22 - Mengejarmu
'Menerima orang asing sebagai keluarga baru memang sulit. Tapi, hidup selalu punya kejutan.'
***
Kelas XI-IPS 1 tidak bobrok-bobrok amat. Sekitar dua puluh persen penduduknya masih normal, Qiya salah satunya. Kalau jam istirahat, kelasnya mendadak jadi tempat hajat. Geng cowok sudah bikin grup band dadakan, kumpul bikin keributan di belakang kelas.
Mereka menabuh meja sebagai drum, atraksi dengan sapu yang merupakan gitar khayalan, ember tempat pel pun jadi kendang dadakan. Terus, yang melengkapi adalah sang vokalis yang suaranya tidak merdu-merdu amat.
"Demi Neptunus dan udang-udang di lautan!" Qiya yang geram, terlihat siap menerkam rombongan rusuh di sudut kelas. Kedua tangannya mengepal bulat.
"Bagusan dikit, kek, ngumpatnya." Lili mengoreksi tanpa mengalihkan tatapan dari ponsel.
Qiya melirik sinis, mulutnya terkatup rapat. Hemat tenaga demi maksimal menyerang geng pimpinan Anto.
"WOY, LO SEMUA!" jerit Qiya yang cukup melengking. Namun, rombongan band abal-abal itu hanya berhenti sesaat dan kembali melanjutkan permainan.
"Duda Araban puterin, Cuk!" Anto mengacungkan jempol pada Mamet.
"Siap, Bos!" balas Mamet, kemudian mulai memetik senar gitar ala koplo.
Anak-anak yang lain mulai menabuh alat-alat musik low budget mereka dan keramaian kembali berlanjut.
"Qiya Hikari!"
Seseorang memanggil. Qiya yang masih memelototi geng cowok resek di sudut kelas, dengan kesal terpaksa menoleh ke sumber suara. Namun, tidak ada seseorang yang terindikasi tadi memanggilnya.
Qiya mendengkus, kemudian berdiri, akan menghampiri dan membubarkan geng Anto.
Seseorang meraih pergelangan tangannya dengan lembut. Sayangnya, karena Qiya tidak terbiasa dengan sentuhan dari siapa pun, dia segera berbalik sambil mengepalkan tangan.
Mata Niko memelotot ketika melihat sebuah pukulan dari tangan mungil cewek boncel di depannya. Dia tidak sempat menghindar karena gerakan cewek itu begitu cepat dan pukulannya ternyata sangat bertenaga.
"Adow!" Niko langsung membungkuk sedetik setelah tangan Qiya mendarat di perutnya. Dia merasakan isian perutnya seperti melilit, mengaduk-aduk sesuatu. Rasa mulas bercampur ingin buang angin jadi menyerangnya.
"Nggak sopan banget jadi cowok!" amuk Qiya. Tinjunya sudah terangkat di udara, siap meluncur.
"A–ampun! Ampun," mohon Niko, sungguh-sungguh. Sampai mengangkat kedua tangannya mirip kepiting.
Melihat muka cowok itu, jelas saja amarah Qiya malah makin menjadi. Rasa kesal memenuhi hatinya. Dia kesal pada tingkah cowok itu, pada teman-teman yang memberikan hukuman memalukan padanya, dan pada diri sendiri yang bego banget sampai mau berurusan dengan cowok ini.
Sekadar info, Niko jadi salah satu orang yang paling dihindari Qiya di sekolah. Bukan apa-apa, dia tidak suka saja pada tingkah cowok itu yang terkenal suka PHP anak orang.
"Ngapain kamu ke sini, hah?" Qiya bertanya dengan nada ketus.
Niko nyengir—sekaligus meringis karena masih kesakitan—sambil berdiri. Matanya tidak lepas dari wajah bulat Qiya. Yang justru tindakan itu bikin cewek di hadapannya risi.
"Tutup matamu atau aku colok!" Dua jari tangan kanan Qiya terangkat ke depan mata Niko.
"Galak amat, sih, Cantik," goda Niko. Terpaksa dia mengalihkan pandangan ke samping.
"Iyalah, aku udah cantik dari lahir. Aku cewek, masa aku tampan!" Lagi-lagi, Qiya mempertahankan nada dan ekspresi ketusnya.
Anehnya, Niko justru jadi gemas sendiri melihatnya. Dia berdeham, menyisir rambut dengan tangan, kemudian memasang senyum terbaik yang biasanya bisa meluluhkan cewek-cewek incarannya.
Cinta memang bisa datang dari mana saja. Contoh Niko, hanya gara-gara membaca secarik kertas yang ada di dalam keresek pemberian Qiya, hatinya mendadak jadi tertarik pada cewek itu. Satu hal yang mungkin jadi penyebab, Qiya bisa bersikap galak padahal dia sendiri yang menulis surat berisi kata-kata manis untuk Niko.
"Heh, kalo nggak ada kepentingan, mending sana pergi! Habitatmu bukan di sini, tempat ini terlarang untuk buaya kayak kamu!" sembur Qiya yang sudah gemas harus melihat Niko di sekelilingnya lebih lama.
"Eh, nggak—"
"Nikooo!" jerit seorang cewek yang baru masuk dengan seplastik gorengan di tangan. Matanya memelotot, langsung segar melihat cowok idaman ada di depan mata.
Niko terpaksa berbalik, nyengir kaku. Erin, cewek pertama yang berhasil tukaran nomor ponsel dengannya. Sayang, mereka sudah tidak kontekan sejak beberapa minggu lalu. Lebih tepatnya, Niko yang memblokir nomor cewek itu karena dinilai terlalu agresif.
"Niko mau ketemu aku, ya?" Erin sudah ada di depan Niko saja.
"Aaa ...." Tangan Niko sudah lari ke tengkuk, menggaruknya. Padahal gatal tidak, pegal juga tidak. Dia hanya cari pengalihan.
Melihat situasi yang cukup menguntungkan, Qiya langsung mundur, menarik Lili, kemudian pergi ke luar kelas.
"Eh!" panggil Niko, tangannya merentang ke depan, seolah siap menggapai Qiya. Namun, justru tangan Erin yang menggapai tangannya.
"Kalo kangen bilang aja kali, Nik. Kan, kita bisa ketemuan. Btw, buka blokiran kontakku, dong." Erin sudah nyerocos saja, bikin Niko tidak nyaman, tetapi tidak bisa kabur begitu saja. Soalnya tubuhnya sudah dipepet dan bak diikat oleh cewek itu.
"Kak, maaf. Aku ada keperluan dulu." Tangan Niko berupaya melepas kungkungan Erin, tetapi gagal. "Dan, lagi ...."
Erin menatap lekat pada Niko. Matanya selalu bisa menyihir orang, irisnya hitam legam, berbentuk bulat dengan bulu mata panjang yang lentik. Matanya selalu memancarkan keindahan—menurutnya.
"Sini aja dulu kali, Nik. Istirahat juga masih lama," bujuk Erin yang sebenarnya lebih pas disebut paksaan.
Nasib amat kudu jaga imej di depan orang, rutuk Niko yang sudah geregetan sendiri.
Sepertinya hilang sudah kesempatannya hari ini dalam memepet Qiya.
***
Niki mengamati setiap gerak-gerik Joshua sejak lima menitan lalu. Cowok itu tengah asyik berlatih smash voli dengan rekannya. Hati Niki mendadak tidak karuan melihatnya. Entah apa yang bisa dia sebut untuk mendifiniskan perasaannya.
Sejak kejadian malam kemarin, ada sesuatu yang benar-benar mengganggunya. Ketika itu, dia sudah tidak kuasa menahan diri untuk tetap tegar di depan semua orang. Ada sesuatu yang menusuk-nusuk perasannya saat melihat kebahagiaan tergambar jelas di wajah ibunya yang sudah menemukan tambatan hati baru, pengganti sang ayah.
"Menangislah. Kalau sudah reda, siapa tahu mau cerita." Kalimat itu masih terngiang di benak Niki.
Dia kaget saat mendapati Joshua berdiri menjulang di hadapannya, memasang senyum dan tatapan teduh. Keremangan lampu taman menerpa wajah tampan cowok itu.
Tidak ada obrolan panjang-lebar malam itu karena Niki lebih banyak menangis demi membuat hatinya lebih ringan.
"Menerima orang asing sebagai keluarga baru memang sulit, Nik. Tapi, hidup selalu punya kejutan," kata Joshua dengan nada lembut.
Niki sudah berhenti menangis, hanya tinggal menghabiskan tisu yang juga merusak riasannya. Padahal Sintia sudah capek-capek merias wajahnya dan entah alasan apa yang akan di ajukan pada ibunya nanti.
"Makasih, Kak, udah nemenin aku." Niki berujar sembari masih sesenggukan. Hidungnya mampet, jadi suaranya sengau.
"My pleasure. Nangis aja, nggak usah malu. Aku nggak bakal ngetawain, justru bakal nemenin kamui."
Niki hanya tersenyum untuk membalas ucapan itu. Dia lupa bertanya bahwa mengapa Joshua ada di rumahnya. Dia terlalu fokus pada rasa sedih dan dilema yang berkecamuk.
Niki mengerjap ketika mendengar teriakan dari lapangan. Joshua tampak bersorak karena berhasil melakukan smash dengan baik.
Tanpa sadar, Niki tersenyum manis. Dia kagum pada cowok itu, kagum pada sikapnya, tutur katanya, dan .... Tidak-tidak. Dia tidak mungkin jatuh cinta, kan? Dia hanya sekadar kagum pada kepribadian Joshua, yang sudah beberapa kali melindungi dan menyelamatkannya.
Niki dulu bermimpi memiliki seorang kakak, sepertinya Joshua memenuhi kriteria itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top