🍁 33. Melihatmu 🍁

Assalamualaikum, temans. Rindu datang setelah sekian purnama absen. Selamat membaca🥰

Rindu berdiri di atas batu besar, di tengah aliran sungai. Wajahnya mengarah ke matahari terbenam. Gemericik air membuat suasana sore terasa makin sejuk setelah sehari penuh tersengat panas.

Puas menatap ke kejauhan, Rindu duduk di batu. Dia mencelupkan kakinya yang memang tak beralas ke air. Matanya memperhatikan air yang jernih sampai batu-batu di dasar sungai terlihat jelas. Warnanya pun terlihat jelas dan dapat dibedakan antara satu batu dengan lainnya. Beberapa kali, kepalanya mendongak hanya untuk melihat kawanan burung yang terbang pulang.

Indah, batin Rindu. Segala kegiatan di alam bebas menurutnya indah. Menenteramkan hati, lalu memunculkan rasa damai yang tak bisa didapat di tempat mana pun. Itulah alasannya untuk selalu kembali melakukan kegiatan di alam meski dengan segala keterbatasan fasilitas.

Hari ini, tahun kedua dirinya lulus dan teman-teman Mapalanya mengundang ke acara kemping di bumi perkemahan, di pinggiran kota tempat tinggalnya. Dirinya didaulat untuk membagikan pengalaman bagaimana bertahan di alam dengan logistik terbatas yang ketika kita masih ada kegiatan, tetapi perbekalan hampir tak ada.

Rindu tidak pusing. Dengan santai dia menjelaskan bahwa kegiatan macam ini hanya cocok dilakukan oleh orang-orang tangguh atau bersedia dibentuk supaya menjadi tangguh. Asal ada tumbuhan dan sungai atau sawah maka makanan pasti ada, begitu kata Rindu pada adik-adik Mapala.

"Mbak Rindu!"

Panggilan itu membuat keterdiaman Rindu terputus. Dia menoleh dan mendapati Ika dengan bungkusan daun pisang di tangan. "Bawa apa?" tanya Rindu setelah menatap tangan Ika sekilas.

"Ulat daun pisang," jawab Ika mengulurkan bungkusan daun pada Rindu," katanya mau mancing belut?"

Rindu bangkit, lalu melompat dari satu batu ke batu lainnya sampai tepi sungai. "Ayo, berangkat!" Tanpa menerima bungkusan dari tangan Ika, Rindu berlalu menuju sawah orang, lalu berjalan di pematangnya. 

"Mbak Rindu …." Panggilan lain menyapa pendengaran Rindu, membuat gadis itu mengedarkan pandang, mencari arah suara.

Empat orang berdiri di pematang tengah sawah. Tangannya melambai memanggil Rindu, mengisyaratkan supaya Rindu mendekat. "Ngapain?" tanya Rindu sedikit keras.

"Mancing belut," jawab salah satu dari adik Mapala.

"Dapat?" Alis Rindu bertaut, kemudian melihat gelengan mereka. "Aku nggak mau mancing di situ, belutnya kecil."

Rindu berlalu setelah selesai dengan kalimatnya. Tanpa dikomando, empat adik tingkatnya mengekor menuju ke daerah tempat irigasi dibuat. Begitu sampai, Rindu membuka tas paha dan mulai mengeluarkan kail, tali, dan semua peralatan yang diperlukan.

*****

"Lama banget mandinya, Ndu?"

Rindu menjatuhkan peralatan mandinya saat mendengar suara itu. Telinganya tak salah dengar, 'kan? Itu seperti suara Segara. Suara yang tak pernah lagi dia dengar sejak ucapan terima kasih orang tuanya saat wisuda.

"Ndu?"

"Apa …?" Secepat yang dia bisa, Rindu berbalik.

Demi apa Rindu melihat Segara di sini? Telinganya berfungsi dengan baik dan dia sedang tidak berhalusinasi. Itu memang dosen yang menyelamatkannya dari ancaman drop out. 

Sejak tiba di tempat ini, Rindu memang sudah melihat Segara. Namun, dia berpikir bahwa itu mungkin hanya khayalan. Dia mengalihkan fokus ke mana saja supaya tidak melihat ke arah yang sama atau di sudut mana pun pria itu terlihat. Rupanya, dosen cerdas itu nyata dan bukan lamunan.

"Selamat sore, Pak." Rindu tak pernah melupakan tata krama didikan orang tuanya. Dia menyapa Segara dengan sopan. "Apa yang Bapak lakukan di sini?"

"Jangan bersikap resmi begitu!" kata Segara santai. "Ini bukan kampus."

Memang bukan kampus. Tak ada yang berkata seperti itu. Namun, Rindu tak tahu apa alasan keberadaan sang dosen di tempat ini. Tak ada satu buku pun yang bisa dibaca. Jadi, bisa dikatakan bukan tempat bagi Segara untuk datang.

"Ngapain di sini?" Rindu mengulang pertanyaan, dengan nada yang lebih santai.

"Nungguin kamu mandi!" Santai saja cara Segara berbicara, tetapi sanggup membuat mata Rindu membola.

"Kalau begitu, terima kasih!" ucap Rindu sopan, menolak segala keinginan untuk mempertanyakan maksud Segara dan alasan dari tindakan yang menurutnya kurang kerjaan. Lebih baik berlalu dan segera mengisi perutnya yang sudah terasa lapar. Lagi pula, mengapa harus menunggui orang mandi? Selama mengikuti kegiatan ini, belum pernah satu kali pun Rindu meminta teman untuk menungguinya mandi. Sungai ini memiliki kedalaman yang cukup untuk merendam tubuh, Banyak batu besar dan semak yang bisa dijadikan sebagai pelindung. 

"Sabunmu, Ndu!"

Rindu berbalik dan mendapati Segara sedang membungkuk, mengambil plastik berisi peralatan mandinya. Dia hanya tersenyum segaris mengambil barangnya di tangan Segara. Kemudian, kakinya mundur dua langkah sebelum pergi dari tempat itu dalam langkah lebar.

"Mbak Rindu!" panggil seseorang setelah Rindu meletakkan sabun dan menjemur handuk di ranting pohon. "Gimana, sih, bikin api dari ranting-ranting? Mati terus dari tadi."

"Mancing belut nggak iso, nyalain api … nggak iso. Hampir setahun jadi anak Mapala, ngapain aja?" 

Heran, memancing belut hanya dengan mengaitkan umpan di kail, kemudian memasukkannya ke lubang belut saja tidak bisa. Kemudian, membuat sambal saja masih bertanya. Rindu pikir, mungkin anak-anak ini sebenarnya tipe anak mama yang hanya ingin piknik dan ingin destinasi yang lebih menantang. Jadi, begitulah yang terjadi. Merepotkan orang lain.

"Mbak Rindu jangan pelit bagi ilmu, lah!"

"Hei, Cumi!" Rindu berkacak pinggang. "Kalau aku pelit bagi ilmu, nggak makan kamu hari ini. Teman-temanmu bawa belut gede-gede, kamu pikir iku tuku ndek endi?"

"Ya maaf!" 

Anak itu cengengesan, membuat Rindu jengkel setengah mati. Daripada naik darah, lebih baik mendatangi perapian di mana teman-teman sedang membakar belut hasil pancingannya. Mendengar ocehan yang kadang hanya berniat menggoda dirinya bisa sangat menjengkelkan kalau ditanggapi terus-menerus.

"Mbak Rindu, bikin sambal dong!"

Baru saja Rindu duduk di dekat perapian, ada gadis manis menyodorkan bungkusan cabai dan tomat. Kalau ingatannya benar, anak itu sudah menjadi anggota Mapala sejak dua tahun terakhir. "Bikinnya di sungai!" kata Rindu menunjuk ke belakangnya tanpa menoleh, "banyak batu di sana!" 

Seingat Rindu, kehadirannya kemping dengan adik-adik tingkat ini adalah untuk berbagi pengalaman. Bagaimana mengelola perbekalan dengan peralatan minim serta mencari bahan pangan di alam tanpa merusak ekosistem. Bukannya meladeni permintaan-permintaan manja dan sepele.

"Kalau membakar belut ini supaya lebih matang, bagaimana?"

Rindu menatap belut yang sudah ditusuk bambu di depannya. Kepalanya menoleh, lalu melihat Segara yang menatapnya dengan sebelah alis mencuat ke atas. Bisa tidak, sedikit saja, pria ini menjauh darinya alih-alih mendekat dan mencari kesempatan dengan banyak alasan?

"Tinggal taro aja di api, Pak!" kata Rindu tegas. "Nanti, pasti matang."

Segara meletakkan belut di atas bara. Menurut Rindu, bukan di atas bara, tetapi benar-benar di dalam api. Dia menarik napas sebelum mengambil lauk Segara dan meletakkannya di atas bara yang kecil. Membuat makanan sendiri saja tak bisa, bagaimana bisa pergi berkemah? Angin apa yang membuat sang dosen harus mengikuti kegiatan semacam ini? Apakah kampus sudah tak menarik atau proyeknya ngadat?

Saat menikmati makan malam bersama, Rindu makan lahap seperti biasa. Mau seperti apa pun rasa makanannya, tak pernah ada protes yang terucap. Di tempat begini, bisa makan itu harus bersyukur. 

Hampir setengah makanannya habis, ekor mata Rindu menangkap gerakan Segara yang duduk di sisi kirinya. Pria itu meletakkan nasi beralas daun jati sambil menyeka dahi berkali-kali. Otaknya memerintahkan untuk menjauh, tetapi hatinya tidak. 

Tanpa banyak kata, Rindu menuang kecap di sambal Segara, mengaduknya sebentar, lalu, "Sekarang sudah nggak pedas lagi," ujarnya, "Bapak bisa menghabiskan makanan."

Akhirnya ketemu setelah mencari sampe ubanan, ya, Pak? Makanya diperjelas😝😝

Oh iyaa ... Btw CLBK repost tuh. Yang dulu ketinggalan, buruan merapat.

Love, Rain❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top