11 - Topik Berat
'Hidup harus terus berjalan, tanpa melupakan apa yang telah menjadi kenangan.'
***
Sore ini cerah, makanya Niki semangat keluar rumah sambil membawa tiga novel, satu buku catatan, pulpen, dan beberapa kertas HVS. Dia menemui Niko di taman kecil di belakang rumah cowok itu.
Cowok itu terlihat sedang menelepon sambil beberapa kali mengucapkan kata 'sayang'. Niki hanya bisa bergidik, kemudian duduk di samping Niko.
Niko menoleh saat merasakan kursi besi yang didudukinya sedikit bergetar. Sebelah alisnya terangkat. "Ya udah, iya-iya, Sayang. Sabtu, ya?" Kemudian, tanpa menunggu jawaban, dia segera mematikan sambungan telepon.
"Kenapa?" Niki bertanya ketika melihat Niko menghela napas.
"Biasa. Orang populer banyak yang ngincer," jawab Niko, menyimpan ponsel ke saku setelah mematikannya.
Biar waktu berduaannya dengan Niki tidak terganggu.
"Ke sini mau jualan?"
Niki nyengir saat mendapat pertanyaan aneh Niko. "Kan, aku sejak dulu suka baca. Jadi, nggak usah heran."
Sesaat keduanya berhenti bicara. Yang satu menikmati pemandangan senja, satunya lagi mengambil salah satu novel dan mulai membaca.
Niko paling suka senja. Soalnya dari dulu banyak kenangan manis bersama Niki tecipta dengan background langit oranye yang indah.
"Sabtu temenin aku," celetuk Niko.
Niki menghentikan bacaan, bahkan menurunkan novel. "Ke mana? Ngapain? Jam?"
"Tempatnya masih belum fiks. Mau nemuin cewek," jawab Niko.
Dia sadar bahwa cewek di sampingnya ini sedang menatap lekat padanya. Maka, dia memalingkan pandangan ke tempat lain.
"Kok, aku yang diajak?" Satu tanya berhasil membuat Niko berani menoleh pada Niki.
"Kamu, kan, sahabatku. Emang siapa lagi yang bisa kuajak pergi?" Niko jelas saja berbohong. Ketahuan hanya dari nada ketusnya saja, belum lagi dia yang buru-buru memalingkan pandangan.
Ada motif lain.
"Hmm ...." Niki sebenarnya ingin mengucapkan beberapa kata lagi, tetapi tiba-tiba saja kepalanya kehilangan fungsi untuk berpikir.
"Mau, ya?"
Niki pun mengangguk.
Suasana kembali hening, hanya terdengar samar suara-suara dari beragam arah. Niko memejamkan mata, menikmati suasana, membayangkan kenangan lama ketika dia dan Niki masih kecil.
Dulu, saat keduanya masih hanya memikirkan bermain, sering terlibat banyak kegiatan menyenangkan. Tanpa ada ego, tanpa ada cemburu, apalagi cinta.
Rasanya Niko ingin mengutuk hatinya.
"Nik ...." Semua kata-kata kembali ditelan, padahal Niki sudah mantap ingin menanyakan hal ini. Namun, entah mengapa tiba-tiba muncul keraguan segede gaban di hatinya.
"Paan?" Nada bicara Niko memang terdengar malas, tetapi matanya terfokus hanya pada Niki. Cewek itu terlihat sedang menahan sesuatu. Alis kirinya terangkat, penasaran.
Tanpa sadar, kedua kaki Niki bergerak-gerak gelisah. Selalu begitu jika dia sedang gugup. Meski mata terfokus pada barisan kalimat di kertas, pikirannya sedang terbang entah ke mana.
"Apaan, deh?" Niko gemas sendiri. Sahabatnya kalau sudah gini, pasti akan ada hal penting yang ingin dibicarakan. Dia benar-benar penasaran setengah mati.
"Me–menurutmu ...." Lidah Niki benar-benar susah diajak kompromi, terasa makin berat saat akan menyampaikan pertanyaannya.
Niko makin gemas saja. "Menurutku apaan? Menurutku mukaku tampan? Ya, iyalah!" Ujung bibirnya terangkat, sementara mata masih fokus menatap Niki.
Cewek itu mengalihkan pandangan ke beberapa tempat secara acak dalam waktu singkat. Ayolah, batinnya, menyemangati sekaligus memaksa.
Suasana yang hening malah bikin dia makin panik.
"Me–menurutmu ka–kalo cowok yang tadinya galak, terus tiba-tiba dia jadi suka senyum dan ngomongnya jadi lembut, itu tandanya apa?" Terlalu gugup, Niki malah seperti sedang nge-rapp ketika berbicara.
Niko menghela napas. "Ngomong tuh pelan-pelan, kek." Dia menjitak pelan jidat Niki.
Niki cuma bisa nyengir sambil menggosok-gosok jidat yang dijitak Niko, yang padahal tidak sakit sama sekali. Dia menarik napas dan mengembuskannya, terus diulang sampai tiga kali.
"Menurut kamu, kamu, kan, cowok, ya. Kalau cowok yang tadinya galak, killer gitu, judes dan ketus. Terus dia tiba-tiba bisa basa-basi sambil pasang wajah ramah ke aku, itu artinya apa?" Kali ini Niki berbicara dengan lebih tenang.
Bukannya mendapat jawaban, ucapannya seolah terbawa angin, terus tidak terdengar oleh Niko. Makanya cowok itu kelihatan hanya bisa diam dengan mulut terkatup.
Niki mengangkat sebelah alis saat melihat rahang Niko mengeras, terus kedua tangan cowok itu mengepal.
Tanpa berkata-kata, Niko berdiri, kemudian beranjak pergi sambil memasang muka yang tidak enak dipandang. Tatapan tajamnya terus mengarah ke depan, seolah siap menebas siapa saja yang berani muncul di hadapannya.
Kepala dan hatinya sedang kebakaran. Argumen demi argumen berperang, memorak-porandakan kewarasannya. Dia yakin sepenuhnya bahwa cowok yang dimaksud Niki adalah Joshua. Soalnya dia pernah melihat cowok songong itu tersenyum pada Niki.
Rupanya Joshua sudah satu langkah di depan Niko.
***
Niki menutup pintu dengan perlahan. Ibunya telah pulang, tampak fokus memandang layar laptop. Kadang jarinya bergerak, menekan tuts, kemudian beralih menggeser tetikus.
Wanita itu menoleh saat mendengar langkah Niki. Saat bekerja atau berusaha fokus, dia memang selalu mencari atau menciptakan suasana sesepi mungkin. "Kok, mukanya gitu?"
Niki manyun dulu sebelum menjawab. "Nggak papa, sih. Bete doang ditinggal Niko tiba-tiba," bebernya, berjalan mendekati Sintia.
Ibunya hanya bisa geleng-geleng. "Tunggu, ya. Ibu dikit lagi nyelesaikan laporan keuangan," katanya, kembali fokus ke laptop.
Tidak ingin mengganggu, Niki berjalan menuju sebuah pintu bercat cokelat tua yang di bagian atasnya ada papan nama, berisi nama dan tanggal lahirnya. Di pintu itu juga ada semacam tirai terbuat dari manik-manik campur kerang. Maka, saat akan masuk, dia berupaya menahan benda itu supaya tidak menimbulkan suara keras.
Niki hanya menyimpan buku dan benda lainnya di kamar, kemudian kembali ke luar untuk menemani ibunya. Terlebih sebentar lagi akan ada jadwal masak untuk makan malam.
Ketika kembali, Sintia sudah mematikan laptopnya. Wanita itu melepas kacamata perseginya, memijit pelipis sejenak, kemudian mengusap wajah.
"Bu," sapa Niki, duduk di samping kanan Sintia.
Wanita itu tersenyum sambil mengelus puncak kepalanya. Anak ini, harta paling berharga yang menjadi bukti perjalanan sekaligus perjuangan cintanya dengan almarhum sang suami.
Mengingat itu, tiba-tiba dia jadi terdiam.
"Bu? Ada apa?" Niki bisa merasakan keraguan di sorot mata ibunya.
Awalnya Sintia menggeleng sambil tersenyum, tetapi di hatinya muncul tekad untuk segera terbuka pada Niki. Meski di sudut hati lainnya, ada segunduk keraguan dan ketakutan.
"Nik, Ibu pengin bicara serius, nih." Dia berupaya santai, tetapi tindakannya dengan mengalihkan pandangan ke tempat lain justru memancing pertanyaan di benak Niki.
"Silakan, Ibu," kata Niki, menunggu dengan penasaran.
Hening selama beberapa saat. Sintia sedang menimbang betul-betul kosa kata yang akan diucapkannya. Minimal tidak membuat anaknya syok.
"Ibu kira ini akan berat bagimu, bagi kita." Sintia terdiam lagi, menimbang.
Niki menunggu dengan jantung berdebar lebih kencang.
"Tapi, hidup harus terus berjalan, tanpa melupakan apa yang telah menjadi kenangan," imbuh Sintia. Kata-katanya justru membuat Niki makin penasaran. Dia sengaja mengulur waktu karena topik ini cukup sensitif.
Satu tarikan napas, Sintia mendapat sedikit ketenangan. "Kalau Ibu menikah lagi, menurutmu bagaimana?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top