14 - Dilabrak

'Hukum bumerang berlaku pada seseorang yang ingin merendahkan orang lain, tetapi tidak sadar bahwa dia sedang mengungkapkan seberapa rendah derajatnya.'

***


Latihan PMR kali ini berjalan biasa saja. Namun, aura killer Joshua justru mengganggu pikiran Niki. Bukan, bukan saja karena dia ketakutan, melainkan sikap cowok itu yang berbanding terbalik.

Ketika di luar areanya sebagai seorang ketua PMR, cowok itu bersikap cukup manis. Minimal ramah dan suka bicara dengan nada lembut. Niki menyadari ada perbedaan yang betul-betul jauh.

Seolah benar bahwa cowok itu punya dua kepribadian.

"Fokus!" tegur Joshua, setengah membentak. Karena memang itu gayanya kalau sudah dalam mode ketua. Berbicara tegas yang disangka doyan membentak.

Niki mengerjapkan mata, kemudian sadar bahwa sejak tadi dia hanya memilin mitela, sementara yang lain kebanyakan sudah berhasil mempraktikkan ulang pembalutan.

Sore yang cerah ini, Fitri dibantu Lili memeragakan beberapa proses pembalutan. Ada tiga pembalutan yang diajarkan, salah satunya cara membalut luka gores pada siku.

Para junior diminta menyiapkan dua mitela. Maka, mereka disuruh membentuk kelompok yang terdiri dari dua orang. Niki dapat Aira dan mereka jadi sama-sama senang.

Satu mitela dijadikan gelang sebagai penahan area di samping luka—sebagai pengamanan. Satunya lagi disuruh dilipat dan dijadikan balutan terluar. Praktiknya cukup sederhana, tetapi tetap harus memperhatikan ketepatan antara ilmu yang disampaikan dengan yang diserap para junior.

"Sekarang coba gantian!" Suara Fitri menginstruksi sehingga terjadi keributan kecil.

Para junior cowok berganti posisi sambil setengah bercanda. Akhirnya kena sembur Joshua dan mereka buru-buru diam sebelum disuruh membersihkan sampah di area sekolah.

"Sini sikutmu!" pinta Aira yang sudah membuat gelang.

Tidak-tidak, Fitri punya istilah lain untuk gelang mitela itu. Namanya tali ari-ari. Soalnya proses pembuatannya dililit-lilit sampai membentuk gelang berukuran sedang.

Niki menyodorkan sikutnya sambil tersenyum manis. Aira dengan telaten membebatkan mitela pada sikutnya. Di kepala cewek yang doyan bicara itu terikatkan satu mitela lain. Dia membawa dua mitela ke sekolah meski diminta hanya membawa satu. Jaga-jaga.

"Aku berasa diobatin sama kapten bajak laut, lho," canda Niki, berupaya memecah keheningan yang membuatnya canggung.

Fitri nyengir. Sebentar lagi dia menyelesaikan tugasnya. "Sedia payung sebelum hujan. Meski aku nggak ikhlas kalo mitelaku dipinjem si Rodi. Dia, mah, nyebelin dan tengil banget jadi cowok. Kalo aku penyihir, udah kukutuk dia jadi pangeran kodok," cerocosnya dengan menggebu-gebu.

Membahas Rodi, atau cowok mana pun yang menyebalkan, jiwa barbarnya selalu terpancing. Rasanya kalau sudah kesal pada cowok, dia ingin langsung melabrak dan menyumpal mulut mereka. Sayangnya, keberaniannya hanya sebesar biji jagung.

"Kerja bagus, Aira!" puji Fitri sambil tersenyum.

Aira tentu saja senang mendengar pujian itu. Sampai-sampai dia tidak bisa menahan senyum saat membalas, "Terima kasih, Kak!"

"Sip!" Jempol kanan Fitri teracung sebelum cewek ramah yang diidolakan banyak junior PMR itu berganti ke kelompok lain.

Acara sore itu berjalan sampai pukul empat yang ditutup dengan permainan—acara rutin. Lima belas menit kemudian, sekolah mulai sepi. PMR menjadi ekstrakurikuler terakhir yang selesai sore itu.

Niki melangkah dengan perasaan senang, masih terbawa suasana permainan tadi. Dia banyak tertawa selama menjalani permainan karena geli melihat para cowok berjoget tidak tentu arah demi memecahkan balon yang diikatkan ke pinggang.

Dia juga kebagian mencoba dan kalah di penyisihan pertama.

"Ekhem! Masih bisa senyum ternyata nih sampah satu," celetuk seseorang yang berujar dengan nada songong.

Senyum Niki seketika luntur, belum lagi wajahnya yang perlahan dipenuhi kebingungan campur takut. Tiga cewek mengadangnya. Mereka berwajah asing, tetapi satu spekulasi muncul di benaknya.

Mereka pasti ada hubungannya dengan Niko.

"Lo bisa jauhin Niko nggak? Soalnya gue nggak suka banget lihat lo caper ke dia terus," imbuh cewek itu. Dia memakai kacamata bulat yang sepertinya bolong, tanpa kaca.

Niki langsung menggulung ujung lidahnya agar tidak ada satu kata pun yang terucap. Kemudian, menundukkan kepala demi menghindari tatapan mengintimidasi ketiga cewek di depannya.

"Heh! Lo denger nggak?" Telunjuk si cewek kacamata mendorong bahu kanan Niki. Cukup kuat karena Niki langsung terdorong ke belakang.

"Lo tuli, ya?" Temannya naik darah sehingga menyemburkan kekesalan tanpa ragu lagi.

Niki masih menunduk, tetap mempertahankan posisi. Ketakutan menyergap hati, membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa selain berupaya menghibur diri.

"Jawab, woy! Iya nggak?" sentak yang satunya lagi. Dia berada di sebelah kiri Niki sehingga cewek itu merasakan telinga kirinya berdenging cukup kencang. Tubuhnya juga refleks setengah tersentak mendapat bentakan.

"Dasar lembek!" Si ketua memaki lagi.

Suasana yang sepi ditambah mereka berada di tempat cukup aman, membuat ketiga cewek merasa leluasa untuk bertindak. Mereka berhasil menyeret Niki ke tembok dekat area parkir yang biasanya dijadikan tempat nongkrong anak-anak cowok. Jadi, cukup sepi di sana kalau sore begini. Hanya ada bekas makanan, puntung rokok, dan beberapa kaleng minuman bersoda atau botol air mineral.

Kesal diabaikan, Santi menggertakkan gigi. Tangannya terkepal. "Lo bisa ngomong nggak, sih?" Nada suaranya naik beberapa oktaf dengan mata memelotot.

Suaranya memancing adrenalin kedua rekannya yang makin semangat untuk membuat cewek lembek menyebalkan di depan mereka ini makin ketakutan.

"Woy!" teriak seorang cowok yang terdengar begitu murka.

Ketiga cewek itu kompak menoleh ke kiri dan menemukan seseorang berdiri tidak jauh di sana.

"Niko ...," cicit Santi yang mulai ketakutan.

Dia berdeham, kemudian buru-buru merapikan rambut. Setelahnya, dia merangkul Niki dan bersikap sok akrab pada cewek yang tetap menunduk ketakutan itu.

"Lo bertiga apa-apaan main gangguin Niki?" Niko sama sekali tidak terpengaruh. Dia melayangkan tatapan tajam penuh kemurkaan pada Santi.

"Ganggu? Ah, enggak!" Santi tertawa lepas, "kita lagi ngobrol doang, kok, Nik," sangkalnya sambil menatap Niki penuh kasih sayang. Bahkan, tangannya mengusap-usap pundak cewek yang sedikit gemetar itu.

"Gue paling nggak suka lihat cewek berperilaku busuk kayak lo. Lepasin tangan kotor lo dari tubuh sahabat gue!" bentak Niko, tanpa sungkan sedikit pun pada cewek yang belakangan tidak gentar mengejarnya.

"Niko—"

"Gue nggak ngelarang siapa pun buat suka dan ngejar gue, tapi gue paling nggak suka lihat seseorang yang ngelakuin cara menjijikan kayak gini," potong Niko, mengunci tatapan tajamnya pada cewek jangkung itu.

Santi adalah kakak kelasnya yang tidak sengaja bertemu saat cewek itu menabraknya di lapangan basket. Mungkin sebuah sekesengajaan.

"Niko, kamu salah paham, tahu," bujuk Santi sambil terus membelai pundak Niki. Dia menatap cewek yang tetap menunduk itu penuh kasih sayang sambil berharap besar bahwa aktingnya ini bisa berhasil.

"Hentikan sifat busuk lo. Gue enek lihatnya!" sembur Niko. Muka cowok itu sudah merah padam, bukan karena panas tentu saja.

Dia melangkah lebar-lebar, kemudian menepis kedua tangan Santi dari pundak sahabatnya. Dia menunduk untuk menatap Niki. Cewek itu kelihatan ketakutan sekali. "Tenang, Nik. Ada aku sekarang." Tangannya terulur untuk mengusap pelan puncak kepala cewek itu.

Tindakannya benar-benar memantik api amarah di hati Santi. Cewek itu kelihatan gemas, bahkan sepertinya siap meledakkan apa pun hanya dengan tatapannya.

"Apa hebatnya dia, sih? Cantik? Cantikan aku kali! Dia bukan siapa-siapa di sini, cuma cewek cupu yang kutu buku! Aku banyak teman, terkenal, dan kaya!" cerocos Santi yang sudah habis kesabaran.

"Cantik? Fisik lo masih kalah dari Song Hye Kyo! Terkenal? Percuma kalo lo terkenal pake jalur sensasi dan imej buruk!" Niko menyerang balik yang sepertinya telak.

Kedua tangan Santi terkepal kencang, matanya menatap tajam pada Niko. Rasa suka di hatinya terhadap anak baru yang tampan itu mulai menguap. "Songong juga kamu, Nik. Hanya demi cewek rendahan ini?" Dia tertawa merendahkan.

"Tapi, lo lebih rendahan dari Niki." Niko menjawab datar.

Akhirnya muka Santi merah padam sampai kedua temannya mendekat untuk menenangkan.

"Diam!" bentak cewek itu, kalap.

Santi memelotot kesal pada Niko. Dilihat-lihat cowok di depannya ini memang tampan, hanya saja perlu menyingkirkan kotoran yang tengah dilindungi cowok itu.

Dia menghela napas. Merasa menyesal telah emosi sehingga mungkin saja kehilangan kesempatan untuk balas dendam pada dua junior yang telah merendahkan dirinya ini.

"Aku minta maaf, Niko. Aku—"

"Ular kayak lo gak bakal bisa nipu gue!" potong Niko. Kemudian, melirik Niki dan menggenggam tangan kanan cewek itu. "Ayo, pergi!" Dia bicara dengan nada lebih lembut.

Keduanya pun berlalu pergi. Niki hanya bisa pasrah saat dituntun oleh Niko menuju area parkir. Sepanjang jalan dia menangis, air matanya sama sekali tidak bisa dihentikan.

Niko mendengar tangisan cewek itu dan merasa sangat menyesal karenanya. Dia bahkan merasakan hatinya berdenyut sakit. Dia pun berbalik, melihat Niki masih menunduk dengan kedua pundak bergetar.

"Niki, maafkan aku," ucap Niko dengan tulus.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top