08
Wajah pucat pasi itu masih tenang seperti sebelumnya, belum ada tanda-tanda ia akan membuka mata. Namun, pria itu beruntung ditemukan dengan cepat sehingga ia mendapat penanganan yang cepat pula dari petugas medis.
"Apa keluarganya sudah di beritahu?"
"Sudah, mereka mengatakan akan tiba di Seoul besok lusa."
"Syukurlah.."
Yunhyeong melirik jam tangan, waktu sudah menunjukan pukul satu malam. Setelah menemukan Jiwon tergeletak dengan pergelangan tangan bersimbah darah—mereka beserta security apartemen langsung membawanya ke rumah sakit terdekat.
"Kalau saja kita datang lebih cepat." Yunhyeong menundukkan wajah, memeluk paha lalu menenggelamkan wajah di sela-selanya.
"Sudahlah." Jinhwan memusut punggungnya.
"Jiwon pasti tak akan terluka seperti sekarang."
"Sudah hyung." tambah Chanu.
"Yunhyeong, kita beruntung Jiwon masih sempat di selamatkan."
"Aku hanya tak mengerti hyung, kenapa kejadian ini terus menimpa kita? Hanbin bahkan belum sembuh dan sekarang hal ini menimpa Jiwon lagi. Sepertinya aku salah ketika mengatakan kalau ia mungkin seseorang yang melakukan ini hanya demi kepuasannya sendiri. Ku rasa ia benar-benar mempunyai dendam kepada kita."
Jinhwan mendongak, menatap langit-langit koridor sambil menghela nafas kasar. "Entahlah, yang pasti orang itu sedang bermain-main dengan kita."
"Bermain dengan sangat kasar."
"Keji, Song Yunhyeong. Bukan kasar lagi."
"Rasanya aneh hyung. Entah kenapa aku jadi terbiasa dengan keadaan seperti ini. Maksudku, beberapa bulan terakhir kita selalu menginjakkan kaki di rumah sakit."
"Aku juga, antara muak dan terbiasa sulit di bedakan."
Chanwoo menimpali. "Akupun begitu hyung. Aku benci bau obat-obatan, aku benci bau porselen lantai rumah sakit, aku bahkan tak suka udara di sini. Tapi entah kenapa kita yang selalu saja kembali lagi ke tempat ini."
Mereka sama-sama menghela nafas panjang setelahnya, bergumul dengan pikiran masing-masing. Mungkin sekitar 10 menit tidak ada yang bersuara. Sama seperti keadaan koridor rumah sakit di mana mereka berada, hening.
"Oh ya, ruangan Hanbin tak jauh dari sini kan?" Jinhwan memecah keheningan.
"Ruangan Hanbin ada di lantai bawah, kenapa?" sahut Yunhyeong.
"Tidak, baguslah mereka di rawat di rumah sakit yang sama. Jadi lebih mudah bagi kita menjenguk mereka berdua."
"Ya, kau benar."
***
Besoknya mereka pergi lagi ke rumah Donghyuk. Sudah bisa di tebak, Donghyuk masih belum pulang dan orang tuanya bahkan sudah melaporkan kepada polisi perihal Donghyuk sebagai orang hilang.
"Ibu yang sabar, Donghyuk pasti akan segera pulang." Yunhyeong memusut punggung tangan perempuan paruh baya itu dengan lembut, mencoba memberi kekuatan pada ibu Donghyuk yang terlihat jauh lebih kurus dari sebelumnya.
"Aku hanya tak mengerti kenapa ia pergi dari rumah. Aku terus berpikir apakah ada yang salah di rumah ini, tapi tidak ada. Kami baik-baik saja dan tidak ada masalah sedikitpun."
"Kami pun begitu, sangat bingung dengan semua yang terjadi akhir-akhir ini."
"Kalau ia menghubungi salah satu dari kalian, secepatnya tolong hubungi kami."
"Tentu saja bu. Kalau begitu kami pamit dulu."
Mereka sudah pulang dari rumah Donghyuk dan sekarang berada di dalam mobil Yunhyeong, sang empu mobil terus melajukan mobil hitamnya di tengah jalanan kota Seoul yang langitnya mulai berwarna jingga kemerahan.
"Sebenarnya ia ada di mana?"
"Aku juga tak tahu, Donghyuk bagaikan ditelan bumi." sahut Jinhwan.
"Apa kau tak merasa semua ini sangat aneh hyung? Donghyuk keluar dari rumahnya kemudian menghilang begitu saja. Coba kau pikirkan, Donghyuk bukan tipe orang yang akan melakukan hal seperti itu."
"Aku tahu, bahkan kemungkinan ia yang pergi tanpa menghubungi keluarga dan sahabatnya tak lebih dari satu persen."
"Ya, ia menyayangi semua sahabatnya, apalagi keluarganya." sahut Chanwoo.
"Kau benar. Ah! Kenapa aku baru mengingatnya!" Yunhyeong tiba-tiba menepuk gagang setirnya.
"Apa? Kau mengingat apa?"
"Ketika kita menjenguk Hanbin di rumah sakit ia sempat berucap kalau ia yang menggantikan posisi Donghyuk menjadi main dancer di perlombaan, kan?"
"Iya, memang ada apa dengan itu?"
"Sebenarnya beberapa minggu sebelum terjadi penusukan terhadap Donghyuk, Donghyuk datang ke rumahku. Ia datang dengan wajah kesal dan berkata Hanbin benar-benar membuatnya marah. Ia bahkan menangis meluapkan kekesalannya saat itu."
"Marah kenapa?"
"Senior Kim memberitahu Hanbin tentang lomba dance tahunan dan ia meminta Hanbin supaya memberitahu Donghyuk agar berlatih setiap sabtu dan minggu. Tapi Hanbin tak pernah mengatakan apa-apa kepada Donghyuk sehingga senior Kim berpikir kalau Donghyuk tak ingin ikut serta dalam lomba."
"Yang benar?"
"Ya, Hanbin bahkan menawarkan dirinya sendiri agar di ikut sertakan. Tapi pada akhirnya senior Kim sendiri yang menemui Donghyuk untuk menanyakan perihal ia yang tak kunjung datang untuk latihan. Tentu saja Donghyuk sangat terkejut karena ia tak pernah di beri tahu sebelumnya."
"Kenapa Hanbin seperti itu?" lirih Jinhwan.
"Lalu bagaimana?" tanya Chanwoo.
"Lalu senior Kim marah besar kepada Hanbin, dan Donghyuk langsung ia minta menjadi main dancer untuk perlombaan. Ku dengar Hanbin juga tak kalah kesal saat itu, karena Donghyuk yang belum pernah ikut latihan untuk lomba malah langsung di tunjuk berada di posisi main dancer."
"Astaga.. Kenapa aku tak pernah mendengar cerita ini."
"Kau tahu hyung, mungkin bagi kita hal itu tidak terlalu penting, namun Donghyuk, kau tahu sendiri kan bagaimana ia bekerja keras? Setiap hari berlatih mati-matian membagi waktu dengan jam belajarnya."
"Ya, aku sangat paham sekali. Terlebih seorang sahabat secara tak langsung telah menusuknya dari belakang."
***
"Kau ingin pulang sekarang?"
Yunhyeong mengangguk sambil memasukan ponsel ke dalam kantong celananya. "Ya hyung, sudah jam 8 malam. Aku ada acara makan malam bersama keluargaku."
"Tumben sekali?"
"Ya sudah hyung, aku pulang dulu ya."
Jinhwan kembali merebahkan badannya setelah mengantar Yunhyeong keluar kamar. "Hari yang berat."
"Kapan semua ini akan berakhir?"
"Ck! Hahahaa! Apa langsung saja ku akhiri semuanya?!"
"Hyung." Chanwoo yang tadi berada di kamar mandi, keluar di balik pintu.
"Apa yang kau bicarakan? Kenapa kau tertawa seperti itu?"
"A-ah? Tidak Chan, tidak ada apa-apa."
"Yunhyeong hyung sudah pulang?"
"Iya, baru saja. Dia tidak bisa mengantarmu karena ada acara makan malam bersama keluarganya."
"Ya sudah. Kalau begitu aku pulang juga."
"Cepat sekali?"
"Aku baru ingat ada sesuatu yang harus ku kerjakan."
"Apa?"
"Mau tahu saja."
"Ck, ya sudah kalau begitu. Ayo ku antar."
"Tak perlu hyung. Aku akan menghubungi taksi online."
"Benar tidak apa-apa? Biasanya kau selalu merengek memintaku mengantarmu pulang."
"Tidak apa hyung, aku ada keperluan jadi harus ke suatu tempat terlebih dahulu."
"Ya sudah, aku juga ada keperluan setelah ini."
Chanwoo mendudukan badan di kasur Jinhwan dengan tangan mengutak atik ponselnya. Tak berapa lama ia berdiri, memotong fokus Jinhwan yang tengah menatap layar TV yang terpasang di dinding kamar.
"Hyung?"
"Eum?"
"Sepertinya taksi ku sudah ada di depan. Kalau begitu aku pulang dulu hyung." ucap Chanwoo dengan senyuman sebelum akhirnya menghilang di balik pintu.
***
Unknown POV.
"Fufufu, cantik sekali~"
Tanganku memegang benda cantik yang berkilau. Panjang, berkilau, dan tentu saja—tajam. Ku tatap benda kesayanganku itu dengan sunggingan, membayangkan betapa indahnya ia yang akan melakukan tugasnya sebentar lagi.
Tanganku dengan cepat memasukkan kembali benda tajam itu ke balik sweater hangatku sesaat sebelum kakiku melangkah ke dalam lift dan naik ke lantai atas.
Ting!
Pintu lift terbuka. Aku kembali melangkah, mataku bergerak ke kiri ke kanan mengedarkan pandangan saat melalui koridor panjang rumah sakit. Bagus lah tidak ada orang, malam hari memang waktu terbaik untuk beraksi.
Bibirku menyungging untuk kesekian kalinya. Sungguh! Aku sangat menantikan saat-saat ini!
"Huaaah! Aku tak sabar mendapat maduku, madu merahku yang kental dan manis itu~"
Langkahku semakin dekat ke sebuah ruangan. Aku yang sudah sampai di depan pintu bercat putih itu lalu menyandarkan punggung di sana. God! Jantungku berdebar kencang! Keringat mengalir deras di permukaan pelipis—aku sangat tegang! Tegang dan gembira secara bersamaan.
Aku yang tak bisa berhenti tersenyum terus bergidik dengan gigi bergemerak tak karuan. Ku gigit tanganku yang mengepal, mengurangi rasa memabukkan yang tiba-tiba menyerang.
"Ia ada di dalam, kan?"
Pintu kubuka beberapa senti. Sebelah mataku mendekat ke celah yang terbuka, mengintip sosok pria yang terbaring di atas kasur polosnya.
Wajahku menyeringai sebelum berucap. "Hehehe, gotcha~"
Kembali ku sapu pandangan dan memeriksa keadaan di sekitar. Merasa aman, segera kakiku melangkah masuk ke dalam.
Aku sudah berada di hadapannya, menghadapnya yang masih terbaring lemah. Ku tatap dari wajah sampai ujung kakinya, sosok orang yang paling ku benci. Sosok orang yang seharusnya mati pertama kali.
Tiba-tiba otakku teringat kejadian kemarin malam, pesan-pesan yang sengaja ku kirim untuk menghancurkannya. Menghancurkan mental dan hatinya.
"Aku tahu kalau kau itu bodoh, tapi aku tak menyangka kalau kau sebodoh itu."
Tanganku perlahan mengambil benda yang dari tadi ku simpan di balik sweater, memutar-mutarnya sebentar sambil masih menatapnya.
"Harus ku lakukan di bagian mana dulu?"
"Wajahnya, lehernya, atau perutnya?"
"Eum, atau langsung saja ku tikam ke jantungnya ya? Hehehe.."
Tanganku sudah bersiap menusuknya, namun kakiku tak sengaja mengenai palang kasurnya cukup keras. Matanya sontak terbuka, melebar terkejut melihat sekelebat sosokku yang tengah mengangkat tinggi sebuah pisau.
"Apa yang kau lakukan?!" tangannya langsung menahan mata pisau yang hampir menyentuh dadanya, membuat tetesan darah mengalir tangannya.
"Ugh! Kau sudah gila?!"
"Kau harus mati malam ini! Kau harus menebus semua dosamu Kim Jiwon!"
"Apa yang kau katakan?!"
"Aaargh!" dengan kuat ku tekan pisauku, ia semakin meringis ketika pisau itu semakin dalam masuk ke genggaman tangannya.
"TOLONG!! TO--!!"
Ku tarik bantal yang ia rebahi dengan cepat dan membekapkan ke wajahnya karena aku tak ingin ada orang yang mendengarnya berteriak. Tangannya mencoba melepas bantal yang membekap wajahnya, membuat genggamannya terlepas dari pisau.
Semakin kuat ku tekan bantal itu. Sungguh, aku merasakan kebahagiaan tak terhingga ketika melihat badannya yang terus mengejang, suaranya yang terus mencoba berteriak meminta tolong dan ampunan.
Lalu dengan cepat ku arahkan sebelah tanganku ke dadanya, menusuk jantungnya bertubi-tubi sampai ku lihat darah segar menggenangi seprai putih kasurnya.
"Huuh.." punggung tangan menyapu keringat di pelipis, bibirku tersenyum melihat hasil karya yang ku ciptakan.
"Selesai. Satu lebah sudah menemui sahabatnya. Sisanya, akan menyusul tak lama lagi."
***
Pagi hari yang seharusnya menjadi saat-saat tenang terganggu oleh satu teriakan keras dari seorang perawat perempuan, membuat gempar seisi rumah sakit setelahnya.
Pihak kepolisian yang sudah datang dengan sigap memasang garis polisi di depan kamar yang menjadi penyebab keributan berasal. Pintu yang terbuka membuat banyak orang terus berusaha melihat apa yang sebenarnya terjadi di dalam sana.
Kacau. Satu kata yang cukup untuk menjelaskan semuanya. Kasur yang berwarna merah, lantai di bawah kasur yang basah di genangi darah, bau amis darah yang mulai menyeruak membuat siapa saja bergidik ngeri menyaksikannya.
Namun, manusia—makhluk yang mempunyai rasa penasaran tinggi akan tetap tak beranjak dari sana, masih mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"JIWOOOOON!!" terlihat Yunhyeong datang berlari, di susul Jinhwan dan Chanwoo di belakangnya.
Mereka mendorong kerumunan orang, mencoba masuk ke dalam garis polisi yang terpasang sambil masih berteriak keras.
"HEI! KALIAN TIDAK BOLEH MASUK!" beberapa polisi dengan cepat menahan, mendorong tubuh mereka sampai terhempas ke kerumunan orang.
"BRENGSEK!! BIARKAN KAMI MASUK SIALAN!" Jinhwan melepas tasnya dan melemparkan ke salah satu polisi yang tadi mendorongnya.
Yunhyeong dan Chanwoo pun sama, masih berusaha masuk sambil melawan dengan kuat. "BANGSAT! BIARKAN KAMI MELIHATNYA!"
"BAJINGAN TENGIK!! JANGAN MENGHALANGI PERKERJAAN KAMI!!"
BUAK!
Jinhwan memukul wajah polisi yang sedari tadi menahannya dengan kuat, membuat sebuah celah terbuka dan langsung di manfaatkan mereka untuk segera merangsek masuk ke dalam kamar.
Yunhyeong berteriak histeris melihat Jiwon yang sudah menjadi mayat, sebelum ia jatuh tak sadarkan diri, terhempas keras ke lantai basah.
Jinhwan terdiam, ia melirik Chanwoo di sampingnya yang juga sama terdiam. Membeku melihat sahabat mereka yang sudah tak bernyawa, tewas mengenaskan dengan badan bersimbah darah serta lubang menganga di bagian dada.
"HYUNG!"
Jinhwan menolehkan kepala, pandangannya tertuju pada sosok Hanbin yang tengah berdiri bersama kerumunan orang. Ia menggunakan kruk atau alat bantu jalan yang menopang tubuhnya, dan di saat bersamaan beberapa orang polisi datang menarik tubuh mereka untuk keluar dari kamar. Chanwoo berdiri mematung dengan wajah tak percaya, sementara Jinhwan langsung terduduk lemas.
"Hyuuung." Hanbin memeluk Jinhwan, menangis keras di bahunya.
"JIWON, HYUNG! SESEORANG SUDAH MEMBUNUH JIWON!"
Hanbin masih berteriak dan menangis kencang memeluk Jinhwan, membuat pria itu merasa pusing dan sesak. Tak lama suara orang-orang terasa memelan di telinganya, pandangannya mulai berkunang-kunang, sampai akhirnya ia jatuh tak sadarkan diri menyusul Yunhyeong.
***
Dua orang polisi masih berkutat dengan banyak berkas di atas meja. Memilih, memilah, dan mencocokkan lembaran-lembaran kertas yang mereka rasa ada sangkut pautnya satu sama lain.
"Bagaimana? Kau menemukanya?"
Ia menggeleng heran dengan jari telunjuk yang masih menyusuri setiap tulisan. "Belum, ternyata lebih sulit dari dugaanku."
Matanya terus berganti menatap tulisan beberapa nama di secarik kertas itu lalu menatap ke layar ponselnya, mencocokkan tulisan itu dengan satu foto di dalam ponsel.
"Sidik jari tidak di temukan, cctv rumah sakit juga tidak menemukan sosok yang mencurigakan. Satu-satunya bukti yang cukup kuat adalah tulisan di foto ini."
Ia kembali menatap layar ponselnya, menatap sebuah foto di sana. Sebuah foto bagian seprai kasur yang bertuliskan sesuatu, seperti huruf-huruf yang di tulis dengan darah.
"Aku benar-benar tak bisa membacanya. Seandainya ia mempunyai waktu yang lebih banyak saat itu."
"Bersyukur ia sudah berusaha menulisnya. Membayangkan ia yang berusaha memberi tahu siapa si pembunuh ketika ia pun sudah dalam keadaan sekarat—ia pasti orang yang kuat, dan kita beruntung dua huruf itu ia tulis dengan jelas."
"Kau benar. Dua huruf itu ia tulis dengan jelas, hanya saja.." polisi dengan nametag bermarga Park itu menatap tajam kertas di tangannya.
"Kenapa?"
"Mereka semua mempunyai nama dengan kedua huruf itu."
"Benarkah?!"
"Ya, semuanya mempunyai huruf H dan N di nama mereka."
"ARGH! BAGAIMANA BISA?!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top