🍁 7. Terkhianati 🍁

Malam, temans ... Rindu hadir tepat waktu, ya. Selamat membaca 👌👌

Rindu menatap temannya satu per satu. Adiyanto, Putra, Leni, dan Ika. Mereka semua saling pandang, lalu mengalihkan tatapan. Ke mana saja, asal tak membalas tatapannya.

"Kalian semua, bersekongkol menutupi kebohongan Mas Raga yang telah mengkhianati aku. Kalian bantu menyembunyikan pengkhianatan mereka dan memilih untuk berpura-pura tak tahu apa-apa. Salahku apa, sih, ke kalian?" Rindu tak lagi bisa mengontrol emosinya. "Aku lagi yang disebut pelakor."

"Ndu ...." Ika urung melanjutkan kata-katanya.

"Kami bisa apa, Ndu?" Adiyanto terlihat pasrah. "Kamu, Raga, Jeni. Kita semua berteman."

"Teman nggak makan teman, Di." Rindu semakin murka. "Minimal kalian bisa membicarakannya denganku pelan-pelan."

Tidak ada alasan yang bisa diterima Rindu. Ingatannya timbul tenggelam memikirkan kejadian-kejadian yang terjadi beberapa waktu belakangan. Mengira-ngira, kapan tepatnya kebohongan itu dimulai dan teman-temannya bersekongkol untuk menutupi kenyataan yang ada.

Kemarin, Rindu memang hanya diam saja. Rasa terkejut mendominasi segalanya, menumpulkan pikiran, dan memboikot akal sehat. Ditambah seluruh kenyataan yang ada, semua terasa seperti pukulan bertubi-tubi.

Perlahan, saat Rindu bisa mencerna seluruh kejadian satu per satu, kemudian menyambungnya menjadi rangkaian peristiwa, semuanya mengerucut jadi lebih sederhana. Raga mengkhianatinya dan teman-teman bersekongkol menutupinya.

"Kita semua teman, Ndu."

Ah, ya, Rindu hampir lupa. Teman biasa menutupi keburukan teman. Tidak peduli kalau itu pun bisa seperti melindungi api dalam sekam.

"Iya, teman. Tapi, teman laknat!"

Rindu gagal mengendalikan lisan. Dia hanyut oleh emosi. Kalau sedikit saja, atau salah satu dari temannya ini ada yang berkata jujur atau setidaknya memberi isyarat yang terjadi, rasa sakitnya mungkin tak akan separah ini.

"Bisakah kamu tenang, Ndu?"

"Tenang?" Rindu tak terima mendengar pertanyaan itu. "Aku bahkan nggak teriak-teriak dan membanting sesuatu. Aku hanya bertanya, salahku di mana sampai kalian pun turut menjadi pengkhianat?"

"Orang itu nggak akan bisa tenang kalau merasa dikhianati. Tak hanya satu, tapi seluruh teman-teman." Galang muncul, meletakkan tas kerja, dan membuka jaket, lalu duduk santai.

Mata Rindu menatap sebal ke arah Galang. Pria itu lulusan kampus ini dan sering datang ke sekretariat sepulang kerja atau terlibat banyak pendakian saat bisa. Boleh dikatakan, dia senior aktif dan tidak pelit berbagi ilmu dan strategi berpetualang.

"Aku cuma tanya di mana salahku sampai kalian semua ikut membohongi aku."

"Aku mau tanya." Galang mencoba memberi pengertian pada Rindu. "Misalnya, kamu melihat pacarku punya hubungan sama Adiyanto di belakangku. Kamu bakal bilang sama aku nggak?"

Sudah pasti tidak. Gila apa? Kalau itu terjadi, mana tega dia mengatakan itu pada Galang? Apalagi, mereka sama-sama teman. Serba salah memang, di kondisi seperti itu, dirinya yakin untuk tidak berpihak atau menghakimi salah satu dari mereka.

Perlahan, pemahaman memasuki otak Rindu. Yang terjadi pada teman-temannya pasti sebuah kegalauan. Mau jujur, takut terjadi pertengkaran. Tidak jujur juga pasti akan terbongkar di kemudian hari. Mereka pasti bingung, kemudian memilih untuk tidak berpihak. Tetap menjalani hari seperti biasa adalah keputusan terbaik meski rasa simpati itu menuntut kebenaran untuk diungkap.

"Tapi, kenapa aku yang dituduh sebagai pengkhianatnya?" Rindu masih tak terima. "Kalian tahu, hubunganku dengan Mas Raga itu nggak sebulan atau dua bulan."

"Kamu mengertilah, Ndu. Yang begitu-begitu itu cuma defense."

"Nggak usah sok jadi anak psikologi!"

***

Acara tahlil di rumah Raga baru saja dimulai. Rindu melangkah masuk melalui pintu samping. Ruangan berukuran satu kali dua meter itu hanya berisi rak sepatu, guci tempat payung, dan lemari kecil.

Setelah lorong, ada ruang tengah yang menyatu dengan dapur. Di sana, duduk beberapa tetangga yang membantu. Ada yang meletakkan nasi di piring. Ada juga yang meletakkan potongan daging di atas nasi, kemudian menambahkan sambal dan tauge pendek, lalu ditata di meja besar.

"Nduuu, Nak." Wahyuni menyambut Rindu dan mendekapnya erat. "Terima kasih sudah mau datang."

"Ini titipan dari Mama." Rindu menyelipkan amplop ke tangan Wahyuni dengan senyum yang dipaksakan. "Mama minta maaf karena nggak bisa datang."

"Nggak apa-apa, Nak Rindu." Wahyuni kembali mengusap matanya yang basah. "Kehadiranmu sudah membuat Ibuk merasa senang."

"Rindu ...." Rahma menarik tangan Rindu ke tikar yang digelar dengan lima butir semangka, talenan, dan pisau di atasnya. "Bantu potong semangka saja, ya?"

Rindu mengangguk. Sebentar kemudian, tangannya sudah membelah semangka dan menatanya dalam piring-piring lebar. Rahma sudah menginstruksikan untuk tidak membelah semua semangka.

Saat tahlil selesai, Rindu membantu menyalurkan piring berisi nasi yang sudah disiapkan dan sudah diberi kuah rawon panas. Tak disangka, banyak teman Mapala yang muncul untuk membantu mengoper piring-piring sampai semua tamu mendapatkan bagiannya. Melihat stoples berisi kerupuk udang, Rindu menggesernya ke depan yang langsung diterima oleh para tamu.

Selesai makan, semangka menyusul dihidangkan. Setelah itu, bingkisan berisi makanan dan kue dalam kotak dibagikan. Sudah menjadi adat dalam acara doa memberikan bingkisan untuk dibawa pulang.

Tetangga sudah pulang, menyisakan teman-teman Mapala dan beberapa perempuan yang duduk dalam kelompok kecil bersama Jeni. Semua berbincang akrab, apalagi bapaknya Raga duduk dan menceritakan kronologi kecelakaan. Dalam ceritanya, Rindu baru tahu kalau Raga mengemudi dalam keadaan mengantuk.

Rindu tak ingin mendengar kisah si pengkhianat itu lebih lanjut. Saat dia berniat bangkit, makanan dihidangkan. Khusus untuk teman-teman Raga, begitu menurut keluarga. Ada rawon dalam wadah besar, sambal goreng kentang campur hati, ayam goreng, acar, dan bali telur.

Menu yang tidak menarik minat Rindu untuk makan. Dia mengambil sepotong semangka, lalu menikmatinya dalam diam. Setelahnya, air mineral dalam gelas menjadi pilihan untuknya.

"Rindu, Nak ...sini!" Wahyuni mengambil tangan Rindu dan menariknya supaya berdiri. Rindu menurut ke mana dirinya dibawa. "Makan ini saja, Nak. Ibu tahu kalau kamu tidak terlalu suka makanan dengan banyak bumbu seperti di dalam."

Rindu diarahkan duduk di meja makan. Ada nasi putih dan ayam goreng yang sudah digeprek di atas cobek kayu. Dulu, ini adalah makanan kesukaan Raga dan mereka akan makan berdua. Ayam geprek buatan Wahyuni tidak ada duanya untuk Rindu. Cita rasa ayam goreng yang gurih dipadu dengan sambal pedas dan menggugah selera. Meskipun merasa kenyang, Rindu tidak akan menolak makanan yang satu ini.

"Buk—"

"Nak ... maaf kalau kamu pikir Raga mengkhianatimu. Selaku orang tua, Ibuk ini bisa apa selain ...."

Rindu menatap wajah Wahyuni yang bersimbah air mata. Tangannya sibuk mengeringkan, tetapi tangis terus membuat wajah berhias keriput di beberapa tempat itu terus basah. Isaknya bahkan mulai terdengar keras.

"Selain mendukung pengkhianatan Mas Raga?" Rindu gagal mengendalikan emosinya. Di mana-mana, orang tua itu mendidik anaknya dengan baik. Bukannya mendukung keburukan, lalu menyembunyikan kesalahan sebagai aib yang dirahasiakan.

"Jeni hamil. Nak."

Kalau hamil kenapa? Jeni tidak mungkin tiba-tiba hamil, bukan? Perut buncitnya itu tidak mungkin terjadi dalam semalam, seminggu atau dua minggu. Setidaknya, pasti dalam hitungan bulan.

"Kapan Mas Raga menikah?" Kalau hancur, sekalian saja hancur. Tidak ada yang berbeda untuk hatinya. Dia sudah patah, ditambah sedikit lagi tak akan masalah.

"Enam bulan."

Hati Rindu semakin nyeri. Enam bulan lalu dan mereka tidak punya masalah apa-apa. Bukankah enam bulan lalu Raga masih sempat menemui papanya? Merencanakan untuk membantu Rindu mengerjakan tugas akhir supaya bisa menikah secepatnya. Apa maksud semua ini? Enam bulan, Rindu merapal waktu sambil tersenyum miris. Sudah pasti pengkhianatan Raga terjadi sebelum waktu itu. Apa salahnya?

"Jeni datang sambil menangis dan berkata sedang mengandung anak Raga."

Rindu mengangguk mengerti. "Tapi, kenapa Rindu yang dikatakan sebagai orang ketiga?" Walaupun mengangguk mengerti, nyatanya Rindu tetap mempermasalahkan kelakuan Raga. Jauh dalam lubuk hatinya, dia masih tidak terima sudah diberi rasa tak setia.

"Maafkan ucapan Jeni, Nak!"

Mengapa harus dimaafkan? Bukankah tidak pantas memaafkan pengkhianat seperti perempuan itu? Teman makan teman. Pantasnya dirundung sampai seluruh dunia membencinya. Apalagi dengan tingkahnya yang sok suci, sok menjadi korban padahal dialah penjahatnya.

"Tak apa, Buk. Dia sedang berduka." Bukan hanya Jeni, dirinya justru mengalami kesedihan ganda. Ditipu dan patah hati. Dasar muka dua.

"Ndu, ayo pulang!" tiba-tiba Ika masuk ke ruang makan, langsung meraih tangan kiri Rindu. "Mas Galang sudah nunggu di depan.

"Sebentar." Rindu melepas lembut pegangan Ika di tangannya. "Tunggulah di depan! Sebentar lagi, kususul."

"Tinggallah sebentar lagi, Nak!" pinta Wahyuni setelah Ika berlalu. "Nanti, Rahma bisa mengantarmu."

"Nggak perlu repot, Buk," ujar Rindu. "Rindu biasa ke sini sendirian meskipun Mas Raga nggak ada, 'kan?"

Ucapan yang kemudian membuat tangis Wahyuni kembali terdengar. Berkali-kali, tangan tuanya mengusap wajah. Mungkin berharap bisa tenang segera. Rindu hanya menunduk, tidak bisa berbuat apa-apa. Lebih tepatnya tidak mau, karena baginya, perempuan ini juga turut membohongi dirinya.

"Saat Jeni datang membawa kandungannya dan meminta pertanggungjawaban pada keluarga ini, Ibuk sempat berharap kalau itu kamu."

Bagai disambar petir Rindu mendengar kalimat Wahyuni. Berharap Jeni adalah dirinya? Yang benar saja. Dirinya diharapkan hamil di luar nikah oleh ibunya Raga? Tidak, batin Rindu menolak. Dalam mimpi pun dia tidak pernah berharap dinikahi dengan cara ini. Dirinya tak ingin melempar aib ke muka orang tuanya.

Rindu menarik napas panjang yang terdengar seperti terisak, lalu mengembuskannya pelan. Jika seperti ini pemikiran Wahyuni, dia bersyukur bukan dirinya yang berada di posisi Jeni. Apa jadinya ketika hamil di luar nikah, kemudian menghadapi cibiran tetangga yang pasti akan memperhitungkan jarak pernikahan dengan persalinan.

Belum lagi rasa malu seumur hidup yang mungkin akan ditanggung keluarganya. Seiring berjalannya waktu, luka mungkin bisa mengering, tetapi bukan tak mungkin kembali basah ketika terbentur pada sesuatu yang sama. Tidak ada jaminan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Buk, saya harus pulang," pamit Rindu.

"Tinggallah lebih lama, Nak." Wahyuni kembali mengusap wajahnya dari air mata yang terus bercucuran. "Ibuk merasa terhibur dengan keberadaanmu di sini. Lagi pula kamu belum makan."

Tapi aku tidak suka di sini berlama-lama. "Saya kenyang, Buk. Tadi, sudah makan semangka dan ini sudah malam." Berbeda dengan kata hatinya yang berkata tegas, Rindu menolak halus permintaan Wahyuni. "Kasihan Ika dan Mas Galang kalau menunggu lama."

"Galang itu juga jarang main ke sini sejak Raga menikah."

Setidaknya masih ada yang waras dengan tidak berpihak antara dirinya dan Raga. Berdiri tegak tanpa berat sebelah di antara keduanya. "Rindu pamit, Bu. Sekalian mau berpamitan sama Jeni." Rindu bangkit, membiarkan dirinya lagi-lagi dipeluk Wahyuni. Rahma yang melihat Rindu berdiri, bergerak mendekat dan juga memberikan pelukan.

"Makasih sudah datang, ya, Ndu." Diambilnya tas berisi bingkisan ke tangan Rindu. "Bawakan ini untuk mamamu. Terima kasih untuk kirimannya."

Rindu tak menjawab sepatah kata pun. Hanya senyumnya yang terkembang sebelum berlalu menuju Jeni. Bisikan-bisikan yang mengatakan dirinya sebagai pelakor kembali terdengar. Siapa peduli? Orang boleh mengatakan itu sekarang, tetapi nanti ... mereka akan menelan kembali apa yang mereka ucapkan hari ini.

"Jen, aku turut berduka cita." Rindu berdiri tak jauh dari Jeni yang sedang duduk dan berbincang dengan teman-temannya. Dengan sabar dia menunggu istri Raga bangkit dan mendekat padanya.

"Makasih sudah datang, Ndu." Jeni memangkas jaraknya dengan Rindu, kemudian memeluknya.

Rindu menyambut pelukan Jeni. Dia yang lebih tinggi, sedikit membungkuk seraya mengusap punggung Jeni. "Nggak usah sok baik padahal teman-temanmu sudah meminum racun dari ucapanmu," bisik Rindu. Saat Jeni berusaha menjauh, dia justru memegang erat lengan perempuan itu dan meneruskan ucapannya, "Kita sama-sama tahu siapa pelakornya dan waktu akan membuktikan apa yang kamu ucapkan."

Selesai dengan ucapannya, Rindu melepaskan Jeni. Ada kemarahan terpancar di wajah perempuan hamil itu. Dia tersenyum sinis, kemudian berpikir mengapa Jeni harus marah? Bukankah dirinya lebih berhak marah di sini? Namun, melihat keadaan saat ini, Rindu bersyukur bahwa bukan dirinya yang berada di posisi tak mengenakkan itu. Bagaimana jadinya jika dia yang hamil di luar nikah, kemudian ditinggal?

"Jangan terlalu bangga dengan posisimu. Nyatanya, aku yang jadi istri Mas Raga."

"Ya ...." Rindu tersenyum meski matanya menyorot tajam. "Nikmatilah rasa bahagia menjadi istri Mas Raga dan ...." tangannya mengelus perut buncit Jeni. "Jaga anak ini sampai lahir, lalu besarkan dengan baik supaya tidak menjadi sepertimu!"

Gimana? Ternyata Rimdu kita bisa galak, yaa.

Love, Rain❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top