🍁 3. Gagal Paham 🍁

Malam, temans. Ontime, 'kan, aku? Selamat mbaca👌👌

Rindu meregangkan tubuh di kursi, setelah itu, melipat kedua tangan di meja dan berakhir dengan merebahkan kepala di atasnya. Kepalanya terasa mau pecah. Ini baru bab satu dan rasanya sudah nggak ada jalan keluar.

Ini kalau bukan orangtuanya yang ingin punya anak sarjana, malas sekali mengerjakan tugas mengarang bebas, tetapi tak sebebas angan. Lagi pula, siapa yang menetapkan kalau mau sarjana itu harus membuat tugas akhir dulu? Mestinya, ada generasi muda yang membuat terobosan supaya lulus perguruan tinggi tanpa tugas akhir yang melelahkan pikiran ini.

"Lelah aku, Ndu, lihat kamu dari tadi nggak jelas begitu." Setelah duduk sejak pagi, Galang akhirnya berkomentar. "Ngerjain apa, sih, mukamu sampai kusut begitu?

"Masih nanya. Bab satulah. Memangnya apa lagi?"

"Hah?" Mata Galang membola. "Ini sudah dua bulan berlalu dan masih bab satu? Kupikir sudah hampir selesai kamu bikin tugas akhir."

"Nggak usah ngeledek. Malas aku bikin yang beginian. Ada nggak, sih, jasa bikin tugas akhir? Biar aku bisa santai sedikit dan naik gunung."

"Ada. Banyak malah."

"Kasih tahu, Mas! Biar aku beli aja. Nggak mahal, 'kan?" Rindu merasa mendapat angin segar. Setidaknya dia tidak akan pusing memikirkan bab demi bab dan tentu saja ... omelan Segara.

"Masalahnya nggak segampang yang kamu pikir, Ndu." Galang menyingkirkan laptop, mengalihkan fokus pada Rindu. "Aku yakin, uang bukan masalah bagimu. Keuntungan jualan alat-alat berpetualang lebih dari cukup untuk membayar tugas akhir mahasiswa sekelas."

"Jadi, apa masalahnya?"

"Orang lain yang mengerjakan, tetap kamu yang akan konsultasi dengan Pak Gara. Bukan kamu yang bikin, artinya siap bunuh diri di hadapan beliau. Kamu, 'kan, tahu reputasi Pak Gara?"

"Nggak masalah. Tinggal aku catat revisinya, serahkan sama yang bikin. Beres."

"Kamu ini kenapa?" Galang tetap kalem menghadapi keras kepala Rindu. "Coba pikir!" Ruangan hening sejenak. Yang terdengar hanya helaan napas panjang dari dua orang lain yang ada di ruangan yang sama, tetapi enggan berkomentar atau memberi saran. "Pak Gara akan tetap bertanya apa yang menurut beliau kamu tulis. Yakin bisa menjawab pertanyaan demi pertanyaan?"

"Aku harus gimana, Mas?" Rindu kembali menegakkan duduk dan menatap miris pada tumpukan kertasnya. "Nggak ngerti aku mesti nulis apa."

"Ya itu fungsinya Pak Gara. Kamu buatlah sesuai pemahamanmu, lalu bawa konsultasi! Apa dan di mana salahnya, nanti direvisi. Biasanya, Pak Gara kasih solusi kok."

"Kasih solusi apa? Tempat studi kasus ditolak karena karyawannya cuma sedikit. Dengan waktu tersisa ini, di mana aku bisa cari ganti yang cepat?"

"Kalau masalahnya hanya itu, aku bantu. Ke kantor tempatku bekerja sebelum ini. Karyawan ada lima puluh orang. Cukup kalau buat studi kasus. Kita berangkat sekarang! Bosnya omku. Setidaknya, kamu dapat data awal. Soal surat izin dan segala macam legalisasi, bisa diurus belakangan."

"Tapi—"

"Kebanyakan mikir. Yang ada nggak kelar-kelar."

"Mas Galang nggak tahu, sih, rasanya bimbingan sama Pak Gara."

"Tahu," jawab Galang kalem. "Jangan lupakan fakta bahwa aku wisuda dua tahun yang lalu dan tugas akhirku bimbingan Pak Gara."

Rindu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Urusan tugas akhir memang membuat suasana hatinya sering memburuk. Rasanya seperti terisolasi. Mau kemping, takut dicari. Tidak pergi kemping, menyebalkannya setengah mati. Benar-benar galau, begitulah harinya akhir-akhir ini.

***

Sudah lebih dari setengah jam Rindu berdiri di depan ruang Segara. Mahasiswa keluar masuk silih berganti. Ada yang sebentar, ada yang agak lama. Dirinya masih berdiri mengumpulkan nyali.

Kemarin, Rindu tidak datang untuk merevisi bab satu. Jangankan merevisi, menyusun saja masih berupa coretan-coretan yang didapat dari kantor omnya Galang. Keberuntungan sedang ada di pihaknya, sebut saja begitu. Data yang dia butuhkan didapat dengan mudah. Pimpinan di sana sudah berpesan kepada karyawan supaya meluangkan waktu untuknya.

Rindu sudah melakukan seperti yang seharusnya. Apa yang kurang bisa diurus sambil jalan. Yang penting, dirinya sudah punya bahan untuk menghadap Segara. Setidaknya, bab awal akan selesai hari ini, 'kan?

"Masuk aja, Mbak!" saran satu mahasiswa yang datang hampir berbarengan dengan Rindu.

"Nanti saja kalau agak sepi," jawab Rindu ragu.

"Kalau nggak masuk dan ngantre, nggak kelar-kelar mbaknya. Lagian, kalau tiba-tiba Pak Gara mau pergi, gimana?"

Rindu mengangguk, lalu mengucapkan terima kasih. Baiklah, semua pernyataan yang tadi dia dengar bisa jadi benar adanya. Mau sekarang, besok, atau lusa, dirinya tetap harus bertemu dosen pembimbingnya. Setelah menarik napas panjang berkali-kali, Rindu masuk. Hanya ada satu orang mahasiswa tersisa di ruangan itu.

"Kamu sini!" Segara langsung memanggil Rindu sambil menunjuk satu kursi kosong di depannya. "Jadi, kamu perbaiki bagian ini saja dan cek kata-kata asing kemudian italic! Yang teliti menulis itu. Jangan asal selesai."

Rindu duduk sambil mendengarkan revisi-revisi yang disampaikan Segara pada mahasiswa di sampingnya. Sepertinya tak terlalu mengerikan, tetapi sudah pasti berbeda. Orang di sebelahnya ini rajin, sedangkan dirinya? Rindu ingin mencaci dirinya yang kali ini lambat berpikir.

"Sudah, 'kan? Jangan salah lagi!"

"Kalau gitu saya permisi dulu, Pak. Terima kasih."

"Hmm." Segara hanya bergumam, laku menuliskan sesuatu di kertas dan memberikan lembaran itu pada mahasiswa terakhir sebelum Rindu. "Kamu, mau tanya apa?"

Rindu tidak menjawab pertanyaan Segara. Bertanya itu perlu berpikir dan dia sedang tidak sanggup memikirkan banyak hal di satu waktu. Dia hanya mengeluarkan bundelan kertas, lalu menyerahkannya pada Segara.

"Saya sudah buat bab satu, Pak."

Segara menerima kertas Rindu tanpa merespons ucapannya. Telunjuk tangan kanannya membetulkan letak kacamata sebelum larut membaca. Kertas di balik-balik dan belum ada tanda-tanda dosen itu untuk mengambil pena dan mencoret pekerjaan Rindu.

Rindu sedikit tenang. Tidak ada coretan artinya bisa melenggang menuju bab dua tanpa masalah. Ternyata, tugas akhir tak semenakutkan bayangannya.

"Ini kamu bikin sendiri?" Segara menatap Rindu sambil menegakkan duduk.

"Iya, Pak." Rindu tersenyum. Segara tidak mencoret kertasnya sama sekali.

"Tujuan dan manfaat yang kamu tulis itu nggak jelas. Lingkupnya juga nggak memadai. Sebelum membuat, mestinya kamu cari referensi dari tugas akhir-tugas akhir terdahulu. Jadi, kamu bisa berpikir bagaimana bab satu itu dibuat. Mengadopsi apa yang kamu baca dengan ide yang kamu punya."

Percaya diri yang muncul terlalu dini, itulah yang Rindu rasakan kini. Ternyata, tanpa coretan bukan berarti tanpa masalah. Tanpa goresan pena Pak Dosen berarti pekerjaannya tidak sempurna dan bisa jadi salah semua.

"Saya sudah membaca, tapi ...." Bagaimana Rindu mengatakan kalau dirinya tidak mengerti? Ekspresi Segara bahkan tetap datar dan tak bisa ditebak.

"Tapi?"

"Pak, saya nggak ngerti."

"Bagian mana yang kamu nggak ngerti?"

Semuanya. Bagaimana memperjelas manfaat dan tujuan? Bagaimana juga membuat lingkup supaya memadai. Rindu menghela napas pelan. Tidak mudah mengatakan kekurangannya.

"Saya ...."

"Kamu nggak ngerti apa yang saya katakan?"

"Iya, Pak." Suara Rindu lirih, lega karena Segara paham hal yang tak bisa dikatakannya secara terang-terangan. Lagi pula, ketidakmengertian mahasiswa bukan satu dua kali terjadi. Dosennya pasti sudah menghadapi ini berkali-kali sampai bosan.

"Lingkup itu apa yang termasuk dalam pembahasan kamu. Tujuan itu apa yang hendak dicapai. Manfaat itu apa yang diperoleh ketika tujuan tercapai. Sampai sini ngerti?"

"Nger ...ti, Pak," jawab Rindu terbata. "Saya pelajari lagi." Pelajari lagi! Rindu ingin meremas mulutnya sendiri atas apa yang sudah dikatakannya. Kalau sudah mengerti, buat apa dipelajari lagi? Bukankah yang benar itu langsung merevisi? Dasar mulut, keluhnya dalam hati.

"Baik. Pelajarilah lagi!" Segara mengangguk paham. "Kalau kamu sudah ngerti itu, kamu baru boleh muncul di hadapan saya. Sekarang, bersemedilah dulu di pertemuan dua sungai!"

Dah, lah ... kalau begini susahnya mau lulus, aku mangkir aja😁😁

Love, Rain❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top