Ch. 03: Dalang Pembunuhan
Ketika Neil berhasil meraih kesepakatan dengan Black, dia berpikir hidupnya akan berjalan lebih mudah. Keyakinan itu begitu besar hingga dia merasa bisa bersantai di rumah, menunggu hasil kerja Black. Neil mengira dia bisa memanipulasi Black—menggunakan nama besar Park Junho sebagai umpan—tanpa harus terlibat langsung. Selain alasan pribadi karena rasa iri yang lama terpendam terhadap Black, Neil juga takut berurusan dengan kelompok The 7-Red. Organisasi mafia terbesar ketiga di negara ini, kekuatan mereka menakutkan dan brutal. Meski target mereka hanya tipe C, hubungan target tersebut dengan Park Junho membuat misi ini semakin berisiko.
Neil tahu bahwa harga yang dipasang untuk kepala Jisoo sangat mahal. Uang yang dia berikan kepada Black hanyalah setengah dari bayaran sebenarnya. Sisanya akan dia kantongi sendiri setelah misi selesai. Namun, kenyataannya, Neil adalah pengecut. Dia tak sanggup mengotori tangannya, terutama jika ada risiko berhadapan dengan The 7-Red. Jadi, dia menyerahkan semuanya pada Black.
Neil tak seperti Black—dia tak punya kebiasaan bekerja rapi. Setiap aksinya selalu meninggalkan jejak dan kelemahannya yang paling fatal adalah perempuan. Sementara Black adalah pembunuh berdarah dingin yang beroperasi dengan kejam dan efisien, Neil sering kali kehilangan kendali, tergesa-gesa, dan takut akan bayang-bayangnya sendiri. Terlebih, dia sadar betul bahwa The 7-Red tidak akan memaafkan siapapun yang mengganggu keluarganya, terutama Jisoo, keponakan Park Junho. Namun, dia tetap memanfaatkan informasi tersebut sebagai alat negosiasi untuk meningkatkan harga kepala Jisoo.
Ketika Black menghubunginya dan mengatur pertemuan di tempat yang sama seperti sebelumnya, ekspektasi Neil membumbung tinggi. Dia yakin Black telah menyelesaikan misinya, dan segera dia bisa melaporkan kepada kliennya untuk menagih bonus besar yang dijanjikan. Neil sudah membayangkan liburan panjang di pulau terpencil di bagian selatan, bersama pelacur mahal yang telah dia pesan dari rumah bordil ternama. Rencananya sudah tersusun sempurna, dia bahkan membayangkan pesta kemenangan yang akan dia rayakan setelah ini.
Namun, realitas yang dihadapi Neil jauh dari ekspektasinya. Saat ini, tubuhnya terikat kuat di kursi, tangan dan kaki tak bisa bergerak. Wajahnya babak belur—bekas luka bakar di wajahnya yang dulu mencolok sekarang semakin buram, tertutup oleh lebam dan darah yang merembes. Pandangan matanya mulai kabur, sulit baginya untuk melihat dengan jelas.
Di sebelahnya, tubuh besar Bram, pria yang selama ini setia menemaninya, tergeletak tak bernyawa. Kepalanya hancur berantakan, diledakkan oleh satu peluru yang menembus tengkoraknya. Sisa-sisa otaknya terpercik ke pakaian dan tangan Neil, membuat perutnya terasa mual. Lautan darah menggenang di sekeliling tubuh Bram, baunya amis dan menusuk hidung, membuat udara terasa berat.
Dan hanya ada satu orang yang bertanggung jawab atas semua kekacauan ini: Black. Taeyong. Sosok yang sekarang berdiri di depan Neil, matanya berkilat di balik topeng yang menyembunyikan wajah dinginnya. Black telah menghukum Bram dengan kematian yang cepat, tapi Neil tidak akan mati semudah itu. Taeyong ingin bermain-main lebih lama—memastikan Neil menderita sebelum ajalnya tiba.
Bram sudah memperingatkan Neil sejak awal, tapi Neil memilih untuk mengabaikan peringatan itu. Neil terlalu sombong, terlalu ceroboh. Sekarang, dia terjebak dalam situasi di mana hidupnya tergantung pada pria yang pernah dia anggap sekadar alat. Black adalah sosok yang lebih kejam, lebih menakutkan, dan lebih berbahaya daripada yang Neil bayangkan.
“Harusnya kau mendengarkan peringatanku, Penguin—atau haruskah aku panggil kau Cho Neil, Bumsoo, Lixuan, Marcus?” Suara Taeyong terdengar licik, menggema di ruangan gelap itu. Di balik maskernya, senyum menyeringai terlihat jelas meski wajahnya tersembunyi. “Dari dulu kau memang payah mencuri identitas. Inilah kenapa kau selalu tertangkap dan jadi buronan setelah membunuh orang.”
“Persetan! Bunuh aku sekarang!” teriak Neil, suaranya penuh amarah namun juga ketakutan.
Tawa Taeyong yang dingin dan rendah mengisi udara, membuat bulu kuduk Neil meremang. Dia benci suara itu—suara yang penuh ejekan. “Pasti. Aku pasti akan membunuhmu. Jangan cemas, Penguin. Tak lama lagi kau akan menyusul temanmu, Bram.” Taeyong mendekat, matanya tak pernah lepas dari Neil yang kini terlihat seperti binatang terluka. “Tapi pertama-tama, aku punya hadiah untukmu.”
Taeyong mengangkat dagu Neil dengan dingin, memaksa pria yang ketakutan itu menatap langsung ke matanya—mata seorang pembunuh yang penuh nafsu untuk menghancurkan. “Kemarin aku menusuknya dengan pisau ini, lalu aku menusuk lukanya dengan jariku. Jadi, bagaimana kalau sekarang aku dedel perutmu dengan pisau yang sama dan tarik keluar ususmu dengan tanganku sendiri?” Suara Taeyong penuh racun, namun ada ketenangan yang menakutkan di setiap kata yang diucapkannya. “Bagaimana menurutmu, Neil? Kau suka, kan?”
Neil gemetar. Rasa sakit dari luka-luka di tubuhnya kini bukan lagi yang paling menakutkan—ancaman yang diucapkan Taeyong itulah yang menjadi teror terbesarnya. Dia tahu bahwa Black tidak main-main. Pria ini benar-benar akan melakukannya.
“Keparat!” Neil meludah dengan marah, meski tahu usahanya sia-sia.
Taeyong tersenyum dingin di balik maskernya, tatapan predatornya berkilat dengan kesenangan sadis. "Bagus kalau kau suka ideku. Aku akan memberimu pelayanan terbaikku. Kuharap kau tak kecewa kalau nanti aku sedikit kasar." Mata pria itu bersinar penuh ejekan, membuat Neil merasa mual setiap kali melihatnya. Dia benci mata itu—mata yang selama bertahun-tahun selalu menghantuinya.
“Oh, dan omong-omong, terima kasih.” Taeyong menepuk-nepuk wajah Neil yang penuh luka, membuatnya semakin tersiksa. “Berkat kau, aku menemukan orang yang sudah kucari selama 20 tahun ini.” Tatapan licik itu tak pernah berubah. Neil mencoba memberontak, berusaha kabur dari siksaan mengerikan yang sedang menunggu. Namun, dia tak bisa. Tangan dan kakinya terikat erat di kursi, tak memberinya ruang untuk bergerak.
Mata itu tersenyum lagi padanya. Neil memberontak hebat di kursinya. Berharap segera dapat kabur dari siksaan mengerikan di bawah kuasa predator sesungguhnya.
Taeyong mendekat, berbisik di telinganya dengan nada mengejek. “Sebaiknya kau berhenti bergerak-gerak, Penguin, supaya goresan pisauku di perutmu tetap rapi.”
“Keparat kau, Black! Tembak aku sekarang!” Neil berteriak putus asa, berharap bisa mengakhiri siksaan ini.
“Nah, nah. Itu ide buruk.” Taeyong menyeringai lebih lebar, suara dinginnya menusuk seperti pisau. “Pisauku lebih menawan daripada peluruku.”
“Kau bajingan sialan!” Neil semakin kalap, suaranya penuh amarah dan ketakutan. “Kau pantas masuk neraka!”
“Giliranku masih panjang,” jawab Taeyong dengan tenang. “Aku menunggu pertemuan kita di neraka nanti. Tapi sementara itu, tolong sampaikan salamku ke Bram di neraka.”
Ucapan itu menggema di ruangan, sementara tangan Taeyong mulai menggores perut Neil dengan pisau. Jeritan kesakitan Neil memenuhi udara, ketika ujung pisau dengan perlahan menembus kulit dan mulai membuat goresan horizontal di perutnya sepanjang tiga sentimeter. Darah mulai mengalir dan Taeyong tetap tenang—tanpa keraguan, dia terus bekerja dengan kejam. Matanya tak berkedip, tak terganggu oleh darah yang membasahi wajah dan tangannya. Di balik maskernya, dia tersenyum seperti orang sinting, menikmati pemandangan penderitaan Neil.
• killer •
Sementara itu, Jisoo merasa was-was meskipun pria misterius itu tak muncul selama dua hari terakhir. Setiap kali mendengar langkah kaki mendekat ke ruangannya, kecemasan merayap ke dalam tubuhnya. Rasa takut yang berlebihan membuatnya mudah paranoid, dan tidur pun menjadi hal yang sulit. Bayangan pria misterius yang menusuk perutnya terus menghantui, dan ia tak bisa melupakan perasaan saat pisau dan jarinya menembus kulitnya. Trauma itu semakin dalam, dan Jisoo sering mendapati dirinya tiba-tiba melindungi perutnya secara refleks.
Sudah empat hari berlalu sejak ia tinggal di rumah mewah ini, dan pemiliknya, seorang dokter flamboyan bernama Yuta, telah menunjukkan bukti otentik tentang keahliannya sebagai dokter. Meski awalnya Jisoo ragu, kartu nama Yuta dan sertifikat medisnya menunjukkan bahwa dia benar-benar seorang spesialis bedah dari rumah sakit terkenal. Namun, meski Yuta sudah menunjukkan segalanya, Jisoo tetap merasa dirinya diculik.
Jika dia bukan korban penculikan, kenapa Yuta tak mengizinkannya pulang? Mengapa dia harus menahan Jisoo di sini, meskipun ia terus memohon untuk diizinkan pergi?
“Ya Tuhan. Aku sudah mengatakan semuanya. Percuma bagi kalian menahanku di sini! Orang yang kalian cari itu sudah lama mati.” Jisoo berteriak frustasi. “Dan apa pun hubungan kalian dengan masa lalu ayahku, itu bukan urusanku!”
Yuta tetap tenang menghadapi protes berapi-api Jisoo. Mungkin, pikir Jisoo, ini adalah hasil dari pekerjaannya sebagai dokter, yang terbiasa menghadapi pasien dengan berbagai karakter.
“Kau mau aku tinggal di sini lebih lama? Menunggu bajingan gila yang hampir membunuhku dua kali itu datang lagi?” Nada suara Jisoo meninggi, matanya menyipit penuh kemarahan. “Sebenarnya kau ini dokter atau antek-antek Yama?!” Dia menghembuskan napas panjang, menenangkan dirinya sebentar sebelum melanjutkan. “Aku juga tak peduli soal hubungan kalian dengan ayahku. Orang tua yang kau sebut Tuan Richard itu sudah mati.”
Yuta tetap tenang, menatap Jisoo dengan sorot yang lembut tapi tegas. “Oke, kesampingkan tentang Tuan Richard. Kami hanya ingin menjagamu.”
“Menjagaku dari siapa?” Jisoo mengernyit. “Orang yang ingin membunuhku adalah temanmu sendiri!”
Yuta menghela napas, kesabarannya benar-benar luar biasa. “Temanku memang disewa untuk membunuhmu. Tapi orang yang ingin melihatmu mati masih berkeliaran di luar sana. Dan dia ada di antara orang-orang terdekatmu.”
Kata-kata itu membuat Jisoo terdiam, mulutnya terbuka tanpa kata. Pikiran berkecamuk dalam kepalanya, mencoba mencerna kebenaran yang baru saja diucapkan Yuta.
“Ayahmu telah berbuat banyak untuk kami. Tanpanya, aku mungkin masih menjadi bocah gelandangan di Maroko yang diperjualbelikan. Atau lebih buruk, aku sudah mati. Jadi, sudah sepantasnya kami membalas kebaikan Tuan Richard dengan melindungi putrinya.”
Jisoo masih belum bisa menerima niat mereka, meski Yuta terlihat tulus. “Dengar, hubungan kalian dengan ayahku di masa lalu tidak ada hubungannya dengan hidupku sekarang. Aku sudah lama hidup terpisah dari ayahku.”
“Kami tahu. Kau dan ibumu meninggalkan ayahmu karena ibumu tidak suka berurusan dengan teman-temannya. Tapi meski begitu, kau tetaplah putrinya, putri Choi Richard.”
Jisoo mendengus, rasa sakit dan kebencian tampak jelas di matanya. “Bukan hanya aku! Dia masih punya anak lain. Kalian sebaiknya merawat mereka, bukan aku!”
Yuta tetap tenang meskipun dia mengerti alasan kebencian Jisoo terhadap dua saudara tirinya. Berdasarkan informasi yang Yuta dapat dari Taeyong, Jisoo adalah anak pertama dari istri sah Choi Richard, sementara dua saudara tirinya berasal dari wanita simpanan Richard.
“Kau anak pertama dari istri sah. Mereka hanya anak dari wanita simpanan Tuan Richard.”
Jisoo mendengus lagi, tapi kali ini lebih tajam. Ada luka dalam yang tersembunyi di balik kata-katanya. “Tetap saja mereka anak ayahku! Mereka pantas kalian jaga, bukan aku! Mereka selalu ada di dekat ayahku, sementara aku hidup terpisah bertahun-tahun bersama ibuku. Bahkan, penyebab kematiannya saja kami tidak tahu. Tiba-tiba seorang pesuruh datang ke rumah kami, mengatakan kalau ayahku sudah mati. Sekarang, sudah jelas kan, kalau aku atau ibuku tak punya hubungan apa pun dengan pria itu.”
Kemarahan Jisoo tak bisa disembunyikan dan meskipun Yuta paham, dia tahu ada lebih dari sekadar hubungan keluarga di sini. Choi Richard mungkin punya anak lain, tapi Jisoo tetaplah putri kesayangannya—setidaknya menurut cerita yang Yuta dan Taeyong dengar. Jisoo adalah pewaris tunggal seluruh harta peninggalan Choi Richard, meskipun sekarang, kekayaan itu seolah hilang dan jatuh ke tangan orang ketiga.
Jisoo masih belum bisa memahami mengapa Yuta dan Taeyong lebih memilih untuk menjaganya daripada dua anak lain yang lebih dekat dengan Richard. Memang, alasan pertama sudah jelas—dia adalah satu-satunya anak dari istri sah Richard. Alasan kedua terkait dengan ucapan Richard yang sering membanggakan putrinya di masa lalu, mengisyaratkan bahwa Jisoo adalah anak kesayangannya, meskipun Richard memiliki dua anak dari wanita simpanan. Dan alasan ketiga yang baru-baru ini terungkap adalah Jisoo merupakan pewaris tunggal seluruh harta peninggalan Richard. Hanya saja, kekayaan itu sepertinya sudah dialihkan ke pihak ketiga, dan mereka belum tahu apakah Jisoo menyadari hal ini atau belum.
Saat mencerna semua ini, Jisoo tiba-tiba berkata, “Sebentar. Jadi kau sudah tahu siapa yang menyewa si Yama itu untuk membunuhku?”
Yuta mengangguk pelan seraya menatapnya dengan serius.
“Siapa? Keparat mana yang menyewa Yama untuk membunuhku?” Jisoo bertanya, nadanya tegas, penuh kemarahan yang siap meledak.
“Kau benar-benar ingin tahu?” Yuta mengangkat alis, menambahkan sedikit misteri, yang langsung membuat Jisoo semakin geram.
Jisoo mendelik, tak suka dengan sikap Yuta yang terkesan bermain-main.
“Tunanganmu.”
“Siapa?”
“Tunanganmu. Im Sehun. Orang yang menginginkan kematianmu.” Lalu melanjutkan lagi, “Kau mungkin baru akan percaya setelah melihat isi dokumen ini.”
Salah satu alasan Yuta datang kemari memang untuk memberitahukan kebenaran ini. Bagaimanapun juga, menurutnya, Jisoo berhak mengetahui siapa dalang di balik usaha pembunuhan itu.
Jisoo meraih dokumen itu dengan tangan gemetar, meski ekspresinya tetap keras, seolah menolak mempercayai apa yang baru saja dia dengar.
“Foto perempuan yang kau lihat itu adalah Kim Dani, cucu Presiden. Beberapa bulan lalu, dia melahirkan seorang bayi laki-laki. Dan ayah dari anak itu adalah tunanganmu. Hubungan mereka dimulai dua tahun lalu. Mereka bertemu lagi awal tahun ini, lalu menjalin kembali hubungan itu hingga Kim Dani hamil. Mereka akan menikah bulan depan di Inggris. Itulah sebabnya tunanganmu ingin menyingkirkanmu. Dia tak bisa membatalkan pernikahan itu, mengingat siapa kakeknya. Ayah tunanganmu juga pendukung setia keluarga Kim Dani. Mereka sudah lama menjalin hubungan keluarga yang harmonis tanpa kau sadari.”
Im Sehun mau membunuhnya? Pria yang melamarnya lima bulan lalu itu? Pria yang selalu bilang merindukannya itu? Pria yang menjalin hubungan selama lima tahu bersamanya itu? Mustahil. Jisoo sulit mempercayai semuanya, tapi bukti-bukti di hadapannya tak bisa disangkal.
“Keparat!” teriak Jisoo, amarahnya memuncak tak tertahankan. Tubuhnya gemetar hebat, dan matanya liar mencari jalan untuk melarikan diri dari kenyataan pahit ini.
Yuta mundur, terkejut oleh ledakan emosi Jisoo. “Hei!” serunya panik ketika melihat Jisoo berusaha turun dari tempat tidur, meski tubuhnya masih lemah. “Kau mau apa? Kau belum boleh pergi! Jahitanmu bisa terbuka lagi!”
“Minggir!” Jisoo berteriak, matanya dipenuhi kebencian yang membara. “Aku harus membunuh keparat itu!” Tangannya bergerak cepat, mencabut infus dari lengannya tanpa mempedulikan rasa sakit yang kini tak ada artinya dibandingkan dengan kemarahan yang menguasainya.
Yuta sigap menangkap tangan Jisoo, menahannya dengan lembut namun tegas. “Jisoo, tenang! Ini bukan waktunya!” Suaranya tegas, meski ada nada panik di dalamnya. Ia tahu betapa seriusnya kemarahan Jisoo, tapi ia juga tahu betapa rapuh kondisi fisiknya saat ini.
“Persetan dengan waktunya!” Jisoo meronta, tapi tubuhnya yang terluka tak mampu menandingi kekuatan Yuta. Napasnya memburu, matanya basah oleh air mata yang menetes tanpa ia sadari. “Aku harus membunuhnya! Pria sialan itu telah menipuku! Lima tahun! Lima tahun dia bersandiwara di depanku!” teriaknya penuh emosi.
“Kau harus tetap tenang.”
“Minggir, sialan! Biar aku pergi membunuhnya!” Lalu dia berteriak setelah gagal menjauh dari halangan Yuta. “IM SEHUN ... KAU AKAN SEGERA DI MATI DI TANGANKU! LIHAT DAN TUNGGU KEDATANGANKU, BAJINGAN SIALAN!! JANGAN SEMBUNYI DI RUMAH PRESIDEN, KAU BAJINGAN!!”
Kenapa rated m? Karena mayan agak-agak psiko si taeyong kalo mode black 🤡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top