarik adalah seorang perempuan setengah baya yang menangis dan sedang ditenangkan temannya.

"Nggak usah dimasukkan hati, Tuan Edy memang galak."

"Galak nggak masalah tapi kata-katanya kasar," isak perempuan itu. "Aku nggak apa-apa kalau dimarahi karena memang salah, tapi kenapa musti pakai kata-kata kasar? Pelacurlah, perempuan hinalah, Ya Tuhan, orang itu enteng kali mulutnya."

Dua perempuan itu keluar di lantai delapan, Rexton menghela napas panjang. Bukan hal buruk menaiki lift bersama mereka karena banyak mendengar hal-hal yang selama ini tidak diketahuinya. Apakah benar Edy seperti itu? Sepertinya ia harus mencari tahu. Lift terhenti di lantai dua belas, Rexton menuju ruangan sang kakek yang ternyata sedang menjamu tamu.

"Rexton, kebetulan kamu datang, Nak. Kenalkan ini teman kakek dan cucunya. Kakek Ilham dengan cucunya yang cantik, Fania. Oh ya, Fania ini model terkenal dan sedang kuliah tingkat akhir."

Fania menatap Rexton dari atas ke bawah, sedikit heran karena cucu orang kaya berpenampilan sangat sederhana. Senyumnya terkembang dan mengulurkan tangan untuk menyapa hangat.

"Halo, Rexton."

Rexton menjabat ringan dan mengangguk kecil tanpa kata. Merasa kalau waktunya datang tidak tepat.
.
.
.
Di Karyakarsa update bab 50.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top