16 - Barang Taruhan

'Sudah jadi hal yang lumrah ketika bersahabat dengan lawan jenis dan memiliki rasa lebih.'

***

Niko sedang asyik memantul-mantulkan bola basket di lapangan. Yudi dan Nanda menjadi lawan mainnya. Keduanya merentangkan tangan dengan pandangan fokus ke arah Niko.

Bola basket dilempar, melambung menantang udara, kemudian mendarat di lapangan bercat hijau tua setelah melewati ring. Niko tersenyum pongah. Dengan mudah, dia kembali mencetak angka untuk tim—yang merupakan dirinya sendiri.

"Niko!"

"Aaa! Kamu keren banget, sih!"

Jeritan-jeritan para cewek yang menyaksikan dari pinggir lapangan, meriuhkan suasana. Langit tengah dihiasi awan abu-abu, beberapa ada yang hitam pekat di kejauhan. Angin bertiup cukup kencang, tetapi tidak terlalu membahayakan.

Mereka menikmati suasana permainan meski yang bermain basket hanya tiga orang. Dua pengawal Niko sedang di tempat lain, menjalani sesuatu yang penting. Jadi, cowok itu bermain dengan teman yang lain dulu. Sambil sekalian cari perhatian pada cewek-cewek.

Tiba-tiba Niko menghentikan permainan setelah kembali memasukan bola basket ke ring dan mendapat sorakan penuh pujian dari para cewek. Di sisi lapangan, dia melihat seseorang melintas. Seseorang yang bisa dibilang tidak disukainya.

"Woy!" teriak Niko. Matanya fokus menatap ke arah cowok itu.

Joshua terdiam, matanya fokus mengarah ke tengah lapangan. Pada juniornya yang sedang memasang tampang menantang.

"Lo cowok, kan? Gimana kalau kita adain permainan kecil buat buktiin sesuatu!" Niko berbicara tanpa basa-basi dan penuh dengan keberanian.

Yudi dan Nanda saling lirik sambil ngos-ngosan. Tubuh mereka juga basah akibat keringat.

Di pinggir lapangan, Joshua masih bungkam. Dia sedang mengurus sesuatu. Meski tidak terlalu penting, tetap saja rasanya menyebalkan saat diusik orang.

"Mau ladenin?" Temannya bertanya, membuyarkan renungan Joshua.

Cowok itu menoleh, mengangkat sebelah alisnya, kemudian melangkah memasuki lapangan. Dia berjalan santai dan penuh percaya diri, tentu saja dengan mata terfokus hanya pada cowok itu. Aura mengintimidasinya menguar kuat.

Cewek-cewek mulai berbisik. Meski Joshua tidak terlalu terkenal, belum lagi kalah oleh cowok-cowok SMA yang dilabeli sebagai makhluk tertampan. Dia juga memiliki beberapa pengagum.

"Gila-gila, Kak Shua cool banget."

"Tampan parah! Dia nggak banyak omong. Meski punya tatapan tajam, tapi sekalinya senyum, aduh, pengen ngajak nikah!"

Joshua cuek saja meski rasa hati ingin muntah detik itu juga setelah mendengar kalimat cewek yang kedua.

"Pembuktian apa yang kamu butuh?" Pertanyaan itu dikeluarkan dengan tenang setelah Joshua tiba di depan Niko.

Niko melayangkan tatapan tajam, mukanya begitu serius dan menampakkan bahwa sekarang dia sedang emosi. "Tanding sama gue. Kalo lo kalah, jauhin Niki!" Meski berbicara dengan nada pelan, setiap kata ditekankan dan diberi emosi yang kental olehnya.

Joshua masih santai-santai saja. Malah sempat-sempatnya cowok itu tersenyum miring. "Kalo kamu yang kalah?" Mata tajamnya kembali terpusat pada Niko.

"Kalo gue yang kalah, gue biarin lo deketin Niki dan kita bersaing buat dapetin dia!" jawab Niko.

Percakapan mereka tidak didengar dengan jelas oleh orang-orang di sekitar. Mereka hanya mendengar beberapa kali nama Niki disebut. Beberapa cewek kembali berbisik-bisik karenanya, adu argumen dan memunculkan beragam spekulasi.

"Hanya itu? Bukannya itu merugikan?" Joshua berkacak pinggang, berbicara dengan nada datar.

Senyum sinis Niko terbit. Sekejap dia mengalihkan pandangan pada cewek-cewek sebelum kembali menatap cowok yang beberapa senti lebih tinggi darinya itu. "Kenapa? Lo takut kalah?"

Bola basket dipantulkan. Yudi dan Nanda yang paham situasi, langsung berjalan ke pinggir lapangan. Meninggalkan dua cowok itu yang siap memulai pertandingan tunggal mereka.

Niko mulai berlari, menggiring bola. Emosi yang sedang meluap-luap membuatnya bermain dengan sengit. Namun, dia tidak bisa meremehkan Joshua. Meski cowok itu lebih aktif di PMR dan dia menggeluti basket sejak lama, dalam sebuah pertandingan, yang dipertaruhkan bukan saja skill, melainkan juga otak, otot, dan hati.

Bola berhasil direbut Joshua tepat sebelum Niko bersiap melemparnya ke ring. Niko mengumpat, sementara cowok jangkung itu berlari menuju ring lawan.

"Demi Niki, kamu sampai menantang seniormu," kata Joshua yang membuka pembicaraan saat berhadapan lagi dengan Niki.

Cowok itu merentangkan kedua tangan. Matanya bergerak gesit antara bola dan wajah seniornya. "Kalo lo takut, ngaku kalah aja," balasnya sembari melayangkan serangan.

Joshua gesit menghindar. "Bagi cowok, ucapan merupakan harga diri. Sekali maju, tidak bisa mundur untuk alasan apa pun, apalagi takut dari orang kayak kamu."

Obrolan terjeda begitu saja ketika tiba-tiba Joshua melompat dan melempar bola. Benda bundar itu melambung tinggi lalu meluncur memasuki ring.

Satu poin untuk Joshua.

"Kalian bersahabat, tapi kamu malah berkhianat," celetuk Joshua. Ucapannya berhasil membuat muka Niko makin merah padam.

"Jaga omongan lo. Gue nggak pernah khianatin Niki. Gue nggak akan pernah khianatin sahabat yang udah bareng gue selama empat belas tahun ini." Kalimat panjang lebar Niko seolah mengatakan pada Joshua bahwa cowok itu hanyalah orang asing yang sama sekali tidak diperbolehkan mendekati Niki.

Memang, belakangan hati Niko selalu kebakaran tiap kali mendengar atau melihat Niki berhubungan baik dengan Joshua. Padahal keduanya baru kenal beberapa bulan, tetapi—apa-apaan—sudah seperti kenal lama.

Terutama Joshua yang beberapa kali kedapatan menunjukkan perhatian pada Niki.

"Bukannya kamu sedang berproses untuk melakukannya?" Pertanyaan Joshua membuat amarah kian menggelegak di dalam diri Niko.

Niko melayangkan tatapan sengit pada Joshua, seperti siap menerkam cowok yang sudah berkeringat banyak itu. "Jaga ucapan lo!"

"Kamu jatuh cinta sama sahabatmu sendiri, kan?" tuduh Joshua dengan yakin. Bukti-bukti yang selama ini dilihatnya, menguatkan asumsi itu.

Lagi pula memang sudah jadi hal yang lumrah ketika bersahabat dengan lawan jenis dan memiliki rasa lebih.

"Apa hak lo nanya gitu?"

Joshua tersenyum miring. Benar dugaannya. "Jadi cowok jangan rakus, Bro. Kamu menginginkan sahabatmu, dengan konsekuensi akan menghancurkan persahabatan kalian, tetapi hobimu tebar pesona pada siapa pun."

Amarah Niko meledak sudah setelah mendengarnya. Dia berhasil merebut bola dari tangan Joshua, kemudian menggiringnya menuju ring. Joshua tentu saja mengejar. Meski sudah mencetak lima poin, mengungguli dua poin, dia tidak ingin lebih dulu berpuas diri.

Niko berlari menuju ring, sudah pasti dia akan melempar bola basket ke ring beberapa saat lagi. Maka, Joshua bersiap untuk menggagalkannya. Namun, di luar dugaan, cowok itu berbalik dan melempar bola kuat-kuat ke arah Joshua.

Tidak sempat menghindar atau minimal mengerem karena waktu yang sempit, akhirnya Joshua terkena bola tepat di bagian dada. Kencangnya dorongan bola, ditambah refleks tubuh yang berhenti mendadak. Lapangan yang licin juga membuat kaki kirinya agak terpeleset.

Suara gedebuk kencang membuat orang-orang memekik kaget. Joshua meringis pelan saat sudah menyadari posisi. Kedua siku berhasil menopang tubuhnya.

Senyuman miring menghiasi wajah Niko yang tampak puas. Dia memang kalah poin, tetapi membuat lawannya jatuh menghadirkan kepuasan tersendiri.

Joshua bergerak bangun. Tanpa memedulikan apa pun, dia melangkah hingga berada satu langkah di depan Niko. Matanya menatap tajam, wajahnya menunjukkan kemarahan dengan rahang yang mengeras.

"Lain kali main bersih, Bro. Apalagi taruhannya barang berharga," kata Joshua. Dia tidak sadar kalau ucapannya sedikit keliru.

Tangan Niko segera meraih kerah baju Joshua, mencengkeramnya erat-erat. Matanya menatap nyalang dengan napas memburu. "Niki bukan barang, dia—"

"Bukannya kamu sendiri yang mempertaruhkan?" potong Joshua, ikut tepancing emosi mendapati perlakuan Niko.

Kepalan bulat itu siap menghantam pipi kiri Joshua, tinggal menunggu Niko yakin untuk meluncurkannya. Hanya saja, sebelum serangan itu terwujud, teriakan seseorang menjeda suasana memanas mereka.

"Niko, berhenti!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top