NURLELA #2
Malam ini, agaknya bukan hanya Dasri yang tak bisa tidur. Akan tetapi, Nurlela pun juga. Keduanya sama-sama sedang berpikir, tentang kejadian yang tadi siang mereka alami. Tentang Dasri yang membayangkan betapa bahagia anak-anaknya, sebab mereka pastilah akan mendapatkan apa-apa yang mereka inginkan. Makan makanan enak, memakai pakaian bagus, serta bisa tidur di kasur yang empuk. Lebih-lebih Nurlela, jika Nurlela sampai mau ikut adik iparnya ke Jawa Timur, pastilah putri yang teramat ia sayangi itu akan sangat bahagia. Putrinya itu, pasti akan menjadi tuan putri di sana. Bagaimana tidak, Wage dan supiyah tidak memiliki seorang anak. Jadi, pastilah Nurlela akan dianggap seperti anak sendiri. Terlebih cita-cita Nurlela yang sangat tinggi, yaitu untuk bisa bersekolah dan menjadi guru. Pasti, akan dengan mudah tercapai.
"Nur, kamu tahu, toh, jikalau Paklik dan Bulikmu itu orang kaya," kata Dasri sambil mengelus lembut rambut putrinya yang ia kira telah terlelap.
Malam ini, Dasri tidur bersama dengan tiga putrinya di ranjang yang memang sudah sempit. Sementara tempat tidurnya, ia persilakan Wage dan Supiyah untuk memakainya menginap.
"Pasti mereka selalu makan makanan yang enak setiap hari, tidur di kasur yang empuk dan hangat. Lebih-lebih, mereka selalu mengenakan pakaian yang bagus...," kini, Dasri menghela napas panjang. Air matanya, sudah tak mampu ia tahan, "Emak tahu, sejatinya hal-hal itulah yang menjadi mimpimu, mimpi-mimpi mbakyumu. Tapi, Emak ndhak mampu untuk mengabulkannya. Jadi....," kata Dasri terhenti. Untuk beberapa saat, ia menikmati ribuan jarum yang seolah menghantam hatinya secara tiba-tiba.
"Jadi, Emak ndhak akan melarang, kalau kamu ingin pergi ke Jawa Timur berserta Paklik dan Bulikmu."
Napas Nurlela terasa sesak, tatkala mendengar ucapan itu keluar dari mulut emaknya. Bagaimana bisa, emaknya tega menyuruhnya untuk pergi dari rumah? Apakah emaknya selama ini telah lelah mengurusinya?
Tidak, Nurlela mencoba untuk menepis polemik yang ada di dalam hatinya. Sejatinya, dia tahu, jikalau emaknya begitu menyayanginya lebih dari mbakyu-mbakyunya. Jadi, bagaimana mungkin emaknya tega melakukan itu? Emaknya pasti punya suatu alasan, kan?
Ya, Nurlela mencoba untuk mencari alasan itu. Barangkali, jikalau dia sudi untuk ikut serta Paklik dan Buliknya ke Jawa Timur, kehidupan ekonomi keluarganya akan berubah tanpa perlu menunggu bapaknya yang tak kunjung pulang untuk merubahnya. Terlebih dari itu, jika dia ikut serta ke Jawa Timur, dia pasti akan makan makanan enak, tidur di kasur yang empuk serta memakai pakaian bagus seperti apa yang dikatakan emaknya. Bahkan, dia tak perlu lagi dipukuli orang seperti Kaspik hanya karena mencuri secobek sambal. Dan yang lebih penting dari itu semua adalah, kehidupan emak serta mbakyu-mbakyunya, pastilah akan jauh lebih baik dari ini. Dan tidak menutup kemungkinan, jika karena ini, emaknya akan mendapatkan senyumnya kembali. Senyum yang selalu Nurlela rindui. Senyum, yang mungkin nanti Nurlela tak mampu melihatnya lagi.
===
"Jadi, bagaimana, Mbakyu?" tanya Wage setelah subuh datang. Hendaknya, dia dan istri akan segera kembali ke Jawa Timur. Lihatlah, betapa istrinya telah bersiap memasukkan beberapa pakain yang kotor ke dalam tasnya.
Sementara Wage dan Dasri, kini sedang duduk di ruang tamu. Sedang berkutat dengan pikiran masing-masing. Jujur, saat ini Dasri tengah dilema. Apa pun keputusan yang ia buat, pastilah akan berdampak bagi kehidupan Nurlela kedepannya. Lalu, bagaimana dia akan menjawab pertanyaan mendesak dari adik iparnya itu? Sementara Nurlela, anak kecil yang Wage inginkan, tengah terlelap di kamarnya. Sungguh, Dasri tak tega, jika harus membangunkan Nurlela untuk bertanya perkara ini?
Bukan-bukan, dia bukan tak tega membangunkan Nurlela untuk bertanya perkara ini. Dia tak sanggup, jika Nurlela harus pergi dari pelukannya.
"Sesungguhnya, Dik. Aku benar-benar ndhak keberatan perkara niatmu untuk mengasuh Nurlela. Akan tetapi...," kata Dasri terputus. Kedua tangannya saling bertaut dan memilin begitu risau, kemudian dia memandang ke arah kamar Nurlela yang kebetulan tak bersekat. "Nurlela masih tidur, alangkah baiknya, jika kita menunggu dia bangun terlebih dahulu, toh? Jadi, kita bisa tahu apa keputusan Nurlela. Aku ndhak ingin mempengaruhinya untuk keputusan ini, Dik. Sejatinya, apa pun keputusannya, adalah semata-mata untuk kebahagiaannya."
Ya, Dasri sejatinya harus tahu diri. Jika nanti Nurlela pergi dan ikut pakliknya ke Jawa Timur. Sungguh, dia akan bahagia meski untuk rela dia masih belum bisa. Sebab, jika itu keputusan Nurlela, setidaknya, anak kesayangannya itu bisa hidup makmur, serta bisa memiliki pendidikan tinggi seperti kawan-kawan seusianya. Bukankah itu sangat baik untuk kelangsungan hidupnya kelak?
"Baiklah, Mbakyu. Kami bisa menunggu sebentar lagi. Hanya sampai kereta pertama pagi ini lewat. Bagaimana?" tawar Wage. Dasri hanya membalas dengan anggukan saja. Meski dalam hatinya, benar-benar sedang bergemuruh tak karuan.
Lima menit, sepuluh menit, sampai setengah jam...
Bahkan saat ini, seperempat jam lagi kereta pertama akan lewat. Tentunya, Wage tidak akan menyia-nyiakannya. Sebab, begitu banyak pekerjaan yang telah ia tinggal. Dia, tak mau meninggalkan para pekerjanya lama-lama.
Nurlela terbangun, ia tampak mengucek matanya keluar dari dalam kamar. Setengah berdiri, Wage tampak antusias dengan mimik wajah yang tak sabaran. Sementara Supiyah,tampak mondar-mandir seolah-olah takut, jika kereta akan pergi sebelum ia sampai ke stasiun.
"Nurlela, kamu sudah bangun, Ndhuk?" sapa Wage. Wajah Nurlela tampak terkejut, kemudian dia memandang ke arah emaknya dengan takut-takut.
Padahal, ia sengaja bangun siang-siang agar paklik serta buliknya ini barangkali akan segera pulang. Tampaknya, apa yang telah ia usahakan percuma. Kedua orang itu memiliki tekad kuat untuk mengajaknya ikut serta ke Jawa Timur.
Nurlela mengangguk.
"Jadu, Ndhuk... Paklik dan Bulik sebenarnya ada perlu sama kamu, lho," kata Wage lagi. Tanpa sadar, Dasri menghela napas beratnya. Kemudian, dia menggenggam erat tangan mungil Nurlela.
"Perlu apa, toh, Paklik? Mengajak Nur ke Jawa Timur?" tanya Nurlela polos. Agaknya, Wage dan Dasri terkejut, karena rupanya, Nurlela telah tahu perihal ini padahal mereka belum memberitahunya.
"Oh, kamu rupanya sudah tahu, toh, Ndhuk? Benar sekali, Paklik dan Bulik hendak membawamu ke Jawa Timur, bagaimana?" tanya Wage lagi.
Nurlela menggeleng.
"Aku ndhak mau." Jawabnya mantab.
"Lho, kenapa, toh?" tanya Wage yang tampaknya penasaran dengan penolakan Nurlela.
"Aku ndhak mau pisah dengan Emak. Aku ndhak mau jauh-jauh dari Emak,"
Nurlela memegang tangan emaknya kuat-kuat, seolah dia takut jika barangkali dia akan dipaksa untuk ikut bersama dengan pakliknya.
"Mbakyu..." kata Wage seolah meminta pertolongan Dasri.
Dasri membalas genggaman Nurlela, kemudian anak gadisnya itu dipandang dengan begitu hangat. Dia mencoba ingin menenangkan anaknya, dan sedikit memberi pengertian. Jika sejatinya, ikut dengan Wage adalah pilihan yang tepat untuk masa depannya kelak.
"Ndhuk, jangan seperti itu, toh? Kenapa kamu ndhak mau? Emak, akan tetap menjadi emakmu. Emak, akan tetap di sini untukmu. Kamu, bisa kapan saja kesini untuk menemui Emak jika kamu rindu, toh?" kata Dasri mencoba menerangkan. "Dengar, ya, Nur. Ikut Paklik Wage itu adalah pilihan yang tepat. Di sana, kamu akan mendapatkan kehidupan baru yang jauh lebih layak dari pada di sini. Kamu akan pergi sekolah, kamu bisa beli ontel, serta apa pun yang kamu inginkan. Jadi, Nur... percayalah, masa depanmu akan berubah di sana. Kamu akan hidup maju."
"Lalu Emak?" tanya Nurlela yang berhasil membuat mulut Dasri terkatup sempurna.
"Sama seperti apa yang emakmu katakan, Ndhuk. Jika kamu rindu, Paklik akan mengajakmu kesini untuk berjumpa dengan emakmu. Dan tentu, Paklik ndhak akan melupakan tanggung jawab Paklik untuk membantu kehidupan emak serta mbakyu-mbakyumu."
"Benar nanti aku bisa bersekolah?" tanya Nurlela seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri.
Wage mengangguk mantab.
"Ya, aku akan menyekolahkanmu sampai jenjang yang paling tinggi, Ndhuk. Percayalah."
"Aku akan makan makanan enak?" tanya Nurlela lagi.
"Tentu, di sana. Kamu bisa makan apa pun yang kamu mau."
"Aku akan punya baju-baju baru?"
"Tentu saja, nanti, selepas kita di Jawa Timur, kita akan mampir ke pasar untuk membelikanmu pakaian serta ontel yang telah lama kamu idam-idamkan. Bagaimana?"
Nurlela diam, dia tidak setuju pun menolak. Pikirannya benar-benar bimbang. Benar memang jika itu semua yang ia impikan sejak lama. Akan tetapi, lebih dari itu. Emaknyalah yang ingin selalu Nurlela jaga.
"Pergilah, Nur. Ini demi masa depanmu juga. Emak menyuruhmu bersama dengan Paklik dan Bulikmu, semata-mata agar kamu ndhak hidup menderita lagi. Agar kamu bisa hidup enak. Percayalah, Emak akan bahagia karena ini."
"Tapi—"
"Nur, pergilah. Emak telah mengemasi barang-barangmu saat kamu tidur tadi. Nanti, urusan Emak yang akan menjelaskan perihal kepergianmu oleh Mbakyu-Mbakyumu. Pergilah, kereta akan segera tiba."
"Tapi, Mak—" kata Nurlela tatkala tangannya telah ditarik paksa oleh Wage dan Supiyah.
Dia terus menatap ke belakang. Akan tetapi, Dasri segera menutup pintunya rapat-rapat. Jujur, ini berat. Bukan hanya bagi Nurlela, akan tetapi bagi Dasri juga. Bahkan, sampai-sampai, kedua putrinya dirundung bingung. Tatkala melihat emak mereka menangis pilu.
***
"Bagaimana, Nur? Apakah kamu suka dengan tempat ini? Jawa Timur, ndhak jauh berbeda dengan Jawa Tengah, toh?"
Nurlela tersentak, tatkala pertanyaan itu dilayangkan oleh Wage—pakliknya. Dia kemudian menampilkan seulas senyum, sebab dia tak ingin, pakliknya kecewa karena melihat ia terus murung. Bahkan sedari perjalanan tadi, Nurlela tak memperhatikan, berapa kali dia harus naik—turun transportasi, dan berapa lama perjalanan untuk sampai di sini.
Lagi, gasi berusia sembilan tahun itu menebarkan pandangannya pada rumah besar milik pakliknya. Rumah itu, jauhlah lebih besar dari rumahnya. Bahkan bisa dibilang, puluhan kali lipat dari rumahnya. Di depan, berdiri kokoh sebuah toko sembako, yang Nurlela tebak, tidak hanya sembako saja yang dijual. Sebab, ada beberapa pembeli—dan—orang yang menjual barang-barangnya di toko ini. Misalkan, jagung, ikan, kacang tanah yang baru dicabut dari kebun, sampai kayu bakar sekalipun. Gaplek dan arang pun, tak ketinggalan.
Sementara di bagian tengah, rumah megah berdiri dengan angkuh. Nurlela tebak, akan banyak kamar di sana. Kamar dengan ukuran yang lebih besar dari pada ukuran rumahnya. Kemudian... Nurlela menghuyungkan tubuhnya, mencoba menebak di belakang rumah yang bangunannya lebih tinggi itu. Apa gerangan bangunan itu? Nurlela tidak bisa menebaknya.
"Itu gudang...," kata Wage seolah tahu atas rasa penasaran keponakannya. "Di sana, Paklik biasanya menyimpan beberapa keperluan rumah. Seperti jagung, gabah, kacang tanah, kayu, gaplek, serta yang lainnya. Biasanya, para pekerja yang ditugaskan untuk memasak, akan mengambil bahan makanan dari sana. Para pekerja, sangat membutuhkan makanan tatkala mereka pulang."
"Para pekerja?" tanya Nurlela semakin penasaran. Sejatinya, ia tahu jikalau kata emaknya, pakliknya ini kaya. Akan tetapi, Nurlela pikir, pakliknya adalah seorang petani dan pemilik toko saja.
"Paklik memiliki lahan yang lumayan luas, Ndhuk. Lebih-lebih, Paklik juga suka membeli panen orang-orang kampung untuk Paklik jual lagi. Itu sebabnya, Paklik memiliki beberapa pekerja untuk membantu Paklik dalam urusan ini."
"Berapa banyak, Paklik? Dua?" tanya Nurlela.
Wage terkekeh mendengar pertanyaan Nurlela. Sementara itu, ia dan Supiyah melangkah masuk ke dalam rumah. Sementara Nurlela, telah lupa rasa sedihnya tadi. Semua rasa penasaran atas pakliknya, telah menguasai pikirannya saat ini.
"Bukan."
"Tiga?" tebak Nurlela lagi.
"Lebih dari sepuluh. Sekitar dua puluh," jelas Wage.
Nurlela tampak terkejut. Pipi putihnya bersemu merah kemudian dia memandang pakliknya dengan malu-malu.
"Sebanyak itu, Paklik? Itu akan menghabiskan satu gudang persediaan makananmu!" serunya. Dan berhasil, hal itu membuat Wage tertawa.
***
Mojowiryo, kampung dari daerah Kemlagi—Mojokerto, tidak bisa dikatakan kampung maju pada saat itu. Bahkan, tempatnya yang terpencil, membuat kampung itu terasa semakin kecil. Kalau saja di sana tidak ada perkebunan tebu serta pabriknya, sepi mungkin akan menguasainya.
Ya, sebagian besar tanah penduduk kampung Mojowiryo mereka sewakan sebagai ladang tebu, yang akan disewa oleh seorang mandor dalam kurun waktu pertahun. Jika cocok, maka sistem penyewaan itu akan terus berjalan sampai waktu yang tidak ditentukan. Sementara para penduduknya, akan menjadi pegawai para mandor untuk mengurus tebu-tebu sampai mereka panen.
Namun begitu, bukan berarti jika kampung tersebut tergiur dengan uang hasil sewa tanah mereka. Sebab, masih banyak penduduk kampung yang lebih memilih bertani dan menanami sawah-sawah mereka dengan berbagai tanaman yang menghasilkan. Tentu, untuk harapan jika perekonomian mereka barangkali akan lebih baik. Bukankah, itu semua adalah pemikiran sederhana bagi warga kampung?
Dan terlepas dari itu semua, pagi ini Nurlela tengah berada di sebuah SD yang tak jauh dari rumahnya. Rencananya, hari ini dia akan didaftarkan sekolah oleh Supiyah. Agaknya, di hari pertamanya bersekolah, Nurlela tidaklah sendiri. Sebab, adik dari Supiyah, yang sedari kecil telah ikut bersamanya, kini menjadi kawan baik bagi Nurlela. Masri, namanya. Gadis itu cukup pendiam dari Nurlela. Akan tetapi, keduanya mudah akrab meski baru semalam mereka bersama.
"Jadi, aku nanti kelas berapa, Bulik?" tanya Nurlela yang saat ini tengah digandeng Supiyah masuk ke dalam ruang guru.
"Umurmu sudah sembilan tahun, Nur. Jikalau nanti kamu telah fasih membaca huruf dan menulisnya. Kamu pasti akan langsung kelas tiga."
Memang sistem pendidikan pada tahun ini seperti itu. Tidak ada aturan tetek—bengek dalam urusan belajar—mengajar. Dari umur berapapun, dari kalangan manapun asal mampu, mereka bisa bersekolah sesuai dengan usianya. Begitu pula dengan Nurlela, gadis kecil berusia sembilan tahun itu beruntung, bisa membaca dan menulis meskipun belum fasih. Itu sebabnya, dia langsung bisa masuk di kelas tiga. Kelas yang sama dengan Masri. Adik dari buliknya itu.
***
"Mulai nanti sore, kamu diutus Juragan Wage untuk menjaga keponakannya, Pras."
Suara itu terdengar samar, karena hampir ditelan oleh bisingnya suara angin yang seolah ingin merobek gendang telinga.
Siang ini, tampaknya, lelaki tua yang memanggil seseorang dengan sebutan Pras itu baru saja selesai membajak sawah. Sawah dengan ukuran yang tidak bisa disebut dengan... besar. Bagaimana bisa disebut besar, jika sawah itu saja tidak masuk hitungan sawah yang mampu untuk disewakan. Meski ingin, Minto—nama laki-laki tua itu, tetap saja tidak ada yang berminat. Terlalu kecil, katanya.
"Keponakannya siapa, toh, Pak? Kenapa harus aku, toh? Bukannya, banyak abdi Juragan Wage yang seumuranku?" tanya sosok yang rupanya adalah anak dari Minto.
Dia bisa disebut dengan bocah, sebab melihat dari usianya, dia belumlah cukup dewasa benar. Bahkan, baru tahun lalu Minto menyunatkan anaknya kepada calak. Kira-kira, usianya masih 13 tahun.
"Karena beliau percaya kepadamu, Pras. Keponakannya itu, adalah anak yang diistimewakan. Menurut warta, keponakannya itu akan membawa kemakmuran bagi kehidupan keluarga Juragan Wage. Bukankah, jika beliau makmur, akan makmur pula kita sebagai abdinya?"
"Jika kita ikut makmur, pastilah kita ndhak akan menjadi seorang abdi lagi, Pak. Bapak ini ada-ada saja." Prasetyo memakan sepotong tempe terakhir bekal yang ia bawa untuk bapaknya, kemudian dia ikut meminum kopi yang ada di gelas yang sama dengan bapaknya. Dia kembali mengeluh dalam hati, perihal nasibnya yang melulu seperti ini.
Dulu, dia sempat bermimpi, jika saat usianya tujuh tahun, dia akan bersekolah seperti kawan-kawan kampung lainnya. Tetapi nyatanya, apa yang dia impikan hanyalah sia-sia. Nasib mutlak bapak serta emaknya sebagai abdi di tempat Juragan Wage nyatanya memaksanya untuk menjadi hal yang sama. Ya... dia juga, mau tak mau ikut menjadi seorang abdi di sana.
Sejatinya Prasetyo tahu, jikalau Juragan Wage beserta istri bukanlah seorang Juragan yang pelit. Keduanya sangat baik, malah. Akan tetapi, sebaik-baiknya Juragan, pasti tidak akan merubah cukup besar tentang perekonomian keluarganya, bukan? Apalagi, tentang nasib hidupnya yang dirasa begitu berat.
Lagi, Prasetyo menghela napas panjang. Tanpa disadari, bapaknya yang tengah meneguk kopi pun memandang ke arahnya. Senyum tipis terukir di kedua sudut bibir Minto.
Sebenarnya, ada rasa bersalah yang menjalar di hatinya tatkala melihat anak semata wayangnya bekerja sama sepertinya di usia yang begitu belia. Akan tetapi, Minto tak memiliki pilihan lain. Mau bagaimana lagi, memang? Yang ia miliki hanyalah sepetak tanah dengan ukuran yang sangat kecil. Bahkan, saat musim padi tiba pun. Sawah tersebut hanya bisa menghasilkan kurang dari lima karung gabah. Mengingat padi hanya bisa dipanen enam bulan sekali, pastilah lima karung gabah akan sangat kurang bila dimakan dalam waktu setahun. Lebih-lebih, Minta dan istri harus merelakan hampir setahun penuh makan dengan gaplek, karena gabah-gabah mereka jual untuk melunasi hutang.
"Jangan merisaukan hal yang menjadi urusan Gusti Pangeran, Pras. Itu endhaklah baik. Sekarang, lebih baik kamu segera pulang ke rumah kemudian pergi ke rumah Juragan Wage. Aku yakin, beliau tengah mencarimu sekarang."
"Tapi, aku ingin membantu Bapak membajak sawah. Bapak pasti lelah."
"Bagaimana bisa lelah, Pras. Membajak sawah sekecil ini, ndhak akan membuat otot Bapak kaku barang sebentar," jawab Minto di tengah gelak tawanya.
Prasetyo mengulum senyum mendengar penuturan bapaknya itu. Lihatlah, bapaknya adalah panutannya. Seseorang yang memiliki beban hidup luar biasa tapi bisa menghadapi kehidupan seolah semuanya mudah. Pras, harus belajar itu dari bapaknya.
***
Pagi ini, agaknya burung perkutut yang bertengger di pohon jambu samping rumah Wage telah lama berkicau. Pun dengan ayam-ayam pejantan yang sedari tadi berkotek. Menandakan jika pagi ini sudah lebih dari pantas untuk makhluk yang bernama manusia untuk bangun.
Sama halnya dengan Nurlela, yang sepagi ini sudah berada di dapur. Membantu pekerjaan salah satu abdi dari Supiyah memasak. Inilah tugas Nurlela, tugas yang Supiyah tidak pernah sebutkan saat hendak membawanya ke Jawa Timur. Tugas yang harus dia emban sebelum subuh datang, tugas yang harus dilakukan sebelum ia berangkat ke sekolah. Ya... memasak. Memasak untuk sarapan para abdi rumah ini beserta para Ndoro dan Juragannya. Sementara Masri—adik dari Supiyah ditugaskan untuk membantu berjualan di toko.
Nurlela agaknya kecewa dengan keputusan yang dibuat oleh Supiyah. Biar bagaimanapun, dia hanyalah anak sembilan tahun yang hanya ingin bermain. Kemudian, membantu beberapa pekerjaan ringan jika ingin. Bukan melakukan pekerjaan wajib seperti ini. Ini benar-benar adalah hal berat. Padahal semasa hidupnya dengan emaknya dulu, Nurlela bahkan tak pernah sekalipun disuruh emaknya memasak. Nurlela membantu dengan keinginan Nurlela sendiri.
"Ndhuk, ini sudah mau jam enam, lho. Kamu ndhak mau siap-siap, toh? Lagi pula, masaknya sudah hampir selesai. Sana, mandi. Nanti Mbok Jinah yang akan mengurus lainnya," kata Jinah, abdi bagian memasak itu pun menyuruh Nurlela untuk pergi.
Dia terenyuh melihat gadis kecil yang beberapa hari telah membantunya ini. Sedari yang dia tahu, Juragannya Wage membawa ikut serta keponakannya kesini. Akan tetapi, Jinah sama sekali tidak menyangka. Jika ajakan itu, adalah dengan pamrih. Wage dan istri rupanya menyuruh anak sekecil Nurlela untuk bekerja. Jenis pekerjaan yang tidak ringan.
Andai, memasak ini hanyalah memasak untuk sebuah keluarga. Pastilah pekerjaannya tidak berat. Akan tetapi, yang dilakukan adalah memasak untuk para abdi yang jumlahnya tidaklah sedikit. Namun setelah itu semua, apa yang didapatkan Nurlela tidaklah pantas. Dia hanya mendapatkan makanan sisa serta lauk seadanya dari Supiyah. Sementara lauk-lauk yang enak, ia makan sendiri bersama dengan suami serta adiknya—Masri.
"Baiklah, Mbok... aku mandi dulu. Biar ndhak telah berangkat sekolah." Semangat Nurlela.
Hari ini adalah hari pertamanya ia pergi ke sekolah. Tentu saja dia teramat senang. Terlebih, kemarin dia baru saja dibelikan sepeda baru oleh pakliknya. Sepeda yang sama persis dengan milik Masri. Bahkan, apa-apa yang ia dapatkan, selalu sama dengan Masri. Seperti keduanya adalah saudara kembar.
"Nur, nanti kamu dan Masri akan diantar sekolah oleh Prasetyo!" teriak Semplok. Saat melihat Nurlela setengah berlari keluar dari dapur.
Tak berapa lama, Nurlela pun kembali masuk ke dalam dapur. Dia menatap Semplok dengan pandangan bingung.
"Prasetyo, siapa dia, Mbok?" tanyanya.
"Salah satu abdi dalem di sini. Yang mulai hari ini bertugas untuk menjagamu serta Masri saat di luar rumah."
Nurlela mengangguk. Dia tak peduli jika harus dijaga oleh siapa pun! Yang jelas sekarang adalah... dia harus mengajak Masri mandi dan bersiap-siap pergi ke sekolah. Agar dia mendapatkan teman baru, bisa bermain dengan mereka. Terlebih, ilmu yang selama ini Nurlela tidak dapatkan tatkala berada di rumahnya.
Tak berapa lama Nurlela dan Masri bersiap. Akhirnya mereka sudah keluar dengan dandanan yang sama pula. Rambut dikepang dua dengan tas dan sepatu yang sama.
Keduanya dengan semangat hendak mengambil sepeda baru mereka yang terparkir manis di halaman belakang. Namun, belum sempat mereka mengendarainya. Sebuah tangan mencekal tangan keduanya.
"Kalian ndhak berangkat dengan memakai sepeda ini!" seru siempunya tangan itu.
Nurlela memandang keatas, dia menangkap sosok kurus ceking dengan kulit cokelat yang kotor. Mata bulatnya tampak begitu lebar karena wajahnya yang tirus. Sementara hidung bangirnya semakin terlihat begitu bangir.
"Ayo, naiklah! Kalian kubonceng sampai ke sekolah!" kata pemuda itu lagi. Yang sudah naik di ontel ontanya yang gagah dengan baju putih yang berubah kecokelatan itu.
"Dia Pras, Prasetyo. Abdi dari Mbakyu Supiyah. Dia yang diutus oleh Mbakyu untuk menjaga kita saat di luar rumah," kata Masri sambil menyenggol lengan Nurlela.
Seketika, Nurlela berjalan cepat menuju sepeda roda tiganya. Sambil berkacak pinggang, dia pun berseru, "dasar bocah ndhak tahu diuntung! Lancang benar kamu menyuruhku dibonceng olehmu! Aku ndhak mau, baju baruku kotor karena baju lusuhmu!" setelah ia menjulurkan lidah, dia pun langsung mengendarai ontelnya. Bahkan, Masri yang awalnya sudah duduk manis di boncengan Prasetyo pun ikut turun kemudian dia mengikuti langkah Nurlela.
Keduanya tertawa sambil menggayuh sepeda dengan begitu kencang. Bahkan, mereka tidak peduli teriakan Wage yang memanggil-manggil nama mereka untuk berhenti.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top