Ch. 01: Target pertama dari kegagalannya
Persis dua minggu lalu, pada dini hari yang mencekam, seorang pria dengan setelan serba hitam berjalan sendirian di pelabuhan. Langit masih kelabu pekat, sementara udara dingin yang menusuk tulang membawa aroma asin laut. Dari ujung rambut hingga ujung sepatunya, pria itu tampak seperti bayangan, sebuah sosok gelap yang menyatu dengan malam. Sepatunya yang hitam nyaris tak bersuara di atas jalan berbatu, namun langkahnya tegas dan pasti, memberi kesan bahwa dia tahu persis ke mana arahnya. Tatapannya tajam, meskipun terkesan santai, setiap gerakannya penuh kewaspadaan. Pria itu seperti seekor predator yang selalu siap menerkam meski tampak tenang di permukaan.
Saat melewati barisan kontainer yang menjulang seperti raksasa tak bergerak, dia berhenti di depan satu kontainer merah yang terlihat usang. Bau besi tua bercampur dengan bau laut semakin tajam saat pintu kontainer berderit terbuka. Dia melangkah masuk tanpa ragu, dan di dalam, suasana berubah menjadi lebih dingin dan suram.
Di sana, seorang pria bertubuh pendek telah menunggunya. Pria itu tak sendirian—ada pria lain berdiri di belakangnya, lebih tinggi dan besar seperti bayangan yang mengintimidasi. Si pria pendek, yang dikenal dengan kode nama “Penguin” atau Cho Neil, melangkah mendekat dengan langkah angkuh, meskipun jelas terlihat dibuat-buat. Wajahnya setengah rusak, bekas luka dari masa lalunya, 10 tahun lalu, saat misi di Maroko yang berakhir buruk. Kulit yang cacat itu tampak kasar, seperti jaringan parut yang mengingatkan pada luka-luka lama yang tak pernah sembuh sempurna. Dengan tinggi tubuh yang hanya mencapai pundak pria berpakaian hitam, Neil harus mendongak untuk menatap matanya. Mata itu terkenal dingin, gelap, tanpa emosi seperti malam yang tak mengenal belas kasihan.
“Aku membawa semua yang kau minta.” Suara Neil serak, dipenuhi kesombongan yang berusaha menyembunyikan ketakutannya. Dia menyerahkan sebuah dokumen tebal yang penuh dengan informasi tentang calon target mereka. Dokumen itu berisi semua yang perlu diketahui—identitas, alamat, dan bahkan diagram kompleks yang merinci hubungan si target dengan beberapa tokoh terkenal dalam dunia gelap, dunia yang dihuni oleh para mafia, geng kartel, dan pejabat korup yang semuanya terjerat dalam jaring kekuasaan yang berbahaya.
“Perempuan ini punya hubungan ‘spesial’ dengan ketua The 7-Red,” Neil melanjutkan sambil melirik ke arah pria besar di belakangnya. “Kau bisa lihat dari foto-fotonya, mereka sering bertemu di luar, kadang di hotel milik bekas ketua The 7-Red yang sekarang dikendalikan oleh Park Junho. Dia juga sering keluar masuk markas mereka.”
The 7-Red sebuah organisasi mafia terbesar ketiga di negara ini. Pendiri sebelumnya telah mati sebelum Park Junho, ketua yang sekarang, menggantikan posisinya. Dengan hampir 100.000 anggota, organisasinya mampu untuk mengendalikan beberapa kota besar negara ini, di bawah kekuasaan atas nama The 7-Red. Tujuh kota besar kini berlutut di bawah kaki organisasi ini, sesuai dengan nama mereka: The 7-Red. Mereka memiliki kekuasaan tak terbatas di dunia politik, media, hukum, dan bisnis, menjadikan mereka hampir tak tersentuh kecuali oleh rival mereka yang sama berbahayanya.
Pria berpakaian hitam, Taeyong, yang dikenal dengan kode nama ”Black”, menatap foto-foto itu sejenak, lalu mengalihkan pandangannya pada Neil. Tatapan matanya menusuk seperti pisau yang tak terlihat, penuh penilaian. “Kau ingin aku mengambil alih tugas ini,” ucapnya dengan suara rendah namun tajam. “Padahal aku jarang membunuh perempuan. Kecuali jika dia benar-benar pantas untuk mati.”
Sebagai seorang pembunuh bayaran, Taeyong memang pilih-pilih target. Dia tidak bekerja untuk sembarang misi. Hanya target dengan status tinggi yang dianggap penting dan sulit, yang menarik perhatiannya. Target seperti perempuan ini biasanya di luar preferensinya, terlalu ringan untuk keahliannya.
“Dia pantas mati!” Neil bersikeras, suaranya terdengar lebih tegang. “Semua catatannya ada di situ. Klienku ingin dia mati secepat mungkin—paling lambat minggu depan. Aku tidak bisa melakukannya sendiri, tugas lainku belum selesai.” Neil menahan napas sejenak, wajahnya yang cacat tampak lebih tegang dalam cahaya redup kontainer. “Sialan! Kalau saja aku tidak terlalu serakah dengan tugasku sebelumnya, aku pasti sudah menyelesaikan ini kemarin.”
Di dalam kontainer, suasana semakin mencekam, udara terasa tebal, penuh dengan bau besi karat dan tekanan yang tak kasat mata. Neil menunggu dengan gelisah, sementara Taeyong diam saja, memeriksa setiap detail dalam dokumen itu dengan tenang. Foto-foto, data, hubungan, semua tercatat dengan rapi, namun matanya masih dingin, tak tersentuh oleh urgensi atau kepanikan.
Di luar, angin laut berembus pelan, menggoyangkan pintu kontainer yang terbuka sedikit. Suara derit halus logam yang tertiup angin terasa seperti peringatan samar bahwa di balik ketenangan ini, ada kekacauan dan kematian yang mengintai. Taeyong tahu, setiap tugas adalah bagian dari permainan yang lebih besar, sebuah tarian berbahaya di atas pisau tipis antara hidup dan mati. Dan kali ini perempuan yang jadi targetnya—seperti semua yang lain—adalah bagian dari puzzle yang harus sia pecahkan, entah dengan darah atau strategi.
“Tidak seperti dirimu yang sangat pandai menyembunyikan identitas,” ucap Neil dengan nada yang sarat kecemburuan. Suaranya bergetar halus, menunjukkan rasa iri yang tak bisa disembunyikannya.
Dari awal Taeyong atau yang lebih dikenal Neil sebagai “Black” telah berhasil menjaga rahasia identitasnya dari kelompok mereka. Selama bertahun-tahun bekerja bersama, tak ada seorang pun yang pernah melihat wajah asli Black di balik masker hitam yang selalu menutupi wajahnya. Desas-desus tentang siapa sebenarnya pria di balik topeng itu selalu beredar di komunitas mereka, tapi semuanya hanya spekulasi murah yang tak pernah mendekati kebenaran. Black tetaplah misteri, tak tersentuh oleh gosip maupun ancaman.
Neil mendengus singkat, canggung menyadari perbedaan mencolok di antara mereka. “Ambil alih tugasku. Klienku sudah membayar 50.000 dollar di muka.” Dia memberi isyarat pada pria besar di belakangnya, yang kemudian maju membawa koper penuh uang. “Di dalam koper ini, ada tambahan untukmu sebagai imbalan atas bantuanku. Aku tahu kau tak akan mengecewakanku, Black. Mulai sekarang, perempuan itu adalah milikmu.”
50.000 dollar untuk seorang perempuan dengan status target tipe C—harga yang hampir mencapai satu miliar rupiah. Jumlah yang tidak biasa untuk target semudah ini, jauh lebih mahal daripada tugasnya tiga hari lalu. Namun, Black tidak peduli pada nominal, melainkan alasan di balik pembunuhan ini. Taeyong tetap diam sejenak, menunggu penjelasan lebih lanjut dari Neil. “Dia punya hubungan khusus dengan Park Junho,” lanjut Neil singkat, nadanya datar namun tegang. “Itulah mengapa dia harus mati.”
Taeyong menerima koper itu tanpa banyak bicara, tatapannya tetap tajam dan penuh ancaman yang tak terucap. “Kau paham akibatnya jika berbohong padaku, kan?” katanya, suaranya pelan dan tegas, seperti pisau yang menggores udara.
Neil menelan ludah, berusaha keras menyembunyikan kegelisahannya. Rasa takut merayap di balik ketenangannya, sadar bahwa satu kebohongan saja bisa berarti kematiannya di tangan Black, yang terkenal kejam dan tanpa ampun.
Andai tugas sebelumnya tidak gagal, Neil tak perlu meminta tolong pada Black—pembunuh bayaran paling mematikan di kelompok mereka. Tapi dia tahu persis dengan siapa dia berurusan. Black bukanlah orang yang bisa dibohongi atau diremehkan.
∘₊✧──────✧₊∘
Seminggu kemudian, Taeyong sudah menyusun rencana. Dia menyewa apartemen di seberang jalan dari targetnya, perempuan yang bernama Jisoo. Ini adalah kebiasaannya, mengawasi dari dekat sebelum dia melakukan eksekusi. Selalu penting untuk mengenali targetnya: kebiasaan sehari-hari, siapa orang-orang terdekat mereka, serta pola perilaku saat mereka sendirian. Setiap detail kecil bisa menjadi kunci dalam eksekusi sempurna.
Namun, kali ini, Taeyong merasa waktunya terlalu singkat. Biasanya dia butuh lebih banyak waktu untuk memastikan semuanya. Tapi pesan yang datang dari Neil lewat pager membuatnya harus segera bertindak. Klien mereka sudah tak sabar menunggu kematian Jisoo. Dan saat itulah dia memutuskan untuk bergerak, tepat di malam ketika wanita itu pulang ke apartemennya.
Dengan gerakan terlatih dan tanpa suara, Taeyong menyelinap masuk ke dalam apartemen Jisoo. Dia telah mempelajari rutinitasnya dengan cermat, waktu yang tepat ketika apartemen kosong dan alarm keamanan belum dipasang. Tanpa peringatan, dia menikam perut Jisoo dengan pisau lipat kecil yang selalu dia sembunyikan di dalam sepatu boot hitamnya. Serangan itu cepat dan brutal, langsung menembus daging, mengoyak isi perutnya dalam satu dorongan.
Sebelum malam ini, mereka hanya pernah bertemu sekali. Pertemuan yang direncanakan dengan hati-hati. Taeyong sengaja keluar dari apartemennya pada saat yang sama ketika Jisoo melangkah keluar dari pintu apartemennya, hanya untuk mengetes reaksi perempuan itu terhadap kehadiran laki-laki asing seperti dirinya. Dalam sekejap, dia sudah bisa membaca gestur dan tatapannya—Jisoo sama sekali tidak menaruh kecurigaan apa pun. Bagi wanita itu, Taeyong hanyalah tetangga pendiam dan sedikit dingin, tak lebih.
Sekarang, dia adalah eksekutornya. Jisoo menatap Taeyong dengan mata membelalak, mencoba memahami apa yang sedang terjadi, sementara darahnya mengalir deras dari luka di perutnya. Tatapan mereka bertemu sesaat, tapi kali ini berbeda. Di mata Jisoo, ada keterkejutan, ketakutan, dan rasa sakit yang tak terlukiskan. Namun di mata Taeyong, hanya ada kehampaan—tatapan tanpa belas kasihan, seperti malam yang menelan segalanya.
Entah karena moralnya yang terlalu baik, atau mungkin karena nalurinya yang buruk dalam menilai seseorang, Jisoo tak melakukan perlawanan apa pun. Bahkan ketika nyawanya perlahan terlepas, saat pisau lipat Taeyong sudah menembus dalam ke perutnya, wanita itu hanya terdiam, tatapan matanya tampak pasrah. Seolah dia telah menerima takdirnya, menerima bahwa inilah akhir dari hidupnya.
Taeyong tahu dia seharusnya mengakhiri ini sekarang. Satu tusukan lagi dan semuanya selesai, seperti tugas-tugas sebelumnya. Namun, sesuatu membuatnya ragu. Ada kilatan aneh yang tertangkap matanya, sesuatu yang bersinar di bawah cahaya lampu kamar, mencolok di atas dada Jisoo. Dahi Taeyong berkerut, matanya fokus pada kilatan itu. Tanpa ragu, dia meraih benda tersebut dengan kasar, merobek rantainya dari leher Jisoo.
Kilatan itu berasal dari sebuah liontin kecil, benda yang tampaknya biasa saja, tapi bagi Taeyong, ada sesuatu yang lebih dalam di baliknya. Matanya berkilat tajam, tatapannya semakin intens saat dia memandangi Jisoo, yang kini hampir kehilangan kesadarannya.
“Apa hubunganmu dengan pria itu?!” teriaknya dengan suara yang sarat emosi dan kemarahan. Dia mengguncang tubuh lemah Jisoo dengan kasar, seolah memaksanya untuk memberikan jawaban. “Tidak ada catatan tentang kau punya hubungan dengan dia. Sialan! Jawab pertanyaanku!”
Tapi teriakannya tak berarti apa-apa. Jisoo terlalu lemah, tubuhnya terkulai, darahnya terlalu banyak hilang untuk bisa merespon. Mata perempuan itu sudah setengah terpejam, napasnya pendek-pendek, tanda hidup yang semakin samar.
“Berengsek!” umpat Taeyong sambil mendecak marah. Dia sadar akan kebodohannya sendiri. Percuma mencari jawaban dari orang yang hampir mati, dan Taeyong tahu, jika Jisoo mati, dia tak akan pernah tahu alasan sebenarnya di balik misi ini. Dengan gerakan cepat dan penuh amarah, dia membopong tubuh Jisoo yang lemas, nyaris tak bernyawa, mengangkatnya dengan mudah meski tubuhnya terkulai di ambang antara hidup dan mati. Kesalahan terbesar Taeyong hari ini adalah membiarkan dirinya terburu-buru oleh permintaan Neil. Jika saja sia menunggu lebih lama, mungkin ada petunjuk yang lebih jelas. Tapi sekarang semuanya sudah telanjur dan dia harus menyelamatkan perempuan ini—untuk sementara waktu.
Mengabaikan kemungkinan tertangkap oleh kamera keamanan, Taeyong berlari menuju mobilnya, meletakkan Jisoo di kursi penumpang. Kepalanya berpacu, memikirkan langkah selanjutnya, sementara dia memastikan denyut nadi perempuan itu masih ada. Lemah, tapi tetap ada. Itu pertanda baik, meski waktu semakin sedikit. Dia meraih ponselnya, menelusuri kontak, dan menemukan nama satu-satunya orang yang bisa dia percaya untuk menangani situasi ini.
“Siapkan ruang operasi di rumahmu. Aku dalam perjalanan ke sana—berengsek! Aku tidak peduli apa yang sedang kau lakukan malam ini, kau harus siap ketika aku tiba. Kalau tidak, aku akan membengkokkan tulang hidungmu lagi!” kata Taeyong dengan nada memerintah, sebelum menutup telepon tanpa menunggu jawaban.
Mobil melaju kencang di jalanan malam yang lengang. Gedung-gedung yang menjulang tinggi terlihat seperti siluet gelap di bawah langit yang tanpa bintang. Taeyong tak peduli dengan lalu lintas atau lampu merah, hanya fokus pada satu tujuan: menyelamatkan Jisoo—bukan karena rasa kasihan, tapi karena dia butuh jawaban. Waktu mereka semakin tipis dan Taeyong tahu bahwa setiap detik bisa berarti hidup atau mati bagi perempuan itu.
“Siapa dia?” tanya Yuta, matanya melebar melihat kondisi perempuan itu.
“Apa itu penting sekarang?” balas Taeyong dingin, suaranya datar, tapi ada sedikit ketegangan yang tak biasa.
Yuta menelan ludah, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Perempuan itu tampak seperti sudah mati dan pisau lipat yang masih tertancap di perutnya adalah bukti kekerasan yang tak terbantahkan. “Kau yang menusuknya!” serunya, tak percaya.
“Dia targetku!” Taeyong membalas dengan nada yang sama kerasnya.
“Kalau dia targetmu, kenapa kau bawa ke sini? Seharusnya dia sudah mati!”
“Supaya kau bisa menyelamatkannya, sialan!” Taeyong menatap Yuta tajam, tatapannya seperti pisau. “Dia belum menjawab pertanyaanku. Dia harus tetap hidup!”
“Omong kosong!”
“Sumpah. Aku serius! Kau harus segera menyelamatkannya. Jangan sampai dia mati.”
Yuta terdiam, mencoba mencerna situasi yang absurd ini. “Taeyong... kau tidak ...” Yuta ragu sejenak, tatapannya meneliti wajah temannya. “Yeah, dia cantik. Tapi kau tidak pernah peduli soal itu. Kau tak pernah tertarik pada siapa pun. Kenapa dia?”
“Diamlah!” sergah Taeyong, suara dingin yang biasanya tanpa emosi kini terdengar nyaris seperti perintah yang putus asa. “Tugasmu hanya menyelamatkannya. Aku akan mengurus sisanya. Saat aku kembali, dia harus dalam keadaan hidup. Jangan biarkan dia mati sebelum menjawab pertanyaanku.”
“Hei! Ini nyawa seseorang yang sedang kau pertaruhkan!” seru Yuta, suaranya penuh frustrasi. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Taeyong selalu keras kepala, tapi kali ini, ancaman itu terasa jauh lebih berat.
“Masa bodoh. Kau harus membuatnya hidup!” balas Taeyong tegas, suaranya dingin dan tanpa kompromi. Dia berdiri di ambang pintu ruang operasi, punggungnya tegap setelah dengan hati-hati mengamankan tubuh Jisoo di meja operasi. Ruangan itu remang, penuh dengan peralatan medis mahal yang berkilauan di bawah cahaya lampu putih pucat, kontras dengan kondisi Jisoo yang terbaring tak sadarkan diri, berjuang di antara hidup dan mati.
“Dia ada hubungannya dengan pria itu,” tambah Taeyong, suaranya pelan tapi penuh penekanan.
Yuta, yang sedang menyiapkan instrumen bedah, terhenti. “Maksudnya?” tanyanya, kebingungan bercampur ketegangan terlihat di wajahnya.
Taeyong tak menjawab langsung. Sebaliknya, dia mengeluarkan kalung yang diambilnya dari Jisoo—sebuah liontin kecil yang menggantung di rantai perak tipis. Cahaya redup ruangan membuat kalung itu berkilauan dan Yuta segera mengenalinya. Kalung itu bukan sekadar perhiasan biasa.
Mereka berdua saling bertukar pandang, dan di sana, di dalam tatapan mereka yang penuh arti, tersembunyi sejarah panjang yang tak pernah sepenuhnya terungkap. Kalung itu milik pria yang pernah menjadi pilar hidup mereka, pria berwibawa yang dahulu sering muncul membawa harapan bagi anak-anak terlantar seperti mereka, sosok yang mengubah mereka dari anak-anak jalanan menjadi apa yang mereka jalani sekarang. Pria itu adalah kunci dari masa lalu mereka dan sekarang, kunci itu ada di hadapan mereka dalam bentuk Jisoo.
“Apa mungkin kita akhirnya bisa menemukannya?” gumam Yuta, napasnya tertahan. Berpuluh tahun mereka mencari pria itu, tapi selalu menemui jalan buntu. Setiap petunjuk, setiap informasi selalu berakhir tanpa hasil. Tapi kini, di hadapan mereka, mungkin ada jawaban yang selama ini mereka cari.
Taeyong mengangguk singkat, matanya masih menatap kalung itu, lalu Jisoo. “Dia adalah kuncinya. Tapi dia tak akan memberi kita apa-apa jika kau tak menyelamatkannya.” Nada suaranya dingin tapi penuh urgensi. Ada sesuatu yang sangat berbeda dari Taeyong kali ini—dia tidak hanya menjalankan misi; ada keterikatan yang mendalam pada sosok yang kini terbaring lemah di meja operasi itu.
Yuta terdiam sesaat, lalu menghela napas panjang. “Baiklah,” katanya, suara lebih tenang, tapi penuh tekad. “Aku akan menyelamatkannya. Tapi kau harus bersiap. Kalau dia memang punya hubungan dengan pria itu, kita tak tahu apa yang bisa terjadi setelah ini.”
Taeyong menatap Yuta sekilas, tatapannya penuh keyakinan, dan berkata dengan dingin, “Yang penting sekarang, dia hidup. Selebihnya, kita hadapi nanti.”
Yuta mengangguk, lalu dengan cepat mulai bekerja. Suara logam alat bedah beradu halus di antara desah napas mereka, sementara waktu terasa semakin tipis.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top