Author fav. fiction #4

Prompt : Red Spider Lily
Genre : Romance, Angst

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Final Goodbye

"Hei, kita sudah bertemu lagi, lho. Kamu tidak merindukanku?"

Lima tahun, butuh lima tahun bagi Sam sampai akhirnya ia bisa duduk berhadapan dengan teman masa kecilnya lagi. Tidak, Sam tidak mungkin langsung menyemburkan kalimat-kalimat penuh tekanan pada gadis di hadapannya. Tentang mengapa gadis itu tiba-tiba menghilang, atau bagaimana Sam begitu frustasi dan hampir putus asa mencari keberadaan Marie yang ia sayangi.

Sebenarnya, Sam ingin Marie sendiri yang menjelaskan semua itu, tanpa perlu dipaksa. Pria itu ingin agar gadis manisnya menceritakan apa alasannya, karena jauh di dalam hati Sam, ia tahu bahwa si pemilik helaian rambut brunette itu tidak bermaksud pergi tanpa sebuah alasan yang kuat.

Pasti ada sebuah alasan, sebuah motif yang ingin Sam yakini bahwa itu memanglah keputusan Marie sendiri. Setidaknya, Sam ingin percaya bahwa alasan Marie pergi bukanlah karenanya.

"Omong-omong, kamu tidak banyak berubah, ya? Kamu masih menyukai tempat sepi dan sejuk seperti ini."

Suara serak Sam kembali menginterupsi, mencoba membawa sebuah topik ringan yang dapat menemani momen reuni mereka di lapangan rumput pendek yang luas ini. Namun, Marie tidak menjawab. Gadis itu masih duduk memeluk lutut tanpa menaruh minat pada pembicaraan yang susah payah tengah dibangun Sam.

Pemuda pekerja toko roti itu menghela napas panjang, lantas tangannya beralih membuka tas sampir untuk mengambil sesuatu dari sana.

Setoples kue kering cokelat diletakkan, tepat di hadapan gadis maniak camilan manis. Salah satu bibirnya terangkat, Sam perlahan membuka tutup toples tersebut, diambilnya satu buah lalu mengigit dan mengunyah pinggirannya secara perlahan.

"Kamu tahu? Kamu ini tidak pernah mengucapkan 'Selamat Tinggal', Marie." Kali ini, Sam berusaha mengatur nada bicaranya, pelan dan hangat. Ia ingin Marie mendengarkannya baik-baik, ia ingin membuat Marie nyaman dengan pertemuan kembali ini.

Meskipun, Marie tetap tidak memberikan respon berarti. Sam terus melanjutkan kisahnya.

"Kamu yang aku kenal biasanya akan mengucapkan sesuatu seperti, 'Sampai Jumpa Lagi,' atau, 'Sampai Ketemu Besok,' jadi, ketika kamu tiba-tiba pamit di hari itu dengan ucapan, 'Selamat Tinggal,' aku benar-benar terkejut."

Ujung ekor mata Marie melirik ke arah lain, sedangkan Sam tetap menikmati sensasi manis yang memanjakan lidahnya. Mungkin Marie berpikir, sejak kapan Sam menyukai camilan manis? Bukankah pria itu hanya menyukai kopi hitam dengan pahit yang begitu kentara?

"Lalu, tiba-tiba kamu hilang di esok hari. Aku selalu mengunjungi apartemenmu tiap hari. Sampai kemudian, Nyonya Clair memberitahuku bahwa tetangganya, Marie, sudah tidak tinggal lagi di apartemen dan pergi ke tempat orangtuanya."

Cahaya jingga perlahan menggantikan poles kebiruan di langit, hari sudah menuju sore. Marie ingin Sam segera pergi, tapi yang bisa ia lakukan hanya diam.

Sekarang, Sam kembali merogoh sesuatu dari tas cokelat itu. Oh, setangkai bunga mawar putih. Apa ini? Marie mengerjapkan matanya beberapa kali, yang ia ingat adalah Sam seorang pria cuek penuh kesibukan di akhir pekan, sosok robot yang bahkan perlu loading selama beberapa detik ketika mencerna sesuatu yang romantis. Kini, setelah lima tahun tidak bertemu, Sam menjadi pria yang hangat dan ... penuh kejutan?

Marie mendongakkan kepalanya. Ia melihat itu, bagaimana kini justru wajah suram Sam yang menunduk memandangi rerumputan hijau pendek. Apa maksudnya? Tadi ia adalah pria hangat, lalu berubah menjadi sosok perhatian, sekarang kenapa justru ekspresi kelam itu yang disaksikan oleh Marie?

"Kamu tahu, Marie? Aku pikir suatu hari nanti kamu akan menghubungiku. Aku pikir suatu hari nanti aku dapat melihatmu lagi membeli kue kering di toko roti tempatku bekerja. Atau aku yang suatu hari nanti menemukanmu hujan-hujanan di jalanan London yang ramai."

Hening menyelimuti, dan Marie menangkap pemandangan tak biasa; bahu Sam gemetar.

Kenapa?

Di detik selanjutnya, Marie mendengar sebuah rintihan. Sebuah rintihan terputus-putus yang begitu menyiksa. Seakan itu adalah sebuah perasaan yang sudah lama terpendam sampai membusuk, meninggalkan rasa perih yang bila diungkapkan, rasanya begitu menjijikan. Begitu menjijikan hingga membuatmu terlihat begitu menyedihkan.

Marie tertegun.

Sam, kenapa?

"Aku selalu mencarimu, Marie! Aku selalu mencarimu!" Sam berteriak, tenggorokannya terasa begitu perih. Tapi ia tidak peduli.

Marie? Dia masih menutup mulut, seiring angin berhembus, yang dapat ia lakukan hanyalah memandangi Sam sebagai sisi kepribadian lain yang tak pernah ia ketahui ada sebelumnya.

Marie, apa kau kaget? Kasihan? Atau kau justru puas dengan semua ini?

Tidak, Marie tidak merasa seperti itu.

Justru yang menghinggapinya sekarang adalah, perasaan bersalah. Mengakar ke relung jiwa, membuat kebun bunga ketidakberdayaan mekar di dalamnya.

"Dan sekarang, aku dapat menemuimu, Marie." Perlahan, wajah itu terangkat. Cahaya senja menampakkan tampilan ekspresinya lebih jelas. Pelupuk mata itu dipenuhi kristal bening, jatuh terus-menerus membasahi pipi. Bibir dengan sedikit bercak merah karena terlalu keras digigit. Atau bagaimana dengan kantung mata yang begitu gelap.

Sudah selelah apa perjalanan Sam mencari Marie selama lima tahun terakhir?

Keadaan Sam yang berantakan seperti itu, mungkin seharusnya tidak layak ditunjukkan di hadapan Marie. Tapi, Sam ingin Marie mengetahui itu. Bahwa Sam memang begitu tersiksa, begitu frustasi, begitu ... merindukan Marie yang dulu selalu ada di sanpingnya.

"Tapi, kenapa, Marie?" Suara serak Sam susah payah meluncur dari bibir yang gemetaran itu, menyampaikan rasa yang telah runtuh mengharap selama bertahun-tahun.

Sam?

"Kenapa, Marie? Kenapa setelah kita bertemu, kau tetap tidak menyapaku?"

Marie tertegun.

"Kenapa ucapan 'Selamat Tinggal'mu yang terakhir itu, benar-benar menjadi yang terakhir saat kita dapat bertemu?!!"

Sam meraung di akhir kalimat, kesetanan dengan linangan sungai terus membingkai wajahnya dengan ekspresi yang sudah tidak karuan lagi. Kerongkongannya kering, pita suaranya seakan nyaris putus, tangannya mengepal memukul tanah berumput, Sam tidak tahu lagi. Ia sudah tidak bisa apa-apa lagi.

Di depan makam Marie Van Maddison, Sam telah berhasil menemukan kembali keberadaan teman masa kecilnya. Dan di senja minggu sore itu, Sam juga menelan pil pahit atas kesalahan yang telah ia buat di masa lalu.

Andai saja ia bisa memutar waktu, andai saja ia bisa menyadari perasaan Marie lebih cepat, andai saja ia tidak selalu menolak mendengarkan gosip romansa, andai saja ia tidak menyangkal perasaannya, andai saja---

Sekarang, arwah Marie bisa apa?

Namun, setidaknya. Marie sedikit tenang. Sam, pria itu hanya sosok kesepian yang selalu merasa bertanggungjawab akan sesuatu. Termasuk dengan kepergian Marie. Padahal, walaupun benar Sam menjadi salah satu alasan Marie pergi, gadis itu pasti tidak akan beranggapan demikian.

Sebab, dari dulu Sam adalah alasannya tetap ada di bumi sebagai manusia seutuhnya. Sebagai manusia yang menderita penyakit langka dengan akar bunga yang menyelubungi paru-parunya, Sam adalah alasannya untuk tetap hidup.

Dan walaupun memang kebun bunga yang mekar di paru-parunya adalah persembahan bukti rasa kasihnya yang begitu mendalam untuk Sam; membuat Marie justru mati, Marie tidak keberatan.

Marie telah memberikan seluruh hidupnya, hanya untuk mencintai Sam.

Dalam diam.

Apakah Marie menyesalinya?

Di atas batu nisannya, Marie mengulurkan tangan transparan; menembus pucuk rambut Sam, mengelusnya perlahan dengan tatapan yang sulit diartikan.

Pada akhirnya, hanya sebuah senyum yang dapat memoles semuanya menjadi ... Semoga saja, baik.

'Maaf, terima kasih, Sam'.

***

[LONDON'S NEWSPAPER]
[SEBUAH PENYAKIT LANGKA, Hanahaki Disease yang kemungkinannya hanya 0,001% di dunia kini benar-benar dinyatakan ada dan membuat Marie Van Maddison merenggang nyawa akibat akar Red Spider Lily yang merambat di paru-parunya selama 3 tahun. Karena ini adalah penyakit langka, para dokter tidak bisa berbuat banyak dan ...]

[END OF ARCHIVE #4]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top