9. Jangan Dilihat!

'Mencintai sahabat sendiri apa harus setebal ini topengnya?'

***

Niki benar-benar kaget ketika melihat ternyata Niko-lah yang membuat pintu terjeblak terbuka. Yang bikin tambah aneh adalah, cowok itu masuk ruangan hanya untuk memantaunya. Bukan untuk ngotot daftar PMR atau bahkan ikut belajar.

Apesnya, ternyata ada yang lebih aneh dari Niko hari ini. Sepanjang menghabiskan waktu di ruang PMR, jalan bareng ke kelas, duduk bareng menyimak pelajaran, jalan keluar kelas menuju parkiran, bahkan sampai di dalam perjalanan, cowok itu sama sekali tidak mengucap sepatah kata padanya. Mendengar hela napasnya saja tidak rasanya.

Niko sepertinya sedang mode PMS versi cowok.

"Niko, kamu kenapa, deh?" Akhirnya Niki kembali bertanya—pertanyaan yang serupa selama lima kali berutur.

Cowok itu tidak menjawab, justru membuang muka.

"Hmmm, kamu ngambekan banget, sih." Suara Niki terdengar pelan. Kepalanya menunduk. "Gara-gara Kak Shua, ya?"

"Au." Niko menyahut sangat singkat.

Sepertinya dia benar-benar sedang PMS (versi cowok).

"Dasar ambekan, ih. Aku, kan, cuma belajar bikin tandu sama Aira, sama yang lain. Nikooo, jangan ngambek, dong," bujuk Niki sembari meraih tangan Niko yang bertumpu di atas helm.

Cowok itu menarik tangannya.

Suara klakson mobil menarik perhatian keduanya. Ketika berbalik, mereka menemukan sebuah mobil kuning yang merupakan kendaraan pribadi Arin. Wanita itu turun sambil melempar senyum pada Sintia yang juga sama-sama turun.

"Eh, Niki," sapa Arin, masih tersenyum. Dengan anggun dia yang memakai setelan dressoce putih bercorak bunga-bunga hitam, berjalan menuju Niki.

"Ma, kebiasaan, deh." Tampang Niko makin ketus dan tidak enak dipandang saja. Dia memutar bola mata malas.

Arin malah tersenyum, matanya tertuju pada Sintia yang menghampiri Niko.

"Duh, anak tampan Ibu, kok, cemberut terus?" goda wanita yang memakai atasan kaus hitam dipadukan blaser hijau toska. Untuk bagian bawah, dia memakai celana cutbray krem dan high heels hitam.

Hubungan para kaum hawa memang bisa terikat sangat erat, sampai-sampai ada agenda bertukar anak, seperti Arin dan Sintia. Tidak betul-betul menukarkan anak mereka sampai menempuh jalur hukum, tetapi bagi Niko tetap saja terasa risi.

Ibunya memang suka mengada-ada.

"Mama abis reunian, lho, sama temen-temen SMA," beber Arin tanpa ada yang bertanya.

Maka, sebelum ada yang menyahut, Niko lebih dulu menyerobot. "Nggak ada yang nanya, Ma. Lagian aku sama Niki tahu karena tadi pagi Mama udah bilang." Nadanya datar, tatapan dan tampangnya juga ikut-ikutan datar.

"Heh, kamu!" sembur Arin yang mukanya dengan mudah memerah kalau sedang malu atau marah.

Arin dan Sintia dulu satu almameter di SMA. Keduanya terbilang dekat karena ternyata menyukai pada dua orang yang berteman. Sudah klop memang. Sama-sama membagi kebahagiaan, sama-sama merasakan kesedihan, sama-sama berjuang demi mendapatkan cowok idaman.

Pertemanan mereka sangat erat. Makanya Sintia merasa bahagia ketika Arin lebih dulu jadian dengan Nukho, sementara Arin ikut terpukul ketika Sandi meninggalkan Sintia untuk selama-lamanya setelah berjuang melawan kanker.

"Kamu mandi dulu, gih, terus nanti jangan lupa main ke sini, ya. Mama soalnya nggak ada kerjaan lagi," celetuk Arin. Tangannya masih mengelus-elus kedua pundak Niki.

Niki tentu saja langsung semringah bahagia. Bukan, bukan maksudnya dia lebih memilih Arin sebagai ibunya, bisa-bisa dikutuk jadi cangkir cantik. Hanya saja, memiliki dua ibu yang superbaik dan perhatian itu sebuah kebahagiaan.

***

Niko terlihat sedang fokus main gim sambil sesekali mengumpat di sofa ruang tengah. Niki melongok dari balik tembok yang menjadi pembatas ruangan. Di tangannya sudah ada jajanan gurih kemasan.

Sebetulnya dia ingin segera menyerbu ke arah Niko, mengacaukan konsentrasi cowok itu. Namun, saat mengingat bahwa Niko sedang dalam mode ngambek, dia memilih jaga sikap.

Dia melangkah pelan-pelan, kemudian melongok pada ponsel Niko yang sedang menampilkan arena sengit. "Niko," panggilnya dengan nada lembut. "Izin duduk, ya?"

Karena Niko bungkam, akhirnya Niki duduk tanpa diizinkan. Dia memilih di ujung sofa, yang hanya berjarak beberapa jengkal dari cowok itu. Bosan menunggu Niko selesai push rank, dia menyalakan televisi dan menonton drama.

Dua jam berlalu, malam makin larut. Arin yang katanya tidak memiliki pekerjaan, malah ngerem di kamar. Sudah dapat diduga, ada tanggung jawab mendadak yang menimpa kedua pundak wanita empat puluhan itu.

Niki sudah ketiduran dengan posisi mulut menganga dan kepala yang merebah ke sandaran sofa.

Niko menahan senyum geli melihatnya. Tiba-tiba kemarahan menguap dari hatinya saat melihat wajah imut cewek itu. Ya, Niki memang imut, dianya saja yang tidak mau mengakui.

"Niki ...." Dia memanggil lirih. Untung bisa mengerem lidah sebelum membongkar isi hatinya. "Kamu ...." Tangan kanannya terkepal dengan gigi beradu.

Mencintai sahabat sendiri apa harus setebal ini topengnya?

Seandainya mereka bukan sahabat, apakah dia bisa lebih mudah merebut hati Niki? Dia sudah tahu karakter dan segalanya tentang cewek itu. Termasuk tekad untuk tidak memacari sahabat sendiri.

Pedih.

Ada sesuatu yang bergemeretak di dalam hati Niko, seperti istana harapannya mulai runtuh.

"Eh, Niko." Niki tiba-tiba bangun dengan muka linglung. Dia mengerjap-ngerjap dan mengucek mata.

"Kebo," cibir Niko, sudah bersedekap sambil menatap televisi yang sedang menayangkan adegan kisseu salah satu drakor.

"Ih, jangan dilihat!" Niki juga rupanya sadar karena tidak sengaja melirik ke arah sama. Dengan heboh dan buru-buru, dia menutup kedua mata Niko menggunakan tangan. Dia juga memejamkan mata.

Jantung Niko jadi deg-degan atas tindakan Niki. Belum lagi pipinya rasanya mulai panas.

"Astagfirullohaladzim! Ya ampun, Gustiii!" Bi Asih yang baru muncul dari dapur juga terkena mental saat melihat televisi masih menayangkan adegan tidak layak untuk anak di bawah umur.

Dia tergopoh menuju remote yang tergeletak di meja depan sofa, kemudian menekan tombol off, dan televisi pun mati.

Niki menghela napas lega sampai ngos-ngosan. Kemudian, tubuhnya melorot ke sofa. Niko lebih parah. Dia menghela napas lega, nyawanya terselamatkan. Soalnya tindakan Niki benar-benar membuat ritme jantungnya kacau-balau, sampai-sampai rasanya dia akan mengalami serangan jantung.

"Nggak ada fitur sensor apa, yak?" Niki masih tampak terguncang. Tadi dia sempat melihat beberapa detik adegan itu. Nahasnya, malah terus terbayang-bayang. "Lagian, kok, lama amat, sih!"

Niko menahan senyum melihat tingkah menggemaska Niki. Sahabatnya memang terlalu polos. Dia jadi ingin menjaili. "Ekh, gimana kalau kita ...."

Suara Niko menginstruksi Niki, membuat tubuh cewek itu membeku selama beberapa saat. Sepertinya sedang berpikir keras memproses kalimat ambigu Niko.

"Otak kamu udah dijual, ya, Niko? Sampe kamu nggak waras gini," kata Niki, menatap ngeri pada sahabatnya yang langsung memasang tampang datar lagi.

"Udah korslet gara-gara kamu!" Cowok itu membalas ketus.

Mata Niki kompak berkedip dua kali. Telunjuk tangan kanannya menunjuk diri sendiri. "Lah, kok, aku?"

"Ya, kamu deketin si Shua itu! Aku nggak suka tahu!" beber Niko, mulai terpancing emosi. Di sisi lain, dia terdorong untuk jujur saja pada cewek di sampingnya ini.

"Oke, aku minta maaf. Tapi, dia cuma ketua ekstrakurikuler yang aku ikuti. Soal kemarin, aku nggak mau terlihat payah lagi, Niko. Aku nggak bisa bikin tenda darurat, bagaimana bisa aku layak menggapai mimpiku sebagai relawan?" Ada kegetiran di akhir kalimat Niki.

"Nggak masalah, selama kamu nggak terlalu dekat sama dia." Niko menyahut dengan cepat, nada dan ekspresinya masih sama.

Niki terdiam cukup lama, hatinya bergemuruh. Setelah sedikit keberanian terkumpul, dia pun mengeluarkan sebuah pertanyaan. "Tapi, kenapa?"

Kini mata tajam Niko beralih padanya. Mulut cowok itu terkunci rapat.

"Tapi ... kenapa?" Niki mengulangi, kali ini dengan nada lebih pelan.

Helaan napas terdengar dari mulut Niko. Cowok itu mengalihkan pandangan ke sembarang tempat.

"Karena aku suka sama kamu, Niki. Makanya aku nggak bisa lihat kamu deket sama cowok lain. Persahabatan kita selama empat belas tahun, masa tidak memunculkan harapan biar kita bisa bersama selamanya. Bukan sebagai sahabat, melainkan sepasang kekasih. Atau ..., suami-istri."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top