05
Hanbin POV
Telapak tanganku mengusap air di wajah, rasanya basah dan dingin. Kepalaku mendongak menatap langit yang sedari tadi masih menghitam mengeluarkan rintik hujan, bagai pelengkap suasana abu-abu di tanah luas yang rumputnya berwarna hijau kusam sekarang.
Rasanya menyakitkan melihat seorang sahabat dimasukkan ke dalam lubang sempit bersama peti hitam yang mengurungnya.
Aku memandang sekitar. Keluarga, teman, sahabat meraung keras saat peti itu sudah tak nampak di pandangan mata. Seandainya hari ini hujan turun lebih deras lagi mungkin aku akan meraung tak kalah hebat dari mereka. Menyembunyikan tangis, teriakan, kekesalanku di antara derasnya air hujan.
Ia selalu berkata rumah bagaikan penjara baginya. Ia ingin pergi, pergi yang jauh. Namun, tak ku sangka ia akan pergi sejauh ini.
"Selamat jalan Koo Junhoe, semoga kau tenang di sana."
"Hanbin, ayo kita pulang."
Aku melirik ke samping, Jiwon memegang lenganku dengan raut wajah yang sulit ku jelaskan. Matanya merah, bengkak, basah bercampur menjadi satu. Ia terlihat kacau, sama sepertiku.
Melihat yang lain, tak berbeda jauh dari kami berdua. Mereka semua terlihat begitu terpukul dengan kematian Junhoe yang begitu tiba-tiba. Mendengar seorang sabahat meregang nyawa di sebuah club karena minuman yang telah di racuni sebelumnya, wajar membuat kami shock seketika. Bahkan Yunhyeong sempat tak sadarkan diri ketika mendengarnya.
Kamipun berjalan menjauh meninggalkan suasana haru yang masih terdengar. Aku menghentikan langkahku, berbalik sebentar menatap tanah rata itu sebelum kembali berjalan menyusul yang lain.
Tenang saja teman, kami akan ke sini lagi.
Ya, kami pasti ke sini lagi.
***
Perkuliahan di tiadakan karena sedang libur musim panas. Malam itu, seorang pria nampak sibuk membenarkan susunan botol minuman bersoda yang tak sesuai dengan merknya di atas rak susun.
Jiwon POV
"Haah. Aku tak menyangka bekerja ternyata selelah ini."
Libur musim panas ku manfaatkan untuk bekerja di sebuah minimarket yang tak jauh dari apartemenku. Aku merasa tak nyaman setiap bulan terus menerima uang dari orang tuaku yang berada di luar negeri. Walaupun mereka cukup kaya, setidaknya aku juga harus berusaha mencari uang sendiri, bukan?
Ku lepas rompi karyawanku dan duduk di kursi kasir, mengibas-ngibaskan tangan ke wajah karena udara yang cukup panas malam itu.
Ku lirik jam bundar yang menempel di dinding, jarum pendek berada di antara angka satu dan dua. "Sepi sekali. Memang ada pembeli di jam seperti ini? Bahkan para ahjussi mabuk yang katanya biasa membeli minuman keras di malam hari saja tidak terlihat."
Minimarket tempat ku bekerja buka 24 jam. Aku sedikit kesal karena shift tengah malam pertamaku harus ku lalui seorang diri. Pegawai yang seharusnya menemaniku mengatakan tak bisa masuk kerja karena sedang tak enak badan.
"Seharusnya tuan Park menutupnya saja. Untuk apa repot-repot membuka sampai tengah malam begini kalau tak ada pengunjung yang datang? Hanya menghabiskan uang untuk gajih pegawai, pria tua itu belum pandai berbisnis rupanya."
Blam!
Pandanganku menghitam tiba-tiba, semua lampu yang ada di dalam minimarket ini padam.
Badanku menegang seketika, aku mengidap nyctophobia. Mungkin bagi sebagian orang hal itu aneh dan kekanak-kanakan, namun aku sungguh mengidapnya karena saat kecil pernah tak sengaja terkunci di ruangan gelap selama berjam-jam sehingga mengakibatkan trauma sampai sekarang. Tanganku yang bergetar mulai sibuk merogoh kantong celana, berusaha mencari ponsel sebagai penerang.
Shit! Mana ponselku?!
Astaga, aku meninggalkannya di area botol minum!
Nafasku mulai sesak, aku terserang panik seketika.
Tap tap tap tap..
Telingaku samar-samar mendengar suara langkah kaki. Aku dengan tubuh gemetar segera beranjak dari kursi dan bersembunyi di bawah meja kasir. Semua kejadian yang menimpa kami belakangan ini membuatku terus merasa cemas. Badanku langsung meringkuk takut dengan sendirinya, nafasku tersengal dan keringat mulai mengalir di permukaan kening.
Sekuat tenaga ku kembalikan kesadaran demi mengurangi rasa panik yang menyerang. Aku yang merasa sedikit membaik kembali menajamkan telinga dan mencoba mendengar arah langkah kaki itu berada.
Tap tap tap tap..
Suara itu terdengar semakin dekat.
T-tuhan, tolong aku..
KLANG! KLANG!
APA ITU?!
Bunyi hantaman nyaring yang sepertinya mengenai rak-rak susun. Siapapun itu, ia pasti membawa benda yang cukup besar sampai bunyinya terdengar sangat keras.
KLANG! KLANG! KLANG!
Bunyi pukulan besi dan langkah kaki itu semakin dekat, aku yakin ia kini sedang memukul rak susun yang berada tepat di depan meja kasir.
Di tengah kegelapan yang mencekam ku coba meraba apa saja yang ada di sekitar dan berharap menemukan sesuatu yang bisa ku jadikan alat perlawanan. Namun tak ada apa-apa di bawah meja kasir itu selain beberapa kertas struk belanja bekas yang belum sempat ku buang.
Kini pasrah dengan apa yang akan terjadi, aku benar-benar ketakutan hebat. Namun tak berapa lama suara itu tak terdengar lagi. Beberapa menit berlalu suara itu seperti menghilang. Aku yang merasa keadaan sekitar sedikit aman lalu keluar dari bawah meja, mencoba berdiri dengan kaki lemas.
TAP TAP TAP TAP TAP!!
Baru saja aku berdiri suara langkah kaki itu kembali terdengar. Seperti berlari kencang siap menerjang ke arahku yang membuatku langsung berteriak keras. "AAAARGH!!"
"Hei Kim Jiwon! Ini aku!"
Seseorang mengguncang tubuhku, ia membawa sebuah senter di tangannya sehingga membuatku samar-samar melihat wajahnya.
"T-tuan Park?"
"Kau kenapa? Kenapa berteriak seperti itu?!"
"Ada seseorang di sini tuan Park! Ia memukul-mukulkan sesuatu ke rak sana!"
"Memukul rak? Jiwoon, tidak ada siapa-siapa ketika aku masuk tadi."
"Aku bersumpah tuan Park! Ada seseorang tadi di sini! Aku tidak berbohong! Hiks, sepertinya ia ingin melukaiku.. Tidak! Ia pasti ingin membunuhku!"
"Jiwon, tidak ada siapa-siapa! Kau kenapa? Apa kau berhalusinasi?" ia menekan kedua bahuku, menahan tubuhku yang terus bergerak panik. "Kenapa akhir-akhir ini kau sering terlihat ketakutan?"
"Berhalusinasi? T-tidak mungkin.."
"Akhir-akhir ini ku lihat kau seperti kurang sehat, kau bahkan sering melamun sendiri. Memangnya ada apa? Ceritakan saja kalau kau punya masalah."
"Aku bersumpah tuan Park! Aku tidak berbohong kalau ada orang di sini sebelum kau datang!"
Ia masih mencoba menenangkan sambil memusut bahuku. "Sudahlah, tenangkan dirimu Kim Jiwoon. Tidak ada siapa-siapa ketika aku masuk tadi."
Aku terduduk lemas, dadaku masih bergemuruh tak karuan.
"Aku sengaja ke sini karena mendengar Lee tak bisa datang bekerja. Aku merasa khawatir denganmu yang belum pernah berjaga di shift malam. Ternyata benar, dari luar sudah kulihat lampu yang padam."
"Apa yang terjadi? Kenapa semua lampu di sini tiba-tiba padam?"
"Aku juga tidak tahu. Padahal di luar sana lampu jalan menyala terang. Ya sudah, lebih baik kita tutup saja. Besok pagi akan ku panggil tukang listrik untuk memeriksanya."
***
Hanbin POV
Badanku rasanya remuk setelah latihan berjam-jam untuk persiapan terakhir dance competition besok. Aku masih terduduk sambil menyeka keringat dengan handuk kecil saat ku lihat yang lain sudah berdiri bersiap pulang, membuatku tersadar kalau aku harus pulang juga jika tak ingin berakhir sendirian di studio besar ini. Mengingat sekarang juga sudah hampir jam satu malam.
Berdiri mengambil tas dan memasukkan handuk juga botol minum, baru ingin ku tutup kembali resleting tas–ponselku yang berada di dalam sana mengeluarkan bunyinya.
Jiwon? Kenapa menelpon di tengah malam begini?
"Hallo Jiwon, ada apa?"
"Kau dimana? Bisa ketempatku sekarang? Aku sangat ketakutan, entah kenapa seperti ada seseorang yang terus mengawasiku."
"Itu hanya perasaanmu saja Kim Jiwon. Aku sedang di studio, baru selesai latihan."
"Kau di studio?"
"Iya, sebentar lagi aku pulang tapi sepertinya aku tidak bisa ke sana. Kau tenang saja, tidak ada yang mengawasimu. Aku berjanji akan ke tempatmu besok setelah selesai lomba."
"Kau benar-benar tidak bisa ya?"
"Aku benar-benar tidak bisa. Aku harus pulang dan istirahat. Kalau tidak, mungkin besok aku akan mengacaukan penampilan. Coba kau hubungi yang lain, siapa tahu ada yang bisa ketempatmu."
"Aku sudah menelpon mereka semua tapi tidak ada yang mengangkat selain kau. Aku heran, apa yang mereka kerjakan sampai tidak bisa mengangkat panggilanku?"
"Mungkin mereka sudah tidur. Ini juga sudah tengah malam, bukan? Kau juga lebih baik coba tidur. Aku berjanji besok akan ketempatmu."
"Sepertinya aku yang terlalu cemas karena terus teringat kejadian dua hari yang lalu di minimarket."
"Lebih baik kau segera tidur, kau tenang saja."
"Ya, kau benar. Ngomong-ngomong kau masih di studio selarut ini? Aku saja ketakutan setengah mati setelah semua hal yang menimpa kita, tapi kau malah terlihat tenang-tenang saja."
"Hahaha, kau hanya tak tahu. Aku bahkan takut berada di studio seorang diri makanya sekarang aku bersiap pulang."
Mataku reflek melihat sekeliling, sunyi. Tidak ada siapa-siapa selain diriku beserta bayanganku yang terpantul di kaca besar ruang studio.
"Ah sial! Sepertinya yang lain sudah pulang duluan. Gara-gara kau aku jadi tidak sadar!"
"Hahaha! Maaf-maaf.."
"Kacau, aku tak membawa mobilku. Padahal aku berencana menumpang nanti pulang."
"Nah! Mampus kau. Coba kau hubungi taksi online. Mungkin saja masih ada yang beroperasi di jam ini."
"Di jam satu malam? Pembunuh berantai mungkin saja menyamar sebagai seorang supir lalu menikamku di dalam mobilnya."
"Kau terlalu banyak menonton film. Lalu kau bagaimana?"
"Aku pulang lewat jalan pintas saja."
"Berjalan kaki? Kau serius?"
"Aku serius."
"Haha! Kau memang luar biasa! Memang kau akan lewat jalan pintas yang mana?"
"Yang biasa kita lalui dulu kalau kita berjalan dari studio ke rumahku, kau ingat kan?"
"Ah, jalan itu? Ya, lewat sana saja. Lebih dekat ketimbang jalan besar."
"Ya sudah kalau begitu aku pulang sekarang. Kau sebaiknya segera tidur, Kim Jiwon."
"Aku akan tidur sekarang. Semoga sukses dengan lombamu besok!"
"Tentu saja!"
***
"Kenapa sunyi sekali?" gumamku yang terus melangkah melewati jalan sempit dan gelap yang sepertinya tidak ada tanda-tanda kehidupan. Bahkan suara jangkrikpun tidak terdengar. Setengah menyesal ketika mengingat ucapanku yang sangat percaya diri untuk pulang berjalan kaki.
Sebenarnya aku juga tidak ingin melewati jalan ini, namun ku pikir ini adalah jalan tercepat menuju rumah. Ku lihat layar ponselku, sudah jam setengah dua malam.
Ku hela nafas panjang sebelum memasukkan kembali ponsel ke dalam kantong hoodie. Aku yang masih berjalan sontak menghentikan langkah kaki, sesuatu di depan mengalihkan perhatian.
Sebuah mobil hitam dengan kaca gelap berada di ujung jalan. Ini jalan kecil yang di tujukan untuk pejalan kaki, tidak akan bisa di lalui sebuah mobil kecuali orang itu cukup gila untuk memaksakannya.
Mencoba tidak menghiraukan namun tidak berhasil ketika ku lihat lampu mobil itu yang tiba-tiba berkedap kedip. Lampu depannya ia matikan, beberapa detik kemudian ia nyalakan, matikan dan nyalakan lagi. Begitu terus berulang-ulang.
"Ada apa dengan orang itu?"
Aku tak bisa melihat dengan jelas siapa di baliknya karena kaca mobil itu cukup gelap. Tak lama kemudian ia matikan lampu depannya, namun mobil itu justru bergerak lurus menuju arahku. Berjalan maju sampai-sampai bannya melindasi pot pot kecil yang ada di sisi jalan.
Shit! Tidak ada celah untuk menepi jika berpapasan dengan sebuah mobil! Kalau ia terus maju ia akan menabrakku!
"Hei!"
Aku berteriak yang membuatnya menghentikan laju mobilnya. Namun mataku reflek menutup ketika tiba-tiba ia nyalakan lagi lampu depannya.
"Brengsek! Mencoba bermain-main denganku rupanya?!"
Aku berjalan mendekat sambil berusaha menutup silau yang masuk ke dalam mata. "Keluar kau!"
Aku sudah kesal sekarang, mobil itu lalu bergerak, tidak maju melainkan mundur. "Ck! Baru di bentak sedikit sudah kabur!"
Ia terus bergerak mundur, membuatku tertawa dalam hati karena berhasil menakutinya.
Namun ada yang aneh, ia tiba-tiba berhenti dan sedikit demi sedikit menjalankan lagi mobilnya ke depan. Semakin lama semakin cepat, cepat, dan cepat hingga hanya menyisakan beberapa meter dari tempatku berdiri.
"HEI HEI!! APA KAU GILA?!!"
Ia terus menambah kecepatan mobilnya.
Aku sontak berbalik dan mulai berlari, sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan mobil itu tidak mengenaiku. "HEI!! KU KATAKAN BERHENTI!!"
Berlari semakin kencang namun ia semakin kencang pula menginjak pedalnya. "DASAR GILA!! HENTIKAN SEKARANG!!"
"HENTIKAAAAAN!!"
BRAK!
Tubuhku melayang, aku terhempas keras setelahnya. Mataku mengerjap setelah badanku mendarat di atas aspal dingin. Ku lirik ke bawah, kakiku tak bisa di gerakkan dengan cairan merah yang membasahi begitu banyak.
Kepalaku pusing, kurasakan cairan kental itu juga mangalir di pelipisku. Setelahnya gelap, aku kehilangan kesadaranku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top