4. Game Over

"Yang mudah terbakar itu hati, apalagi pas lihat ada yang deketin doi."

***

Di atas pukul dua siang, lingkungan SMAN 32 Bandung mulai sepi. Kelas-kelas mulai kosong. Hanya beberapa ruangan yang masih diisi murid karena mendapat jam belajar lebih lama.

Termasuk ruangan di dekat UKS yang sebelah pintunya dibiarkan terbuka. Ruangan itu cukup padat karena kursi yang tersedia terbilang sedikit, sementara penghuninya banyak. Jadi, beberapa murid cowok berakhir menyimak penjelasan sembari berdiri atau duduk di belakang kelas.

Pertemuan minggu ini membahas sejarah PMI, dilanjut praktik pembuatan tandu darurat. Tim dipimpin Joshua sepakat, bahwa menerapkan sistem belajar dengan terus-menerus dicekoki materi, tentu akan membuat siapa saja bosan.

"Saya membutuhkan empat orang untuk mempraktikkan ulang penjelasan dari kami." Joshua berkata di depan lingkaran yang dibentuk para juniornya. Sementara itu, para senior berdiri di dekatnya.

Dua cowok maju, disusul satu cewek yang awalnya tampak ragu-ragu.

Sekarang mereka telah berpindah ke lapangan terbuka, membentuk lingkaran kecil, duduk di atas lantai tembok. Memperhatikan dua senior cowok yang tadi dengan gesit membuat tandu darurat.

"Satu lagi? Dari tim cewek," kata Joshua sembari mengedarkan pandangan pada barisan junior cewek.

Di tempatnya, Niki sedang deg-degan. Sebagian hatinya menyuruh maju, sebagian lagi meneriakkan keraguan dan ketakutan. Tangannya sampai gemetar dan berkeringat.

"Niki, silakan maju!"

Niki setengah terlonjak saat mendengar namanya disebut oleh cowok itu. Dia mendongak, makin panik karena menatap langsung ke muka Joshua.

"Maju!" titah Joshua, tegas.

Mau tidak mau, Niki berdiri. Masih dengan tubuh yang agak gemetar, dia berusaha melangkah maju. Kemudian, duduk di dekat junior yang tadi lebih dulu maju.

Tim cowok diuji lebih dulu.

"Pertama, taruh kedua tongkat dalam posisi sejajar dan beri jarak sekira lima puluh sentimeter." Suara Joshua menginterupsi. Mukanya tampak serius sampai kedua alis tebalnya bertaut.

Kedua cowok itu menjalankan perintah dengan mudah.

Sebelumnya, ada dua relawan turun yang merupakan senior. Mereka memegangi tongkat ketika tim lanjut ke tahap berikutnya.

"Pastikan kalian membuat simpul palang yang kuat. Tidak usah lembek, tarik sekuat mungkin. Boleh juga melakukan cara yang kakak-kakak tadi praktikkan," jelas Joshua. Dia berjalan-jalan pelan mengelilingi lingkaran.

Suasana jadi begitu serius. Terlebih ketika kedua junior itu melakukan kesalahan.

Joshua turun untuk membantu, memberi solusi, kemudian membiarkan juniornya bekerja sama memecahkan masalah.

Mereka tampak panik.

Diam-diam dia suka melihat kepanikan mereka karena membuatnya mengenang masa lalu.

"Salah!" Kata itu tidak henti-hentinya keluar dari mulut Joshua. Pembawaan dan pengucapannya yang tegas, membuat suasana makin mencekam.

Padahal hari cerah, bahkan matahari masih bersinar. Namun, para junior yang menyentuh angka tiga puluhan itu merasa bak di kutub selatan.

"Kurang kuat." Joshua menarik tali dan membuatnya jadi kendor.

Jantung Niki sudah tidak karuan, sementara tubuhnya tidak henti gemetar. Mati aku. Setidaknya itu kalimat yang terus dirafalkannya.

Belasan menit kemudian, tim cowok akhirnya berhasil menyelesaikan pembuatan tandu darurat. Namun, ketika diuji oleh beberapa senior, tandu itu langsung ambruk.

Ya, bagaimana tidak akan ambruk kalau diujinya menggunakan kaki, bahkan dinaiki.

"Tim cewek, maju!" Joshua menurunkan perintah lagi.

Niki menatap Aira, Aira balik menatap. Mata mereka sama-sama memancarkan ketakutan. Niki jadi tahu nama cewek itu ketika tadi berupaya menghilangkan kegugupan dengan mengobrol.

"Ta, Ren, turun!"

Dua cowok menggantikan peran untuk memegangi dua tiang bambu yang dicat merah-putih. Mereka meletakkan bambu di pinggang dengan menyisakan 25 sentimeter sebagai pegangan tandu nanti.

Panik memang mengacaukan. Niki dan Aira berkali-kali melakukan kesalahan, lebih banyak dan sering dari tim cowok.

"Simpulnya salah."

"Kurang kuat!"

"Bukan kayak gitu."

Joshua berkali-kali menegur.

"Yuk, teman-teman, kasih semangat!" Fitri menepuk-nepukkan tangannya. Suaranya terdengar cukup kencang.

"Semangat! Semangat!" Mereka mulai kompak bersuara sambil bertepuk tangan.

Bukannya baikan, Niki malah tambah panik.

Joshua menghela napas melihat tangan juniornya yang gemetaran parah. "Kamu sakit?" Dia berjongkok di samping kanan cewek itu.

Niki lagi-lagi tergemap, tetapi buru-buru menggeleng—yang malah kecepatan.

"Fokus! Kamu sejak tadi salah terus, Aira jadi kehambat," beber Joshua yang mulai mengambil alih tali.

Dia membetulkan semua simpul yang telah dibuat Niki. Dari simpul mati, simpul pangkal yang harus dibelitkan dengan tenaga ekstra, sampai mulai menyusun simpul jangkar.

Niki dilibatkan tentu saja, meski justru sedikit mengacaukan.

"Tarik napas. Jangan nangis," ucap Joshua dengan nada lebih lembut. Bahkan, seperti berbisik karena mereka bersisian.

Yah, meski beberapa bisa mendengar itu. Mereka serangan jantung dadakan jadinya.

Harus diakui, mata Niki memang memanas dan pandangannya sedikit mengabur. Sejak tadi juga menahan napas karena dadanya serasa sesak diserbu kepanikan.

Setelah mendengar ucapan Joshua, dia mencoba mengatur napas. Namun, tetap saja, air mata menetes dari matanya.

Joshua pindah ke samping kanan Niki, membuat cewek itu terhalangi dari mata para junior. Tangannya terulur untuk menarik tali dan memastikannya terikat kencang. Dia juga memastikan apakah simpul yang dibuat Aira sudah betul.

Waktu itu dimanfaatkan dengan baik oleh Niki sehingga air matanya bisa berhenti menetes. Dia berupaya menghadirkan pemikiran indah dan positif. Semisal rebutan lolipop bareng Niko, melihat Niko ngorok dengan mulut terbuka, mengingat kenangan di masa lampau ketika Niko tercebur ke got, dan sebagainya.

Hatinya berangsur membaik.

Joshua sekarang berpindah ke Aira, menuntun cewek itu dalam menyusun simpul.

Setengah jam yang penuh perjuangan, akhirnya tandu darurat buatan tim cewek jadi. Meski bentuknya tidak meyakinkan, kendor di beberapa ikatan. Jika dipakai mengangkut pasien, niscaya pasiennya akan langsung terjengkang.

"Terima kasih atas kerja keras kalian, Niki, Aira. Sekarang silakan kembali ke barisan," kata Fitri yang menggantikan Joshua. Cowok itu kehausan sehingga izin minum dulu, tanpa meninggalkan lapangan.

"Nah, sekarang sebelum perpisahan, kita seru-seruan dulu. Yap, ada game dan hadiah yang menanti kalian!" Ucapan Fitri sontak saja membuat suasana mencair, bahkan beberapa junior kelepasan berteriak antusias.

Lingkaran dibubarkan. Fitri dibantu beberapa rekannya menjelaskan aturan permainan yang dinamai Lempar Tangkap. Di mana, nanti satu tim terdiri dari lima orang yang akan menyiapkan "misil" untuk menumbangkan tim lain.

"Jadi, orang yang paling belakang menyebut kata 'bersedia', orang selanjutnya 'siap', lanjut 'tembak', lanjut 'dor!', dan orang yang paling depan harus menyebutkan tim mana yang akan dia tembak. Kalian nanti harus berdiri dan jongkok setelah mengatakan itu."

Lima senior langsung memeragakan yang membuat beberapa junior tertawa geli.

"Alurnya begitu seterusnya. Kalau kalian menyebutkan nama tim yang sudah gugur atau tidak dipakai oleh tim mana pun, otomatis tim kalian akan gugur," imbuh Fitri. Para juniornya mengangguk paham dengan semangat.

Permainan pun dimulai. Semua junior tidak kesulitan mendapatkan tim, apalagi senior turun tangan untuk melengkapi tim yang masih kekurangan anggota.

Dari lantai dua gedung IPS, rupanya sejak tadi Niko mengawasi jalannya acara. Beberapa kali dia mengepalkan tangan dan menggumamkan umpatan. Terutama saat melihat Joshua berdekatan—amat dekat—dengan Niki tadi.

Seandainya tidak ada kedua temannya yang menahan, pasti dia sudah lari turun dan menghancurkan acara.

"Kamu kalau mau cari masalah sama Joshua, mending mikir dua kali, deh. Ribet ntar."

Itu ucapan temannya yang terlihat sungguh-sungguh. Makanya dia terpaksa menahan diri sejak tadi, meski hatinya sudah gosong terbakar api cemburu.

"Eh, ke mana?"

Niko menghentikan langkah saat mendengar pertanyaan temannya. "Lapang. Daftar PMR," jawabnya dengan nada ketus, tidak menoleh lagi.

Temannya geleng-geleng. "Nggak akan mudah. PMR seleksi masuknya aja diperketat. Katanya, sih, buat ngindarin anak-anak yang cuma mau main-main masuk tuh ekskul."

"Bodo," pungkas Niko. Kemudian, melangkah lebar-lebar dan menuruni anak tangga tiga-tiga sekaligus.

"Ya elah, katanya teman, tapi udah kayak sama pasangan. Posesif abis. Heran aku," cibir salah satu rekannya yang terdengar samar-samar.

Niko berpura tuli, terus berlari. Napasnya memburu ketika tiba di pinggir lapangan.

Joshua terlihat sedang mengobrol dengan satu rekannya, agak jauhan dari barisan tim yang sedang mengadakan permainan. Tim Niki masih bertahan. Cewek itu ada di posisi dua dari depan, berkali-kali meneriakkan kata 'dor!' yang terdengar lesu.

Kedua kaki panjang Niko kembali melangkah lebar-lebar menuju Joshua. Dalam waktu singkat, dia sudah tiba di hadapan cowok yang lebih jangkung darinya.

"Ekhem! Permisi!" Dari nada suaranya, sama sekali tidak ada keramahan yang ditunjukkan Niko.

Hal yang membuat Joshua kesal tentu saja. Karena sudah jelas, cowok di depannya ini adalah orang yang mengacau minggu lalu.

"Ada apa?" Joshua bereaksi tidak kalah tidak ramah. Malah mode seramnya sudah aktif lagi.

"Saya mau daftar ekskul Anda, bisa?" tanya Niko tanpa basa-basi. Memang dianya enggan berbasa-basi dengan makhluk sejenis Joshua.

Joshua diam cukup lama, menimbang-nimbang sembari menelisik tampilan Niko. Eh, cowok itu malah memasang pose kepedean. Bikin dia geli saja.

"Saya tidak akan melarang siap saja untuk mendaftar. Namun, siapa pun yang ingin masuk ekskul PMR harus sesuai kriteria yang saya terapkan," jawab cowok itu dengan nada datar. Tentu saja, tatapannya masih mengintimidasi.

"Fit!" Tangan kanannya melambai di udara, memanggil cewek yang sedang asyik menertawai kekocakan tim junior.

Cewek itu segera menyadari panggilan dari ketuanya. Maka, dia segera berlari untuk menghampiri Joshua.

"Ya, ada apa?"

"Kamu masih simpan formulir pendaftaran?"

Fitri terdiam dulu sebelum menanggapi pertanyaan Joshua, mengingat-ingat. "Kayaknya ada, sih, di ruangan," jawabnya, agak ragu.

"Oke. Tolong kamu bawa dia, terus kasih formulir pendaftaran, dan suruh isi langsung." Joshua memfokuskan pandangan hanya pada Fitri. Bukan apa-apa, malas melihat cowok di depannya ini. Dia malas berurusan dengan orang yang tidak serius.

Fitri mengangguk dua kali. Kemudian, membawa Niko menuju ruangan PMR.

Dalam perjalanan, Niki secara tidak sengaja melihatnya. Keduanya beradu pandang selama beberapa saat.

Niko diberi selembar formulir yang serupa dengan milik Niki beberapa waktu lalu. Dia dipersilakan mengisi formulir di dalam kelas, sementara pintu dibiarkan terbuka dan Fitri berdiri di dekatnya.

Formulir itu berisi pertanyaan seputar data diri, soal-soal tes, kemudian beberapa pilihan ganda.

Niko sama sekali tidak serius mengisinya. Dia begitu tidak sabar karena mulai berpikir yang aneh-aneh tentang kedekatan Niki dan Joshua. Kejadian tadi berputar-putar di kepalanya.

"Kak, sudah," kata Niko yang sudah di samping Fitri.

Cewek itu berbalik dan menerima formulir dari Niko. Kepalanya mengangguk-angguk dengan mata terfokus ke jawaban.

"Terima kasih sudah mengisi formulir, ya. Untuk hasilnya, kamu harus nunggu keputusan ketua," jelas Fitri sembari tersenyum tipis.

Hampir saja Niko terpana.

"Oke." Niko hanya mampu membalas singkat.

Keduanya pun berjalan beriringan menuju Joshua, melewati dua tim tersisa yang bermain makin sengit. Mereka berupaya mengalahkan satu sama lain.

Si ketua PMR sedang mengobrol serius dengan salah satu senior ketika mereka tiba di dekatnya. Cowok itu lebih dulu menyadari kedatangan mereka sehingga mengakhiri pembicaraan.

"Ini formulirnya, Pak Ketu," kata Fitri sambil menyodorkan formulir data diri Niko.

Joshua menerima dan mulai membaca dengan serius. Dia tampak fokus, mengerutkan kening, mata menyipit, dan tubuh yang tiba-tiba meminimalisir membuat gerakan.

"Kamu yakin ingin masuk PMR cuma modal alasanmu yang sepele itu?" Pertanyaan pedas tidak segan keluar dari mulut Joshua.

Niko sudah menduga, tetapi tetap saja menyebalkan saat berhadapan dengan cowok ini. "Memangnya kenapa? Apa yang masuk PMR harus berdasar pada rasa suka di hati Anda saja? Wah, kalau gitu, nggak profesional, dong!"

Sebetulnya Joshua bukan tipe yang mudah terbakar api amarah. Namun, diledek di depan muka secara langsung, siapa yang tidak akan marah?

Cowok itu menarik napas dan mengembuskannya. "Ini bukan soal pendapat pribadi. Tapi, niat dan motivasi calon anggota. Kalau alasannya karena di sini ada pacarmu, itu bisa dikatakan serius?" Matanya menatap tajam pada Niko yang balik menatap sengit.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top