Bab 10
Fiore sudah punya perasaan kalau Anne tidak akan menyerah begitu saja. Gadis itu pasti ingin mencari perkara dengannya soal Rexton. Padahal hubungan mereka putus bukan karena dirinya tapi Anne berkata dan bersikap seolah-olah karena dirinya. Minimarket sedang sepi dan Fiore sudah di penghujung jam kerja saat Anne datang, tanpa berbelanja hanya menatap dari ujung meja. Fiore berusaha untuk tidak mengindahkannya. Sayangnya rekan kerjanya justru merasa risih. Cowok yang akan berganti shift dengannya berbisik cukup keras.
"Temen lo kenapa? Matanya tajam amat, jadi takut ditelen gue!"
Fiore mengulum senyum. "Lo punya utang sama dia?"
"Dih, mana ada? Kenal deket aja nggak. Jangan-jangan lo banyak utang? Dia'kan sahabat lo."
"Sayangnya, gue juga nggak ada utang apa pun sama dia. Kayaknya dia lagi marah. Ada apa-apa lo lari duluan, ye."
Si cowok bergidik dan Fiore terkikik geli. Anne tetap menunggu hingga jam kerjanya berakhir. Mengikuti langkahnya menuju meja bundar dan keduanya duduk berhadapan. Fiore mengulurkan teh hijau dingin dalam botol, Anne mengabaikannya. Fiore memutuskan untuk minum sendiri dan tidak berminat membuka percakapan. Dari pada bertengkar dengan Anne, lebih baik ia memikirkan cara untuk bertemu dengan adiknya.
"Kenapa lo duduk di sini dan bukan rebahan di belakang?"
Pertanyaan Anne yang tiba-tiba mengejutkan Fiore. "Gue punya tempat tinggal sendiri."
Anne terbelalak. "Di mana?"
"Di tempat yang lo nggak tahu. Ada apa cari gue? Jangan bilang lo mau marah-marah urusan Rexton?"
Menyugar rambut, Anne dilanda frustrasi. Kemarahannya pada Ardan belum mereda dan laki-laki itu juga tidak ada niat menghubunginya. Padahal ia sengaja membuat status, story, atau postingan di media sosialnya untuk mencing perhatian tapi Ardan seakan tidak peduli. Ia memerlukan orang untuk diajak bicara dan langkah kaki membawanya ke minimarket ini. Anne ingin bicara banyak hal tapi yang keluar dari bibirnya malah soal lain.
"Gue tahu lo naksir Rexton'kan? Lo nggak peduli biarpun dia cowok gue tapi lo tetap naksir'kan?"
"Anne, mau sampai kapan berdebat sama gue."
"Sampai kapanpun gue nggak akan tenang karena lo udah ngerebut cowok gue!"
"Ya Tuhan, ngaca tolong."
Fiore yang sudah lelah bekerja, sekarang ini ingin sekali beristirahat dan bukannya menghadapi Anne yang lagi tantrum. Ia sedang tidak ingin banyak bicara. Ponselnya bergetar, dari layar muncul nama Rexton. Fiore membaca tanpa ekpresi seakan bukan pesan penting.
"Aku lihat Anne bersamamu. Lagi nggak mood ngomong sama dia. Aku tunggu di ujung jalan sini, jangan lama-lama ngobrolnya."
"Oke, sepuluh menit lagi ke sana."
Setelah membalas pesan, Fiore merapikan barang-barang termasuk sisa minuman dan memasukkan dalam tas. Ia menatap Anne yang menunduk. Terlihat sengsara dan sepertinya butuh teman bicara. Fiore akan mendengarkan kalau mengobrol baik-baik, tapi Anne justru mengajaknya bertengkar. Lebih baik ia pulang dan tidur lebih cepat.
"Kalau nggak ada apa-apa lagi, gue balik dulu."
Fiore bangkit dan Anne menahan tas di punggungnya, memaksa untuk duduk kembali.
"Gue belum selesai ngomong!"
Fiore menyingkirkan tangan Anne dari tasnya. "Gue udah capek, nggak ada waktu buat dengerin lo ngamuk! Sana, pergi cari pacar lo!"
"Bangsat!"
"Terus aja maki kasar, gue tabok mulut lo baru tahu rasa!"
Keduanya berpandangan di bawah penerangan lampu minimarket bercampur dengan lampu jalan. Keringat membasahi wajah dan rambut Fiore, mengambil tisu untuk mengusapnya. Anne mendongak dan menatap dengan matanya yang lebar.
"Gue benci sama lo. Benci banget-banget-banget! Lo itu cewek paling munafik yang pernah gue kenal.Sok-sok baik padahal lo berniat ngambil Rexton dari gue'kan?"
"Capek deh, selalu ngulang hal yang sama. Kalau memang lo benci sama gue, nggak usah datang-datang lagi."
"Halah, emang itu yang lo mau biar lo puas berduaan sama Rexton."
"Cukup! Lo kalau mau marah dan butuh orang buat dicaci maki, sana! Pergi dan caci maki cowok lo. Bukannya lo bangga sama Ardan yang tampan dan kaya raya? Lo bilang gue sama Rexton nggak selevel sama kalian. Oke, gue paham. Jangan ganggu gue lagi, kali ini gue mau bilang. Muak sama lo yang sok paling benar!"
Fiore menyandang tas di bahu dan bergegas meninggalkan meja. Tanpa menoleh lagi berharap Anne tidak mengikuti. Keinginannya terwujud, Anne tetap duduk diam di kursinya, menunduk dengan raut wajah muram. Setengah berlari Fiore menuju tempat Rexton menunggu, melambai saat melihatnya dan melompat ke boncengan sambil menerima helm yang diulurkan untuknya.
"Buruan! Nanti dia lihat!"
Rexton menstarter motornya menembus angin malam yang sepoi-sepoi. Menoleh pada Fiore yang duduk nyaman di belakangnya.
"Mau apa lagi Anne ketemu kamu?"
Fiore mengangkat bahu. "Biasa, pingin marah aja."
"Kenapa marah sama kamu?"
"Dia bilang aku ngerebut kamu."
Rexton mendengkus, berdecak tidak puas. "Anne selalu begitu, menimpakan masalah pada orang lain. Padahal semestinya dia intropeksi dengan sifat dan sikapnya. Malah mengamuk ke orang lain."
Fiore pun merasa lelah menghadapi sikap sahabatnya itu tapi memilih untuk bersikap bijak dengan tidak berkomentar. Tidak ingin dirinya menerima tuduhan karena mengambil keuntungan dari putusnya hubungan orang. Anne sudah punya Ardan, kenapa masih peduli dengan Rexton? Hal yang membuat Fiore tak habis pikir.
"Malam Minggu kamu mau kemana?" tanya Rexton.
"Pingin ke rumah susun ketemu sama Fariz."
"Oh, emangnya nggak takut ketemu sama mama tirimu?"
"Takut, tapi aku kuatir sama Fariz dan pingin ketemu."
Motor memasuki parkiran kosan, keduanya melompat turun. Rexton memikirkan jalan keluar yang baik untuk Fiore dan adiknya.
"Aku punya ide, gimana kalau adikmu dibawa ke sini."
Fiore terbelalak. "Gimana caranya?"
"Minta bantuan pemilik kedai sama satpam. Aku yakin mereka mau kalau ada uangnya. Apa kamu tahu jam-jam di mana mamamu sibuk dan nggak perhatiin apa pun?"
Mata Fiore berbinar dalam temaram malam saat menjawab sambil tersenyum. Mengulurkan tangan untuk mengusap lengan Rexton dan berseru penuh kegembiraan serta pujian. "Tentu saja aku tahu. Sepertinya idemu boleh juga. Rexton, kamu keren."
Rexton tertegun, menatap Fiore yang berbinar-binar di depanya. Meski keadaan tidak terlalu terang karena pepohonan menghalangi cahaya lampu, tap binar mata Fiore terlihat jelas. Wajah yang mungil, rambut hitam yang dikuncir ekor kuda membuat penampilan yang terlihat lebih muda dari usianya. Berbeda dengan Anne yang selalu tampil glamour dengan riasan cermat, Fiore justru apa adanya. Ia tebak skincare yang dioleskan Fiore hanya pelembab, sunscreen, dan bedak tipis. Meski begitu tidak bisa menutupi wajah cantik yang menggemaskan.
Ia tidak salah lihat, Fiore memang cantik dengan wajah mungil. Bibir mungil tapi penuh dengan tulang pipi chubby. Tingginya tidak mencapai dagu Rexton tapi justru itu yang membuat mereka berdiri dengan serasi. Rexton menghela napas panjang, mengingatkan diri kalau sedang patah hati dan bukannya sedang mengaggumi gadis lain.
"Kenapa diam, Rexton?"
"Nggak apa-apa. Aku juga pingin kenal adikmu, sayangnya hari itu aku ada urusan."
"Kerja lembur?"
"Bukan, urusan keluarga."
"Oh, gitu. Okee."
Mereka berdampingan ke atas, Fiore bertanya-tanya seperti apa keluarga Rexton karena selama ini tidak pernah bercerita. Ia berharap urusan Rexton selesai dengan baik, sama halnya dengan urusannya sendiri. Di depan pintu Rexton mengatakan sesuatu yang membuatnya tercengang.
"Fiore, bukannya kamu bilang ingin magang di Genaro Group?"
"Iya, bener sekali."
"Aku ada teman yang memberi informasi kalau Genaro akan mengadakan tes untuk peserta magang. Kamu berminat?"
Fiore terbelalak, melompat di tempatnya berdiri. "Tentu saja aku mau. Kesempatan. Baik nggak boleh dilewatnya, diterima atau nggak, yang penting aku ikut seleksi dulu."
"Bagus, Minggu depan sepertinya kamu bisa mulai ikut tes."
Dalam keadaan bahagia, Fiore memeluk Rexton dengan erat dan mengucapkan terima kasih yang bertubi-tubi. Ucapan itu membuat Rexton merasa seakan dirinya adalah pahlawan besar.
Di malam Minggu, Rexton menepati janji yang akan mempertemukan Fiore dengan sang adik. Menggunakan kesempatan saat Diorna sedang teler serta sibuk bermain kartu dengan teman-temannya, Fariz diam-diam keluar kamar membawa beberapa setel pakaian. Dibantu oleh satpam yang menjemput di ujung lorong, Fariz menuruni tangga dan dibonceng ke tempat kos Fiore. Pertemuan keduanya berlangsung gembira. Saat Fiore bertanya soal bayaran, si satpam mengatakan sudah diberi cukup uang oleh Rexton. Fiore berjanji akan berterima kasih saat pemuda itu pulang nanti.
**
Sebelum pulang ke rumah keluargnya, Rexton lebih dulu pergi ke rumah pribadinya. Untuk mandi, berganti pakaian, dan mengendarai mobil sport kuning. Ia harus tampil baik dan mengesankan di hadapan sepupu dan keluarganya kalau tidak ingin menerima cibiran. Pesan dari Fiore yang mengatakan sudah bertemu sang adik membuatnya tersenyum. Merasa ikut senang atas kebahagiaan Fiore.
Mobil kuning melaju di jalanan menuju kawasan elit di pinggir kota. Sebuah gerbang hitam tinggi membuka saat melihatnya. Rexton terus meluncur, mengelilingi air mancur yang ada di tengah halaman dan menghentikan mobil tepat di depan teras. Ada delapan pilar tinggi dan besar yang menyangga teras. Dua pelayan menyambut kedatangannya dan membungkuk untuk mengucapkan salam.
"Selamat datang, Tuan Muda."
Rexton mengangguk, menatap pada deretan mobil mewah di halaman. "Semuanya sudah berkumpul."
"Sudah, Tuan. Semua berkumpul di ruang makan."
Tidak ingin menaiki lift, Rexton yang terbiasa menggunakan tangga menapaki anak anak tangga menuju lantai dua. Suara tawa, percakapan yang riuh, serta pembicaraan serius mulai terdengar begitu mencapai ujung tangga. Rexton melangkah cepat menuju ke ruang makan di mana ada meja kayu besar dan panjang yang dikelilingi dua puluh kursi. Semua yang ada di sana menoleh saat melihatnya datang.
"Wah-wah, ini dia pemeran utama kita. Selamat datang Tuan Muda Rexton Genaro!"
.
.
Di Karyakarsa uodate bab 40.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top