13 - Aura Mengintimidasi Niko
'Sahabat harusnya tidak mengekang. Kalau tidak mendukung, seengaknya jangan mengurung.'
***
Ada yang kebakaran tetapi bukan kayu. Namun, seandainya hati itu sebuah kayu, niscaya Niko sudah bisa mendengar bahkan merasakan bahwa hatinya perlahan-lahan patah. Bergemeratak tertimpa beban berlabel cemburu segede gaban yang menyesakkan dada.
Dia membuang muka, pura-pura sibuk pada ponsel saat melihat Niki datang bersama Joshua. Rasanya tangannya gatal ingin mendaratkan sebauh bogeman ke pipi cowok itu.
"Niko." Niki memanggil ragu-ragu, sampai suaranya lebih pelan dari yang diinginkan. Maka, dia mengambil napas untuk ancang-ancang dan kembali memanggil, "Niko?"
Kali ini suaranya lebih keras sehingga Niko yang pura-pura tuli pun terpaksa menoleh. Hanya menoleh karena mulutnya seperti ditempeli perekat transparan.
Joshua terlihat menampakkan senyum miring. Meski tatapan cowok jangkung itu terarah ke tempat lain, Niko sadar sasarannya adalah dirinya.
Sial, umpat cowok itu sambil menggertakkan gigi.
"Pergi aja sana!" usir Niko, telanjur kesal sampai tidak bisa mengontrol mulut.
Alis Niki langsung beradu, membuat keningnya berkerut. Belum lagi matanya yang menyipit. Matanya sudah agak sipit, tambah disipitkan malah membuat pandangannya jadi terlalu sempit.
Niki buru-buru kembali menormalkan tatapannya agar bisa melihat dengan jelas gerak-gerik Niko. Cowok itu tidak mau menatap ke arahnya lebih dari tiga detik, mulutnya terkunci rapat-rapat, dan tatapan tajam seolah mengibarkan bendera perang.
Reaksi seperti itu selalu ditampilkan Niko saat tahu dia sedang bersama Joshua.
"Ya udah, ayo, pergi!" celetuk Joshua yang mengejutkan Niki, termasuk Niko—hanya saja cowok itu pandai berakting.
"Ke ...?" Niki ingin mengeluarkan banyak kata, tetapi lidahnya terlalu kelu untuk digerakkan. Jantungnya tiba-tiba berdebar lebih kencang dan cepat. Belum lagi rasa panik yang makin pekat menyelimuti.
Entah bagaimana awalnya, sekarang dia merasakan suasana menggelisahkan berdiri di antara dua cowok.
Joshua tidak menjawab dengan kata-kata, tetapi matanya memberi kode.
Memang dasar kemampua peka Niki di bawah rata-rata sehingga cewek itu hanya bisa mengerutkan kening sebagai tanda tidak memahami kode dari Joshua. Padahal cowok itu hanya menyampaikan kalimat 'ayo, pergi!' melalui tatapannya.
Gemas dengan tingkah dua remaja labil ini, akhirnya Joshua melakukan cara nekat. Dia menunduk, menatap pergelangan tangan Niki yang kurus, kemudian menggenggamnya.
Ditarik oleh Joshua dengan keadaan masih bingung, Niki hanya bisa pasrah mengikuti langkah cowok itu. Dia menoleh ke belakang dan mendapati Niko menatap ke arahnya. Sekejap saja karena lagi-lagi cowok itu dengan cepat mengalihkan pandangan.
"Sini!" Suara Joshua memecah lamunan Niki.
"Apa?" Cewek itu kebingungan. Mata beriris hitamnya menatap lekat pada Joshua, agak mendongak lantaran perbedaan tinggi yang lumayan.
Joshua hanya geleng-geleng pelan, kemudian mendekat ke depan Niki. Kedua tangannya terangkat ke atas kepala cewek itu yang tiba-tiba jadi manekin. Tidak berapa lama, helm yang nyaris sepenuhnya hitam telah terpasang rapi di kepala Niki.
"Nah, aman. Ayo, naik!" ajak Joshua dengan ramah. Dia berjalan duluan untuk naik ke motor dan memarkirkannya.
Niki tetap saja jadi manekin, bahkan sepertinya cewek itu tidak bernapas. Joshua jadi khawatir. Maka dia segera menekan klakson tepat saat motor sudah di samping Niki.
"Eh! Astagfirulloh!" jerit Niki sambil setengah melompat. Dia memegangi dada dengan kedua tangan, sementara matanya memelotot ngeri pada si pelaku.
Joshua malah cengengesan. Lagi-lagi kesan killer cowok itu menguap. Seandainya Niki baru mengenalnya sehari kemarin, dia yakin tidak akan percaya omongan orang bahwa Joshua Ghazanvar itu ketua PMR tergalak di abad dua puluh.
Dari kejauhan, Niko mengamati gerak-gerik keduanya. Tangannya lagi-lagi mengepal dengan kobaran amarah yang seolah disiram bensin sehingga hatinya makin panas.
"Katanya tadi mau ke toko buku, ya?" Joshua mengangkat topik yang pernah dibahas Niki dalam perjalanannya menuju bengkel tempat motor Niko diperbaiki.
Untung saja Niki mengingat beberapa tanda berguna yang dia ingat dari bengkel itu. Jadi, Joshua bisa segera berpikir sampai akhirnya menemukan beberapa tempat yang berpotensi merupakan tujuan Niki. Akhirnya setelah satu kali gagal, mereka tiba di bengkel tempat janjian Niki dan Niko tadi.
Niki tidak sempat membelikan air mineral untuk Niko. Dia kira cowok itu telah selesai memperbaiki motor, rupanya masih menunggu. Soalnya banyak pasien yang antre juga.
"Abis borong buku, gimana kalo kita ngemil dulu?" tawar Joshua setelah berhasil mengambil tempat parkir untuk motornya.
Niki tidak langsung menjawab lantaran masih fokus menyeimbangkan tubuh. Joshua memarkirkan motor dibantu kedua kakinya, jadi dia masih agak ngeri. "Ngemil di mana?"
"Kafe dalam mal aja, biar sekalian keliling," jawab Joshua. Dia melirik ke belakang dan melalui sudut mata, dapat melihat kaca helm hitam menutupi muka Niki. Mendadak dia geli sendiri.
"Okeee." Niki akhirnya turun dibantu uluran tangan Joshua.
Keduanya pun berjalan menuju pintu masuk mal bersama pengunjung lain. Mal akhir pekan ini cukup ramai, tetapi keduanya masih bisa santai menikmati suasana.
Tempat pertama yang dituju tentu saja toko buku. Niki tidak bisa menahan diri ketika melihat barisan buku di rak-rak atau yang tertata di dekat pintu masuk. Matanya jelalatan ke sana kemari.
Cewek itu akan kalap memborong buku seandainya tidak ada Joshua yang rutin mengajak bicara. Seperti menanyai penulis favorit, buku kesukaan dan apa alasannya, rekomendasi buku, atau tanya seseru apa buku yang ada di rak best seller.
"Percy Jackson, fantasi, ya? Boleh juga. Aku butuh asupan buat halu," kata Joshua yang matanya fokus menelisik barisan buku di rak. Rak buku hanya sebatas dagunya, jadi dia tidak kesulitan melihat ke arah lain.
"Nggak halu juga kali, Kak. Rick Riordian bisa ngemas itu cerita kayak beneran di dunia nyata!" Niki benar-benar antusias sampai kelepasan bicara dengan nada cukup tinggi. Dia buru-buru menutup mulut.
Joshua mengangguk-angguk saja. Dia mengambil sebuah novel dan membaca blurb-nya.
Keduanya kembali melanjutkan agenda berburu buku. Waktu bagi keduanya serasa berjalan terlalu cepat. Tahu-tahu kaki sudah pegal dan buku yang diambil sudah banyak.
"Biar aku aja," sela Joshua saat melihat Niki mengambil tas selempangnya.
"Lho, nggak usah," tolak Niki, tidak enak menolak sekaligus merepotkan cowok itu.
Joshua justru tersenyum dan melanjutkan mengeluarkan kartu ATM-nya. "Nggak, lah. Lagian nggak bikin bangkrut kalo cuma borong belasan buku," candanya diakhiri senyuman.
Aduh, ini di depanku beneran Kak Shua bukan, sih? Kok, dia jadi baik banget ke aku. Niki membatin sambil memainkan mimik wajah.
Sebuah tangan mengipas-ngipas di depan mukanya. Dia mengerjap dan segera tersadar.
"Ayo!" ajak Joshua yang di kedua tangannya telah ada dua paper bag berisi belanjaan novel.
Sebelum pulang, keduanya mengisi perut dulu sambil mengistirahatkan badan. Tidak terasa, waktu sudah magrib saja ketika keduanya dalam perjalanan pulang.
Joshua sejujurnya tidak terlalu takut karena "mengembalikan" anak orang di saat hari mulai malam. Berbeda dengan Niki yang sedang kelabakan menyusun kata untuk menyampaikan penjelasan.
Motor pun berbelok ke sebuah rumah setelah pagar kayunya dibukakan oleh Niki. Joshua membawa motor sampai beberapa langkah di depan pintu depan. Tanpa menyadari bahwa ada sepasang mata yang mengawasi dari balik tirai di jendela seberang.
Niko menghela napas lega, tetapi kemudian segera mendengkus saat melihat Niki pulang bersama Joshua. Bisa-bisanya cewek itu menyelingkuhinya.
Tidak-tidak! Mereka bukan sepasang kekasih. Namun, tetap saja rasanya sakit saat melihat sahabat dekatmu menemukan teman main yang baru.
"Niki!" Suara Sintia terdengar, mengejutkan Niki dan Joshua. "Akhirnya kamu pulang—eeeh, sama siapa ini?"
Ditatap penuh penasaran, Joshua dengan santai tersenyum ramah. Dia bahkan berjalan santai menghampir Sintia dan mencium punggung tangan wanita itu sambil basa-basi.
"Joshua, Tante. Temen sekolah Niki." Itu kalimat perkenalan dari Joshua.
Sintia mengamati cowok di depannya selama beberapa saat. "Ya udah, masuk dulu, yuk!"
"Eh, terima kasih, Tante. Tapi, mohon maaf sekali. Hari sudah malam, saya tidak ingin membuat ayah saya khawatir. Lagi pula, saya sungkan jika harus bertamu malam-malam." Joshua berusaha keras menyampaikan isi hati tanpa menyinggung perasaan wanita yang menjadi lawan bicaranya.
Mendengar jawaban itu, bibir Sintia melengkung lebar. Jarang sekali dia bertemu cowok seperti Joshua. "Tidak apa-apa. Lain kali kalau mau main ke sini, Tante tunggu, ya. Satu lagi, kamu hati-hati di jalan dan terima kasih sudah mengantar Niki sampai rumah dengan selamat."
"Siap, Tante. Dengan senang hati," balas Joshua, masih memasang senyum manisnya.
"Sama terima kasih atas novelnya, Kak Shua." Niki mengacungkan paper bag berisi novel-novel barunya.
"Iya, santai aja, dan selamat membaca, ya!" Mata Joshua beralih pada Niki selama berbicara, sebelum kembali lagi menatap Sintia. "Kalau begitu, saya pamit dulu, Tante, Niki."
Ibu dan anak itu mengangguk. Acara perpisahan mereka berlangsung cepat. Joshua segera menuju motornya.
***
Joshua sedang menikmati dunia imajinasi yang menegangkan melalui barisan kata di kertas beraroma khas. Kemarin, setelah sampai rumah, dia mulai membaca novel terbaru rekomendasi Niki. Akhirnya karena novel belum selesai dibaca dan dia kadung menyukai isi cerita, benda itu dibawanya ke sekolah.
Duduk di kursi taman yang cukup sepi, kedua telinga tersumpal earphone dengan lagu bervolume kencang terputar, terik matahari yang terhalang rimbunnya dedaunan pohon, dan angin sepoi-sepoi benar-benar perpaduan yang lengkap bagi Joshua.
Cowok itu baru saja membuka halaman baru saat tiba-tiba muncul tiga cowok di depannya. Dia mengangkat pandangan dan menemukan wajah familier tengah menatap sengit padanya.
Joshua menutup novel dan menyimpannya di bangku. Dia juga melepas earphone, kemudian berdiri tanpa ragu atau takut. "Ada apa?"
Nadanya dingin, belum lagi tatapan yang menusuk. Namun, Niko sama sekali tidak gentar. Berbeda dengan dua kawannya yang mulai ketar-ketir merasakan aura mengintimidasi Joshua.
"Mending lo jangan terlalu dekat dengan Niki, deh!" tegas Niko, sarat akan ancaman. Dia pikir dengan itu, cowok songong di depannya ini akan terpengaruh.
Sayangnya, meski Niko telah menunjukkan sisi penguasanya—kedua tangan di saku celana, dagu terangkat, dan tatapan mengintimidasi—tidak ada yang berhasil menyentuh mental seorang Joshua.
Cowok itu malah menangkat sebelah alis kanan. Mulutnya berkedut, menahan senyum geli. Namun, tetap saja, matanya menatap tajam pada Niko.
"Memangnya kamu siapa?" Cowok itu maju selangkah sebelum mengajukan pertanyaan menohok.
Sesaat Niko kehilangan kata-kata. Tidak, dia masih ingat bahwa dia sahabat dekatnya Niki. Namun, pertanyaan kali ini lebih mengarah pada 'memangnya dia kekasihmu?' yang terasa seperti sebuah pukulan setara Palu Mjolnir.
"Gue sahabat Niki!" Akhirnya keberanian Niko kembali. Dia menjawab dengan mantap.
Senyum miring terbit di wajah Joshua. "Cuma sahabat, kan?"
Sial! batin Niko, gemas sekaligus marah. Aura mengintimidasi dari kakak kelas songong di depannya ini benar-benar kuat.
Cowok itu maju selangkah pendek. "Sahabat harusnya tidak mengekang. Kalau tidak mendukung, seengaknya jangan mengurung," bisiknya tepat di dekat telinga kiri Niko.
Dengan perasaan puas, dia berbalik untuk mengambil novel. Dia sempat mengacungkan benda itu di depan muka Niko sambil berkata, "Selera buku sahabat kamu cukup baik." Kemudian, melangkah pergi untuk mencari tempat baru.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top