🍁 27. Menggarami Luka 🍁
Assalamualaikum, temans. Selamat malam. Waktunya bermalam Senin sama Rindu, yess. Selamat membaca ....
.
.
Rancangan antarmuka yang kata Segara tidak sulit, nyatanya tetap membuat Rindu sakit kepala. Seperti biasa, tidak sulit menurut dosen, masihlah membuat mahasiswa kalang kabut. Begitu pun Rindu yang menyadari kapasitas dirinya.
Baru membahas masalah warna aplikasi saja, Rindu sudah menahan napas. Segara bertanya mengapa dia memilih warna ungu dan hijau. Pertanyaan yang dijawab karena suka, disampaikan dengan lugas dan tanpa rasa takut.
Memangnya, apa lagi yang bisa Rindu pikirkan tentang warna? Dia yang membuat aplikasi, tentu terserah dia juga mau memilih warna apa. Segara mengatakan bahwa dalam konteks profesional, Rindu harus memilih warna-warna netral di mana hal itu menegaskan kualitas dan kredibilitas suatu perusahaan.
“Kangmas ini. Sekali-kali setuju sama aku gitu. Ini, ‘kan, bukan sesuatu yang saklek dan jalan keluarnya harus sesuai teori.”
“Saya itu hanya membuat supaya kamu mengerti bahwa sampai pemilihan warna pun akan menimbulkan pertanyaan saat sidang.”
“Baiklah. Jadi, seharusnya bagaimana? Mau diganti menjadi biru? Hampir setiap aplikasi menggunakanya, tahu?” Rindu mengalah, dengan menekan seluruh kejengkelan dalam hati.
“Timeline yang kamu bikin itu adalah sarana user berkomunikasi dengan sistem. Dipakai untuk jangka waktu yang lama dan bisa panjang serta berulang-ulang. Jadi, mesti memiliki warna yang menyejukkan mata sehingga bekerja jadi menyenangkan.” Seolah tahu bahwa Rindu ingin mempertahankan pilihannya, Segara memberikan solusi.
“Bilang aja kalau pilihan warnaku terlalu mentereng, Kangmas! Susah amat mau ngomong gitu aja.”
“Untuk mengubah hal yang kamu sukai dan tidak ada patokan keharusan … ya caranya harus begitu. Dengan kamu menyadari bahwa sesuatu yang dipakai orang banyak harus mempertimbangkan kenyamanan berdasarkan kebutuhan.”
Rindu mengangguk paham. “Jadi, aku mesti ganti warna.”
“Bukan mengganti warna, Ndu.” Segara mengambil alih laptop Rindu dan menunjukkan warna-warna alternatif. “Kamu bisa pakai hijau yang ini atau ini … aturlah bagaimana bisa dipadu dengan ungu sehingga membuat tampilan tetap cantik tanpa membuat orang sakit mata!”
Rindu bersemangat kembali. Dia melanjutkan pekerjaan tanpa mengeluh. Memang masih tetap sakit kepala, tetapi Segara tak pernah membiarkannya sendiri dalam kesulitan. Pada akhirnya, tampilan aplikasi yang dibuat Rindu tak lagi terkesan cantik, tetapi menyenangkan dan betah dilihat berlama-lama karena campur tangan Segara.
Saat Segara memeriksa pekerjaan selanjutnya, Rindu tahu kalau sakit kepala belum berakhir. Sang dosen memiliki ketelitian tingkat tinggi dengan keakuratan analisis mendekati sempurna. Apa yang ada dalam kepala Rindu saja bisa ditebak dengan pas apalagi kekurangan dalam aplikasi yang dibuat.
“Kenapa kamu membuat model password-nya begitu?” tanya Segara. Baru masalah login saja, pekerjaan sudah dibahas.
“Sudah betul itu Kangmas,” kata Rindu. “Nggak mungkin user memakai aplikasi tanpa login, ‘kan?”
“Betul, tapi kamu mengabaikan bahwa password yang betul itu harus menggunakan perpaduan huruf besar, kecil, angka serta simbol-simbol tertentu.”
Ada banyak sesi ketika Rindu merasa luar biasa sakit kepala, lebih dari yang sudah-sudah. Otaknya buntu dan tak bisa memikirkan apa-apa. Namun, di sanalah Segara menunjukkan bahwa pria itu bukan sekadar dosen biasa. Dengan kesabaran dan pengalaman sebagai pengajar, Segara membuat Rindu kembali bersemangat serta terus melanjutkan tugas akhir.
Saat Segara berkata bahwa Rindu bisa melanjutkan ke bab lima, tarikan napas panjang pun tertembus. Bahu dan punggungnya terasa ringan, seperti ada beban berat yang baru saja terangkat. Leganya luar biasa.
“Meskipun bab lima hanya berisi tentang kesimpulan dan saran, saya nggak mau kamu membuat itu dengan asal-asalan. Pastikan apa yang sudah dibahas dalam bab sebelumnya, lengkap tertulis!”
Rindu mengingat kalimat Segara dengan baik. Pria itu juga mengatakan supaya segera menyelesaikan itu supaya tidak lupa. Secara garis besar, Rindu tahu apa yang harus ditulis.
*****
Setelah dua hari berkutat dengan bab lima, akhirnya Rindu selesai. Semua lampiran pun sudah disiapkan, tinggal menggabungkan semuanya saat sang dosen mengatakan oke. Sebelum berangkat, Rindu memastikan bahwa semua sudah terbawa.
Sampai di lantai dua gedung A, Rindu menuju ruang Segara. Dia langsung masuk karena pintunya terbuka lebar. Segara sedang tidak di tempat dan dia pikir akan menunggu duduk di depan rak buku seperti biasa sambil membuka laptop dan membaca kembali bab lima buatannya. Siapa tahu masih ada salah ketik atau perlu tambahan di beberapa kalimat. Biasanya, ada saja ide yang melintas dan bisa ditambahkan.
"Selamat sore …."
Rindu menoleh, melihat perempuan cantik dengan rambut berombak yang dibiarkan tergerai. Celananya panjang, dengan atasan setengah lengan. Ada pita yang diikatkan di bawah dada.
“Selamat sore, Ibu,” sapa Rindu. “Silakan masuk!”
“Pak Segara ada?”
“Bapak sedang rapat, Bu. Ibu yang beberapa hari lalu datang kemari, ‘kan?”
Dari sekian banyak rekan kerja Segara yang pernah datang ke kampus, Rindu tak pernah ingat wajahnya satu per satu, tetapi perempuan yang satu ini pengecualian. Ada aura yang tak bisa dijelaskan mengiringi semua bahasa tubuhnya. Gerak-geriknya penuh percaya diri dan setiap kalimat yang diucapkan terdengar tegas. Tipe pemimpin yang tak mau dibantah, begitu pikir Rindu.
“Ya. Jam berapa Bapak selesai?”
“Saya kurang tahu, Bu. Rapat suka tak menentu.”
Perempuan itu seperti tak suka dengan jawaban Rindu. Namun, Rindu bisa apa? Selama dekat dengan Segara, dia memang tak pernah bertanya kekasihnya rapat apa atau berapa lama. Begitu pun dengan rekan-rekan proyek Segara yang lain. Mereka datang dan pergi, Rindu tak peduli. Kalau kebetulan harus berpapasan dan terlibat komunikasi, dirinya hanya akan mengangguk sopan dan berbicara seperlunya. Baginya, urusan Segara bukanlah urusannya.
“Kamu bimbingan?”
“Benar, Bu.”
“Kalau dosenmu sedang tidak ada di tempat, mengapa kamu ada di sini?”
Rindu tertegun dengan pertanyaan rekan Segara yang satu ini. Sebagai seorang rekan, tak semestinya ada pertanyaan seperti itu. Kampus dan mahasiswanya bukan ranah yang cocok dibicarakan oleh rekan bisnis.
“Saya menunggu Bapak, Bu.”
“Lagakmu bukan seperti mahasiswi biasa. Kamu ada hubungan dengan dosenmu?”
Perempuan ini berbicara terlalu jauh. Rindu tak mampu berkata-kata untuk membalasnya. Mau menjelaskan apa? Hubungannya adalah miliknya bersama Segara. Dia rasa, siapa pun tidak berhak mengintimidasinya seperti yang perempuan ini lakukan.
“Kamu mau bermain rumah-rumahan di kampus?” Tamu cantik Segara ini sudah berbicara di luar batas, menurut Rindu. Namun, demi kesopanan, dirinya tetap harus menanggapi dengan sopan.
“Bukan begitu, Bu. Saya—”
“Kalau kamu mau tahu, saya istrinya dosenmu. Jadi, berhenti untuk berpikir tentang hal selain bimbingan. Atau kamu sudah jadi pelakor?”
"Bu, sebaiknya—”
“Apa?” sela si tamu yang tak memperkenalkan diri. “mau ngomong apa? Ini semua nggak seperti yang saya pikir? Saya salah paham? Di mana-mana pelakor kalau tertangkap basah, kalimatnya sama saja. Jadi, nggak usah banyak omong. Kalau kamu mau tahu kenapa saya bisa ngomong gini, saya istri Segara. Saya hafal modusan mahasiswi kayak kamu.”
Rindu sakit hati mendengar semua ucapan istri Segara. Sebagai orang tua, perempuan di depannya ini harus dihormati. Namun, sebagai sesama perempuan, tak seharusnya melontarkan tuduhan-tuduhan tak berdasar.
“Saya hanya tahu kalau Pak Gara tidak terikat pernikahan karena istrinya pergi dari rumah. Seisi kampus ini tahunya bahwa beliau sudah bercerai.”
Suara Rindu tidak keras, tetapi tegas. Istri Segara atau bukan, harusnya perempuan itu peka dengan maksud dalam kalimatnya. Dia tak terima dirinya disebut sebagai pelakor. Ini seperti membubuhkan garam di atas luka. Jika sebelumnya dia diam, kali ini tidak lagi!
Rindu kembali ke meja. Menutup laptopnya begitu saja, lalu menumpuknya jadi satu dengan tas dan beberapa buku. Tak ada waktu untuk beres-beres lebih dari itu. Dia hanya ingin pergi membawa sakit hati akibat ulahnya sendiri.
Nah, Rindu ketahuan. Kalau menurutku, sih, Rindu nggak salah kalo macarin Pak Gara. Secara, ya, gak kelihatan ada bininya. Kalau tiba-tiba bininya datang, ya derita loe lah ... sapa suruh ninggalin suami seseksi itu😝😝😝
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top