28 - Hilang

'Menyatukan dua keluarga tidak pernah mudah, apalagi yang sama sekali tidak ada ikatan darah.'

***

Qiya mendadak punya babu tampan setelah berhari-hari ini Niko selalu menuruti apa pun kemauannya. Malah, tanpa disuruh pun, itu cowok selalu memberikannya makanan ketika jam istirahat pertama dan kedua.

Kadang tiba-tiba chat dan bilang ada titipan makanan atau hadiah. Atau, tiba-tiba nongol bawa makanan kesukaan Qiya.

"Pacarmu, tuh." Rara menyenggol pundaknya sambil menggerakkan dagu ke arah pintu.

Di sana, cowok yang sedang dipikirkannya sudah nyengir lebar sambil berjalan pelan. Sudah pasti, cowok itu akan ke mejanya.

Benar.

"Halo, Qiya. Dimakan, ya." Niko meletakkan paper bag berisi camilan yang beberapa menit lalu tiba diantar tukang ojek online.

Sikap lemah lembut cowok itu bikin Qiya jadi kehilangan cakarnya. Dia cuma bisa balas nyengir canggung sambil kaku menerima pemberian—yang disodorkan setengah paksa—Niko.

"Hari ini belajar apa aja, tuh? Mukanya sampe kusut gitu," tanya Niko yang dengan mudah bisa mendapatkan bahan obrolan.

"Ah, nggak. Cuma belajar Bahasa Inggris," jawab Qiya. Nadanya canggung, belum lagi reaksi wajahnya yang menampakkan kerisian.

Niko memahami itu. Maka, lagi-lagi sepertinya perjuangannya masih panjang dan melelahkan. "Oke. Kalo gitu. Aku pamit, ya? Kamu semangat kelasnya!"

Cowok itu benar-benar beranjak pergi.

Qiya menghela napas, kemudian setengah menjedotkan kepala ke permukaan meja. "Sial, sial, sial."

"Kayaknya si Niko tahu kelemahanmu, yang nggak bisa nolak cowok kalem yang nggak banyak tingkah." Rara mendekatkan bibirnya ke telinga Qiya yang tampak begitu frustrasi.

"Haduh," gumam cewek itu sambil menggerakkan kepala. Kini, pipi sebelah kirinya yang menempel ke permukaan meja.

Permukaan meja itu tidak dingin bak AC yang bisa mengenyahkan gerah. Namun, suasana hati yang buruk membuatnya enggan untuk melakukan apa pun dan berpikir.

"Baguslah, jomlo di geng kita akhirnya sold out. Berkat kertas itu, nih!" Febri main menceletuk dengan kerlingan genit.

Rara jelas langsung melayangkan tatapan tajam padanya. Kentara sekali dia mengancam karena Febri berani-beraninya main ember.

"Dasar cangkir tidak berkepricangkiran," desis cewek itu yang masih menatap tajam.

Febri malah cengengesan. "Cangkir? Cantik-cantik banyak yang parkir." Dia malah melantur.

"Tunggu-tunggu! Kertas apa?" Qiya sepertinya baru tersadar sehingga tubuhnya tersentak bangun.

Mata cewek itu menelisik pada dua sahabatnya yang berada di sisi kiri dan kanan. Keduanya kompak cengengesan, malah seperti menahan tawa.

"Kertas apaaa?" jerit Qiya, frutrasi.

Mendengar nada penuh kemalangan Qiya, Febri jadi tidak tega. "Sebenarnya kami selipin kertas kecil pas di keresek yang—"

"Bukan apa-apa, kok!" Rara memamerkan giginya.

Sudah jelas ini aneh. Jadi, Qiya jelas makin mempertajam tatapannya. Belum lagi ancaman yang tersampaikan melalui aura di tubuhnya.

"Jangan jagal kami!" mohon Febri yang mengerti akan kemarahan sang sahabat.

"Tulisannya apa?" Nada bicara Qiya mendadak datar dan ... dingin.

Aduh, mati sudah Rara! Dia biang keroknya, jadi sudah pastilah kebagian yang paling apes.

"Cu–cuma tulisan doang, sih," kilah Rara, menunduk. Kemudian, dia berupaya mencari ponsel untuk mengalihkan ketegangannya.

Qiya kalau sudah marah, beuh, tukang rentenir, mah, lewat.

"Tulisan apa?" Qiya mendesak. Kedua tangannya sudah bersedekap di dada, sementara matanya fokus mengamati gerak-gerik gelisah dari dua sahabatnya.

"Aku lupa detailnya, sih ...." Ucapan Rara menggantung.

"Intinya?" Lirikan sinis Qiya berhasil membuat mentalnya langsung retak.

"Kalo nggak salah, 'semangat, ya, Gan ...," Rara melirik takut-takut pada Qiya, "teng."

Kedua jari tangannya sudah saling memilin. Mendadak jantungnya jadi jedag-jedug-jeder tidak karuan.

Tidak ada teriakan, pun lirikan tajam Qiya berganti tatapan datar saat Rara memberanikan diri melihat ekspresi cewek itu.

"Oh," kata Qiya.

Rara menghela napas lega, diikuti Febri dengan lebih pelan. Kepanikan seolah menguap begitu saja dari hati kedua cewek itu.

"SAHABAT BAN***T KALIAN!" jerit Qiya yang teramat murka.

Sebelum kedua sahabatnya kabur, cewek itu lebih dulu menarik rambut Febri dan Rara. Sontak kedua cewek itu menjerit-jerit dan mereka berakhir jadi pusat perhatian.

Terutama nyaris semua cowok di kelas yang mendengar umpatan Qiya, mendadak kena mental. Rupanya cewek yang dianggap kalem dan "bersih" itu bisa mengumpat juga.

***

Sore ini kegiatan di sekolah cukup padat. Niki baru sampai rumah pukul lima lebih. Gerah dan lelah yang menguras tenaga, membuatnya buru-buru mencapai kamar mandi.

Dua puluh menit kemudian, dia sudah selesai dan sedang menuju dapur. Sintia ada di sana, sedang sibuk masak.

"Wah, banyak banget, Ma," komentar Niki yang agak kaget saat melihat hidangan di meja cukup banyak, sementara ibunya masih fokus memasak.

"Om Rama nanti akan ke sini," kata Sintia sebelum beralih meraih spatula.

Niki mengernyitkan kening, kemudian kembali teringat calon saudara tirinya yang melabrak dua kali di sekolah. Seolah cewek itu tidak mengizinkannya bergabung di keluarga baru.

"Kok, bengong, Nik?" tegur Sintia saat melihat anaknya hanya termangu di depan meja,

"Eh? Anu, Bu." Niki tidak jadi bicara, memilih mulai menyendok nasi.

Sintia masih sibuk. Jadi, paling setelah selesai baru makan. Niki memutuskan makan sambil menemani Sintia mengobrol. Wanita itu tidak penah jauh-jauh dari membahas Rama dan keluarga baru mereka. Seolah dia tengah membujuk hati Niki untuk memberi izin penuh pada Rama dan keluarganya.

Menyatukan dua keluarga tidak pernah mudah, apalagi yang sama sekali tidak ada ikatan darah. Pernikahan memang selalu mengikat erat, tetapi juga selalu menorehkan luka dan konflik berat.

Malamnya, pukul delapan. Rama datang bersama anak perempuannya yang masih belum memasang tampang ramah pada Niki. Hanya pada Niki. Karena cewek itu tampak akrab dan mengakrabkan diri dengan Sintia.

Niki merasa terasing, dibuang, disingkirkan. Dia merasa hatinya seolah pecah berkeping, tertusuk-tusuk, hancur.

"Niko." Dia memanggil dengan suara pelan. Tangannya mengetuk pintu belakang dengan pelan.

Ragu dan malu menyelimuti hatinya. Namun, dia benar-benar membutuhkan kehadiran Niko. Setidaknya untuk meminjamkan bahu, agar dia dapat bersandar barang sesaat.

"Nikonya lagi main, Neng Niki."

Kalimat itu seolah menghancurkan harapan Niki, membobol pertahanan yang susah-payah di bangunnya. Dengan lesu dia kembali.

Pagi harinya, Sintia bangun dengan hati yang amat bahagia. Obrolan semalam dengan calon suaminya menjadi alasan terkuat. Hanya seminggu lagi, maka mereka akan resmi jadi sepasang suami istri, membangun keluarga, menyatukan dua pihak.

Sintia berjalan agak tergesa menuju kamar Niki. Meski tanggal merah, rencananya hari ini dia ingin mengajak sang anak jalan-jalan. Sekaligus modus untuk "membeli" hatinya.

"Niki!" Suara Sintia menggema. Rumah itu memang sedang sepi karena akan ditinggal. Biasanya, ada yang menonton atau tidak, televisi selalu nyala. Kecuali di jam tidur.

Tidak ada sahutan. Sintia mengerutkan kening. Niki tidak pernah telat bangun, apalagi sampai siang begini. Sudah pukul delapan. Sejak pagi juga cewek itu belum menunjukkan batang hidungnya.

"Nik?" panggil Sintia lagi. Masih sama, padahal biasanya Niki langsung menyahut saat mendengar dipanggil. "Niki?"

Karena hening, Sintia pun meraih kenop pintu dan memutarnya. Pintu terbuka, gemerincing hiasan sedikit meramaikan suasana karena terkena tubuh wanita itu.

"Niki?" Kali ini nadanya sedikit panik lantaran kamar itu kosong. "Niki, kamu di mana, Nak?"

Lagi-lagi tidak ada sahutan. Makin paniklah Sintia.

Niki tidak pernah keluar atau akan pergi tanpa izin. Sejak pagi pula, Sintia sudah mengelilingi rumah dan tidak berpapasan dengan cewek itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top