Bab 1


Menjadi orang miskin bukan kejahatan, tapi hal yang memang tidak mengenakkan. Hidup di rumah sederhana yang padat penghuninya dengan beragam manusia berada di dalamnya. Fiore sebenarnya tidak betah lagi tinggal di sini, sanggup kalau mengontrak atau tinggal di kos sendiri. Masalahnya ada makluk kecil yang tidak bisa ditinggalkannya sendiri. Satu-satunya orang yang masih dipedulikannya selain dirinya sendiri. Ia memejam saat suara teriakan terdengar membelah pendengaran. Tepat berada di ruang tamu kecil yang berfungsi juga sebagai ruang tengah dan ruang makan.

“Laki-laki brengsek! Kalau nggak punya uang, jangan coba-coba datang kemari!”

“Udah, biarin aja! Emang dia kere!”

“Lo juga, ngapaian teriak-teriak. Udah tahu kalau laki macam gitu cuma mokondo, masih aja lo mau ditiduri!”

Suara tawa disertai umpatan kasar kembali terdengar, Fiore menutup kedua telinga. Menghela napas panjang, menekuk leher dan menatap buku yang terbuka dengan pandangan nanar. Teriakan dan makian masih terdengar kali ini ada beberapa orang datang dan sepertinya laki-laki.

“Kaak.”

Ia menoleh mendengar panggilan lirih. Seorang anak berumur delapan tahun berdiri dengan kedua tongkat menopang tubuh. Fiore tersenyum, berusaha untuk tetap tenang meskipun telinganya berdenging karena suara-suara berisik.

“Fariz mau apa?”

“Kak, boleh nggak makan rotinya? Aku lapar.”

Jemari Fariz menunjuk roti yang tergeletak di atas meja, Fiore mengambil dan memberikan pada adiknya. “Tentu saja, boleh. Masih lapar?”

Fariz mengangguk, menerima roti dengan mata berbinar. “Makasih, Kak.”

Berjalan tertatih dengan tongkat di tangan, Fariz duduk di pinggiran ranjang kecil. Menyobek bungkus roti dan melahapnya. Hati Fiore terasa perih melihat adiknya kelaparan. Sebagai kakak ia merasa tidak bertanggung jawab karena tidak memberikan makanan yang cukup untuk adiknya. Menyesali diri karena gajinya bulan ini kurang untuk kebutuhan sehari-hari. Ia meraih ponsel dan menatap jam yang tertera di layar. Sudah waktunya untuk bekerja. Mengusap wajah dengan toner, dilanjutkan memakai pelembab lalu bedak dan lipstik tipis-tipis. Bangkit meraih jaket untuk menutupi kaos yang dipakainya.

“Fariz, kakak pergi kerja dulu. Nanti pulang dibawain roti lagi.”

“Yang banyak ya, Kak. Rotinya enaaak.”

“Okee, dibawain tiga nanti.”

Fiore mencubit lembut pipi adiknya, meraih tas dan meletakkan bahu. Menghela napas panjang untuk menguatkan diri sebelum membuka pintu. Ia tidak suka dengan orang-orang yang berkumpul di ruang depan tapi tetap harus melewati mereka kalau ingin kerja. Orang-orang itu, terutama yang laki-laki selalu mengganggunya dan tidak ada yang mau menolongnya. Suara-suara itu semakin riuh, semakin nyaring, dan bulu kuduk Fiore meremang. Membuka pintu, ia dihadapkan pada pemandangan yang mencengangkan. Mama tirinya sedang bermain kartu di sofa pendek yang sudah sobek-sobek bersama tiga perempuan dan dua laki-laki. Mereka minum-minuman keras dengan botol bir bergeletakan di atas karpet. Tidak hanya itu, sampah bungkus makanan berbaur dengan abu rokok bertebaran mengotori lantai. Lebih mirip dikatakan ruang kumuh dari pada ruang tamu sebuah rumah.

“Ah, ini dia princes datang. Hei, kalian semua. Kenalin anak gue, princes!”

Dornia berteriak keras membuat semua temannya tertawa. Perempuan berumur pertengahan empat puluhan dengan tubuh kurus dan kulit putih itu bangkit. Membanting kartu di atas meja untuk menghampiri Fiore. Mengulurkan tangannya yang keriput, matanya menyorot tajam. Ada lingkar hitam di bawah mata dengan gigi yang menguning karena rokok serta kopi, menambah sangar penampilan perempuan yang rambutnya kering berantakan. Seolah tidak pernah menyentuh sisir sebelumnya apalagi mandi. Dornia maju, Fiore secara otomatis mundur dua langkah.

“Mana duit gue?”

Fiore mengerjap. “Duit apa, Ma?”

“Masih tanya lagi? Jatah Minggu inilah! Mana?”

“Maa, bukannya semalam udah aku kasih?”

“Mana cukup? Lo ngasih uang segitu cuma buat beli token listrik. Emangnya cukup buat makan? Buat jajan Fariz?”

“Ma, di kulkas udah ada bahan makanan. Buat apa beli lagi?”

Plak!

Tamparan Dornia melayang, tidak hanya satu kali tapi dua, ditambah dengan menjambak rambut Fiore yang sudah dikuncir rapi. Amarah disertai nafsu membunuh membuat mata cekung Dornia melotot. Tidak ada yang peduli dengan penganiayaan itu, orang-orang justru bersorak dan menyemangati. Mengatakan kalau Fiore anak durhaka dan banyak makian lain.

“Lo ditampung di sini, bukannya terima kasih malah kurang ajar!”

Fiore menggeleng, matanya memerah bukan sakit. “Maa, nggak ada duit lagi.”

“Bilang aja lo pelit!”

Dornia meraih  asbak stainles dari atas meja dan menghantamkan ke wajah Fiore. Abu rokok berhamburan dengan dahi Fiore memerah. Dornia mengamuk dan memaki lebih kejam, seolah ada setan yang merasukinya. Tidak peduli kalau Fiore merintih kesakitan. Yang menghentikan tindakan biadapnya adalah Fariz yang tertatih keluar, menangis dan memohon agar Fiore dilepaskan.

“Anak bangsat! Kalau bukan karena Fariz, nggak bakalan gue biarin lo hidup!”

Fiore setengah berlari meninggalkan rumah, dengan  kotoran abu masih menempel di rambut dan jaketnya. Tiba di lantai bawah yang cukup sepi, ia menepuk-nepuk rambut dan bahu. Abu rokok meninggalkan jejak hitam di permukaan jaket. Menghela napas panjang untuk menenangkan diri, tapi justru membuatnya makin sedih. Berusaha untuk tidak terisak tapi air mata berjatuhan di pipi. Ini bukan pertama kali terjadi, harusnya tidak perlu terkejut apalagi menangis tapi tetap saja hati mungilnya merasa sangat luka dan sedih. Menjalani hidup dari hari ke hari layaknya mimpi buruk. Setelah tenang, ia menyusuri taman dengan bunga-bunga kering tak terurus dalam pot yang sebagian besar sudah pecah menuju ke tempat parkir. Membuka jok motor dan mengambil helm lalu memakainya. Mengendarai motor melawan angin sore yang bertiup cukup kencang.

Di lampu merah, ada motor yang dikendarai sepasang suami istri dengan anak mereka duduk di tengah. Tawa sang anak terlihat sangat gembira, Fiore merasa sangat iri melihatnya. Teringat masa lalu saat kedua orang tuanya masih hidup, ia pernah dimanja seperti itu juga. Seharusnya Fariz juga merasakan hal yang sama, sayangnya terlahir dari perut perempuan yang tidak pernah menghargai hidup. Bagi Dornia dunianya hanya judi dan minuman keras, sama sekali tidak pernah memikirkan Fariz.

Tiba di depan mini market tempatnya bekerja, hari sudah menggelap. Sebelum bekerja, Fiore membersihkan wajah di toilet dan membeli plaster luka untuk memar di dahi. Ia akan berjaga di minimarket sampai enam jam kedepan. Setelah serah terima uang dan barang dari pegawai sebelumnya, Fiore berada di balik meja kasir untuk melayani pembayaran. Sangat sibuk sampai tidak menyadari seorang laki-laki muda tampan dengan rambut kecoklatan yang panjangnya mencapai bawah telinga, membeli banyak barang dalam keranjang biru dan antri di kasir.

“Hai, Rexton. Banyak sekali belanjanya,” sapa Fiore.

Rexton tersenyum. “Biasa, Anne sedang ingin jajan katanya.”

“Oh, ini semua permintaan Anne?”

“Bisa dibilang begitu.”

Fiore mengscan barang satu per satu dan tertawa lirih. “Aduh, aku iri loh. Pingin punya pacar juga.”

Rexton tidak menanggapi perkataan Fiore, tatapannya tertuju pada dahi yang diplester, rambut yang sedikit kotor, dan pipi yang memerah. Tidak ada pembeli lain yang sedang antri membuat Rexton nendekatkan diri ke meja kasir dan meraih wajah Fiore.

“Kenapa sama wajahmu? Memar dan luka lagi? Perbuatan ibu sialanmu lagi?”

“Bu-kan,” jawab Fiore gugup. Bukan takut untuk menjawab jujur tapi saat ini dadanya seolah digedor keras. Bagaimana tidak, jemari Rexton mengusap lembut dahi dan pipinya dengan mata menatap tajam. Laki-laki yang selama beberapa bulan ini mengendap dalam hatinya itu, terlihat sedang kesal tanpa Fiore mengerti letak masalahnya. “Kenapa kamu marah?”

“Fiore, kalau bukan karena adikmu pastinya kamu akan keluar dari rumah neraka itu bukan?”

“Iya.”

“Kenapa menyiksa diri? Mau sampai kapan kamu kayak gini? Memangnya enak hidup dalam ketakutan? Memangnya nyaman hidup bersama monster? Kenapa kamu nggak pikirkan dirimu sendiri?”

Fiore memejam, masih dengan jemari Rexton berada di wajahnya. Ia ingin sekali waktu berhenti seperti ini, meski hanya beberapa menit bisa merasakan kasih sayang dan perhatian laki-laki lain. Sayangnya mimpi yang dimintanya terlalu indah, pintu berdentang terbuka dan seorang gadis cantik berambut cokelat terang dengan ikal besar di bagian bawah menatap keduanya. Gadis dengan riasan wajah yang cermat, bibir yang dipoles lipstik merah muda, memakai mini dres sebatas paha dengan sepatu but pendek. Terlihat begitu cantik, anggun, dan modis. Saat ini mata gadis itu sedang mengarah pada Rexton dan Fiore dengan tatapan bertanya.

“Apa yang kalian lakukan?”

Seakan kepergok sedang selingkuh, Rexton buru-buru melepaskan jemarinya dari wajah Fiore dan tersenyum pada gadis itu. Fiore melambai dari balik meja kasir dengan senyum, berusaha menghilangkan debar.

“Sayang, kamu datang juga. Coba kemari dan lihat, temanmu ini wajahnya luka-luka lagi,” ujar Rexton.

Anne bergegas mendatangi meja kasir, masuk ke dalam pelukan Rexton lalu mengamati wajah Fiore sambil berdecak.

“Fiore, lo dibilang juga bandel. Mau sampai kapan lo hidup sama perempuan itu? Tiap hari dipukul, masih aja nggak ada kapoknya lo!”

Fiore mengedipkan sebelah mata pada sahabatnya. “Nggak usah ngamuk-ngamuk, lihat pacar lo beli banyak cemilan nih!”

Mengambil plastik, Fiore memasukan barang-barang belanjaan Rexton ke dalamnya.

“Cukup nggak, Sayang? Kalau kurang kita beli lagi.”

“Sementara cukup. Udah beli minuman juga’kan?”

“Sudah, apa lagi?”

“Untuk cemilan cukup, nggak ada makanan berat? Aku rasa keluargaku belum makan malam. Gimana kalau kita beli nasi box?”

“Boleh, kita beli nanti. Apa mau beli di restoran tempatku kerja? Nasi bebeknya enak.”

Anne mencebik manja. “Ah, bosan makan di sana terus. Sesekali mau yang lain. Kamu ada uang’kan?”

“Ada, dong!”

Fiore menyebutkan total belanja dan Rexton membayar semua. Mengambil satu kaleng kopi dan menyerahkan pada Fiore.

“Ini buat kamu, minum selagi dingin dan kompres wajahmu biar nggak bengkak.”

“Oke, thanks!”

Rexton menggandeng Anne dan keduanya berpamitan pergi. Fiore menghela napas panjang, menggenggam kopi dengan tatapan nanar tertuju pada pasangan yang bergandengan mesra. Meskipun hidup pas-pasan dengan pekerjaan serabutan, tapi Rexton pemuda yang baik dan penuh kasih. Fiore merasa Anne beruntung mendapatkan laki-laki itu. Meski ia menyimpan cinta untuk Rexton, tapi ikut bahagia dengan kebersamaan laki-laki itu bersama sahabatnya. Mereka serasi satu sama lian dan Fiore hanya bisa mengubur cinta dalam hati yang terdalam.

.
.
.
Di Karyakarsa update bab 1-5.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top