🍁 9. Sisi Lain 🍁
Malam, temans ....
Maafkanlah, kemarin aku lupa update😅
Pas sudah ingat, wp nya yang eror. Atau koneksiku yang lagi ngambek.
Gantinya sekarang gpp, yaaa. Selamat membaca.
Rindu menepis segala rasa tak enak di hati. Segara berhasil mengembalikan dirinya pada tugas akhir. Gadis itu duduk tenang di pojok ruangan, dengan laptop menyala, dan mengetik rangkaian kalimat setelah membaca beberapa contoh tugas akhir.
Rindu sedang bersemangat. Pengertian Segara membuat kemalasannya pergi dan digantikan antusias tinggi. Dia tak tahu bagaimana tugas akhir ini akan selesai, tetapi berjuang semaksimal mungkin adalah hal yang sedang dilakukannya.
Awalnya, Rindu memanggil Segara dengan nada pelan dan takut-takut. Namun, kepercayaan dirinya muncul saat Segara memberi penjelasan. Mengarahkan bagaimana kesalahannya diperbaiki serta menambahkan detail-detail yang sudah pasti terlewatkan olehnya. Dia mencatat semua dengan cepat sebelum merangkainya dalam kalimat yang disusun dalam bab satu.
Entah apa yang terjadi, Rindu tidak lagi merasa takut atau gelisah. Segara mengajarinya, menunjukkan kesalahan-kesalahan serta memberikan stimulus bagaimana harus memperbaiki kesalahan. Dia bisa menyimpulkan bahwa pria itu bukan tipe orang yang memberikan uang kepada pengemis, tetapi memberi pekerjaan untuk menghasilkan uang.
Apakah Rindu bekerja dengan cepat? Jangan harap! Meskipun diawasi dan dibimbing langsung oleh Segara, nyatanya dia baru diizinkan pulang pada pukul delapan malam. Itu pun setelah sang dosen kembali dari kelas terakhirnya dan tentu saja menyempatkan diri memeriksa pekerjaannya lebih dulu.
***
Rindu melangkah gontai memasuki rumahnya. Rasanya lelah sekali. Badannya lengket, kepalanya berdenyut, dan perutnya lapar. Hari ini terasa berat. Membaca bisa sangat melelahkan serta membuat matanya pedih.
"Bagus, main terus sampai lupa pulang." Rindu belum meletakkan tas, tetapi suara Rina, mamanya, sudah menyambut."
"Capek, Ma." Rindu meletakkan tasnya begitu saja, lalu berbaring di karpet ruang tengah. Tak mengapa mamanya marah, asal bisa meluruskan punggung.
"Lama-lama, Mama bisa mati muda ngomelin kamu terus. Salah, ya, kalau Mama pengin punya anak sarjana?"
Itu lagi yang didengar Rindu selama sebulan terakhir. Dia sedang mengusahakan dan omelan bukanlah hal yang ingin didengar. Sedikit saja, Rindu ingin mendapat dukungan supaya mental yang sudah jatuh ini sedikit bangkit dan membuatnya berjalan meski tertatih.
"Rindu sedang berusaha, Ma. Jangan marah terus!"
"Ya wajar mamamu marah, kamunya dolan terus," tukas Dayat, papanya, tanpa mengalihkan fokus dari pekerjaan. "Kemarin malah dagangan alat-alat kemping datang dan sepanjang sore, ada saja yang datang mengambil. Begitu yang kamu bilang usaha?"
"Usaha cari duit itu, bukan usaha jadi sarjana," tukas Rina, "yang serius gitu, Ndu, kamu itu."
"Ya serius, Ma. Kalau nggak serius, ngapain Rindu sampai selelah ini?"
"Memang kamu dari mana?"
"Bimbingan tugas akhir."
"Bimbingan tugas akhir?" Rina mencebik, "mana ada dosen yang bersedia bimbingan semalam ini?"
"Buktinya ada." Rindu bangkit, berniat untuk membersihkan tubuh. "Aku mau mandi dulu, Ma. Mama bikin bening bayam, 'kan?"
Orang tua Rindu memang tidak berkomentar ketika putrinya pergi ke kamar untuk membersihkan diri. Mereka juga tidak memprotes lebih jauh saat Rindu mengatakan tentang bimbingan tugas akhir meskipun jamnya di luar nalar mereka. Begitu juga dengan pekerjaan yang kata sang anak bisa menghasilkan cukup uang.
Ketenangan Rindu hanya sebentar. Orang tuanya menunggu di meja makan. Mamanya bahkan telah menyiapkan nasi di piring. Dia sudah hafal kebiasaan ini di luar kepala.
Rindu duduk di tempatnya, di samping kiri papanya. Mamanya di sebelah kanan bersama Bayu, adiknya yang berusia dua belas tahun. Adik yang selalu asyik dengan dunianya sendiri tanpa peduli keberadaan Rindu. Perlu diganggu supaya bereaksi, kemudian menyadari keberadaannya.
Rindu menikmati bening bayam dan udang balado kesukaannya dengan penuh syukur. Setelah seharian menguras energi, ini adalah makanan yang layak disantapnya. Di kampus, dia hanya sempat makan gorengan, dan tidak ada makanan lagi setelah itu.
"Ndu, Mama mau kamu itu benar-benar serius membuat tugas akhir." Rina memulai kembali topik yang membuat Rindu malas. "Jangan sampai gagal!"
"Lama-lama Papa usir kamu kalau cuma janji-janji terus." Dayat, papanya menimpali. "Iya-iya, nyatanya sampai semester dua belas nggak kelar juga. Lahir nggak bego, padahal."
Rindu terus menikmati makan malamnya, tetapi telinganya terus menyimak ucapan orang tuanya. Sebadung-badungnya dia, tak pernah ada dalam kamusnya untuk membantah. Kalaupun tidak sesuai dengan hatinya, mulutnya akan tetap diam. Otaknya berputar, mengolah kata supaya kalimatnya tetap sopan dan tidak membuat tersinggung.
"Sudah diusahakan, Ma, Pa," jawab Rindu kalem. Lupakanlah bagaimana dia menangis sampai kalimatnya berhamburan tanpa aturan di depan Segara, di depan orang tuanya, hormat adalah nomor satu.
"Pulangmu itu malam terus. Jam berapa kamu urus tugas akhirmu?" cecar Rina.
"Tadi itu di kantor dosen, Ma. Aku ngerjakan di sana."
"Cekik saja mamamu ini, Ndu! Mama malu sama saudara-saudara. Anak bude dan pakdemu, om dan tantemu. Yang kuliah sudah sarjana semua. Yang sarjana sudah pada kerja enak. Kamu itu kebanyakan alasan."
"Mamamu benar." Dayat mendorong piring kosongnya, lalu menarik sepiring agar-agar. "Papa hanya berharap apa yang kamu bilang itu benar."
"Itu benar, kok, Pa. Aku memang revisi tugas akhir sampai malam gini."
"Kok ada dosen yang mau nurutin kamu sampai malam gini. Memangnya dia nggak ada kerjaan di rumah?"
"Ya, nggak tahu, Ma. Buktinya Pak Segara bikin aku kerja sampai malam. Sampai aku pulang, beliau bahkan masih di kampus."
"Waktu yang akan membuktikan ucapanmu benar atau tidak. Papa nggak bakal omong apa-apa lagi. Kamu dipercaya dan Papa harap tidak berkhianat."
"Papa nggak percaya sama anak sendiri?" tanya Rindu sambil mendorong piringnya yang sudah kosong juga.
"Kamu itu kalau dikasih tahu selalu begitu." Rina terlihat gemas. "Usahakan sarjana! Biar nggak kalah dengan sepupu-sepupumu. Nggak ada Raga yang bisa bikin hidupmu langsung nyaman setelah menikah. Dia sudah nggak ada."
"Nggak sama Mas Raga juga bisa nyaman." Rindu menjawab cepat mendengar nama Raga disebut. Dia tidak terima ketika kenyamanan masa depannya masih dihubungkan dengan orang yang telah tiada. Meskipun sakit, nama itu harus segera ditepis dari hatinya.
"Makanya sarjana, Rindu! Biar perusahaan mana pun nggak menolak CV-mu!"
Rindu berdecak tak suka mendengar omongan papanya. "Rindu nggak mau jadi pegawai."
"Terus maunya apa?" tegas Rina. "Dikuliahkan biar bisa kerja, malah nggak mau kerja."
"Mau jadi pemilik usaha, biar nggak diperintah orang."
"Ya kalau kamunya nggak sarjana, mana bisa begitu?"
Rindu diam. Percuma ngomong dengan orang tua yang pikirannya kuno. Harus sarjana biar bisa kerja enak dan hidup layak seolah tidak ada pekerjaan lain selain menjadi karyawan. Dia kesal merasa keinginannya terhalang.
"Ya, sudah." Dayat menengahi. "Kalau kamu lulus sarjana, Papa modalin buat bikin usaha."
"Papa ini apa-apaan pakai bilang modalin, nanti ujung-ujungnya kita yang repot."
"Pokoknya Rindu bisa lulus, tak apa-apa, Ma."
"Benaran Papa mau modalin?"
"Asal sarjana, itu catatannya."
"Pertanyaannya, kapan sarjana?"
"Sekarang, Mama tanya kapan sarjana? Nanti, setelah sarjana, Mama akan tanya kapan nikah?"
"Rindu!"
"La iya, 'kan, Ma?"
"Setelah Raga, Mama mesti mikir kalau mau menerima menantu. Mesti yang sudah jelas pekerjaannya dan mapan."
Rindu memutar bola matanya malas. "Nanti, Rindu dapat suami yang ganteng, dewasa, dan sudah mapan. Saat itu, Mama juga pasti akan lupa sama Mas Raga."
Mendadak, bayangan Segara melintas di kepala Rindu. Astaga! Demi apa wajah Pak Kaprodi killer itu muncul di saat-saat seperti ini?
Hayo looo, mulai bayang-bayangin bapaknya. Gak bahaya, ta?
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top