25 - Target Baru

'Seseorang bisa dengan mudah tertarik pada lawan jenis, tanpa tahu dengan yakin apakah rasa tertariknya didasari perasaan atau hanya sebatas penasaran.'

***

Ingatan Niki masih berfungsi dengan baik sehingga bisa langsung mengingat kejadian-kejadian sebelumnya yang mempertemukan mereka. Cewek yang berdiri di hadapannya sekarang ini pernah bertemu dengannya di acara keluarga. Satu kali ketika makan malam, satunya lagi ketika acara lamaran kemarin.

Benar, cewek di depannya ini adalah calon saudara tirinya.

Niki memamerkan senyum termanisnya, berusaha maksimal bersikap ramah untuk melunturkan wajah permusuhan cewek di depannya ini. Dia membaca name tag cewek itu, Anuradha Athalia.

"Nggak usah sok manis di depan saya!" ketus cewek itu sambil menatap tajam.

Senyum Niki luntur seketika, tetapi hanya sesaat. Dia kembali memasang senyum, karena itu lebih baik daripada langsung mengibarkan bendera perang.

"Saya tidak menyangka kalau ternyata kamu yang akan menjadi saudara tiri saya," sambung cewek itu. Gayanya masih sama, angkuh dan mengintimidasi.

Niki menunduk, memandangi ujung sepatunya. Dia masih syok karena ternyata dirinya satu sekolah dengan calon saudara tiri.

"Saya sudah mendengar banyak informasi tentang kamu. Agak mengejutkan karena ternyata harus satu rumah dengan cewek seperti kamu." Cewek itu mencondongkan tubuh, tatapannya masih mengintimidasi sehingga Niki buru-buru menunduk lagi saat keberanian membuatnya mendongak.

"Saya tidak suka kamu. Jadi, saya harap kamu tidak merebut atau menyinggung dunia saya apabila nanti papa saya resmi menikahi ibumu," bisik cewek itu. Matanya menatap lurus ke depan dan menemukan seseorang tengah berdiri, memandang tajam dan penuh ancaman kepadanya.

Cewek itu mengibaskan rambut ketika Niki merasakan ada seseorang lagi yang mendekat dari arah belakangnya. Sekali lagi, cewek itu menatap ke belakang Niki, kemudian berbalik dan berjalan ke arah berlawanan.

"Siapa?" Joshua muncul.

Kehadirannya agak mengagetkan Niki sehingga cewek itu tergemap, kemudian gelagapan saat memaksakan diri untuk menjawab, "A–itu ... itu temen."

Alis kiri Joshua terangkat. Dia kemudian beralih ke samping kiri Niki, memasukkan kedua tangan ke saku celana, dan menghela napas.

"Nyari temen perlu, lho." Cowok itu menceletuk, pandangannya lurus ke depan. "Selama ini aku lihat kamu mainnya kalo nggak di perpus, di kantin—jarang, dekat area lapangan futsal, ya paling di kelas."

Niki menoleh, mengerutkan kening. "Kok, Kakak tahu?"

"Ya, soalnya aku tiap hari kerjaannya keliling sekolah. Mayan, olah raga kaki," jawab Joshua, tersenyum lebar.

Dua cewek lewat dan tidak sengaja menatap mereka. Lantas, keduanya berbisik-bisik sambil menyebut kata 'dekat' bahkan 'pacaran'. Muka Niki rasanya memerah.

"Eh, temenmu gimana, tuh?"

Keduanya sepakat melangkah pelan meninggalkan tempat. Joshua lagi-lagi melempar pertanyaan, sepertinya akan lebih mendominasi pembicaraan kali ini.

"Niko?" Joshua mengangguk. "Baru kemarin ketemu terus ngobrol, sih."

"Baru kemarin?" Kening Joshua berkerut. Kepalanya mulai menerka-nerka.

Niki mengangguk. "Belakangan kami jarang punya waktu bareng, sibuk sama urusan pribadi," bebernya dengan nada pelan dan mimik muka yang sedih.

"Oh. Tapi, baik-baik aja, kan?"

Niki agak aneh dengan pertanyaan Joshua. Menyadari kebingungannya, cowok itu buru-buru menambahkan ucapannya.

"Soalnya, cewek kalau galau suka nggak nanggung, sampe belajarnya nggak fokus." Joshua tersenyum tipis.

"Nggak, kok. Kami baik-baik aja," jawab Niki. Tanpa sadar, kedua tangannya saling meremas, terus begitu selama perjalanan mereka.

Sesaat hening. Pandangan Niki berangsur kosong, kepalanya mulai diisi dengan kalimat yang diucapkan Radha tadi.

"Ngomong-ngomong, performa kamu di evaluasi kemarin cukup bagus, lho." Joshua telah menemukan topik pembicaraan baru yang dirasanya cukup menarik.

"Eh, serius?"

Cowok di samping kanannya mengangguk beberapa kali.

"Kamu udah ada perkembangan baik dan terus meningkat dari minggu ke minggu. Bagus, aku suka. Tingkatkan terus pokoknya." Senyum bangga yang dipamerkan Joshua merambat pada Niki.

Hati cewek itu berbunga-bunga, maka dia tidak bisa lagi menahan senyum.

***

Belakangan, mendadak XI-IPS 1 jadi kelas favorit Niko. Karena terlalu sering datang, sampai-sampai dia punya banyak kenalan di kelas itu. Meski adik kelas, karena kepiawaiannya dalam bersosialisasi, banyak cowok yang menyambutnya dengan santai dan ramah.

"Lo ngejar si Qiya, Nik?" Cowok berambut cepak dengan tubuh teramat tinggi sampai nyaris mentok di pintu, mengajukan pertanyaan kesekian.

Niko jadi senyum, tidak bisa berbohong. "Iya, Bang. Gue tertarik sama dia."

Tawa Ujang meledak selama beberapa detik. Tawa geli, Niko paham maknanya.

"Kenapa, Bang? Ada yang salah?"

"Nggak. Cuma lucu aja. Si Qiya tuh kayak belut, licin ditangkep. Gue aja sampe nyerah," beber Ujang sambil celingukan. Dia sebenarnya takut tiba-tiba ada Qiya yang mendengar ucapannya. Waduh, bahaya!

"Hah?" Niko ternganga. Kaget bukan main dia saat tahu kalau teman barunya itu ternyata juga akan bersaing dengannya.

"Lo tenang aja kali, gue udah mundur ngejar Qiya. Males gue lama-lama kena tolak. Enakan mundur daripada maju kalo hasilnya sia-sia muluk," kata Ujang yang terdengar sedikit merana.

Niko geleng-geleng prihatin. "Sabar, ya, Bang." Dia berempati.

"Harusnya lo yang sabar. Gue, sih, udah jelas mundur. Beda sama lo yang baru aja maju." Ujang lagi-lagi tertawa geli dalam waktu singkat. Tangannya bersedekap di dada. "Anak-anak kelas aja dibikin K.O sama Qiya, nggak kebayang gue gimana nasib lo."

"Waduh, merinding," kata Niko dengan nada datar. Tidak ada ketakutan sama sekali, dia justru makin tertantang.

"Nih, gue kasih triknya kalo mau deketin si Qiya." Suara Ujang memelan, dia bahkan mencondongkan tubuh agar bisa lebih dekat dengan telinga Niko.

Mendapat sinyal baik, Niko jelas tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. Dia mendekat pada Ujang dan terjadilah aksi bisik-berbisik yang bikin beberapa orang salah paham.

"Oooh, gitu!" Niko angguk-angguk.

"Umur lo di bawah dia, sih. Peluang lo kecil," kata Ujang.

"Makin kecil peluang menang, bukannya makin menantang, ya? Makin enak dibawa berjuang. Lagian, nih, dewasa nggak diukur dari umur, kan?" Niko berbicara begitu bijak sampai-sampai bikin Ujang merinding.

Suara cempreng seseorang menarik perhatian. Niko melongok dan menemukan Qiya berjalan masuk bersama teman-teman ceweknya. Dia yang tengah duduk pun segera berdiri, mengikuti Ujang yang sudah menyadari keberadaan Qiya lebih dulu.

"Dih, ngapain kamu di sini?" sembur Qiya ketika matanya menangkap keberadaan Niko.

Niko senyum tiga jari selama tiga detik. Selanjutnya mukanya menampakkan keramahan, sementara sikapnya berubah lebih kalem. "Main doang. Di sini nggak ada larangan buat orang luar, kan? Apalagi ini di jam istirahat."

Kening Qiya berkerut, dia bungkam selama beberapa saat sambil menatap tajam pada Niko. Kemudian, pundaknya bergidik diiringi bulu kuduk yang meremang.

"Astagfirullohaladzim, setan di mana-mana," katanya sambil mengelus-elus dada dan geleng-geleng.

Qiya pun bergabung dengan dua temannya untuk menikmati semangkuk seblak plus kerupuk pedas.

Di tempatnya, Niko melebarkan senyum puas. Seenggaknya, respons cewek itu lebih mendingan sekarang, setelah dia menemukan salah satu kunci untuk membuka hati Qiya. Jadi, sekarang dia sudah memantapkan hati untuk mengejar cewek itu.

Entah sejak kapan, yang jelas Niko telah terjerat pesona cewek boncel itu. Hanya saja, dia tidak tahu, apakah rasa tertariknya itu didasari perasaan atau hanya sebatas penasaran.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top