🍁 25. Fakta 🍁

Assalamualaikum, temans. Selamat siang. Rindu menyapa setelah sekian abad ngikut othornya di pedalaman yang susah sinyal. Percayalah, di kaki gunung emang sesusah ituuuu. Btw selamat membaca ....

Senyum Rindu menghilang perlahan ketika sadar siapa yang sedang menatapnya di sekretariat Mapala. Seluruh kebenciannya naik hingga kepala. Amarah yang pernah mengendap pun kembali mendidih. Keringat dingin keluar dari pori-pori tubuhnya, memacu adrenalin untuk meluluhlantakkan semua yang ada.

"Ndu, Ndu ... jangan bikin ribut di sini!" Putra tergopoh-gopoh mendekati Rindu. Berusaha mengusap lengan Rindu yang sore ini tertutup jaket parasut. "Semua bisa dibicarakan baik-baik."

"Bikin ribut?" Rindu menjauh dari jangkauan Putra. "Memangnya aku ngapain? Lagian, mulai kapan aku suka bikin onar? Bukannya itu kamu?"

Suara Rindu tidak keras, tetapi emosi terpendamnya diterima Putra dengan baik. Temannya itu mundur, lalu memberikan jalan. Rindu kembali melangkah, meletakkan makanan di meja, dan memanggil teman-teman yang ada untuk menikmati. Galang yang sejak awal tak bereaksi, kini meletakkan gitar untuk menikmati makanan yang dibawa Rindu.

"Enak, Ndu!" katanya, "Bukan di tempat biasa ini. Beli di mana?"

"Ada baru buka. Gorengan Pak Bagong, dekat UIN."

"Yang rame ampun-ampunan itu? Betah kamu antre ndek sana."

"Numpang pesannya, aku tinggal ambil," jelas Rindu. Aku lagi makan sama Kangmasku. "Baik-baik anak di sana."

"Percaya, anak kampus mana yang nggak kenal kamu? Segitu ngetopnya kamu itu."

"Nggak segitunya. Yang penting punya banyak teman." Rindu menikmati menjes seperti biasa, makanan yang tak pernah gagal membuat suasana hatinya membaik.

"Ndu ...." Jeni, perempuan yang menatap kedatangan Rindu akhirnya mendekat. "Bisa ngomong?"

"Bisa," jawab Rindu tanpa menghentikan makan. Dia malah menggigit kembali menjesnya beserta dua biji cabai yang langsung dikunyah dengan santai. "Mau ngomong apa?"

"Bisa cari tempat lain?"

"Tidak." Rindu menggeleng. "Aku baru datang dan malas mau keluar lagi. Ada apa memangnya? Mau ngomong rahasia?"

"Jangan songong, Mbak Rindu!" Adik Jeni maju, hendak menarik tangan Rindu.

"Heh Bocah!" seru Rindu. "Emakmu bisa mati berdiri punya anak nggak tahu tata krama kaya modelanmu begini." Rindu ingat betul, gadis itulah yang mengatakan dirinya sebagai pelakor ketika datang takziah di rumah Raga. Mulut itu jugalah yang terus berbisik menebarkan racun sampai orang-orang menatapnya dengan sorot meremehkan.

"Dik, tenanglah!" Jeni menghentikan langkah adiknya dengan satu tangan. "Ini urusan Mbak dengan Mbak Rindu."

"Tapi, dia memang songong banget. Sok paling benar."

"Siapa pun pasti begitu kalau ada di posisi Rindu," sahut Galang menengahi. "Itu sudah bagus dia nggak nampol mukamu berdua."

"Kenapa Mas Galang jadi kasar?" Jeni tak terima. "Teman nggak begitu, 'kan?"

"Teman nggak makan teman, Jen! Aku capek nutupin kebejatan. Kita semua teman, tapi kenapa bisa terjadi hal seperti sekarang?"

Sebenarnya, Rindu penasaran setengah mati. Apa alasan Raga mengkhianatinya? Dilihat dari sisi mana pun, tak ada yang menonjol secara berlebihan dalam diri Jeni. Dia paham dan mengerti bahwa cinta tak memandang itu semua. Namun, rasa ingin tahu itu tetap ada sebagai bahan introspeksi diri ke depannya. Mungkin ada andil dirinya juga di sana. Membuat kesalahan tanpa disadarinya dan itu membuat Raga muak, lalu berpaling.

Ada kemarahan yang sebenarnya tak pernah hilang. Rasa itu hanya tertidur dan menunggu saat yang tepat untuk terbangun. Jauh dalam lubuk hatinya, Rindu belum pernah memaafkan. Semua maaf dan citra seolah dirinya sudah damai dengan keadaan nyatanya hanya kamuflase. Saat dihadapkan dengan penyebab semua kejadian yang menimpanya, kemarahan Rindu kembali berkobar. Dia merasa harus menuntut balas.

"Karena itu aku minta maaf." Jeni menunduk, lalu mendekat ke kursi ban hingga berhasil duduk di sana dengan susah payah. Perut buncitnya membuat setiap gerak menjadi terbatas.

"Kalau minta maaf itu berguna, nggak akan ada pesakitan di dalam penjara," sahut Rindu tanpa basa-basi.

"Aku nggak pernah bahagia dengan Mas Raga, Ndu. Aku ...." Jeni menangis sejadi-jadinya. Perempuan itu berusaha meredam emosi dengan mengendalikan tangis, tetapi gagal.

"Jelas nggak akan bahagia. Suami hasil curian!" caci Adiyanto tanpa ampun.

"Jangan keterlaluan Mas Adiyanto!"

"Heh, bocah tengik!" Adiyanto maju ke depan adik Jeni. "Memang Mbakmu itu sudah maling lakik orang. Apa memangnya yang kau harapkan? Happily ever after? Cuma ada di cerita yang begitu itu. Paham?"

Biasanya, Rindu akan tertawa mendengar cara Adiyanto memaki orang, tetapi kali ini tidak. Mulutnya ingin mencaci maki dengan kata-kata paling kotor di dunia. Kemudian, apa? Dia akan menyesal setelah meledakkan kemarahan. Orang tuanya selalu mengatakan untuk tidak mengambil keputusan saat emosi merasuki pikiran.

Rindu bersandar di tempat duduknya. Dia menarik napas panjang dan membuangnya pelan-pelan, mencoba untuk mengendalikan diri. Bagaimanapun, tak ada orang tua yang memberikan nasihat buruk untuk anaknya, 'kan?

"Apa ikut-ikut?" Adik Jeni dengan berani menatap garang pada Adiyanto.

"Kau sendiri sampai sini juga ikut Mbakmu yang pelakor, kan?" sindir Adiyanto.

"Et dah, pelakor teriak pelakor!" Putra tak mau kalah. Dia yang semula mencegah Rindu untuk tidak ribut justru bersuara paling kencang seolah lupa apa yang dia katakan sebelumnya.

"Diamlah!" geram Rindu. "Apa maumu, Jen?"

"Aku mau minta maaf."

"Sudah kumaafkan. Pergilah! Aku nggak mau berurusan denganmu." Semula, Rindu ingin tahu alasan Raga mengkhianatinya. Namun, untuk apa? Kalau dipikir-pikir lagi, itu adalah tindakan sia-sia. Orangnya sudah di dalam bumi dan tak akan kembali. Lebih baik mengakhiri semua di sini. Hatinya sudah berusaha untuk merelakan. Jodohnya dengan Raga sudah selesai.

"Sudah dimaafkan, tapi nadamu masih sinis, Ndu."

"Sekarang, coba bayangkan seandainya kamu jadi aku!" Emosi Rindu yang sudah mereda kembali muncul. "Memangnya kamu bisa bermanis-manis dengan perempuan yang sudah mencuri pacarmu?"

Rasanya, Rindu ingin tertawa dalam histerisnya. Bagaimana bisa ada perempuan seperti itu? Tidak punya rasa simpati sama sekali sampai tega memaksakan sesuatu di luar kewajaran.

Rindu sudah memaafkan, tetapi tidak melupakan. Hubungan yang sudah dirusak oleh sebuah pengkhianatan tak mungkin untuk diperbaiki. Ini bukan kesalahan biasa yang mudah untuk dilupakan.

"Ya begitu kalau otaknya ada di dengkul!" Putra semakin tak terkendali dengan kalimatnya. "Kamu pikir, Rindu nggak terpukul sama kelakuanmu? Sudah bejat, ngatain orang seenaknya. Kalau sudah seperti ini, kita sama-sama tahu, 'kan, siapa pelakornya?"

"Mas Raga datang karena untuk kesekian kali kamu naik gunung dengan teman-teman sementara dia tak bisa ke mana-mana. Pekerjaannya banyak dan saat itulah kami bertemu."

"Aku nggak tertarik mendengar ceritamu!" ujar Rindu.

"Mas Raga menikahiku, tapi terus memikirkanmu. Tak pernah sekejap pun dia mencintai aku. Di hatinya, hanya ada Rindu, Rindu, dan Rindu sampai aku muak mendengarnya bercerita tentangmu."

"Ya panteslah selalu Rindu. Beda kualitas." Putra tetap gagal mengendalikan lisan.

Banyak mahasiswa berlalu-lalang di depan sekretariat. Tak sedikit yang melirik ingin tahu. Ada juga yang terang-terangan menoleh ketika suara Putra dan Adiyanto terdengar keras serta terus terang.

"Mulai hari ini, nggak ada yang ngatain Rindu pelakor lagi. Pelakor aslinya sudah muncul dan mengaku dosa."

"Kami hanya menikah secara agama dan akan berpisah segera, setelah anak kami lahir. Apa yang ada di kepala Mas Raga hanya Rindu. Bagaimana membesarkan bayi kami dalam asuhan Rindu sebagai mamanya."

"Nggak ikut bikin kok ikut repot." Adiyanto kembali mencela.

"Aku jengkel kakakku nggak pernah bahagia hanya karena Rindu."

Teriakan adik Jeni yang sukses menarik perhatian dari banyak sekretariat UKM di sana. Rindu masih diam seribu bahasa, tidak tertarik untuk berkomentar atau hanya sekadar bersimpati.

"Makanya, berbuatlah yang baik!" tutur Galang bijak. "Mau dibahas sampai kapan? Nggak malu kalian bersuara keras begitu? Keadaan sudah seperti ini. Namanya gelas, kalau sudah retak, memangnya bisa dikembalikan lagi? Pahami itu!"

"Mbak Rindu ...." Seorang gadis dengan celana jin dan kemeja kotak-kotak berlari ke sekretariat Mapala. "Dipanggil Pak Gara."

***

Rindu berlari dari sekretariat Mapala dan sampai tepat waktu di gedung A saat hujan deras tiba-tiba mengguyur bumi. Apa alasan sang dosen tiba-tiba memanggilnya? Mereka makan siang bersama dan belum ada satu jam berpisah. Pasti ada sesuatu yang penting sehingga Segara harus memintanya datang.

Rindu menaiki tangga dengan langkah cepat dan sampai di atas dalam waktu singkat. Pintu ruang kerja Segara tertutup. Tak ada antrean mahasiswa di depannya. Alisnya bertaut sebentar sebelum pikirannya melontarkan tanya. Ada apa? Tanpa berpikir lebih panjang lagi, dia mengetuk pintu.

Pintu terbuka beberapa saat setelahnya. Rindu masuk tanpa dipersilakan. Segara sendiri yang langsung membuka pintu. Ini pun di luar kebiasaan dosennya. Biasanya, Segara hanya akan mengatakan masuk dan tak repot-repot membukakan pintu.

"Kenapa?" tanya Rindu tak menyembunyikan keheranan saat Segara menatapnya. "Kangmas baik-baik saja, 'kan?"

"Saya yang harusnya tanya begitu. Kamu baik-baik saja?"

Pertanyaan Segara mengingatkan Rindu pada kejadian beberapa saat lalu. Tidak penting bagaimana sang dosen tahu, dia butuh pelukan. Rindu merangsek memeluk Segara.

"Kangmas, aku ...."

"Jangan memaki orang!" tutur Segara. "Berbicaralah yang baik sampai tak ada orang yang bisa mencelamu dalam bertutur kata!"

"Aku nggak ngatain orang," kata Rindu, "anak itu yang datang sendiri dan cerita semuanya. Teman-teman yang memaki."

"Saya nggak peduli teman-temanmu mau memaki atau bicara buruk. Tapi, kamu jangan!"

Rindu mengangguk dalam pelukan Segara. Merasakan perhatian dan sayang tanpa kata romantis, tetapi menurutnya tetap manis. Ada banyak cara mengungkapkan perhatian yang selama ini tak diketahui Rindu.

"Jadi, bagaimana perasaanmu?"

"Baik-baik saja," kata Rindu. Dia melepas pelukannya, "kenapa Kangmas panggil aku?"

"Memangnya saya harus bagaimana ketika tahu kalau pacar saya sedang terlibat dalam masalah yang berpotensi viral?"

"Tahu dari mana?"

"Ambil paket di bawah, kemudian ada banyak mahasiswa ramai membahas masalahmu. Terkenal, ya, kamu?"

Rindu berdecak. "Aku nggak bangga."

"Memang nggak ada yang harus dibanggakan."

"Yang penting aku nggak berteriak."

"Memang tidak perlu berteriak." Segara menyetujui. "Kamu berpendidikan, jaga sikapmu jangan sampai bersikap seperti orang tidak terdidik!"

"Iya."

"Lagi pula, memangnya kamu masih suka sama ... siapa namanya yang meninggal itu?"

Mau peluk aja banyak alasan, Kangmas. Modusmu kebaca sama mamak othor😝😝

Love, Rain❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top