Bab 12
Rexton hendak berpamitan pulang saat langkahnya dihentikan oleh Martin. Ia bisa menduga apa yang ingin dibicarakan oleh kakak sepupunya, malas meladeni perdebatan yang seakan tidak ada ujungnya. Sedari kecil mereka selalu bersaing dan itu tidak berakhir sampai hari ini. Saat dirinya belajar di luar negeri, Martin menggunakan kesempatan itu untuk menunjukkan kemampuannya dalam bekerja. Memupuk kepercayaan beberapa pejabat perusahaan diharapkan kelak bisa membantunya melunakkan hati sang kakek. Dengan begitu pimpinan perusahaan akan jatuh padanya. Satu hal yang tidak dipikirkan Martin dengan benar adalah, manusia selalu menghitung untung dan rugi. Tidak peduli kalau Martin memperlakukan mereka dengan baik, selama dianggap tidak menguntungkan maka yang terlihat hanya manis di permukaan saja. Di belakang tetap saja menggerutu, tidak peduli, dan memaki. Rexton tidak akan pernah menggunakan cara yang sama kalau ingin mendapatkan posisi.
"Ada apa, Kak?" tanya Rexton dengan enggan.
Martin menatap Rexton dari atas ke bawah lalu menyeringai. Seakan melihat sesuatu yang menjijikkan padahal hatinya dipenuhi rasa iri.
"Tiap hari kerjaanmu hanya main-main saja tapi Kakek memujimu setinggi langit. Cuma karena kamu cucu dari istri pertama. Sungguh di luar nalar."
Mengelilingi Rexton yang berdiri angkuh, Martin tidak hentinya mencela.
"Padahal jadi cucu istri pertama atau kedua tidak ada masalah. Selama sama-sama sah. Orang-orang di perusahaan juga tahu, siapa di antara kita yang bagus dalam bekerja. Aku dan Edy, sekian tahun bekerja keras demi perusahaan. Sedangkan kamu, hidup mewah di luar negeri dan berfoya-foya. Tapi lihat nggak apa yang terjadi sekarang? Cuma karena pekerjaan kecil, Kakek memujimu sampai nyundul langit. Apa-apaan itu?"
Rexton mengangkat bahu. "Anggap saja berkah dari Tuhan. Semua orang tahu aku anak yang baik, tidak pernah membantah, suka beramal, dan menabung. Wajar kalau semua orang suka padaku, termasuk Kakek."
"Kamu ingin aku percaya itu, hah?"
"Lah, terserah juga mau percaya atau nggak. Lagipula aku nggak terlalu peduli dengan a[a yang kalian lakukan."
"Sombong! Kamu hanya menang karena status!"
"Benar, dan sayangnya kamu nggak punya status itu."
"Sialan!"
"Maki sesukamu, yang penting biarkan aku pergi sekarang. Bosan kali aku bicara denganmu."
Rexton baru berjalan dua langkah saat Martin yang tidak terima menghadangnya lagi dengan merentangkan tangan.
"Apa lagi, sih?"
"Aku belum selesai ngomong."
"Aku sudah. Minggir!"
"Tidak, aku—"
Kehilangan sabar Rexton mendorong Martin ke samping. Malangnya Martin tidak menjejak tanah dengan benar dan jatuh menimpa kursi. Rexton hanya menggeleng sesaat lalu bergegas pergi. Semakin lama di rumah ini, semakin besar masalah yang akan menimpanya.
"Bajingan busuk!" maki Martin dengan kemarahan terpendam. "Jangan harap kamu akan hidup tenang. Tidak akan aku biarkan!"
Rexton melambaikan tangan sebelum masuk ke mobilnya. "Terserah apa katamu! Kutuklah aku sesukamu!"
Saat kendaraan Rexton meninggalkan halaman, Martin menatap dengan darah mendidih. Mengepalkan tangan dengan posisi ingin meninju. Kebenciannya pada Rexton seakan tidak terbendung. Ia benci dengan posisinya sebagai cucu dari istri kedua yang membuatnya tersingkirkan. Padahal sudah bekerja keras selama ini.
"Bajingan kurang ajar!" maki Martin dengan geram.
"Kak, tahan dirimu. Jangan sampai Kakek mendengar makianmu." Edy muncul dengan rokok terselip di bibir. Sedari tadi ia berdiri di teras, mengamati perdebatan Martin dan Rexton dari jauh. Menatap geli pada Martin yang begitu mudah terpancing emosi. Padahal Rexton tidak perlu diladeni agar tidak terjebak emosi.
Martin menunjuk ke arah gerbang. "Kamu nggak dengar apa yang tadi dia bilang? Bisa-bisanya dia bilang, kalau kita berdua nggak mungkin berhasil cuma karena kita cucu istri kedua!"
Edy mengisap rokok di bibir sambil tersenyum tipis. "Dia bicara begitu memang sengaja ingin membuatmu marah."
"Aku memang s elalu marah sama dia!"
"Itulah kelemahanmu, mudah terpancing emosi. Coba sesekali gunakan akal sehat. Memakai teknik lempar batu sembunyi tangan."
Martin menatap Edy dengan pandangan tidak mengerti. Cara bicara Edy yang menggunakan kiasan sedikit membingungkannya. "Maksudnya bagaimana?"
"Kamu tahu artinya bukan? Terjadi sesuatu, orang-orang saling tuduh dan pelaku utamanya tetap diam di tempat. Menikmati kegaduhan itu untuk keuntungan sendiri. Kita bisa lakukan itu, Kak Martin. Tanpa perlu mengumbar emosi, kita hancurkan Rexton menggunakan tangan orang lain."
Terdiam sesaat, Martin lalu tertawa. Menepuk-nepuk punggungn Edy dengan gembira. "Luar viasa cara berpikirmu. Tidak sia-sia aku mendidikmu selama ini, ternyata kamu sangat bisa diandalkan. Katakan padaku, tangan siapa yang akan kita pinjam untuk menghancurkan bajingan itu?"
Edy tersenyum kecil menatap Martin dengan pandangan misterius. Orang-orang selama ini tahunya bahwa Martin yang mengendalikan dan bersikap licik. Mereka tidak tahu siapa yang sebenarnya ada di balik rencana-rencana baik yang jahat maupun yang briliant menyangkut pekerjaan. Edy tidak suka bersaing secara terang-terangan dengan Rexton karena sadar posisinya paling lemah di antara mereka bertiga. Ia akan mendukung yang terbodoh, demi menghilangkan satu saingan paling kuat.
"Kita akan cari yang paling berpengalaman. Coba pikirkan, Kak? Paling disegani dan berpengalaman."
Martin berpikir sesaat lalu mengangguk. "Aku punya orang yang kamu maksudkan itu. Kita akan buat rencananya segera."
"Kalau begitu kita harus tahu apa yang dikerjangan bajingan tengik itu di luar baru bisa menjebaknya."
"Kalau begitu aku akan meminta orang menyelidikinya."
"Makin cepat makin bagus."
Martin tertawa terbahak-bahak merangkul Edy dan membawanya masuk. Kemarahan yang dirasakan karena ulah menguap dan berganti dengan tekad baru untuk menang. Ia akan mengupayakan apa pun itu untuk membuat Rexton sengsara.
**
Fiore memasak rendang, dan beragam makanan lain untuk adiknya. Senang melihat Fariz makan dengan lahap. Tubuh yang kurus, kaki pincang, dan pandangan kabur, membuat Fariz tidak seperti anak laki-laki seusianya. Ia menyesal tidak menghasilnya banyak uang untuk membuat adiknya lebih bahagia. Harapannya yang paling dalam adalah Fariz keluar dari rumah itu, lepas dari cengkeraman Diorna dan hidup bebas dengan bersekolah dan bergaul. Hatinya merasa sangat pedih mendengar cerita polos adiknya.
"Setelah Kakak pergi dan nggak datang-datang lagi, Fariz makan dikasih Ibu Warung. Kadang-kadang nggak makan karena diambil Mama. Kalau nggak, ya, sebungkus berdua. Mi sama cemilan dari Kakak sudah habis aku makanin."
"Mama masih mabuk dan judi?"
Fariz mengangguk. "Rumah bau dan kotor, aku berusaha untuk membersihkan tapi sulit Kak. Orang-orang itu buang apa saja di lantai."
"Mereka hidup kayak binatang." Fiore tersenyum kecil. "Maaf, bukan Mama maksudku tapi orang-orang itu."
"Iya, main buang sampah sembarangan."
"Ya udah, makan yang banyak mumpung di sini. Mau makan apa saja tinggal bilang, nanti kakak beliin."
Fariz mengedarkan pandangan ke sekeliling kos yang bersih, luas, dan rapi. Matanya berbinar penuh harap. "Coba aku bisa tinggal sama Kakak. Pasti lebih enak."
Fiore menambah nasi, lauk pauk, dan kerupuk ke atas piring adiknya. "Doain kakak lancar da[at kerjaan, biar bisa bantu kamu. Makan dulu, habisin."
Meninggalkan adiknya makan di meja kecil, Fiore merapikan wastafel dan menahan air mata yang hendak turun. Hatinya perih tidak kepalang membayangkan hari-hari buruk adiknya. Saat ia masih sering pulang, setidaknya ada makanan, uang, dan barang lain yang bisa diberikan. Urusan pembersihan rumah pun ada dirinya yang melakukan. Dengan begitu Fariz tidak perlu terlalu lelah, cukup belajar dan bermain seperti anak-anak umurnya. Meskipun di rumah itu Fariz tidak punya pesan karena kondisi yang memprihatinkan. Banyak orang tua yang tidak mengijinkan anak mereka bergaul dengan Fariz untuk beragam alasan, yang paling kuat adalah tidak ingin anak mereka terpengaruh hal buruk. Diorna dan teman-temannya selalu mabuk dan judi, tidak heran kalau banyak yang tidak suka.
"Tok-tok-tok! Aku datang!"
Fiore mendongak ke arah pintu dengan sedikit kaget. Buru-buru mengelap air mata sebelum menyaa.
"Hai, gimana urusannya? Beres?"
Rexton mengangguk, melepas sepatu dan mendekati Fiore. "Kenapa nangis?"
"Ih, siapa yang nangis? Aku lagi cuci piring."
"Pasti lagi mikirin sesuatu."
"Nggak kok. Aku, ehm, mata perih."
Rexton mengulurkan tangan untuk mengusap pipi Fiore. Kehidupan gadis yang sederhana dan menyedihkan membuatnya iba. Tidak banyak yang bisa dilakukannya untuk membantu selain tetap di sampingnya untuk memberi semangat dan dukungan.
"Jangan sedih, adikmu lagi lihat."
Fiore mengangguk. "Aku nggak sedih. Oh ya, itu adikku. Namanya Fariz."
Rexton menghampiri bocah kurus berkacamata yang sedang makan. Tersenyum dan menyapa ramah.
"Aku temannya kakakmu. Mau jalan-jalan nggak?"
Fariz mengedip. "Jalan-jalan kemana?"
"Kamu maunya kemana?"
Fariz menatap tongkat yang tersandar di dinding dengan sedih. "Aku nggak bisa jalan jauh, Kak."
Rexton menyadari tatapan sedih Fariz. "Nggak usah kuatir. Jalan-jalan yang aku maksud, keliling kota naik mobil. Mau nggak? Kita bisa beli pizza atau es krim nanti. Mumpung bossku minjamin mobil. Mau?"
"Mauuu, aku mau, Kak. Fariz pingin keliling kota karena nggak pernah kemana-mana."
"Habiskan makanmu dulu, setelah itu kita pergi."
"Asyik!"
Fiore ingin membawa bekal untuk jalan-jalan tapi Rexton melarang. Mengatakan kalau malam ini mendapatkan banyak bonus dan akan mentraktir mereka makan es krim. Tidak ada yang bisa menggambarkan kebahagiaan Fiore saat melihat adiknya berteriak dari jok belakang. Menunjuk gedung tinggi, mall, atau pun hal-hal yang tidak pernah dilihatnya. Mereka berkeliling kota selama dua jam, sesekali berhenti di taman atau pun tempat bermain.
Rexton membawa mereka ke restoran fast food. Duduk di meja dekat tempat bermain dan memesan banyak sekali makanan seperti ayam, kentang, dan es krim. Fariz mengucapkan terima kasih bertubi-tubi padanya.
"Ini pertama kalinya Fariz makan burger enak. Terima kasih, Kak Rexton, terima kasih Kak Fiore."
Rexton kehilangan kata-kata, menyadari kalau ternyata membuat orang lain bahagia juga termasuk membahagiakan diri sendiri.
.
.
.
Di Karyakarsa update bab 45.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top