20 [END]
Hanbin tak terlalu mendengar ucapan pria itu, hanya merasa ada suara seseorang di belakang. Ia berbalik, menatap pria berseragam petugas makam yang tengah menunduk sambil memegang garpu tanahnya.
"Ada apa tuan?"
Tak menyahut dan masih menunduk menenggelamkan wajah dibalik topi berwarna senada dengan seragamnya.
Hanbin merasa sedikit aneh, orang itu berdiri di hadapannya namun tak mengucapkan apa-apa. Sorot matanya lalu tak sengaja mengarah ke bawah, menuju tangan pria itu yang nampak putih mengelupas. Seperti bekas luka bakar.
"Permisi tuan, apa kau membutuhkan sesuatu?"
Pria itu hanya terkekeh, membuat Hanbin mengernyit heran. Ia mencoba tak menghiraukan namun atmosfer di sekitarnya berubah seketika. Suhu udara terasa lebih rendah, sinar senja semakin memudar, gemerisik dedaunan tiba-tiba menghening.
Ada perasaan tak nyaman yang menghinggap tiba-tiba, beriringan dengan pergerakan dari pria di hadapannya.
"Lama tak berjumpa.." pria itu menaikkan wajah lalu melepas topinya perlahan. "Kim Hanbin."
"K-KAU?!"
Sontak Hanbin memundurkan langkah namun pria itu bergerak lebih cepat.
STAB!!
"ARGH!!"
Garpu tanah itu menancap tepat di perutnya.
"K-kenapa kau melakukan ini h-yung.." lirihnya langsung terduduk, mengerang menahan sakit luar biasa.
"Ini belum berakhir sampai semuanya benar-benar sudah berakhir. Aku orang yang selalu menepati janji, Kim Hanbin."
"Apa maksudmu?"
"Kau tidak ingat? Aku pernah berkata akan membayar kematian Chanwoo dengan membunuh kalian semua." Jinhwan menatap tajam lalu menekankan setiap perkataannya. "Semuanya. Jadi itu termasuk kau juga."
"K-kau benar-benar sudah gila.."
"Aku sudah menunggu sangat lama, empat tahun. Bayangkan betapa tersiksanya aku menunggumu selama empat tahun di tempat terkutuk itu!"
"Haha, tapi baguslah kita bertemu sekarang. Kau tahu, aku sangat terkejut melihatmu di sini. Seminggu yang lalu aku bahkan masih berada di rumah sakit jiwa, terkurung di kamar sempit menyesakkan!"
"Tapi kau tahu sendiri kalau aku ini sangat pandai. Selama berada di sana aku selalu mencari celah untuk melarikan diri, dan hari itu sepertinya dewi fortuna berpihak padaku. Rencanaku menyulut api dan membuat kebakaran berhasil. Aku dapat meloloskan diri di tengah kekacauan dan berakhir di sini karena aku yakin kalau kau pada akhirnya pasti akan datang menemui mereka."
"Kau senangkan ketika aku di masukkan ke rumah sakit jiwa? Kau puaskan mengetahui orang tuaku yang tak lagi menganggapku anak mereka?!"
"ARGHH!!" perkataan pria itu tak lebih dari angin lalu bagi Hanbin yang tengah kesakitan hebat, sekuat tenaga menarik besi tajam itu dari perutnya.
"Hei, tak perlu bersusah payah seperti itu."
"Hah.. Hah.. Hah.." deru nafasnya tinggal sebaris-sebaris. Keringat dingin mengucur deras, sejalan dengan derasnya cairan merah di perutnya yang terus mengalir.
"Di tabrak bahkan di tembak, kau masih bisa bertahan. Tapi kali ini, ku pastikan kau tak bisa bertahan lagi."
Hanbin terhempas, nafasnya semakin memendek, matanya memutih menatap langit-langit, terbatuk dan darah segar mulai keluar dari mulutnya.
"Hm, setidaknya aku membunuhmu dengan cepat."
Jinhwan mendekat menatap Hanbin yang mulai terpejam. Dadanya yang semula masih bergerak kini nampak tenang, tangannya lalu perlahan menutup lebih rapat mata Hanbin seraya berucap. "Tenang saja, aku sudah mempersiapkan tempatmu dekat dengan mereka."
Dengan sekali tarikan ia cabut kembali garpu tanah yang masih menancap di perut Hanbin, membuat tubuhnya sedikit terguncang akibat tarikan besi tajam itu. Darah semakin keluar dengan deras, Jinhwan lagi-lagi menyunggingkan senyumnya, puas dengan hasil karya terakhirnya.
Mata pria itu lalu mengarah ke lubang besar yang sepertinya masih baru, menarik kaki Hanbin dan menyeretnya mendekati lubang.
"Kau tahu betapa sulitnya aku membuat lubang ini beberapa hari yang lalu? Tapi pas sekali ternyata pemiliknya datang hari ini."
Setelah berada di ujung lubang-kakinya langsung menendang tubuh Hanbin dengan keras. Tubuh itu terhempas ke bawah, menelungkup dengan wajah menghantam tanah terlebih dahulu. "Selamat tinggal Kim Hanbin. Tidur yang nyenyak bersama yang lain dan titipkan salamku kepada mereka semua."
Jinhwan hampir mengambil sekop untuk menutup lubang itu kembali ketika ia teringat akan sesuatu.
"Ah tunggu! Ku dengar tadi kau mengatakan akan bertunangan? Eum, bagaimana ya? Aku kan sudah terlanjur membunuhmu?"
"Apa sebaiknya ku cari saja media sosial kekasihmu dan memberi tahu kalau kau nanti tidak bisa menghadiri acara pertunangan?"
Jinhwan merogoh kantong celananya, mengambil ponsel kemudian menekan tombol kamera sambil tersenyum tipis.
"Ya sudah, sekalian saja ku foto mayatmu dan ku kirim padanya."
***
Sebuah mobil pick up usang berhenti tak jauh dari pinggiran pantai. Sang pengemudi keluar, menaikkan tudung hoodie nya lebih erat di karenakan udara yang cukup dingin serta angin yang cukup kencang sore itu.
Kakinya melangkah menuju bibir pantai, lama ia terdiam di sana sambil menatap cakrawala yang mulai menguning. Pikirannya seakan menyatu dengan sekelilingnya, tenang bak kawanan burung yang melintas di angkasa namun bergejolak hebat bak deburan ombak di lautan.
Jinhwan POV
Aneh. Beberapa hari ini aku selalu merasa bosan. Aku tidak ingin dan tidak tertarik melakukan apapun. Pikiran dan hatiku terasa kosong setiap kali membuka mata. Rasanya, seperti sedang terombang ambing di tengah laut luas sendirian.
Teringat laut akupun jadi pergi ke sini. Aku sangat mengenal tempat ini. Kenangan masa lalu itu bahkan masih terlihat jelas di mataku. Aku bisa melihat Chanwoo yang memekik girang ketika mengetahui kami membawanya kepantai seperti keinginannya.
Junhoe yang mendengus kesal karena Chanwoo yang tak bisa berhenti berteriak, Yunhyeong yang langsung menghambur ke tepi pantai di ikuti oleh Donghyuk di belakangnya, Jiwon dan Hanbin yang keluar dari mobil sambil mengumpat karena lelah mengemudi bergantian selama berjam-jam.
Lalu aku..
Ya, aku bisa melihat diriku yang terseok-seok kesulitan membawa kantong makanan dan peralatan kemah dari dalam mobil.
Liburan saat itu memang hanya dua malam, namun kenangan itu sangat membekas di ingatanku.
Tawa tujuh orang pria itu masih terdengar, semakin jelas saat terbawa hembusan angin yang menerpa wajah. Aku terpejam membiarkan suara itu semakin masuk ke relung terdalam di diriku. Meresapinya agar dapat ku simpan selamanya.
Jejak-jejak kaki yang tertinggal di pasir pantai, gelombang air yang bergejolak ketika kami menerjangnya, udara hangat musim panas yang menerpa.
Aku masih mengingat semuanya.
Aku berjalan lagi, berjalan lebih jauh menuju tebing bebatuan yang menghadap ke tepi laut. Ku lihat punggung kami bertujuh yang tengah duduk di sana, saling bercanda dan merangkul satu sama lain dengan wajah bahagia menatap hamparan laut biru.
Kenapa waktu itu kami sangat bahagia?
Apakah karena waktu itu kami masih memiliki satu sama lain?
Sebenarnya dari mana awal kesalahan itu?
Ku sentuh dadaku dan terasa sesak. Akhir-akhir ini rasanya tidak nyaman. Aku tak tahu apa itu dan tak mengerti apa yang sedang kurasakan. Aku bahkan sudah menuntaskan semuanya tapi kenapa diriku terasa kosong? Seperti sebuah kehampaan yang menyakitkan.
Apa.. Aku bisa memutar waktu dan mengembalikan semuanya?
Ku ambil nafas dalam-dalam sebelum bayangan itu kembali menghilang. Aku berjalan lagi, menyusuri tepi pantai sambil mencari kenangan di benakku yang masih tersembunyi.
Tak lama berjalan pandanganku terhenti pada sebuah menara mercusuar tinggi yang berada tak jauh dari tempatku sekarang, aku berjalan mendekatinya. Satu kali pukulan sudah berhasil melepas gembok besi berkarat yang mengunci pintu menara, kakiku melangkah ke atas-menaiki anak tangga yang cukup banyak jumlahnya.
Angin yang semakin kencang menyambutku ketika sudah sampai di puncak menara.
Pandanganku tertuju ke ufuk barat di atas laut. Warna birunya terlihat indah di terpa cahaya matahari yang mulai tenggelam.
Aku terpejam lagi, merasakan terpaan angin yang meniup helaian-helaian rambutku.
Di saat sunyi seperti ini sepertinya pikiran akan mengalir lebih jernih. Ya, bayangan itu terlintas lagi. Kejadian di pemakaman beberapa hari yang lalu itu masih segar di ingatan. Wajah ketakutan dan kesakitan, cairan merah kental yang keluar dari perutnya. Sial, apa aku menyesalinya?
Ku rasakan basah mulai terasa di mataku. Lambat laun semakin banyak dan semakin deras, di ikuti isakan yang juga semakin keras.
Semua kejadian itu terus terlintas bak potongan-potongan film yang berganti adegan dari satu slate ke slate lain dengan aku sebagai tokoh utamanya. Tokoh jahat yang dengan keji membunuh semua sahabatnya.
Tangisku semakin pecah.
Aku tak mengerti dengan yang sebenarnya terjadi pada diriku. Satu sisi ada penyesalan yang begitu dalam namun di sisi lain jiwaku tak merasakan apa-apa.
"Kau ini sebenarnya apa Kim Jinhwan? Ragamu manusia tapi perbuatanmu tak kalah keji dari iblis." aku bergumam sendiri, mulutku dengan mudah mengucapkanya namun hatiku masih sekeras batu.
Sebenarnya berkali-kali ingin ku hentikan perbuatanku, berkali-kali ku pikirkan ulang dan mencoba menolaknya. Namun, seperti ada bisikan yang terus saja mendorongku untuk melakukan itu semua.
Terkadang aku merasa bahwa bisikan itu berasal dari kepalaku sendiri. Aku ingin melawan namun terkadang aku sendiripun menikmatinya.
Aku sakit. Sungguh, aku tak mampu melawannya.
"Hyung!"
DEG!
Badanku tersentak ketika telingaku mendengar suara yang sangat ku kenal. Pandanganku langsung tertuju ke bawah mencari asal suara. Ku lihat sosok enam pria di bawah sana, mendongak sambil melambaikan tangan ke atas.
"Teman-teman?"
Mereka tersenyum sambil terus melambaikan tangan, seakan memintaku untuk segera turun menghampiri mereka.
"Hyung, cepat turun!"
"Turun?"
"Ya, cepat turun hyung!"
"Untuk apa?"
"Tentu saja untuk menemui kami!"
"T-tapi.."
"Ayolah hyung, cepat turun ke sini!"
Ku lihat lamat-lamat jarak aku berdiri di puncak menara sekarang dengan permukaan tanah bebatuan di bawah sana. Badanku menegang, tenggorokanku tercekat rasanya.
Apakah ini sebuah ampunan atau hukuman?
Apakah karma benar-benar datang menemuiku dan menyamar sebagai senyuman?
Namun aku merasa lega entah kenapa. Seperti beban di diriku lambat laun menghilang ketika melihat wajah-wajah mereka.
Mungkinkah mereka memaafkan ku?
Mataku memejam beberapa saat sebelum ku langkahkan kaki naik ke pagar pembatas. Tanganku membentang, di terpa udara yang mungkin akan menjadi udara terakhir yang dapat ku rasakan.
Tak apa, mungkin dengan begini aku dapat menebus dosa-dosaku.
Aku sudah pasrah dengan semuanya. Biarlah tuhan yang akan memutuskan menempatkan ku dimana nantinya.
Ku ambil nafas dalam-dalam sebelum ku condongkan badan. Rasanya seperti kau melayang di udara untuk beberapa saat lalu tanpa di sadari kau sudah meluncur ke bawah dengan cepat. Haha, ini bahkan sama percis seperti kematian orang itu. Benar-benar kami adalah sahabat sehidup semati, rupanya.
Badanku terhempas keras setelahnya. Sakit, sangat sakit namun aku merasa kematian ini malah menghidupkan jiwaku yang sebenarnya.
Bibirku tersenyum, bebanku terangkat kemudian semuanya gelap.
***
"Di mana ini?"
Mataku terbuka perlahan menyesuaikan cahaya terang yang masuk ke dalam irisku. Perlahan membangunkan badan, menatap padang hijau luas tempat aku berdiri sekarang. Tempat yang tidak ku kenal bahkan tidak pernah ku bayangkan sebelumnya. "Aku di mana?"
"Jinhwan hyung!"
Aku terkejut mendengar suara itu dan mataku langsung tertuju ke arah suara. Ku lihat Donghyuk, Junhoe, Jiwon, Yunhyeong, Hanbin dan Chanwoo tengah berlari ke arahku. Berlarian kencang dengan wajah bahagia. Berbinar seperti baru bertemu sahabat lama.
"Kalian tidak marah padaku?!" teriakku kepada mereka yang masih berlari.
"Tentu saja kami marah padamu bodoh!"
"Hiks, m-maafkan aku.."
"Tapi siapa yang bisa terus menyimpan dendam dan tak memaafkan sahabatnya sendiri?!"
"B-benarkah?"
"Kau mungkin salah tapi kami tahu semua itu tidak sepenuhnya keinginanmu!"
"Jadi.. kalian memaafkan ku?"
"Bukan kah sudah jelas bodoh!"
Aku menangis sejadi-jadinya, jawaban mereka bak pintu terbuka untukku.
Ku biarkan kakiku ikut berlari kencang ke arah mereka. Tiupan angin menerpa wajahku yang juga tak kalah bahagia, membiarkan butiran-butiran halus di mataku beterbangan terbawa hembusan angin lalu pecah di ujung rumput hijau.
Semakin dekat semakin ku lihat jelas wajah-wajah mereka yang bercahaya, terlihat tampan dengan pakaian putih bersih sama seperti yang juga ku pakai sekarang.
Sungguh, tak ada yang kurasakan selain perasaan lega dan bahagia.
"Hyuuung!"
Kami sama-sama mengikis jarak, menatap wajah satu sama lain sebelum akhirnya keenam pria itu menarikku ke dalam pelukan mereka.
-END-
Woaaah akhirnyaaaaa selesai juga~~
Makasih banyak buat yang sudah baca 💜 Semoga terhibur dengan jalan cerita dari chapter awal sampai akhir ya~
Ini pertama kali aku bikin ff bergenre thriller, maaf kalau endingnya tak sesuai ekspektasi, tapi aku sendiri sudah puas karena menurut aku ini yang terbaik buat mereka semua 🤗
Sekali lagi, thank you yeorobuuuun~ 🙆🙆🙆
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top