BAGIAN 1

Pati, 1974
   Tepat di ujung timur kota bumi mina tani, ada Kecamatan yang cukup ramai. Sebab, selain letak kantor kecamatan dan pasar yang bersebelahan, di seberang jalan, ada rel kereta api yang hampir setiap waktu terus dilintasi benda panjang yang suaranya memekakan telinga. Ya, pada tahun itu jalan raya masih terbilang cukup sepi. Hanya ada satu atau dua kendaraan yang lewat tiap jamnya. Sebab, para penduduk lebih memilih naik kereta yang saat itu ongkosnya terbilang sangat, murah.
   Kecamatan itu bukan berada di pusat kota. Itu sebabnya kampung-kampungnya sedikit primitif dan tertinggal. Kampung yang masih dikelilingi oleh pohon-pohon bambu. Dan bahkan, rumah-rumahnya pun masih terbilang memprihatinkan.
   Seperti halnya rumah Nurlela. Gadis kecil yang memiliki 2 saudara itu harus puas dengan rumah ala kadarnya. Dinding yang terbuat dari anyaman bambu yang bahkan penuh lubang, serta gentingnya dari daun jati sehingga selalu membuat mereka kepanasan saat musim panas, pun musim hujan.
   Nurlela, bisa jadi ia adalah gadis yang tak beruntung satu-satunya di kampung itu. Sebab kata penduduk lain, keluarganya adalah keluarga termiskin. Makan pun, mereka harus menunggu sisa makanan dari warung Srinti—tetangganya yang kebetulan Dasri—emak Nurlela bekerja di sana.
   Itu bukan jenis makan sisa setelah warungnya tutup. Melainkan, makanan sisa dari para pengunjung yang tidak habis menyantap sajian yang ada di piring. Bahkan kadang-kadang, tatkala Dasri tidak membantu Srinti, dia hanya mampu memasakkan anaknya belut tanpa nasi, atau cemeding kangkung tanpa nasi dan ikan.
   Mau bagaimana lagi, memang. Betul dia memiliki suami. Akan tetapi, hal tersebut hanyalah status yang menjeratnya. Sebab sampai detik ini, suaminya bahkan pergi dan tak mau kembali.
   Kabarnya, suaminya telah kawin dengan beberapa orang yang ada di Jawa Timur. Kemudian, mereka memiliki beberapa anak. Sejatinya, Dasri tak merisaukan akan hatinya yang telah lama mati karena terlalu sering sakit hati. Akan tetapi, dia memikirkan nasib anak-anaknya yang masih kecil-kecil.
   Anak-anaknya butuh makan, anak-anaknya butuh tidur dengan nyaman, butuh pakaian yang layak, serta butuh kasih sayang seorang Bapak.
   “Mak, Emak!” teriak Nurlela dari arah stasiun kereta api. Dia berlari cukup kencang, bahkan sampai wajah putihnya tampak kemerahan.
   Ada air mata di ujung pelupuk matanya. Serta suara serak yang kian kentara.
   Dasri buru-buru berdiri, setengah menyincing jarik yang ia kenakan, ia pun berlari. Menghampiri Nurlela, yang saat itu tampak tak berdaya.
   “Ada apa, toh, Nur? Apa gerangan yang terjadi sampai kamu ketakutan seperti ini?” tanya Dasri.
   Nurlela tampak terisak dalam pelukan emaknya. Kemudian, dia menoleh ke belakang. Seolah, ingin memastikan jika seseorang tidak datang untuk menangkapnya.
   “Bulik Kaspik, Mak...,” ucapnya terputus. Dia mengusap kasar air matanya yang menetes di pipi. “Bulik Kaspik memukulku, Mak.”
   “Lha kok bisa memukulmu itu bagaimana, toh?” tanya Dasri yang tampak kaget.
   Dia tahu, memang. Jika para tetangga selalu mengatakan kalau Nurlela—putrinya adalah anak yang nakal, susah diatur, dan tak tahu diuntung. Akan tetapi di mata Dasri, Nurlela adalah Nurlela. Nurlela adalah putri kecilnya yang cantik dengan tubuh mungil dan kulit yang putih bersih. Nurlela adalah gadisnya yang baik. Nurlela hanya sedikit aktif. Ya... Dasri selalu meyakini hal itu.
   “Perempuan ndhak tahu diuntung!” teriak Kaspik sambil membawa sapu di tangannya. Matanya merah, tampak jelas jika saat ini dia benar-benar marah. “Ajari sopan santun anakmu itu! Apa karena ndhak ada Bapak dia jadi ndhak tahu diri seperti itu?!”
   Betapa kaget Dasri tatkala tetangganya—Kaspik mengatakan hal itu kepada putrinya. Padahal Dasri tahu betul, selama ini, dia dan anak-anaknya tak pernah mengusik kehidupan siapa pun di kampung ini.
   “Kaspik, sebenarnya apa, toh, yang terjadi? Ndhak usah membahas yang endhak-endhak.” Tanya Dasri sehalus mungkin.
   Ingin marah, pasti. Akan tetapi, dia sudah sangat lelah jika harus marah setiap hari. Faktanya, selalu menjadi bahan cacian penduduk kampung, adalah makanan sehari-hari yang harus diterima.
   “Maling ndhak tahu diuntung itu!” katanya sambil menunjuk Nurlela. “dia telah mencuri secobek sambalku dan menghabiskannya! Ndhak tahukah dia, jika cabai sekarang mahal! Jika kamu ndhak mampu memberi makan anak-anakmu, maka jangan ajari mereka untuk menjadi pencuri!”
   Dasri tampak terkejut. Seketika, dia melepas rengkuhan Nurlela dan memandang lekat bola mata bulat anaknya. Bagaimana mungkin, Kaspik menuduh putri cantiknya sebagai pencuri? Bagi Dasri, pencuri adalah kejahatan yang paling nista di dunia ini.
   “Apa benar yang dikatakan Bulik Kaspik itu, Nur? Kamu mencuri sambalnya?” tanya Dasri.
   Dia tidak ingin percaya kepada Kaspik. Sebab bisa jadi jika wanita culas itu hanya mengada-ada. Dia ingin mengetahui kebenarannya dari mulut putrinya.
   Nurlela menundukkan wajahnya. Dia diam seribu bahasa. Dia takut, dan bingung harus menjawab apa atas pertanyaan emaknya.
   “Jawab Emak, Nur! Apa kamu mencuri?” tanya Dasri kedua kalinya. Dengan nada yang lebih tinggi.
   Pelan, Nurlela menganggukkan kepalanya. Kemudian dia menjawab, “Nur lapar, Mak. Di rumah ndhak ada makanan sedari kemarin malam. Jadi, Nur masuk diam-diam di rumah Bulik Kaspik dan memakan sambalnya. Demi Gusti Pangeran, Mak. Nur ndhak mengambil lauk dan nasinya. Nur hanya menghabiskan sambalnya!” kata Nurlela seolah ingin membela diri.
   Betapa murka Dasri mendengar penuturan itu. Dia sama sekali tak menyangka, jika Nurlela akan mencuri karena lapar.
   “Apa yang kamu lakukan, Nur!” marah Dasri. Dia langsung memukul lengan Nurlela. “Aku sama sekali ndhak pernah mengajarimu untuk menjadi pencuri! Apa yang kamu lakukan ini!” marahnya lagi.
   Jujur, dia sebenarnya tidak ingin memukul putri kecilnya. Akan tetapi, kemarahannya atas semua penuturan Kaspik dan kejujuran Nurlelalah yang membuat Dasri murka. Meski miskin, meski untuk makan pun susah. Dia tak pernah mengajari anak-anaknya untuk mencuri. Tapi Nurlela telah mencoreng mukanya dengan kotoran di depan Kaspik.
   Namun, terlepas dari itu semua adalah, semua rasa frustasi Dasri. Sebab, karenanya yang tak bisa memberikan makan kepada anak-anaknyalah yang membuat Nurlela jadi seperti ini. Seperti orang yang tak bodoh, ia menumpahkan semua tak berdayanya kepada Nurlela.
   “Ampun, Mak. Ampun!” rintih Nurlela.
   Sebenarnya Nurlela juga tak ingin mencuri. Tapi, mau bagaimana lagi. Sudah sedari semalam perutnya keroncongan minta diisi. Dia sudah pergi ke pasar, barang kali ada salah satu orang yang sudi memberinya makan. Atau paling tidak, sebuah jajanan pasar untuk mengganjal perut. Akan tetapi, di sana tidak ada satu pun orang yang melihat dirinya. Orang-orang dewasa itu, cenderung lalu-lalang dan mengabaikannya.
   Lalu, ketika dia hendak pulang, Nurlela mencium aroma masakan Kaspik yang sangat menggoda. Dan diam-diam Nurlela mengintip apa gerangan menu yang hendak disantap siempunya rumah hari ini.
   Ada sambal, nasi gaplek, ikan asin beserta sayur lodeh. Benar-benar membuat perut kecil Nurlela semakin keroncongan. Jadi, karena dibutakan rasa laparlah membuatnya mengambil sambal dan memakannya. Dia tak mengambil apa pun selain sambal. Bahkan perutnya sekarang melilit-lilit karenanya. Sebab bagi Nurlela, dia lebih dari tahu jika mengambil milik orang lain adalah perkara yang tidak disukai Gusti Pangeran serta emaknya.
   Nurlela merintih kesakitan. Lengan mungilnya terasa perih dan panas. Di sana, tepat di bagian yang dipukul emaknya. Tadi, bagian itu juga yang dipukul oleh Kaspik.
   Lagi, Nurlela menangis semakin kencang. Ini bukan perkara pukulan emaknya yang menyakitkan. Akan tetapi, ratapannya sebagai seorang bocah sembilan tahun yang malang.
   Dia iri dengan kawan-kawan kampungnya, yang setiap hari bisa makan sehari tiga kali. Dia iri dengan mereka, yang memakai pakaian-pakaian bagus sementara dia harus berpuas diri dengan mengenakan pakaian bekas yang emaknya dapat dari belas kasihan orang-orang. Pun dia iri, dengan kawan-kawannya yang berlalu-lalang dengan mengenakan sepeda. Sementara dirinya?
   Lagi, tangisan Nurlela semakin kencang. Membuat Kaspik yang sedari tadi menyaksikan hal memilukan itu pun pergi. Sementara Dasri menghentikan pukulannya kemudian memeluk putri kecilnya itu kuat-kuat. Andai, batin Nurlela. Andai dia terlahir dari keluarga mampu. Pastilah hidupnya tidak akan seperti ini.
***
   Malamnya, Dasri melihat anak-anaknya tidur. Tadi sore, mereka baru bisa makan. Dasri tahu, jika malam ini pasti ketiga putrinya akan tidur nyenyak. Sebab, mereka tak akan tidur dengan perut kelaparan lagi.
   Dasri hendak pergi, tapi langkahnya terhenti tatkala melihat satu putrinya yang tampak tidak bisa tidur dengan lelap. Putrinya itu tampak gelisah, dan itu berhasil membuat Dasri penasaran untuk sekadar melihat keadaannya. Ya, putri itu adalah Nurlela.
   Dasri mengelus rambut sebahu Nurlela, napasnya tersengal saat mengingat kejadian siang tadi. Dia memukuli putrinya, putri kesayangannya. Tak terasa air mata pun jatuh. Pelan, Dasri mengecup kening putrinya. Kemudian dia meneliti, barangkali jika pukulannya tadi membekas di tubuh Nurlela.
   Betapa terkejut Dasri, tatkala tahu jika lengan Nurlela yang lain tampak memar-memar seperti bekas pukulan. Dan, itu bukanlah pukulan darinya.
   Lagi, Dasri meneliti tubuh Nurlela yang lainnya. Mulai dari dada, punggung dan paha, dan itu berhasil membuat Nurlela yang tidur pun terbangun.
   “Emak...” kata Nurlela takut-takut. Dia takut jika nanti dipukul emaknya lagi. Terlebih melihat wajah emaknya kecewa karenanya. Sama seperti siang tadi.
   “Kenapa tubuhmu penuh memar, Nur? Apa yang terjadi? Siapa yang memukulimu?” tanya Dasri khawatir.
   Nurlela diam, dia tak langsung menjawab pertanyaan emaknya. Dia tidak ingin jujur, sebab dia takut jika emaknya akan bersedih.
   “Jawab Emak, Nur!” tanya Dasri lagi tak sabaran.
   “Nur habis jatuh, Mak. Nur ndhak apa-apa.” Dustanya.
Sebenarnya, luka-luka itu dia dapat dari Kaspik siang tadi. Ketika Kaspik tahu dia mencuri sambal di rumahnya. Dengan membabi buta, Kaspik langsung memukuli tubuh Nurlela tanpa ampun.
   Nurlela menggidik, dia benar-benar trauma dengan itu semua. Rasa sakit di sekujur tubuhnya benar-benar membuatnya tak bisa tidur barang sebentar. Bahkan, rasanya tulang-belulangnya hendak remuk karena itu.
   Dasri diam, sejatinya dia tahu jika putrinya itu telah berdusta. Akan tetapi, dia tak ingin lagi bertanya pula memaksa. Dia ingat siang tadi, ketika Nurlela meminta pertolongannya. Ya, siapa lagi memang yang mengejar Nurlela sambil membawa sapu. Dasri yakin, jika memar-memar di tubuh putrinya adalah ulah dari Kaspik. Akan tetapi, apa yang bisa Dasri lakukan untuk membela putrinya? Pun untuk menegakkan haknya sebagai emak yang anaknya telah dipukuli sampai seperti itu. Yang bisa Dasri lakukan hanyalah, menangis diam-diam di tengah malam. Sebab dia tak ingin, ketiga putrinya tahu jika setiap malam dalam tidurnya dia sedang menangis pilu.
***
“Hari ini kita harus berdandan yang pantas,” kata Parti—saudara sulung Nurlela.
   Saat ini, mereka sedang berada di pinggir rel kereta api. Sebab mau menyeberang hendak bekerja di pasar yang saat ini masih ramai. Pekerjaan yang sudah sering mereka lakukan. Membantu para pembeli membawa barang-barang, atau bahkan bernyanyi sekadarnya. Upahnya memang cukup murah. Tapi, bagi Nurlela dan Parti upah yang tak seberapa itu adalah hal yang paling berarti bagi keluarganya. Setidaknya, mereka bisa membeli bumbu dapur. Agar rasa lauk yang mereka makan tidak melulu berasa asin atau bahkan, hambar.
   “Kenapa harus berdandan yang pantas?” tanya Nurlela tak mengerti.
   Setelah ia meraih kerikil kecil yang ada di bawahnya. Dia pun memandang ke arah Parti.
   “Sebab, Paklik Wage nanti sore akan bertandang ke rumah kita.” Parti jawab.
   Paklik Wage? Sepertinya, Nurlela tak asing dengan nama itu.
   “Itu, adik Bapak yang tinggal di Mojokerto, Jawa Timur....” imbuhnya.
   Setelah beberapa saat mengingat, Nurlela pun akhirnya tahu tentang Paklik Wage. Dulu, kira-kira dua tahun yang lalu adik dari bapaknya itu berkunjung ke rumahnya. Sekadar mengunjungi keponakan, katanya.
   Menurut kabar yang didengar Nurlela dari Parti dan Wati—saudara kedua Nurlela—Paklik Wage itu adalah orang yang kaya. Di Jawa Timur sana, dia memiliki beberapa petak sawah, sementara istrinya—Bulik Supiyah, memiliki toko yang digadang-gadang paling besar di kampungnya. Pastilah sangat kaya, batin Nurlela.
   “Mbakyu ini bagaimana, toh. Bukankah kita ini ndhak punya pakaian bagus? Lalu, bagaimana bisa kita berdandan yang pantas? Pakaian kita bolong semua, Mbakyu.”
   Parti tersenyum mendengar keluhan adik bungsunya. Sejatinya, apa yang dikatakan Nurlela adalah benar. Bagaimana bisa mereka berdandan yang pantas jika pakaian pun lusuh serta sudah tidak utuh.
   “Kamu ndhak usah risau, Nur. Tenanglah. Mbakyumu ini telah mendapatkan benang serta jarum dari Bulik Mardiah. Nanti, pakaianmu yang paling layak akan Mbakyu tutup dengan kain yang ada.”
   Pakaian yang paling layak? Nurlela tak merasa punya itu. Sebab, pakaian yang paling layak milik Nurlela adalah, pakaian yang ia dapat enam bulan yang lalu dari bekas Murti—salah satu kawan Nurlela yang berbaik hati memberikan salah satu pakaian bekasnya.
   Nurlela mengangguk. Dia tak ingin mengeluh di depan mbakyunya, sebab ia tahu. Jika nasib keduanya adalah sama.
   “Oh ya, Mbakyu. Nur lupa... kalau Emak mengajak Nur membantunya mencuci piring di rumah Bulik Srinti. Nur pergi dulu, ya!”
   Seharusnya, Nurlela tak lupa pesan emaknya pagi tadi. Jika hari ini adalah gilirannya membantu emak mencuci piring di rumah Srinti. Lumayan, upahnya. Selain mendapatkan makanan sisa, biasanya Nurlela dan emaknya akan mendapatkan beras gaplek. Setidaknya, beras itu bisa dimakan tatkala Dasri tidak bekerja.
   Kaki kecil Nurlela berlarian, meski warung Bulik Srinti tidaklah jauh. Hanya berjarak beberapa rumah dari pasar, yang kebetulan warung itu menghadap ke selatan.
   Warung itu bukanlah warung-warung yang memadai, memang. Mengingat tempat makannya hanyalah beralaskan tikar. Akan tetapi, menu asem-asem kerbau beserta sate bukurnyalah yang selalu menjadi andalan. Membuat para pengunjung tidak ingin kehilangan makanan ternikmat mereka.
   Nurlela menebarkan pandangannya, tatkala ia berada di bibir pintu warung Bulik Srinti. Pengunjung hari ini cukup ramai. Bahkan, Nurlela yakin, lebih dari cukup untuk membuat emaknya kualahan menyajikan makanan kepada para pengunjung. Akan tetapi, yang Nurlela permasalahkan bukan itu. Tangan-tangan bajingan tak tahu diuntung yang mencari kesempatan untuk sekadar mengelus tangan emaknya atau bahkan secara terang-terangan meremas bokong emaknyalah yang membuat Nurlela selalu marah.
   “Jadi, Sri. Bagaimana tawaranku tempo hari? Masih berlaku, lho. Aku benar-benar serius akan niatku itu,” kata seorang lelaki yang percakapannya berhasil ditangkap oleh telinga Nurlela.
   Ia buru-buru mencari asal suara, rupanya tepat di barisan ketiga pengunjung duduk, emaknya telah berdiri dengan sungkan sambil menunduk di depan laki-laki yang bertanya kepadanya.
   Sejatinya, Nurlela tidaklah paham akan pertanyaan itu. Akan tetapi melihat laki-laki bertubuh tegap itu tersenyum penuh arti membuat Nurlela terganggu.
   Ia tahu siapa laki-laki itu. Pengunjung yang sedari beberapa bulan terakhir telah menjadi pelanggan tetap di sini. Laki-laki pensiunan ABRI yang katanya telah ditinggal mati oleh sang istri.
   “Duh, bagaimana, ya. Saya benar-benar ndhak tahu harus menjawab apa, toh, Pak. Saya ini siapa, toh. Sepertinya, terlalu lancang jika harus menjawab pertanyaan semacam itu.”
   “Ndhak ada yang lancang, Sri, percayalah...,” kata laki-laki itu mencoba meyakinkan. Mata bulatnya melebar tatkala ia menangkap sosok kecil Nurlela yang perlahan mendekat. “Aku sama sekali ndhak keberatan, jika kamu membawa Nurlela dengan kita. Kamu bisa hidup dengan lebih baik dari ini, Sri. Bagaimana, Nur, apa kamu mau makan enak setiap hari? Tidur beralaskan kasur yang empuk? Serta memakai pakaian-pakaian bagus?” kini pertanyaan itu dilemparkan kepada Nurlela.
   Tentu saja Nurlela mau. Bahkan, hal-hal itu adalah mimpinya sedari dulu. Akan tetapi, jika ia harus membuat emaknya menyetujui permintaan laki-laki itu. Sama saja jika dia menjadi egois. Apa pun, yang Nurlela inginkan hanyalah, senyum emaknya. Yang entah kapan, Nurlela bisa melihatnya lagi.
   “Tapi, Pak, anak saya ndhak hanya Nurlela saja, toh. Saya masih memiliki dua anak lagi.” Kata Dasri.
   Ada raut terkejut tersirat di wajah pria itu. Kemudian, dia tampak memikirkan sesuatu.
   “Tapi, aku hanya sanggup untuk menghidupimu serta Nurlela, Sri. Bagaimana? Masalah dua putrimu, kamu bisa menitipkannya kepada kerabatmu.”
    Betapa terkejut Dasri mendengar jawaban itu. Bagaimana bisa, ada seorang pria yang katanya begitu ingin mengawininnya akan tetapi pria itu enggan menerima anak-anaknya? Jelas, pria seperti itu tidak baik untuknya.
   Dasri tetap menampakkan mimik wajah tenang, meski dalam hati dia ingin benar menampar pria itu dengan nampan yang sedari tadi ia bawa. Di mata Dasri sekarang, semua pria itu sama. Tidak pria yang ada di depannya, pula dengan suami yang sudah dua tahun ini tidak pernah pulang menemuinya. Mereka, hanya mementingkan berahi. Setelahnya, akan pergi dengan rasa sakit tak terperi.
   “Maaf, Pak. Jikalau seperti itu, tampaknya Anda ini salah, lho. Saya bukan tipikal Emak yang akan suka-cita meninggalkan anak-anak saya hanya karena terlalu ingin berkawin...,” jawab Dasri yang berhasil membuat mulut laki-laki itu terkatup rapat-rapat. “Ayo, Nur, kita pulang.”
   “Tapi, Mak, bukankah Nur disuruh kesini untuk membantu Emak?” tanya Nurlela bingung. Sejatinya, dia masih tak paham dengan apa yang sedang terjadi sekarang.
   Dasri menampakkan seulas senyum, kemudian ia menggenggam tangan mungil putrinya.
   “Kita minta izin sama Bulik Srinti untuk pulang awal. Sebab sore ini, Paklikmu akan datang berkunjung.”
***
   Sore ini rumah Dasri tampak sibuk. Bahkan, kesibukan ini membuat Nurlela bahagia bukan kepalang. Bagaimana tidak, hari ini di rumahnya, Nurlela bisa melihat ada nasi tiwul yang masih hangat, beserta ikan asin dan cemeding kangkung. Jarang benar emaknya memasak masakan lengkap seperti ini. Apa karena pakliknya akan berkunjung? Jika iya, maka ketika pakliknya datang nanti, dia akan menyuruh pakliknya untuk setiap hari berkunjung.
   “Nur, gantilah pakaianmu. Apa kamu ndhak ingin terlihat cantik saat Paklikmu datang?” kata Dasri.
   Jelas hari ini adalah hari yang istimewa. Sebab, adik iparnya itu mau datang bersama dengan sang istri. Selain karena mereka begitu jarang berkunjung, mereka adalah orang yang kaya di kampungnya. Jadi, memberikan sebaik mungkin adalah hal yang harus Dasri lakukan.
   “Ndhak mau, Mak. Baju yang mau Nur pakai, dirusak Mbakyu Parti.” Adu Nurlela. Agaknya dia sedang kesal dengan Mbakyunya itu. Sebab, pakaian yang dijanjikan Parti akan dibenahi malah dibuat lebih parah dari sebelumnya.
   “Tapi, Nur—“
   “Ada apa, toh, ini? Ramai benar rupanya.”
   Nurlela dan Dasri menoleh pada asal suara. Kemudian, Dasri buru-buru mengelap tangannya dengan kebaya yang ia kenakan. Senyumnya sumringah, seolah laki-laki yang agaknya beberapa tahun lebih muda itu adalah tamu agung.
   Tunggu, Nurlela sepertinya pernah melihat orang ini. Tapi, di mana?
   “Duh Gusti, Dik Wage. Cepat benar kamu datang. Ayo, silakan masuk.”
Wage—adik ipar dari Dasri pun masuk, pula dengan Supiyah, istri dari Wage. Keduanya tampak tak canggung meski jarang berkunjung.
   “Ini, Nurlela, toh?” tanya Wage sambil melihat Nurlela yang sedari tadi meneliti dirinya.
   Nurlela mengangguk kecil. Tanpa mengucapkan sepatah kata. Dan itu berhasil membuat Wage gemas.
   Benar jika Wage dan Supiyah sampai detik ini belum juga dikaruniai buah hati. Itu sebabnya dia dan istri selalu gemas melihat anak-anak. Apalagi jika anak itu cantik seperti Nurlela. Siapa yang tak tertarik meski sekadar mencubit pipi tembemnya. Paras mungil Nurlela memang telah membius orang-orang di sekitarnya.
   “Iya, dia Nurlela, Dik. Dan yang ini, Parti serta Wati. Lama benar kamu dan Supiyah ndhak berkunjung, untung saja kamu ndhak pangling sama mereka.” Dasri bercakap, sambil menaruh sajian yang sedari tadi disiapkan di atas meja. Kemudian, dia bergabung dengan Wage beserta istri, duduk di dipan yang ada di ruang tamu rumahnya.
   “Ndhak seperti itu,toh, Mbakyu. Sebenarnya, kami rindu benar dengan keponakan-keponakan kami ini. Tapi mau bagaimana lagi, pekerjaan Kang Mas memang susah ditinggal. Jika, toh, bisa... pasti kami segera berkunjung seperti hari ini,” jelas Supiyah. Tak enak juga sebab ia merasa sudah terlalu lama tidak membesuk saudara satu-satunya dari suaminya ini.
   Dasri tersenyum, dia tak mengatakan sepatah kata pun. Kemudian, dia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Bagaimana bisa ia begitu lancang menyuruh Wage dan Supiyah untuk sering-sering berkunjung? Jika suaminya saja bahkan sampai detik ini tak kunjung datang.
   Wage dan Supiyah tampaknya menangkap gelagat aneh Mbakyu iparnya. Keduanya pun saling tukar pandang.
   “Parti, Wati, Nurlela... Paklik dan Bulik punya oleh-oleh untuk kalian, lho...,” kata Wage.
   Ketiga anak itu dengan semangat mendekat ke arahnya. Dengan tatapan penuh harap mereka memandang ke arah Wage dan Supiyah.
   Wage merogoh tas yang sedari tadi ia bawa, tiga potong rok bermotif bunga keluar dari sana. Betapa bahagia ketiga gadis itu. Mendapatkan pakaian baru dan itu adalah pakaian bagus, adalah hal yang mungkin dulu hanya ada dalam mimpi mereka.
   “Bilang apa pada Paklik dan Bulik, Ndhuk?” kata Dasri memperingati.
   “Terima kasih, Paklik, Bulik!” kata ketiganya kompak.
   Wage dan Supiyah mengelus kepala keponakannya itu bergantian, kemudian Wage pun berkata, “kalian mainlah di luar. Paklik dan Bulik ingin bercakap dengan Emak kalian barang sebentar.”
   Ketiganya mengangguk. Mereka langsung berlarian keluar dengan gelak tawa mereka yang seolah tanpa beban. Bahkan, tak jarang, ketiganya memamerkan pakaian barunya kepada kawan-kawan kampung. Seolah ingin menunjukkan, jika mereka juga bisa mendapatkan pakaian baru seperti halnya yang lainnya.
   Setelah memastikan ketiga keponakannya pergi, Wage menata duduknya. Matanya memandang ke arah Dasri lurus-lurus.
  Lihatlah wanita cantik ini. Dulu, tubuhnya tak sekurus ini. Tubuhnya tak selusuh ini. Bahkan Wage tahu, jika dulu sebelum wanita cantik di depannya ini menikahi Kang Masnya, dia adalah wanita yang digandrungi banyak pria. Namun rupanya, pilihan suami tampaknya menjadi takdir yang tak menguntungkan untuk Dasri.
   “Jadi, Kang Mas ndhak pulang sampai sekarang?” tanya Wage hati-hati.
   Dasri tercengang beberapa saat mendengar pertanyaan itu. Matanya pun berkaca-kaca. Entah kenapa, hatinya terasa ngilu tatkala ada orang yang menyinggung keberadaan suaminya.
   “Mbakyu ndhak bisa seperti ini terus,” lanjut Wage. “Bagaimana nanti nasib ketiga anakmu? Mereka hidup tanpa Bapak. Terlebih, dengan kondisi seperti ini. Melihat betapa kurus-kurus tubuh mereka. Aku yakin, jika mereka jarang makan. Aku prihatin, Mbakyu. Aku merasa bersalah atas perlakuannya kepadamu serta ketiga putri kalian.”
   “Ndhak perlu minta maaf seperti itu, Dik. Bukankah menikah dengan Kang Masmu adalah pilihanku sendiri? Jadi, kurasa akan menjadi bahan tertawaan jika aku merasa menyesal akan hal itu.”
   Lagi, Wage kembali merasa bersalah. Dia merasa seperti orang bodoh. Melihat seorang wanita beserta anak-anaknya hidup menderita. Wage yakin, jika ia bertemu dengan Kang Masnya pastilah ia akan membunuh pria kurang ajar itu. Dia tak peduli jika pria sialan itu adalah kang masnya.
   “Aku dan Supiyah ndhak bisa hanya melihat saja, Mbakyu. Mau sampai kapan?” katanya.
  Dasri menarik sebelah alisnya, dia benar-benar tak paham dengan apa yang dikatakan Wage.
   “Apa maksudmu, Dik?”
   Supiyah menggenggam kedua tangan Dasri, kemudian dia menampilkan senyum hangatnya. Seolah-olah, senyuman itu untuk meyakinkan Dasri.
   “Kami ingin membantumu, Mbakyu. Biarkanlah kami membawa salah satu putrimu untuk kami asuh sebagai anak angkat kami. Agar meringankan sedikit beban Mbakyu. Dan urusan di sini, pastilah kami ndhak akan tinggal diam. Setiap bulan, kami akan mengirimi beras beserta uang.”
   “Tapi, Dik—“
   “Jika yang Mbakyu khawatirkan bagaimana nanti salah satu putri Mbakyu di sana. Janganlah risau, sebab kami akan menyekolahkannya dan akan memberikan apa pun yang ndhak sempat ia dapatkan di sini. Percayalah.”
   “Iya, Mbakyu... benar kata Supiyah. Ini adalah bentuk dari tanggung jawab kami, mewakili Kang Masku yang telah menelantarkanmu beserta putri-putrinya.”
  Berat, bingung, dan tercengang. Itulah yang dialami Dasri saat ini. Bagaimana tidak, dia disuruh untuk melepaskan salah satu putrinya untuk diasuh oleh orang lain? Meski orang lain adalah adik iparnya sendiri. Bahkan bagi Dasri, lebih baik dia miskin dari pada harus melepaskan salah satu putrinya. Putri-putrinya, adalah harta yang paling berharga yang ia miliki. Penyembuh duka laranya, dan penyemangat hidupnya.
   “Percayalah, Mbakyu. Putrimu, akan mendapatkan apa pun yang ia impikan.” Kata Wage, mencoba untuk meyakinkan Dasri jika tak perlu merisaukan apa pun.
   Mendapatkan apa pun yang diimpikan putrinya? Pastilah akan sangat menyenangkan. Terlebih sampai detik ini, ia tak bisa sekalipun membahagiakan ketiga putrinya.
   Dasri menatap luar rumah, melihat Parti dan Wati yang duduk sambil melihat kawan-kawannya naik sepeda. Sungguh, setiap Dasri melihat pemandangan seperti itu, hatinya terasa pilu. Andai dia memiliki banyak uang, pastilah ia akan membelikan ketiga putrinya sepeda. Agar mereka bisa ikut bermain, agar ketiga putrinya tidak hanya bisa memandang dengan penuh harap seperti itu.
   “Jadi, siapa yang hendak kalian ambil? Benar kalian akan menyekolahkannya, toh? Membelikan apa pun yang mereka impikan? Ndhak bohong?” tanya Dasri seolah meyakinkan dirinya sendiri.
   Wage dan Supiyah tersenyum lagi, keduanya kini menggenggam bahu Dasri erat-erat.
   “Percayalah, Mbakyu. Kami ndhak berdusta. Jika ingin, kami ingin membawa....” kata Supiyah terputus. Ia memandang wajah suaminya, sebab ia tak tahu. Apakah apa yang diinginkan akan sama dengan apa yang diinginkan oleh suaminya.
   “Kami ingin membawa Nurlela ikut serta bersama kami pergi ke Jawa Timur, Mbakyu.”
   Napas Dasri tersengal mendengar jawaban Wage. Nurlela?
   “Biarkan, biarkan aku memikirkan lagi perkara ini, Dik. Ini sungguhlah berat. Meski kalian menjanjikan akan membahagiakan dan menyekolahkan Nurlela, tetap saja. Aku... aku ndhak pernah bermimpi akan berpisah dengannya.”
   Nurlela tak bisa mendengar percakapan tiga orang dewasa itu lagi. Hatinya bagai dihantam sembilu tatkala mendengar percakapan orang-orang dewasa yang ada di rumahnya itu.
   Awalnya, Nurlela ingin kembali ke rumah, ingin menaruh roknya di dalam kamar. Namun, saat telinganya menangkap percakapan penting emaknya berserta Paklik dan Buliknya, mau tak mau Nurlela mengurungkan diri. Tujuannya, bukan untuk menguping. Ia hanya takut akan mengganggu percakapan itu. Namun, siapa sangka jika kegiatan mendengarnya membuatnya mengetahui berita yang teramat menyakitkan. Jika ia akan dipisahkan dari emaknya.
   Sungguh, meski ia tak makan berhari-hari, meski ia tak memiliki sepeda seperti kawan-kawannya, pun dengan pakaian bagus. Nurlela tak pernah ingin, berpisah dari emaknya. Sebab bagi Nurlela, emaknya adalah surganya. Emaknya adalah segalanya yang selalu ingin ia lindungi. Akan tetapi, bagaimana jadinya jika kepergiannya akan mengurangi beban emaknya?
   Nurlela berlari sekuat tenaga. Bahkan ia mengabaikan pertanyaan Parti dan Wati yang terheran dengan tingkah anehnya. Dia terus berlari, sampai berada di dekat rel kereta api. Membiarkan rambut sepunggungnya tersapu hempasan angin akibat kereta yang lewat dengan suaranya yang bising. Dia pun memecahkan tangisannya di sana.
   “Nur ndhak mau pisah sama Emak!!!” teriaknya dengan tangisan pilu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #romance