🍁 23. Istimewa 🍁
Assalamualaikum, temans. Met malem. Nggak terlalu malam buat update Rindu, 'kan?
"Bagus. Setelah menghilang selama berminggu-minggu, sekarang duduk ngadepin laptop kaya orang nggak punya dosa."
Rindu tak menggubris ucapan Putra yang baru saja tiba di sekretariat Mapala. Sudah menjadi kebiasaan temannya yang satu itu akan datang dengan mengomel. Lagi pula, pekerjaannya sedang nanggung. Bisa lupa kalau dia menanggapi ucapan Putra yang bisa menjadi panjang kalau mendapat respons.
"Sudah ngilang, cuek lagi sekarang!" Putra mengambil laptop Rindu dan membawanya menjauh.
"Masalahmu apa, sih, Put?" Rindu berusaha mengambil kembali laptopnya, tetapi Adiyanto mengambil benda itu dari tangan Putra dan membawanya makin jauh.
"Bikin apa, sih, Pacar?" Adiyanto duduk di kursi lain seraya menatap laptop Rindu. "Jangkrik ... sudah bikin class diagram dia. Kenceng banget, sih, kerjamu. Gimana tiba-tiba jadi pinter banget?"
"Masalahnya apa kalau dia sudah sampai situ? B aja kali Ndes!" Putra melirik Adiyanto dengan tatapan aneh.
"Kebiasaan begonya!" Adiyanto menoyor kepala Putra. "Kalau dia sudah sampai sini, artinya activity diagram yang empat belas biji itu sudah lewat."
"Asem!" Putra mendekati Adiyanto untuk memastikan sendiri pekerjaan Rindu. "Demi apa kamu sudah bikin sejauh ini, Pacar?"
"Rindu on board. Speed-nya 210km/jam." Galang muncul dengan sekantong gorengan di tangan. "So, sudah ngerti kualitas anak didiknya Pak Gara?"
"On board!" Putra berdecak sambil berkacak pinggang. "Dikira dia main di motogp?"
"Apa pun omelan kalian, nyatanya Rindu sudah mengerjakan sampai situ. Sedikit lagi dia selesai dan melenggang ke sidang. Kamu berdua mesti jatuh bangun kalau mau wisuda bareng." Galang mengambil laptop di depan Adiyanto dan mengembalikannya pada Rindu. "Nggak usah ngintip kerjaan orang! Sudah pasti kalian berdua nggak ngerti."
"Dari mana?" Rindu menatap Galang setelah mendekap laptopnya. "Nggak mungkin kerja kalau jam segini sudah nongol di sini."
"Naik jabatan, Ndu. Alhamdulillah. Nggak secepat pacarmu memang, tapi aku bersyukur. Lagian, ini sudah jam lima."
"Pacarku?" Alis Rindu bertaut. Bingung dengan ucapan Galang. Seingatnya, pacarnya sudah jadi Kaprodi sejak dia masuk ke kampus ini.
"Mas Raga."
"Seperti pernah dengar nama itu. Tapi, di mana?"
"Baguslah kalau sudah move on," ucap Galang seraya mendorong gorengan ke depan Rindu. "Makan dulu, nih. Nanti habis maghrib kutraktir nasi bebek."
"Mas Galang kumat." Putra mengambil tape goreng dari kantong plastik. "Nggak usah pakai kekuatan finansial gitu kalau sama Rindu! Kaya gitu itu udah nunjukin kalau aku bukan apa-apa."
"Memang kamu bukan apa-apa," sahut Galang acuh tak acuh. "Kuliah aja nggak ada tujuannya. Habis lulus juga mau ngapain?"
"Ndu, Rindu ...." Adiyanto duduk di depan Rindu. "Ajari bikin activity diagram! "
"Malas, aku mau manjat ke Lembah Kera dulu!" tolak Rindu. Dia ingat saat dirinya mati-matian membaca dan Adiyanto mengatakan kalau lebih baik panjat tebing di Lembah Kera.
"Kamu balas aku!" Adiyanto cengengesan. "Jangan gitulah jadi pacar! Nggak baik punya dendam berkepanjangan."
"Dendam dari mana?" tanya Rindu sengit. "Jelas-jelas kamu yang dari awal ngatain aku. Ingat nggak pas kamu bilang mau santai ngerjakan tugas akhir karena nggak punya tenggat kaya aku? Kamu pikir enak mau kena DO?"
"Nggak gitu maksudku, Ndu!"
"Sudahlah!" Rindu melunak, "nggak usah dibahas. Aku memang sebego itu sampai tugas akhir aja kukerjakan karena ancaman DO. Pergi ke Tante Leni sana! Dia lebih dari mampu kalau cuma ngurusin activity diagram."
"Widih ... Tante Leni. Mulai kapan kamu manggil dia begitu?"
"Mulai aku bisa ngomong."
"Cukup!" Galang menengahi. "Apa, sih, yang kalian ributkan?" Matanya menatap Putra dan Adiyanto bergantian. "Sudah benar Rindu serius dengan tugas akhir, kalian sendiri yang selalu bilang dia tenggat. Kenapa sekarang ngeluh? Punya pembimbing sendiri-sendiri, nggak usah saling merepotkan kalau ujung-ujungnya ngomel!"
"Bukan aku yang mulai!" Rindu tak terima.
"Kamu pelit banget nggak mau ngajarin!" Meski suara Adiyanto pelan, Rindu tetap merasa sebal.
"Hei, Cumi! Aku sudah kena tenggat. Nggak akan kelar pekerjaanku kalau ngajarin kamu!"
"Dikit, Ndu ...." Putra meraup wajah dengan kedua tangan. "Frustrasi aku lihat diagram-diagram."
"Mau frustrasi kaya gimana pun, itu tetap dibikin." Aku bahkan sudah pernah nangis di depan Pak Gara. Kejadian yang akan tetap dirahasiakan Rindu dari temannya meski dalam kejengkelan seperti sekarang. "Aku nggak bisa ngajarin sesuatu yang bukan keahlianku. Tante Leni pasti juga ngerti."
"Itu fungsinya dosen pembimbing." Galang mengetuk dahi Putra dan Adiyanto bergantian. "Sudah kubilang sejak awal, 'kan? Waktu itu, kalian ngetawain Rindu pas dapat Pak Gara sebagai pembimbing. Ya mestinya kalian konsekuen, katamu ... Bu Leni lebih manusiawi. Dibuktikan, dong!"
"Kabur, ah ... males dengerin kalian ngomel." Rindu bangkit, menjinjing laptop dan tasnya sebelum beranjak."
"Ke mana, Ndu?" teriak Putra. "Kami gimana?"
"Urus kerjaanmu sendiri!" sahut Rindu tanpa menoleh. "Aku mau ke tempat Pak Gara."
Rindu enggan menanggapi ucapan Putra lebih jauh. Menyusun tugas akhirnya sendiri saja dia pusing, bagaimana mau sok pintar dengan mengajari temannya. Dia mungkin mengerti apa yang sudah dibuat, tetapi itu bukan jaminan pekerjaannya sempurna. Seperti biasa, Segara selalu menemukan celah pada setiap pekerjaan untuk menjadi bahan revisi.
***
Rindu masuk ke ruang kerja Segara setelah mengetuk pintu. Sepi, pikirnya. Ke mana perginya mahasiswa yang biasa bimbingan? Dia melirik jam di pergelangan tangan, masih jam lima sore dan tak biasanya sesepi ini.
"Kok sepi?" komentar Rindu. "Nggak ada yang datang bimbingan, Kangmas?"
"Nggak ada," jawab Segara singkat. "Saya masih belum nerima bimbingan. Saya sudah bilang tentang itu, 'kan, sebelum kita ke Malaysia?"
"Kupikir, nggak akan selama ini."
"Makanya saya ajak kamu karena saya nggak main-main dengan hal itu. Kamu mau ngapain kemari?"
"Bimbingan."
"Enak bener jadi kamu," tutur Segara seraya mengetikkan sesuatu di komputer yang ada di samping kanannya. "Bisa bimbingan kapan saja."
"Karena pacar, makanya bisa gitu. Coba kalau bukan, ya bakalan sama saja dengan yang lain."
"Kamu sudah bagi Drive-nya?"
"Sudah."
Segara berputar menghadap Rindu di mana laptop ada di meja yang membatasi mereka. Kemudian, dia tahu kalau dosennya sedang meneliti hasil tulisannya melalui google drive. Saat seperti ini, dirinya hanya diam dan memperhatikan wajah pria yang belakangan dia sadari makin menarik. Raut serius itu bahkan terlihat tetap menyenangkan meskipun tanpa senyum.
"Sudah bener," komentar Segara. "Bisa kamu lanjutkan ke sequence diagram."
"Uhm ...."
"Apa?" Segara memperhatikan Rindu dengan saksama.
"Nggak bisa."
"Baca! Saya, 'kan, sudah ngomong itu berulang-ulang. Heran, kenapa, 'sih, anak-anak sekarang itu susah banget disuruh membaca?"
"Aku sudah baca, Kangmas! Tapi, tetap nggak bisa. Semua sudah dibaca. Buku yang Kangmas kasih, contoh tugas akhir punya Desta. Mataku sampai juling. Tapi, kalau nggak ngerti, ya, nggak ngerti aja!"
"Jadi, kamu nggak ngerti?" Segara memastikan. "Ya sudah, saya contohkan biar kamu bisa mengerjakan lagi."
"Pak Gara selamat sore ...."
Demi apa Tante Leni harus datang ke tempat ini? Rindu ngomel dalam hati. Ini sudah sangat sore dan semestinya sudah tidak ada hal yang bisa dibicarakan. Jam kerja normal sudah berakhir. Rindu sempat memutar matanya sebal, tak peduli lirikan Segara yang segera memberikan perhatian pada tantenya.
"Sore," balas Segara ramah, "ada apa, Bu Leni? Tumben kemari sore-sore?"
"Masih mau melengkapi berkas. Bapak sudah?"
"Sudah."
"Cocok sudah kalau jadi asesor. Apa-apanya serba gercep."
Asesor? Tanpa sadar, Rindu mengangkat sebelah alis. Namun, tidak ada rasa heran di hatinya. Segara tetaplah Segara. Selagi bisa mengerjakan segala sesuatu maka itu pasti dikerjakan. Yang pikirannya herankan, mengapa dosen sekaligus kekasihnya ini tak pernah lelah belajar?
"Kebetulan saja berkasnya memang siap semua. Jadi, tinggal menggabungkan saja sesuai keperluan."
"Bapak sibuk, 'kah?"
Inilah yang sering dimaksud Rindu sebagai pertanyaan bodoh yang kerap dilontarkan oleh orang pintar. Sudah tahu ada dirinya duduk di depan Segara, sudah pasti sibuk. Bimbingan, bukan ngobrol. Bukankah mereka sama-sama punya mahasiswa yang harus dibimbing tugas akhirnya? Kenapa masih pura-pura bodoh?
"Sedikit," jawab Segara. "Bimbingan dan ada kelas dalam tiga puluh menit. Bu Leni ada perlu dengan saya?"
Untung Segara mengatakan kalau memang ada kesibukan. Seandainya pria itu mengatakan tidak, bisa dipastikan kalau Rindu akan memprotes kekasihnya dari pagi sampai sore. Tidak perlu bermanis-manis, bukan dalam rangka tebar pesona.
"Kalau begitu, saya besok saja. Bapak diminta menghadap Bu Dekan."
"Baik."
"Saya permisi, Pak."
Segara mengangguk. "Terima kasih sudah menyampaikan pesan, Bu Leni." Fokus Segara kembali pada Rindu. "Kenapa mukamu itu? Mendadak nggak enak dilihat."
"Nggak apa-apa."
"Nggak apa-apanya perempuan itu masalah. Ndu dengar, kalau ada hal nggak ngenakin di pikiranmu, kamu harus ngomong! Saya nggak bisa baca pikiran."
"Iya."
"Kenapa masih begitu mukanya?" Segara mengusap alis Rindu yang berkerut. "Ekspresi ini seperti sedang menuduh saya. Saya nggak punya salah sama kamu."
"Memang."
"Lalu? Bete sama Bu Leni? Pernah dikasih nilai jelek sama dia?"
"Nggak ada yang kasih nilai jelek ke aku selain Kangmas."
"Saya juga yang sekarang bertugas memperbaikinya, 'kan?"
"Memperbaiki gimana? Perkuliahan sudah berakhir."
"Harus dapat nilai A di tugas akhir."
"Iya, sih," bisik Rindu tak yakin, "meski mustahil aku dapat A. Dapat B saja sudah senang. Yang penting lulus."
"Nggak ada yang mustahil, Ndu!"
"Iya." Rindu memang mengiyakan, tetapi hatinya tetap mengingkari. Dia tahu kapasitas dirinya.
"Kasih contohnya besok saja, ya? Kamu datanglah ke rumah. Saya ngadep Bu Dekan dulu daripada pulang kemalaman kalau saya ke sana setelah kelas."
Rindu menarik napas panjang. "Baiklah," sahutnya, lalu mengembuskan napas. Dia berdiri, "Aku pulang dulu! Eh ... mau makan nasi bebek. Ditraktir Mas Galang."
"Ndu," panggil Segara, "kamu nggak lupa sesuatu?"
"Nggak." Rindu mengamati meja Segara. Tidak ada barangnya yang tertinggal di sana. "Nggak ngeluarin apa-apa selain laptop."
Segara berdiri, lalu berjalan mendekati Rindu. "Ini yang ketinggalan." Sebuah kecupan manis mendarat di bibir Rindu. "Jangan makan berdua dengan pria selain saya! Kalau kamu kepengin makan bebek, tunggu di rumah! Saya yang akan mengirimnya untukmu."
Kalo gini ceritanya, yang modus itu Kangmasnya. Iya apa iya?
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top