6 - Butuh Damkar
'Sahabat tidak mengukur dari seberapa layak, tetapi seberapa mau dan tulus menjalin hubungan sampai batas waktu tidak ditentukan.'
***
Kali pertama dalam minggu ini, detik demi detik yang berjalan dihabiskan Niki dengan hanya duduk diam dan melamun. Tatapannya kosong menerawang langit senja yang sedikit mendung.
Biasanya, ada Niko yang terus mengoceh di sampingnya dalam agenda ini. Namun, kali ini dia sendirian.
"Nik, apa emang bener aku nggak cocok sahabatan sama kamu?" gumam Niki, teramat pelan sampai hanya dia sendiri yang mendengar.
Ketika mendengar kalimat itu, hatinya bak disayat pisau bekas mengiris cabai.
Ucapan demi ucapan dari para cewek yang mendatanginya, terus berputar di telinga, membuat otak memerintahkan tubuh untuk menciptakan mimpi-mimpi buruk. Sontak, kepalanya pun penuh dengan dugaan bahwa persahabatan mereka yang telah terjalin lama, akan kandas.
Matanya memanas saat gejolak amarah menguasai hati. Setetes air mata jatuh begitu saja. Tangan kanannya gemetar saat mengangkat foto berisi dirinya dan Niko saat kelas satu SD, tengah fose dengan muka coreng-moreng oleh lipstik. Saat itu, yang diingatnya adalah meminjam lipstik sang ibunda, mereka bermain, dan berujung mendapat omelan panjang lebar.
"Di dunia ini, selain Ibu, kamu orang paling berharga yang aku punya, Niko. Aku nggak siap dan nggak akan mau kalau harus pisah dari kamu." Air mata Niki terus berjatuhan. Isakannya pun mulai terdengar.
Ayunan yang didudukinya ikut bergetar, mengikuti tubuhnya.
Selama beberapa saat, sore yang mendung itu diisi dengan tangisan Niki. Untung dia tengah sendirian di rumah karena ibunya ada lembur.
Selama ini, dia bisa diam saja menerima segala perlakuan orang-orang karena tidak ingin mendapat masalah. Namun, jika menyangkut Niko, hatinya berubah supersensitif.
Membayangkan pisah dari Niko, makin kencang saja tangisannya.
***
Pepatah yang mengatakan bahwa seribu cewek cakep mengelilingimu, kalau hatimu hanya tertuju pada satu nama, mereka tidak ada artinya. Sepertinya itu cocok untuk menyindir Niko.
Saat ini cowok itu tengah ada di kelas X-IPS 1, gudangnya bibit-bibit cewek cantik penerus generasi sekolah.
"Beb, akhir pekan ini aku free, sih. Kamu kalau mau ngajak jalan, bisa aja," celetuk Melly yang kepalanya bersandar ke pundak Niko.
Cowok itu menghela napas. Pikirannya sedang teralihkan pada hal lain. "Aku sibuk, sih," kilahnya, berupaya halus menolak.
"Aku bisa, kok, booking semua jadwal kamu, termasuk kerjain semua tugas kamu." Melly menarik diri, berganti menatap Niko lekat-lekat.
Wajah cowok di depannya ini benar-benar tampan! Garis rahang yang tidak terlalu tegas tampak cocok dengan bentuk muka ovalnya, hidung bangir, bibir agak keriting dan sedikit tebal, tatapan tajam dan sepasang iris hitam legam, terakhir alis hitam yang meski berantakan justru terlihat estetik.
Pokoknya, di mata Melly, Niko itu hanya satu kata enam huruf : i-d-a-m-a-n.
Niko mengerutkan kening saat melihat cewek di sampingnya senyum-senyum sendiri. Kemudian, tangan kanannya terangkat dan mengepal, hanya menyisakan telunjuk yang membentuk garis miring di dahi.
Senyum Melly lenyap saat paham kode Niko. "Aku gila karena kamu juga kali, Beb. Kamu, tuh, satu-satunya cowok yang bisa bikin aku hilang kewarasan!" cerocosnya, membual.
"Aku bukan mafia atau benda. Kalau gombal, elitan dikit napa," protes Niko sembari memasang muka ketus. Dia cepat-cepat beridiri, memasukkan ponsel ke saku, dan mengangkat kaki untuk melangkah.
"Sayaaang!" Melly merengek manja dengan suara kencang lebih dulu. Jelas sekali dia tidak ingin kehilangan momen sedetik pun bareng Niko. "Mau ke mana, sih? Kamu baru bentaran doang di sini."
Bukannya gemas, melihat Melly yang tengah merajuk sampai memanyunkan bibir justru membuat bulu kuduk Niko meremang. Melly tidak seimut Niki saat merajuk.
"Lepas!" Tangannya mengempaskan tangan mungil Melly, sampai membuat cewek pendek itu nyaris terjengkang—tentu saja akibat aksi lebaynya. "Jangan kayak uget-uget atau ulat keket, deh, jadi cewek. Lagian aku mau pergi karena mau nemuin cewek lainlah."
Bicara Niko terlalu jujur.
Melly jelas langsung memasang muka sedih. Ternyata benar, bahwa dia harus berjuang superekstra untuk mendapatkan Niko, minimal perhatiannya.
"Sa ...."
Niko sudah melangkah lebar-lebar meninggalkan kelas.
Melly mengentakkan kaki dengan kedua tangan mengepal saking gemas. Beberapa teman-teman sekelas menatap geli ke arahnya.
Niko tidak berbohong saat mengatakan akan mengunjungi cewek lain. Faktanya dia langsung dicegat cewek yang selalu menunduk malu-malu dengan rambut panjang ikalnya yang menggoda.
"Ha–hai, Aa Niko," sapa cewek itu, betulan malu-malu.
Niko ketemu cewek ini ketika sedang menepi di pinggir jalan karena ban sepeda cewek itu kempis.
"Hai, Hera." Niko balas menyapa sembari memamerkan senyum termanisnya.
Dia tidak bohong bahwa Hera memiliki pesona unik yang menarik. Gayanya yang malu-malu, suaranya yang merdu, sikap dan tingkahnya yang begitu sopan, mampu menyentuh—sedikit—hati Niko.
"Aa beneran nggak lagi sibuk?" Hera masih menunduk, mana suaranya pelan lagi. Untung Niko memiliki telinga setajam pendengaran elang.
"Nggak, kok, Her. Kamu mau aku bantuin apa?"
Hera diam cukup lama. Sepertinya tengah menimbang-nimbang dari gerakan tangan yang menampakkan keresahan, bahkan kalau Niko bisa melihat, dia juga sedang menggigiti bibir bawah.
"Hera?" panggil Niko, memakai nada selembut yang dia bisa. Dia bahkan mengambil selangkah lebih dekat pada cewek itu.
"E–ehm, Minggu Aa sibuk nggak?" Kedua telunjuk Hera terus bergerak, saling membelit. Sekarang kedua kakinya malah terus bergerak.
"Oh," Niko bersikap lebih santai, "tentu aja free, Her. Kamu mau pergi jam berapa?"
Akhirnya Hera membulatkan tekad untuk memandang ke muka Niko. Perlahan-lahan dia mendongak, kemudian setelah berhasil menatap Niko selama beberapa detik, dia cepat-cepat menunduk.
Niko tersenyum gemas.
"A–aku ... aku minta tolong anter ...." Keberanian Hera terputus oleh dua cowok yang lewat di dekat mereka.
Niko menuntun Hera dengan menyentuh pundak kiri cewek itu dan menuntunnya untuk merapat ke tembok.
"Heem, terus?" Cowok itu melempar tatap ke seberang gedung, matanya menyipit.
Hera tentu tidak tahu karena terlalu sibuk mengurusi kegugupan yang membuat jantungnya berpacu lebih cepat.
"A–aku mau ke o–ondangan sepupu, terus disuruh bawa pasangan." Mendekati akhir kalimat, intonasi suara Hera makin menurun.
Niko mengerutkan kening, kurang fokus menyimak. Barusan perhatian dirinya teralihkan oleh seseorang di seberang gedung.
"Aa bersedia?" Hera kembali memberanikan diri mendongak untuk melihat reaksi cowok di depannya.
"Hmm, oke, deh," jawab Niko yang membuatnya bahagia sampai tidak bisa menahan senyum.
"Terima kasih banyak, Aa." Senyum yang ditunggu-tunggu Niko akhirnya unjuk diri.
Kamu tentu tahu, orang yang jarang senyum, sekalinya senyum itu ber-damage banget! Itulah Hera.
Selepas berpisah dengan Hera, Niko segera mempercepat langkah untuk menyusul seseorang. Dia pasti tidak salah lihat, tadi itu Niki, tengah jalan bersama Joshua. Iya, dia yakin itu!
Maka dari itu, sebelum hatinya kebakaran, dia berupaya keras untuk menemukan mereka.
Di ujung koridor, menuju kantin, dua orang itu berhenti. Niki mengulurkan jaket biru dongker dari paper bag-nya. Memberikan benda itu pada Joshua sembari tersenyum.
Pemadam api cepat! Ada kebakaran parah di sini, di hati Niko!
Kedua tangan cowok itu mengepal kencang sampai gemetar. Dia meninju pelan permukaan tembok yang tidak bersalah dengan rahang mengetat.
"Terima kasih sekali lagi, ya, Kak," pungkas Niki sebelum berpisah dari Joshua.
Keduanya berbeda tujuan. Joshua hendak ke kantin untuk menemui teman-temannya setelah dari ruangan PMR, sementara Niki berkepentingan hanya menyusul cowok itu untuk mengembalikan jaket.
Pandangannya berhenti di satu titik yang membuat senyumnya lenyap.
Niko ....
Sebelum dia sempat pergi, cowok itu lebih dulu melangkah lebar-lebar sehingga bisa sampai di dekatnya dalam waktu singkat.
"Sibuk, ya?" Niko menyindir dengan menyebutkan alasan Niki sampai menjauhinya selama dua hari ini.
Niki menunduk dulu. "I–iya, Nik," cicitnya.
"Hmm." Nada suara Niko langsung membuat Niki ketar-ketir. Alarm bahaya khayalan berdering nyaring di benaknya.
Tanpa mengucap apa-apa lagi, Niko segera pergi. Namun, Niki cukup sadar dan paham apa yang harus dilakukan. Makanya dia buru-buru mengikuti Niko.
Mereka berhenti di taman yang diisi beberapa murid. Ada yang sedang sender-senderan ke pasangan, ada gerombolan cowok-cowok yang sedang berisik mengobrol random, ada kutu buku yang tenggelam dalam bacaan, ada juga spesies pelor di segala tempat.
Niko duduk di kursi kayu bercat putih. Niki menyusul meski takut-takut.
"Kamu katanya sibuk sampai nggak bisa ketemu." Lagi-lagi Niko menyindir. Bibirnya tersenyum miring.
Niki menimbang sematang mungkin kata yang ingin diucapkan sehingga menjeda pembicaraan cukup lama.
"Tapi, ketemu tuh cowok resek, kok, masih bisa? Oh, atau nyempetin? Sementara aku, sahabat sekaligus tetangga kamu, tidak bisa ketemu kamu," sindir Niko lagi. Suasana hatinya memburuk dalam waktu singkat, setelah mengingat bahwa dia sadar dua hari ini Niki secara halus menghindarinya.
Hening kembali menjeda. Kedua remaja labil itu bergelut dengan pikiran masing-masing. Sampai akhirnya, keberanian merasuki raga seseorang.
Niki mengangkat kepala, mengambil tarikan napas tiga kali yang diembuskan secara perlaha. Setelah sedikit keberanian terkumpul, dia menoleh pada Niko.
"Apa aku masih layak jadi sahabat kamu, Niko?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top