🍁 37. Penjelasan 🍁
Assalamualaikum, temans. Rindu datang cepat dan nggak pakai lama. Hyukk merapat ....
Rindu menatap Segara penuh emosi. Nggak ada yang perlu dibicarakan dan tidak pernah ada tentang kita. Semua murni hanya tentang Bapak dan kejenuhan rumah tangga yang mungkin sedang terjadi. Ingin rasanya meneriakkan kalimat itu dengan keras di depan wajah Segara. Namun, lagi-lagi kesopanan membuat Rindu hanya bisa diam. Mungkin benar apa yang dikatakan Galang tempo hari bahwa dirinya harus bertanya dan mendengar penjelasan. Mungkin akan terasa pahit, tetapi mendengar kebenaran dari sebuah fakta yang sudah terjadi lebih dari setahun yang lalu adalah hal yang harus dilakukan. Setelah itu, mereka bisa hidup tenang dengan jalan masing-masing.
“Saya tertarik pada gadis yang terlihat frustrasi hanya karena disuruh membaca.” Segara memulai. “Saya suka perjuangan gadis itu yang ketika sudah tertekan, tapi masih bisa memikirkan sesuatu dengan cepat meskipun tidak tepat.”
“Suka, tapi bohong.” Rindu tak bisa menahan ucapannya.
“Kesannya memang begitu, tapi apa yang ada dalam hari-hari kita, nggak ada yang pura-pura. Coba kamu ingat dengan baik!” Segara mengingatkan Rindu pada hari-hari indah mereka yang kemudian dilengkapi dengan perasaan yang terlibat saat itu. Bahwa sang dosen berpikir tentang masa depan setelah merasa gagal dan tidak ada harapan untuk membina masa depan dengan seseorang.
“Saya nggak ingat!” Rindu menolak kenyataan bahwa yang dikatakan Segara adalah benar. Tak akan ada senyum lebar dan perhatian penuh ketulusan jika semua adalah pura-pura. Namun, Rindu memblokir pikirannya dari rasa lemah. Dia tak mau mengalah lagi, kemudian kembali luluh.
“Kesalahan saya hanya satu, Ndu, yaitu tidak mengatakan kebenaran itu sejak awal. Saya kira, saya punya waktu sampai kamu lulus. Atau, setidaknya sampai kamu selesai sidang.”
Rindu menarik napas dan mengembuskannya keras. “Saya sudah mendengar ceritanya, Pak.” Dia sedang tak ingin tahu atau mencari tahu latar belakang Segara. Makin cepat semua ini disudahi, makin baik untuk mereka. Mau berbicara apa saja, fakta bahwa sang dosen merupakan pria beristri tidak pernah hilang dari ingatan. Ditambah kejadian ketika istri Segera dengan berani mencela Rindu.
"Tapi, Bapak nggak melakukan itu," bisik Rindu, setengah menyesali kenyataan bahwa Segara tak pernah melakukan apa yang dikatakannya. Mestinya, hatinya bisa sembuh dari luka karena celaan istri Segara. Perempuan itu tak sepenuhnya salah, tetapi Rindu masih berpikir bahwa yang seharusnya terjadi tak seburuk itu.
“Saya tahu dan merasa bersalah karena itu. Bukan salahmu kalau kamu menjauh dan membuat saya menemuimu dengan susah payah,” tutur Segara tegas, “dan saya nggak akan pergi sebelum kamu mengetahui keseluruhan cerita.”
Rindu mencebik. “Bapak nggak pernah memikirkanku selain sebagai objek pelarian.”
“Bukan begitu,” sanggah Segara seraya meneguk air mineral yang disajikan Rindu. “Saya hanya laki-laki yang berpikir tentang belajar dan sekolah, kemudian bekerja sesuai dengan bidang pendidikan yang saya tempuh. Menikah tidak pernah masuk ke dalam pikiran sampai saat itu benar-benar terlambat.”
*****
Segara menikah dengan perempuan yang dikenalnya tak lebih dari tiga bulan. Dia pikir, jodoh datang di saat yang tepat dan tak sulit menerima kehidupan pernikahan karena dirinya bukan tipe pria menyusahkan. Setidaknya, itu yang Segara pikirkan sampai dihadapkan pada kenyataan bahwa Dewi, istrinya, tak siap untuk berumah tangga. Rumah tangga dalam pikiran Segara adalah menikah dan memiliki anak sesegera mungkin. Sedangkan Dewi berpikir bahwa orang tak harus memiliki anak secepat itu meskipun berada dalam ikatan perkawinan.
“Saya nggak tahu kalau dia masih ingin mengejar karir.”
Kekecewaan karena impian yang tak sejalan membuat Segara Kecewa. Dewi berkata tegas bahwa anak bukanlah prioritasnya dalam waktu dekat, sementara dirinya tak bisa menunggu. Mau memaksa seperti apa pun, memiliki anak bukanlah hal yang bisa dipaksakan. Perlu kesepakatan bersama supaya hal itu bisa terwujud dengan sebagaimana mestinya.
Seolah tak cukup dengan sebuah penolakan, Segara mendapati bahwa Dewi mendapatkan promosi menjadi kepala cabang di Bali. Sebagai istrinya, perempuan itu bahkan tidak mempertimbangkan usulnya untuk tetap tinggal. Bagi Dewi yang sedang berada di posisi mengejar karir, ini adalah kesempatan emas yang tak akan dilewatkan begitu saja.
Dewi tidak menoleh ketika Segara mengatakan bahwa tidak akan ada kesempatan bagi mereka di masa depan. Perempuan itu bebas pergi meninggalkan impian indah tentang rumah tangga bahagia. Segara tidak mencela, tetapi dengan tegas berkata bahwa jika Dewi berangkat hari ini, tak akan ada jalan kembali di kemudian hari.
Segara menatap kepergian Dewi yang berlalu tanpa menoleh lagi. Semua berakhir saat itu, keinginannya hancur, dan harapannya terkubur. Hampir tak ada kesempatan bagi mereka untuk bertemu setelahnya. Dewi kerja di Bali dan pulang ke Malang ketika Lebaran. Sementara Segara bekerja di Malang dan pulang ke Palembang ketika lebaran. Para orang tua sudah pernah mencoba berbicara untuk mendamaikan keduanya, hasilnya nihil. Dewi dengan karirnya dan Segara dengan pendiriannya.
Segara memperhatikan Rindu yang terus diam menatap layar laptop. Dia tidak tahu apa yang berkecamuk dalam kepala cantik itu, tetapi ketiadaan respons dari si gadis membuatnya merasa sedikit jengkel. Namun, tidak mungkin baginya untuk marah atau dirinya akan diusir dari tempat ini. Susah payah mendapat kesempatan untuk bicara, tak akan disia-siakannya meski harus menahan amarah.
“Saya tidak tergesa-gesa untuk menjalin hubungan baru. Jadi, saya tidak pernah meluangkan waktu untuk mengurus legalitas perceraian.”
Masih tak ada respons dari Rindu ketika kata perceraian disebut-sebut. Dirinya tak mungkin salah menangkap sinyal cinta gadis itu, 'kan? Dia memang tak pernah menjalin cinta sebelum ini, tetapi ketulusan yang Rindu berikan tak mungkin palsu.
“Kamu mendengar saya, Ndu?”
“Dengar."
"Kenapa diam?"
"Saya harus berkomentar apa, Pak?"
Kalau ada salah satu hal yang bisa dikagumi, itu adalah cara Rindu menghormati orang yang lebih tua. Dalam keadaan emosi ketika orang lain memilih untuk mengomel dan meledakkan amarah, tidak demikian dengan gadis itu. Dengan pembawaan ceria dan tak kenal rasa takut, Rindu adalah gadis dengan kesopanan tanpa cela.
"Kamu bisa berkomentar atau marah."
"Kemarahan nggak menghasilkan apa-apa," cetus Rindu. "Saya penuhi keinginan Bapak untuk bicara. Jadi, bukankah sebaiknya Bapak lanjut bercerita?"
Segara merasa bahwa menghadapi Rindu yang takut-takut berbicara padanya saat bimbingan terasa lebih mudah atau ketika gadis itu frustrasi dengan rangkaian diagram yang katanya mendidihkan otak, itu pun masih bisa ditenangkan. Namun, Rindu yang berada di luar kampus benar-benar berbeda.
Segara paham, Rindu sedang menahan seluruh kekecewaan. Diakui atau tidak, memang tidak nyaman saat berada di posisi itu. Mungkin, setelah ini, gadis itu akan mengerti bahwa tidak ada niat buruk untuk membuat Rindu merasa bersalah dan dibohongi.
"Melihat kekecewaanmu, saya memutuskan untuk menyelesaikan masalah."
Untuk pertama kali dalam hidup, Segara merasa bahwa apa yang dilakukannya tidak benar. Dia tidak pernah lupa bahwa Rindu tak ingin disebut jelek atas perbuatan yang tidak pernah dilakukan. Rasa gagal sebagai suami dan kepala keluarga di usia pernikahan yang masih seumur jagung membuat dirinya terpuruk dan menjadikan pekerjaan sebagai pelarian.
"Saya membiarkanmu pergi, tapi nggak menyangka kalau kamu nggak pernah kembali."
Tak mungkin mengejar Rindu saat gadis itu menahan tangis membuat Segara berpikir bahwa menyelesaikan hubungan lama memang perlu. Menyelesaikan dalam arti sebenarnya. Tak hanya diucapkan, tetapi juga legalitas negara sehingga masa depan mereka menjadi benar.
Segara datang ke rumah Dewi disambut senyum lebar sang mertua. Dewi sendiri masuk rumah dalam sepuluh menit, katanya setelah berbelanja dengan teman. Dia tak ambil pusing dengan alasan perempuan itu. Yang ada dalam kepalanya hanya menyelesaikan masalah mereka.
Segara tidak merasa menjatuhkan bom di rumah Dewi, tetapi tanggapan mertuanya benar-benar di luar dugaan. Semula, dia pikir keluarga itu akan menerima dan mempermudah segalanya mengingat dirinya dan Dewi yang sudah tidak bersinggungan selama lebih dari dua tahun. Rupanya, itu salah. Keluarga besar itu tak menerima kata cerai yang dianggap sebagai keputusan sepihak.
Berbagai cara digunakan orang tua Dewi untuk mempertahankan Segara sebagai menantu. Bahkan Dewi, perempuan yang semula tak pernah memedulikan hal selain karir, turut bersikeras bahwa hubungan mereka baik-baik saja. Semua hanya masalah kesalahpahaman dan bisa dibicarakan secara kekeluargaan.
Segara tidak ingin memberi kesempatan kedua. Seperti ucapannya di awal, tak ada kata kembali jika Dewi bersikeras pergi, dan itulah yang memang terjadi. Tidak ada jalan kembali walau orang tuanya menyarankan untuk memulai segalanya dari awal. Kesalahpahaman bisa dirembukkan bersama, kesalahan bisa dimaafkan, dan keburukan bisa diperbaiki. Namun, semua itu tak masuk ke kepala Segara yang merasa sudah memperingatkan di awal sebelum masalah rumah tangganya bergulir sampai di titik ini.
Dengan tekad bulat, Segara mendaftarkan perceraian. Tak peduli Dewi setuju atau tidak, keputusannya tak bisa diganggu gugat. Baginya, ini adalah waktu untuk menyelesaikan urusan yang sudah menggantung bertahun-tahun.
Saat urusan perceraian begitu menyita waktu, Segara merasa benar-benar kesal. Keberadaan Dewi di Bali membuat segala sesuatunya terhambat. Namun, dia tidak bisa mundur dan menangguhkan segalanya.
Dewi yang tidak ingin bercerai ditambah dukungan keluarga, nyatanya membuat perceraian tak semudah di angan. Tidak adanya kata sepakat membuat sidang terus mengalami pengunduran, penundaan, hingga berbulan-bulan. Namun, Segara tak bisa berputus asa. Sudah maju sejauh itu maka semuanya harus berakhir seperti maunya.
Setelah perjuangan panjang, Segara bisa menarik napas lega. Usahanya berbuah manis ketika hakim mengabulkan gugatan cerai. Hidupnya dengan Dewi sudah dianggap berlalu.
Perceraiannya memang sudah selesai, tetapi kesibukan masih membuat Segara tertahan. Maksud hati ingin menemui Rindu, tetapi mengajar dan berbagai kerja sama proyek sedang menuntut fokusnya. Belum lagi laporan kinerja dan kewajiban-kewajiban lain sebagai dosen, semuanya sukses menghalangi niatnya untuk segera menemui pujaan hati.
"Ketika kesibukan mereda, hal pertama yang saya pikirkan adalah kamu. Ke mana mencarimu dan bagaimana menemuimu."
Menjadi orang cerdas dengan reputasi sempurna di mata orang-orang tak membuat Segara bisa melakukan apa saja. Dirinya alpa dengan tidak pernah menanyakan di mana rumah Rindu. Hal-hal mendasar yang seharusnya seorang kekasih ketahui luput dari perhatiannya. Hatinya terlena dalam kenyamanan hubungan mereka dan berpikir kalau itu akan berlangsung selamanya.
Ide untuk ikut kegiatan Mapala menjadi fokus dan keharusan bagi Segara. Selalu diusahakannya untuk punya waktu di akhir pekan supaya bisa pergi untuk berkemah dengan harapan dapat bertemu dengan Rindu. Usaha yang membuatnya hampir putus asa dan mulai memikirkan cara lain ketika di bulan keempat, matanya memindai kehadiran Rindu.
Pertama kali melihat Rindu setelah perpisahan mereka, Segara merasa gadis itu lebih menarik. Sangat menarik dari yang ada di ingatannya. Tampak lebih dewasa dan tenang meski kalimat tajam dan semaunya meluncur dari bibir merah muda tanpa pulasan lipstik. Perempuan tangguh yang memberi contoh semua kegiatan di alam tanpa kesulitan. Bahkan memancing dan menombak ikan pun bisa dilakukan dengan baik.
"Saya berharap mendapat senyummu saat pertama kali kita bertemu di bumi perkemahan." Melihat dari ekspresinya, Segara tahu kalau Rindu menyuruhnya bermimpi.
"Jadi, gimana bisa ke rumah?"
"Saya hanya perlu bertanya alamat rumahmu dengan alasan mengambil pesanan, tapi kamu nggak menjawab pesan."
"Cara yang curang," bisik Rindu.
"Saya akan berbuat curang, memikirkan ribuan cara licik demi bisa menemui kamu," balas Segara tegas. Dia menyembunyikan fakta bahwa dirinya lupa pernah mengirim makanan ke rumah Rindu. Mestinya, jika pikirannya sedang jernih, ingatannya tak akan setumpul itu. Hanya perlu memeriksa riwayat pesanan dan alamat pun didapat.
"Sekarang, sudah bertemu. Bapak sudah boleh pulang karena pembicaraan sudah selesai."
"Kamu merasa ini sudah selesai? Kapan kita mengakhiri hubungan?"
"Ya dan hubungan kita sudah berakhir di hari istri cerdasmu memakiku dengan kata-kata paling pintar di dunia."
"Kamu nggak bisa mengakhiri hubungan dengan keputusan sepihak begitu, Ndu."
Hayooo ... Si bapak nggak terima banget kalau Rindu bilang putus. Btw, versi wp selesai sampe sini, yaa ... Eh tapi aku kok kepengen nambahin satu bab lagi🤣🤣🤣
Terima kasih sudah ikut PO bukunya Rindu. Ditunggu aja di rumah sambil membaca ceritanya Dokter Al.
Love, Rain❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top