🍁 35. Saran 🍁
Assalamualaikum, temans. Selamat malam. Rindu sdh datang nggak pake lama. Selamat membaca ....
"Ndu …,"panggil Dayat saat sang putri siap keluar rumah, "kemarin dosenmu kemari. Kamu belum menghubungi dia?"
Rindu meneruskan langkah sampai teras, lalu mengambil sepatunya, dan duduk di depan pintu. "Menghubungi gimana, sih, Pa? Orang aku nggak ada janji sama siapa-siapa."
"Nggak mungkin dosenmu kemari kalau kalian nggak bikin janji." Dayat bersikeras. "Jangan mengingkari kalau sudah bikin janji. Papa nggak pernah mengajarkanmu begitu!"
Rindu mendengar ketegasan papanya. "Rindu serius, Papa," katanya sungguh-sungguh, "nggak ada janji apa-apa dengan Pak Gara. Lagian, Papa mesti ingat, mungkin beliau ada janji sama Tante. Mereka memiliki pekerjaan yang sama dan kemungkinan untuk terlibat dalam hal yang sama pasti lebih besar. Anakmu ini cuma pedagang, Pa. Sudah pasti jauh dari lingkaran pergaulan elit mereka."
"Ndu …."
"Berangkat dulu, Pa!"
Rindu mencium tangan papanya, lalu berangkat kerja. Dalam perjalanan, pikirannya mengembara. Memikirkan beberapa hal, salah satunya tentang Segara. Nama yang mendominasi pikirannya akhir-akhir ini.
Papa Rindu bilang tentang janji. Dirinya bahkan tak berhasil mengingat satu janji yang dibuat untuk Segara. Dia hanya berkata akan menghubungi jika berubah pikiran. Kalau tidak berubah pikiran, artinya tak perlu menghubungi, 'kan?
Sampai di ruko, Rindu memarkir motor di tempat biasa. Beberapa karyawan toko tetangga sedang makan bakso yang biasa mangkal di sana menyapanya dengan ramah. Tak hanya mendapati Marcia yang memang karyawannya, Rindu melihat Putra sedang berbicara di depan kamera. Temannya itu memperagakan produk dan menjelaskan detail dengan jelas. Sesekali pria itu tertawa, lalu memberitahukan ketersediaan produk serta harga yang diberitahukan.
Rindu menuju meja kerjanya. Ada Galang yang duduk di samping kursi yang biasa dia pakai, serius menatap laptop. Kadang-kadang Rindu heran, mengapa temannya yang satu ini memilih untuk berada di tokonya daripada tokonya sendiri yang baru buka dua bulan lalu. Bukankah memajukan usaha sendiri terlihat lebih masuk akal daripada nongkrong di tempat orang lain?
"Ngapain di sini?" Rindu duduk di kursinya, lalu menyalakan laptop. "Ke tokomu sendiri sana!"
"Nggak nyaman aku, Ndu!" ujar Galang tanpa mengalihkan tatapan dari layar laptopnya.
"Kenapa nggak nyaman?" Rindu bingung, "usahamu itu."
"Karyawanku perempuan." Galang mulai beralasan. "Males berdua dia di dalam toko."
"Juragan nggak jelas, sih, kamu ini, Mas!" Rindu menggeleng berkali-kali. Matanya melirik pada Galang sebelum memulai pekerjaannya sendiri. "Kalau nggak nyaman sama karyawan perempuan, kenapa nggak cari karyawan laki-laki?"
"Otak bisnismu kadang-kadang nggak sinkron sama kebutuhan pasar, Ndu." Galang mendengkus, terdengar jengkel dengan komentar Rindu. "Mana ada laki-laki jadi tukang rangkai bunga?"
"Begitu kalau kudet!" Rindu jengkel. Merasa sudah memberi solusi bagus, justru dimentahkan dengan argumen yang tidak didukung fakta. "Coba saja Puput suruh berdiri di tokomu. Gimana nanti omset tokomu hari itu. Skill itu bisa diasah, Mas, tapi pesona tetap nggak ada duanya!"
"Jadi, karena itu Puput kamu biarin live di toko online-mu?"
"Nggak sepenuhnya begitu." Rindu menarik napas, lalu mengembuskannya pelan. Diraihnya map dari laci dan diberikannya pada Galang. "Kupikir, orang marketing pasti tahu strategi penjualan. Ternyata … nggak juga, ya? Coba pelajari itu!"
Galang mengambil map yang diberikan Rindu dan membacanya sekilas. "Artinya kita harus mencari karyawan yang ganteng atau cantik?"
Rindu berdecak, tidak percaya kalau kalimat bodoh itu bisa diucapkan oleh orang marketing seperti Galang. "Artinya kamu harus menemukan orang yang cocok, Mas. Katakanlah penampilannya biasa saja, tapi poin pentingnya adalah gimana orang itu bisa menjelaskan tanpa menggurui, bisa berkomunikasi dengan bagus, social skill juga jempolan."
"Lulusan apa yang bisa begitu, Ndu?" Galang frustrasi. "Orang dengan kemampuan seperti yang kamu bilang itu pasti nggak mau kerja di toko bunga dan suvenir kecil-kecilan macam tokoku itu."
"Lulusan universitas nggak menjamin orang bisa begitu, Mas. Yang perlu kamu lakuin itu cuma peka. Kulihat, karyawanmu sudah bagus, cuma perlu kamu ajari aja supaya bisa jadi penjual handal!"
"Pinter ternyata kamu, Ndu!" puji Galang tulus, "tapi kenapa pas kuliah telat lulus? Pakai drama mau DO pula!"
"Nggak usah dibahas bisa?"
Rindu kesal, tetapi tidak berkata apa-apa. Dia meredam emosinya dengan mulai bekerja, memeriksa pesanan masuk dan persewaan yang terus meningkat hingga dirinya berpikir untuk kembali menambah produk sewaan. Beberapa kali matanya melirik pada Galang yang terus menatapnya secara terang-terangan.
"Apa, sih?" tanya Rindu saat merasa mulai tak nyaman.
"Adiyanto mau nikah." Galang meletakkan undangan di meja. "Malam Minggu, kita datang rame-rame. Tokomu bisa ditinggal, 'kan?"
"Wih …." Rindu agak terkejut. Seingatnya, Adiyanto pernah berkata ingin menikah setelah mapan. Temannya yang satu itu bahkan pernah ke rumahnya dan mendapat wejangan panjang dari papanya bahwa menikah itu tak cukup hanya cinta. Harus dipikirkan juga kesiapan mental dan finansial. "Gercep amat?"
"Buat apa menunggu lama-lama, Ndu?" sahut Galang, "ditunggu terus, ya kalau peka … kalau enggak? Jatuhnya cuma jagain jodoh orang. Lagian, dia merasa sudah mapan, sah saja kalau mau kilat."
"Tapi muda banget, kamu aja yang lebih tua masih anteng."
"Bukan perkara tua atau muda, sih, Ndu. Yang begitu itu cuma kesiapan saja. Selama pihak laki-laki merasa sanggup, ya nggak apa-apa. Move on dari kamulah."
"Nggak usah ngawur!" Meski berkata begitu, sebenarnya Rindu tak menutup mata pada perasaan Adiyanto. Dia hanya merasa pertemanan mereka terlalu nyaman dan tak seharusnya diganggu dengan urusan hati. Lagi pula, cinta tak bisa dipaksa. "Bisa jadi berita hangat tuh kalau diteruskan."
"Duh, siapa yang ngawur, Ndu? Bagus kalau Adiyanto move on dan cari yang lain. Memangnya kamu, gagal move on-nya masih nggak jelas?"
"Apa maksudmu?" tanya Rindu garang.
"Ya kamu," jawab Galang tak gentar, "gantung rasa sama yang punya motor seharga mobil."
"Sok tahu!"
"Memang tahu." Galang duduk menyamping di kursinya. Posisinya kini bersandar menghadap Rindu. "Nggak mungkin susah milih laki-kali kalau yang mendekatimu kualitasnya jempolan semua. Dari yang ganteng sampai yang mapan, semuanya ada, tinggal tunjuk aja yang kamu suka. Tapi, kenapa nggak ada yang dipilih?"
"Nggak ada yang cocok." Rindu menolak argumen Galang.
"Nggak ada gimana?" Galang ngotot, "Adiyanto lumayan mapan, tapi kamu nggak mau. Putra itu ganteng, anak orang berada dan kamu juga nggak mau. Mas David, ganteng, mapan, kamu pun juga nggak mau. Belum yang lain dan kualitasnya nggak kalah. Disebut apa yang begitu itu kalau bukan move on nggak niat, Ndu?"
"Aku sudah nggak cinta sama Raga, tahu? Lagian orangnya sudah nggak ada."
"Siapa yang bahas Raga? Bahkan si pengkhianat itu nggak ada apa-apanya dibanding laki-laki yang sama kamu setelahnya. Nggak usah mengalihkan pembicaraan!"
"Kamu nggak tahu apa-apa, Mas!" seru Rindu tertahan. Kali ini, dia melihat Galang dengan emosi yang siap meledak.
"Aku tahu," balas Galang kalem, "kualitas Pak Gara memang susah dicari bandingannya. Speknya ketinggian, Ndu.”
"Kenapa jadi Pak Gara?" Mendengar namanya saja, jantung Rindu kembali berulah. Debarannya mengirimkan bulir-bulir bahagia yang kemudian musnah ketika bayangan istri pria itu muncul dengan kata-kata tajam yang menurutnya tak tahu aturan.
"Pemilik motor seharga mobil itu Pak Gara. Yang bonceng kamu ke Batu dan membuatmu pintar seperti disulap. Orang yang sama yang membuatmu patah hati dan menutup diri sampai hari ini."
Rindu diam, tak bisa menyangkal apa yang dikatakan Galang. Dia tak menyangka bahwa temannya akan benar-benar mencari tahu si pemilik motor seperti yang pernah diucapkan. Dunianya memang sesempit ini sampai hubungan yang dirahasiakan mati-matian pun tetap tercium orang lain.
"Aku hanya tanya Mas Cahyo, siapa yang punya motor itu."
Cara bicara Galang masih santai, tetapi hati Rindu tak bisa sesantai itu. Meskipun dirinya berpikir bahwa yang terjadi adalah kebodohannya menitipkan hati, perasaan dibohongi juga hadir tanpa bisa ditoleransi. Terlepas dari itu, dia masih berusaha menutupi hati sebisa mungkin.
"Aku nggak bermaksud menggurui, Ndu, tapi kalau ada sesuatu yang nggak selesai … atau mengganjal di hati, mestinya diselesaikan."
"Maksudmu?"
"Setelah diberitahu Mas Cahyo, aku mengamati Pak Gara di setiap kesempatan. Hari ketika kamu sidang, kemudian saat wisuda. Aku memperhatikan, Ndu. Kamu yang mendadak diam dan Pak Gara yang diam-diam terus melihatmu."
Benarkah Segara melihatnya? Senang sekali ditatap pria paling menarik sejagat raya jika benar cinta itu milik mereka. Namun, kenyataan tak berpihak. Dosennya bukan laki-laki lajang dan sedang mencari pasangan. Yang terjadi di antara mereka tak lebih dari cinta sesaat. Itu pun kalau ada cinta di hati Segara. Akan tetapi, di sini hanya Rindu yang mencinta, sementara Segara tidak.
“Kesalahanku adalah sudah menjalin hubungan dengan pria yang tidak lajang.”
"Jangan berasumsi, Ndu!"
"Berasumsi apa?" Emosi yang sempat Rindu tahan, kembali naik ke permukaan. "Jelas-jelas istrinya datang dan ngatain aku pelakor. Menurutmu enak dikatain begitu? Aku benci dituduh melakukan sesuatu yang aku nggak lakukan!"
"Kamu sudah tanya Pak Gara?"
"Buat apa tanya? Sudah jelas 'kan?"
Rindu heran, mengapa harus menanyakan sesuatu yang sudah jelas? Faktanya sudah terjadi di depan mata, tidak ada hal lain yang perlu dijelaskan. Menurutnya, apa yang sudah dia lakukan merupakan solusi paling simpel dan mewakili setiap permasalahan. Bertanya pada Segara pasti pecuma. Dirinya akan disuguhi penjelasan tanpa ujung yang akan membenarkan setiap tindakan dan berakhir pada kekecewaan yang makin dalam. Dijelaskan atau tidak, hasil akhirnya tetap sama.
“Nggak perlu,” kata Rindu, “hasilnya pasti akan sama. Nggak ada orang yang dengan suka rela mengakui kesalahannya.”
“Kamu nggak bisa berpikir seperti itu kalau menghadapi masalah, Ndu!” Galang mencoba menjelaskan, “jangan menghakimi orang yang tidak membela diri. Setidaknya, berilah kesempatan pada Pak Gara dan dirimu untuk berbicara. Kalau kemudian jalan keluarnya memang berpisah, setidaknya hubungan masih tetap baik.”
“Aku nggak akan menang kalau berargumentasi melawan Pak Gara,” cetus Rindu. “Bukankah lebih baik pergi?”
“Lebih baik mengetahui cerita versi Pak Gara. Kadang-kadang, yang terjadi nggak seperti yang kita pikirkan. Bisa jadi ada kejadian yang lebih dari ini dan sedang terjadi, sedangkan kamu hanya berasumsi. Kalau memang Pak Gara salah, aku bisa meninjunya untukmu.” Galang menatap serius pada Rindu. Tak ada sorot bercanda di matanya dan itu membuat Rindu berpikir bahwa mungkin meminta penjelasan adalah cara berdamai yang tepat. “Aku selalu berdiri di pihakmu, Ndu!”
Memang harga diri banget kalau udah kecewa tuh. Jangankan nanya, lihat orangnya aja sudah pengen bejek-bejek. Iya apa iya😁.
Btw PO novel ini hanya sampai tanggal 10, yaaa. Isinya 48bab. Versi Wp sisa 2bab lagiii. So, selamat meminang temans semua.
Love, Rain❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top