Commission - #1

Genre : Shoujo-ai, yuri, highschool, NSFW.
Clients Request : Ingin dibuatkan kisah antara sepasang gadis kelas tiga SMA yang tengah bimbang akan perbedaan pilihan antar sahabat.
Status Comms : Accepted, done fiction, done payment.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

DIFFERENT CHOICES

Bising berisik, ramai tawa lucu, dan angin musim semi yang berhembus ringan membelai dedaunan pohon, pemandangan biasa yang bisa kau temui saat menjadi murid SMA Tokyo. Hanya saja, semua pemandangan biasa itu, tidak akan lagi terasa biasa ketika kau menginjak tingkat kelas tiga. Semua yang awalnya kau anggap biasa itu, kini akan tampak begitu berarti bagi dirimu; sebagai seorang anak SMA yang menjalani tahun terakhirnya.

Ujung pensil diketuk-ketukan, hembusan napas meluncur seiring rasa ragu yang menyertai pikiran.

UNIVERSITAS PILIHAN

Judul itu terpampang jelas, tebal, dicetak rapi di atas kertas putih dengan dua kotak persegi panjang berada tepat di bawahnya, lengkap dengan subjudul: PILIHAN SATU, dan, PILIHAN DUA.

Iris mata biru itu mengkilat memandang barisan huruf di depan, kepalanya menunduk; helaian rambut dari sisi wajahnya bergerak jatuh. Ada gurat cemas dalam tatapan kosongnya, Shouko tidak pernah merasa seragu ini, tapi kenapa baru sekarang rasa itu begitu kuat membuatnya takut tanpa sebab?

"Shouko---"

Ketukan pensil berhenti di udara, sang pemilik nama langsung mendongak; memandang siswi pemilik manik hijau di hadapan.

"Kau baik saja?"

Shouko langsung kembali pada kenyataan, salah satu sudut bibirnya terangkat lebar, "ah, aku baik saja, haha!"

Namun, gadis di depannya ini tidak yakin begitu saja, terbukti dengan lirikan mata hijau yang bergantian memandang kertas putih, lantas beralih pada wajah Shouko beberapa kali demi memastikan. Dalam detik yang sekian, Shouko segera menyadari bahwa Ayano tampaknya peka akan dirinya yang sedang tak seperti biasanya ini.

"Baiklah, aku bohong." senyuman Shouko berubah kecut. Deritan kursi terdengar, Ayano menggeser tempat duduknya untuk lebih mendekat.

"Kau belum mengisinya sama sekali?" Ayano telah menebaknya, Shouko belum memilih Universitas pilihan. Meskipun begitu, ia tetap tidak menyangka tebakannya tepat. Shouko tak benar-benar se-tidak tahu itu untuk belum menentukan Universitas pilihan, 'kan?

Ujung pensil dibawa ke atas pemukaan di dalam kotak persegi, "tapi, pilhan kita pasti sama, 'kan?" santai dan ringan, kalimat itu keluar. Jemari Shouko menggoreskan jawaban di dalam kotak tanpa sedikit pun hambatan.

PILIHAN SATU: UNIVERSITAS SENI OSAKA

PILIHAN DUA: UNIVERSITAS SENI OSAKA

"Yak! Dengan ini, kita akan belajar bersama lagi untuk ujian masuk Universitas, bukan?"
Shouko mengharapkan lengkung bibir manis di wajah Ayano saat ia menyatakan hal itu, tetapi setelah ia menaruh pandang pada ekspresi sang sahabat, yang Shouko lihat adalah justru wajah Ayano yang menunduk dalam. Ah, apa?

Shouko mengernyit.

"Ayano?"

Panggilan itu mengambang di udara tanpa adanya sahutan selama beberapa detik berganti. Poni Ayano jatuh menutupi sebagian wajah, membuat Shouko semakin kebingungan akan kebisuan yang diberi gadis berambut pendek itu. Kenapa? Kenapa Ayano diam saja? Apa ia terlalu tersanjung dengan tebakan Shouko? Apa ia malu bisa memiliki pikiran yang sama dengan Shouko? Atau merasa salah tingkah karena Shouko secara tidak langsung menyatakan bahwa ia ingin mereka tetap bersama setelah ini?

Atau ...,

"Shouko," pelan, suara itu meluncur, "Aku ... Ingin mendaftar di Universitas Kedokteran."

"Eh?"

Pensil di genggaman jatuh, bergulir hingga mendarat di atas lantai kelas. Shouko tidak salah dengar, 'kan? Ayano tidak sedang bercanda, 'kan? Apa maksudnya ini? Kenapa Ayano membuat pilihan seperti itu? Bahkan untuk pertama kalinya, berada di jalan yang begitu bersebrangan dengan Shouko? Setelah selama ini Shouko berpikir bahwa mereka memiliki mimpi yang sama, kini Ayano mematahkan hal itu?

Tidak, bukankah dulu Ayano bilang ia ingin selalu ditemani Shouko? Bahwa Ayano akan selalu berada pada langkah yang sama dengan Shouko kemanapun itu? Kini, kenapa justru seperti ini?

"Ah, tidak, eh! Maksudku, wah ...." bahkan Shouko sendiri tidak bisa menutupi keterkejutannya. Ah, sial, kenapa ia merasa jadi orang bodoh sekarang?

Bukankah tidak aneh bila Ayano memutuskan pilihan yang berbeda dengan Shouko? Menjadi teman bukan berarti harus selalu bersama, 'kan? Lagipula itu memang hak Ayano menentukan pilihan yang hitungannya bukan main-main; masa depannya.

"Aku tidak menyangkanya, Ayano! Sungguh! Apa kau ..., yakin?"

Meskipun begitu, ada sepercik keegoisan dalam diri Shouko. Yang bahkan, gadis itu sendiri tidak tahu darimana asalnya, dan kenapa ia juga merasakan sedikit perih dalam tiap degupan jantungnya mulai detik ini. Ah, aneh. Sial, kenapa?

Dalam satu gerakan, Ayano menjawabnya. Sebuah anggukan singkat. Sebuah anggukan singkat yang segera membuat Shouko memaksa menampilkan senyum lebarnya terukir pada bibir pucat.

"Wah, wah! Aku ikut senang akan ambisimu, aku yakin kau pasti bisa lulus dalam ujian masuk itu!"

Tidak, sejujurnya, Shouko malah berdoa sebaliknya.

Pelan-pelan, kepala Ayano mendongak; dua pandang bersitatap, iris mereka terdiam dalam bisu yang cukup panjang. Tanpa sadar membuat detak ambigu dalam hati yang terasa tak biasa, sangat tidak nyaman, membuat gelisah, lantas ... justru candu. Tatapan yang menenggelamkan masing-masing pihak. Lucu.

"Shouko," bibir mungil Ayano bergerak, "kau yakin tidak masalah?"

Dalam hati, Shouko tertawa keras; mengejek diri sendiri atas kepayahan dalam berharap pada kesemuan. Kini, nyatanya, ia hanya dapat tersenyum kaku, kedua matanya menyipit, sebuah kalimat girang yang terdengar jelas dipaksakan lantas segera meluncur demi mengalihkan pembicaraan setelah itu.

"Ayano, pulang sekolah nanti ayo mampir dulu ke rumahku!"

***

Shouko masih tidak menyangkanya. Bahkan setelah melihat kertas Universitas Pilihan milik Ayano, meski semuanya tampak begitu jelas; Shouko ingin sekali menyangkalnya.

Tapi, tidak mendukung Ayano bukanlah sifat Shouko yang sesungguhnya.

Ia ingin sekali merasa egois, untuk sekali ini. Tapi, kenapa? Darimana datangnya dorongan egois seperti itu? Shouko merasa ia seperti bukan dirinya sekarang. Ada yang aneh, dan Shouko tidak ingin mengakui itu.

"Yah! Terima kasih telah menunggu!"

Cangkir teh diletakan, camilan manis ikut menemani, tak lupa dengan sebungkus permen yang isinya belum dibuka tersaji lengkap di atas meja bundar kecil dalam kamar Shouko. Aroma lavender lembut menjadi aroma khas dari kamar itu. Shouko tahu betul, wangi lavender adalah favorit milik Ayano.

"Ayah dan Mamamu ada dimana?" pertanyaan andalan Ayano keluar, Shouko tersenyum dan mengambil posisi duduk di sampingnya.

"Mereka sedang ada pekerjaan di luar kota. Ah, apa Ayano mau menginap? Kita sudah lama juga tidak pernah menginap!"

Benar, lebih tepatnya mungkin sudah setahun setengah lebih Shouko dan Ayano tidak lagi melakukan kegiatan seperti menginap bersama. Karena dialognya sendiri, Shouko akhirnya juga sadar; belakangan ia juga memang sibuk sendiri. Juga dengan Ayano yang jadi lebih sering menolak ajakannya untuk sekadar main atau mampir ke Kafe di sudut jalan, yang sekarang dapat Shouko simpulkan bahwa; mereka berdua memang sedang serius mempersiapkan masa depan masing-masing.

Yang tanpa sadar, justru menjauhkan keduanya pula dalam jalan takdir yang berbeda di depan.

"Shouko," Ayano menekuk lutut, memeluk kakinya dan tak menaruh pandang pada sahabat di sebelah, "katakan padaku,"

Kepalanya terangkat, menoleh untuk menaruh atensi pada seorang Shouko di hadapan. Iris hijaunya bergemerlap cantik, sedetik membuat Shouko terhenyak untuk mengagumi objek favoritnya itu.

"Apa kau tidak masalah bila kita akan berpisah nanti?"

Cahaya sore menyusup lewat kaca jendela kamar Shouko, terang yang hangat jatuh menyinari sosok indah Ayano. Shouko menggigit lidah; memejamkan matanya selama sedetik sebelum akhirnya pandang itu jadi sedikit sayu, menatap pada insan di hadapan.

"Tentu aku akan sedih," meskipun Shouko bilang begitu, senyuman kecil di bibirnya tetap dipertahankan, "tapi, aku bisa apa selain mendukungmu?"

Kini, giliran Ayano yang merasakan goresan perih dalam diri. Senyuman yang selalu diperlihatkan Shouko saat mereka bersama, sekarang justru terasa menyakitkan untuk satu sama lain. Terutama Ayano yang tampak tak enak hati akan pilihannya sendiri. Ia seperti tidak memikirkan bagaimana perasaan Shouko akan pilihannya, ia membiarkan Shouko merasa sedih akan pilihannya ini. Akan mereka yang berpisah di masa depan kelak.

"Tidak apa-apa, Ayano."

Hangat, lembut menyentuh di atas kepala Ayano. Tangan Shouko mengelus pucuk rambutnya, seakan menyampaikan ketenangan pada perasaan sang gadis yang tengah gelisah.

"Percayalah, aku akan selalu mendukungmu. Tidak perlu khawatir."

Yang terucap lewat bibir memang begitu, tapi sesuatu dalam hati justru luar biasa munafiknya. Bagaimanapun juga, yang dapat Shouko lakukan tidak bisa lebih dari sekadar cukup menyemangati Ayano. Karena, jikalau ia malah membiarkan keegoisan ini mengambil alih; maka habislah sudah, Ayano pasti membencinya.

"Kau mau kukis? Sebelum Mama pergi kemarin, Mama membelikan in---"

"Shouko,"

Gerakan tangan Shouko berhenti di udara, jemari mungil itu menarik ujung baju Shouko. Ayano bersuara pelan, membuat Shouko terdiam di tempat; membiarkan hening mendominasi, sedangkan telinganya dipasang dengan kepekaan yang lebih sensitif.

"Ayano, kau lucu sekali. Apa yang--"

"Apa kau tidak mau menghentikanku, Shouko?"

Ada kesunyian yang amat senyap setelahnya. Dimana Shouko mencoba mencerna maksud dari kalimat Ayano, sedangkan sang empu berusaha tidak melupakan bagaimana caranya bernapas di tengah perasaan ambigu yang membingungkan diri.

Semua detak dan hangat ini, sama sekali tidak masuk akal.

"Ah, Ayano."

Iris hijau mendongak; kilat biru terpampang sayu di depan.

"Kalau begitu, bagaimana kalau kau yang coba menghentikanku saja?"

Dalam satu gerak dan hentak, Ayano dapat merasakan napasnya tercekat. Hangat, penuh kelembutan yang memanipulasi, lantas memaksakan keagresifan. Shouko menahan tengkuk Ayano, sedangkan tangan lainnya menggenggam pergelangan tangan sang gadis dengan kuat. Pemicu sederhana dari sebuah percakapan ringan, kini justru membuat ego Shouko naik ke permukaan; menggantikan sifat mengayomi miliknya menjadi sebuah keangkuhan langka.

Ayano mulai kehabisan oksigen, dengan sisa kekuatan yang ada, tangannya mengepal; memukul dada Shouko berkali-kali. Seketika, Shouko menotisnya; lalu segera ia sadari akan perbuatan yang tengah dilakukan sudah kelewat batas. Selama sekian detik itu, akhirnya Shouko melepas tautan bibir. Mereka mengambil jarak, benang saliva perlahan terputus seiring napas kedua insan yang semakin berat menjauh.

Ah, sial. Kenapa Shouko justru begini?

.
.
.
.
.

[REDACTED CONTENT]
[REDACTED CONTENT]
[REDACTED CONTENT]
Only clients can accesss ...

.
.
.
.
.
.

Author comments for commission :
Yah, aku gabisa bilang kalau aku menikmatinya saat menulis ini. Rasanya sangat awkward dan begitu memalukan, AKWOEKEOEK. Aku dapat menyatakan aku masih 100% lurus setelah ini. Dan well, its unexpectedly turn out really good for my very first yuri fiction I've made. So, yeah---if you want me to write same things like this, you can just slide to my DMs and contact me for commission;;)

[END OF ARCHIVE #1]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top