🍁 29. Jangan Terulang 🍁
Assalamualaikum, teman. Selamat malam, Rindu hadir lagi, dong. 🤭
Rindu duduk di ruang tamu rumahnya dengan semangkuk bubur ayam di pangkuan. Sejak keluar dari rumah sakit, makannya masih bubur meski sudah menolak mati-matian. Bagi orang tuanya, mengikuti pola yang dianjurkan dokter bisa mempercepat proses penyembuhan.
"Kenapa nggak dimakan buburnya?" Leni muncul membawa tas merah kesayangannya. "Nggak enak?"
"Iya." Rindu mengangguk, kembali mengunyah asal-asalan.
"Mau sembuh apa enggak, gitu aja."
Tak ada orang yang mau sakit. Namun, Rindu hanya mengatakan itu dalam hati. Meski sedikit melunak, tantenya tetaplah perempuan dengan kesabaran setipis tisu.
"Kenapa?" Rina muncul dari bagian samping rumah. "Rindu bikin ulah lagi?"
"Aku berangkat!" Alih-alih menjawab pertanyaan Rina, Leni pilih berlalu tanpa banyak bicara. Sejak perselisihan kecil tempo hari, keduanya terlihat menjaga jarak. Rindu paham betul jika sedang tak ada pekerjaan, tantenya pilih untuk terus berada di kamar.
"Duduk sini, Ma!" Rindu bergeser ke kanan, memberikan tempat untuk mamanya. "Aku nggak mau makan ini!" Mangkuk yang isinya masih dimakan dua sendok, diletakkan di meja.
"Kalau kamu nggak mau ngikutin saran dokter, gimana mau cepat sembuh?"
"Aku sudah sembuh, Ma." Rindu mengangkat satu kaki dan melipatnya di kursi. "Kalau belum sehat, nggak mungkin boleh pulang."
"Memang." Rina mengangguk setuju. "Tapi kalau nggak makan, pemulihannya lama."
"Bocah kalau habis sakit memang rewel kalau disuruh makan!" Budhe Parti muncul dengan nampan di tangan. "Makan ini saja, nasi lunak, sop ayam, dan ayam mentega."
Mendengar kata nasi, Rindu memutar duduk ke arah datangnya Budhe Parti. Juru masak mamanya ini tak pernah gagal membangkitkan selera makannya. Meski mulutnya masih terasa pahit, ada keinginan untuk memindahkan semua makanan yang terlihat lezat itu ke perut.
"Aku mau makan kalau itu, Budhe!" Rindu merosot dari tempat duduknya, ganti bersila di karpet. Budhe Parti memindahkan semua makanan ke depan Rindu, kemudian duduk di samping Rina.
"Jangan ikutan mumet karena anakmu yang ndak mau makan!" Budhe Parti mengelus tangan Rina. "Pergilah ke kantor kabupaten, biar Rindu Budhe yang urus!"
"Benar, Budhe?"
"Iyo." Budhe Parti mengelus kepala Rindu penuh sayang. "Budhe seneng lihat kamu pecicilan, tapi jangan sakit! Apalagi sampai opname macam kemarin. Mumet orang tuamu, Nduk!"
"Nggak maksud sakit, Budhe." Rindu masih menikmati makanannya. Ini luar biasa enak. Rasanya seperti tak makan berhari-hari begitu melihat nasi yang meskipun lembek, tetapi sukses membuatnya makan banyak. Lupa sudah dengan rasa pahit di lidah yang sampai beberapa saat lalu masih terasa.
"Cepat habiskan kalau begitu!" Budhe Parti mengusap kepala Rindu. "Cepat sehat! Kasihan mamamu kalau kamu sakit."
"Iya." Rindu menyetujui. "Nggak ada yang bantuin. Papa mesti nungguin Rindu di rumah sakit."
"Di rumah pun ndak ada gunanya!" Budhe Parti kembali mengusap kepala Rindu. "Pekerjaannya salah terus dan mamamu ndak berhenti ngusir supaya papamu pergi ke rumah sakit. Untung ada Galang yang akhirnya bisa diminta tolong. Anak itu baik."
"Hmm." Rindu hanya bergumam, sambil terus menyuap makanan. Galang memang baik, dia sadari itu. Tanpa pria itu, entah bagaimana orang tuanya akan pontang-panting mengurus pekerjaan yang tak bisa dibatalkan dengan dirinya yang harus rawat inap.
"Kamu naksir dia, ndak?"
Rindu menghentikan kunyahan, lalu menoleh sejenak untuk menatap Budhe Parti. Kemudian, dia kembali menikmati makanannya. Naksir Galang? Bertahun-tahun mereka berteman, tidak sesaat pun dirinya berpikir tentang itu. Berkali-kali keluar bersama atau terlibat dalam kegiatan yang sama, pikirannya juga lurus-lurus saja.
"Ndu?" desak Budhe Parti.
"Nggak," jawab Rindu acuh tak acuh.
"Ngganteng, baik sama orang tuamu, mapan. Masa ndak naksir. Mripatmu masih waras to, Nduk?"
"Budhe ngomong opo?" Rindu mendorong piringnya yang sudah kosong. "Makanannya enak. Matur suwun, ya, Budhe?"
"Ngeles," kata Budhe Parti, "kamu mau ke kampus?"
Diingatkan tentang kampus membuat Rindu mengeluh dalam hati. Dia tak mau pergi ke mana-mana. Ingin merasa masa bodoh dengan tugas akhir yang mesti selesai revisi hari ini.
Menemui Segara sama seperti menggarami luka. Hati Rindu masih cinta, tetapi harus menangis karena kenyataan yang tidak berpihak. Namun, dia menyadari bahwa terkadang cinta seperti sekumpulan kembang-kembang yang hanya bisa dilihat, tetapi tak boleh dipetik.
"Ya wes, siap-siaplah, Nduk!" Budhe Parti membereskan piring makan dengan kembali meletakkan di nampan. "Yang penting kamu sudah makan."
*****
Rindu berjalan cepat dari tempat parkir menuju gedung A. Dia sudah ada janji dengan Segara bersama sederet mahasiswa lainnya. Ini sedikit terlambat karena mamanya memaksanya makan lagi sebelum pergi.
Menapakkan kaki di lantai dua, Rindu memperhatikan sekitar. Sepi dan tak ada tanda-tanda keberadaan anak bimbingan Segara di depan ruangan. Matanya melirik jam di pergelangan tangan. Masih jam satu, mestinya tak akan sesepi ini. Dosennya bukan orang yang akan pergi makan terlambat tanpa alasan. Jadi, bisa dipastikan kalau sang Kaprodi ada dalam ruangannya.
Ke mana perginya mahasiswa yang janjian siang ini? Tanpa keberadaan mereka, nyali Rindu menciut. Dia tidak ingin menjelaskan apa pun sehubungan dengan mangkirnya bimbingan selama dalam perawatan.
"Selamat siang, Pak!" sapa Rindu setelah mengetuk pintu. Rupanya, anak bimbingan Segara sudah berada di dalam dan siap pergi. Satu orang di depan Segara menunggu tanda tangan berita acara.
"Duduk dulu, Ndu!" kata Segara setelah mengembalikan kertas pada si mahasiswa.
"Terima kasih, Pak!" ucap anak itu, "kami permisi."
"Hmm," gumam Segara. "Jangan lupa segera daftar sidang!"
"Baik, Pak." Satu per satu mahasiswa berdiri. Satu menyapa Rindu dan hanya dibalas anggukan.
"Kami duluan, Mbak Rindu!" ujar Ismaya, salah satu anak bimbingan Segara yang Rindu ingat sangat aktif bertanya di grup percakapan.
"Iya," kata Rindu, "cepet banget bimbingan hari ini."
"Kami sudah tadi, Mbak. Memangnya Mbak Rindu nggak baca grup tentang perubahan bimbingan hari ini?"
Siapa yang peduli dengan grup? Begitu pikir Rindu. Dia bisa datang kapan saja dan Segara pasti menerimanya. Pikirannya lupa kalau harus memberi jarak dan seharusnya terus memantau grup percakapan.
Bagus sekali. Rindu berniat untuk menjauhi Segara, tetapi perilakunya masih pada mode kekasih. Mestinya tidak seperti ini. Menghindari dosennya dimulai dari mengikuti bimbingan sesuai dengan waktu yang ditentukan untuk semua mahasiswa.
"Ndu?"
"I-iya, Pak!" Rindu gelagapan mendengar Segara memanggil dengan suara dalam. Dia maju, lalu duduk di depan dosennya.
"Bab lima sudah selesai direvisi?" Segara memusatkan perhatian di layar laptop. "Kamu revisi di file lama apa ganti file baru?"
"File lama, Pak!" Rindu membuka laptopnya sendiri, lalu membuka file yang sama dengan Segara.
"Hmm?"
"Saya menambahkan beberapa hal di sana, Pak. Sesuatu yang saya lupa saat pertama kali membuatnya." Rindu bukannya tidak tahu arti tatapan Segara. Dia juga tahu kalau sepasang mata hitam itu memindainya selama beberapa detik. Namun, dirinya tak akan jatuh ke dalam pesona berbahaya itu lagi.
Segara membaca pekerjaan akhir Rindu. Jika sebelumnya gadis itu akan memperhatikan wajah dosennya saat pria itu membaca, sekarang tidak lagi. Matanya tertuju ke dinding, komputer di samping kanan sang dosen pembimbing, ke tumpukan berkas di meja lain, dan ke mana saja, asal bukan wajah Segara.
"Ini sudah bagus," kata Segara, "kamu hanya perlu menambahkan hal-hal kecil. Sudah saya tuliskan di komentar untuk nanti kamu baca baik-baik! Perbaiki itu dan langsung daftar sidang!"
"Siap."
"Siap apa?" tanya Segara. Kali ini mata tajam itu meneliti wajah Rindu. "Kamu terlihat agak pucat dan ... apa kamu sakit?"
"Sudah sembuh," jawab Rindu singkat.
"Jadi, kamu mangkir revisi karena sakit?"
"I ... ya."
"Kenapa nggak bilang saya?"
Rindu agak terkejut, lalu menjawab, "Sudah banyak perawat yang mengurus."
"Perawat? Artinya sampai opname dan ...." Tatapan tajam Segara menyambar Rindu seolah tak terima karena tidak diberi tahu. "Sesibuk apa pun saya mengurus pekerjaan, kamu selalu bisa mengatakan apa pun, Ndu! Kamu lupa kalau punya prioritas untuk meminta waktu saya kapan saja?"
"Maaf, Pak!" Rindu kesal dalam hati, mengapa dirinya harus minta maaf? Dia tidak bersalah di sini.
"Mulai kapan jadi 'Pak' saat hanya berdua saja?" Kali ini, Segara memperhatikan Rindu dengan tatapan sinis. "Kalau kamu kecewa atau sakit hati sama saya, kamu boleh ngomong. Jangan hanya diam dan menghindar, kemudian masalah akan menjadi semakin besar!"
"Bapak sudah punya istri dan cukup bagi saya dikatai sebagai pelakor. Saya nggak mau lagi disebut begitu, Pak!"
Hayooo ... Sikap Rindu sudah bener apa belum?
Btw, makasih buat teman semua yang sabar nungguin cerita ini. Aku baca semua komen, tapi maaf kalau nggak balas. Maklumin aja, ya, ada bocil yang lagi aktif² nya dan butuh pengawasan ekstra.
Love, Rain❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top