🍁 19. Pacar? 🍁
Assalamualaikum, temans. Selamat siang. Sekali-kali update buat nemanin makan siangmu, yaa ....
(Aslinya aku ditagih, lupa akutuh kalau blm update).
.
.
.
.
Rindu tidak berani bereaksi pada ucapan Segara. Tadi, dia mendengar kalau sang dosen sedang dalam suasana hati yang tidak bagus. Namun, di matanya, pria itu terlihat baik-baik saja. Berpegang pada kalimat bahwa jangan menilai sesuatu dari yang terlihat, membuatnya terus menutup mulut. Setelah mengulurkan berkas, dia hanya diam dan menunggu.
Bagian mana pun yang akan disalahkan oleh Segara bukanlah masalah untuk Rindu. Baginya, lebih baik begitu karena itu berarti dosennya tak ingat lagi kalimatnya di hari terakhir bimbingan lebih dari seminggu yang lalu.
"Kamu mikir apa saat merevisi?" tanya Segara setelah beberapa saat.
"Bagian mana yang salah, Pak?"
Segara mengembalikan berkas Rindu dan mulai memberikan wawasan tentang beberapa hal. Bagaimana bab tiga miliknya disempurnakan, menambahkan apa, sampai apa yang harus dibaca sampai semua yang dimaksud tertulis dalam berkas tugas akhir.
"Ngerti?"
"Ngerti, Pak!"
"Ya sudah. Kamu revisilah dulu sana! Di rak teratas sebelah sana itu ada contoh tugas akhir punya Dikta yang kamu perlukan. Cobalah baca dulu, tapi ingat! Jangan diplagiat!"
Rindu bergegas bangkit meninggalkan meja Segara menuju pojok ruangan, tempat kesukaannya untuk bekerja. Setelah mengambil hasil kerja Dikta, dia duduk dan menyalakan laptop, lalu mulai membaca. Dari tanda yang diberikan Segara, rasanya kesalahannya hanya sedikit.
"Bapak mau ke mana?" tanya Rindu saat Segara sampai pintu. Seperti biasa, langkahnya hampir tak terdengar.
"Ke ruang A5, ngecek praktikum. Kamu di situ saja!"
Rindu mengangguk, lupa kalau Segara punya satu kelas pagi di hari Sabtu. Kemudian, dia ingat kalau Segara punya asisten yang sudah pasti bisa diandalkan untuk memantau pekerjaan di laboratorium. Sepertinya, apa saja bisa dilakukan dengan mudah oleh Segara.
Sepeninggal Segara, Rindu kembali membaca bab tiga milik Dikta. Setelah membaca berulang-ulang, dia tahu yang dimaksud Segara. Memang, semua tak bisa dimengerti dengan mudah, beberapa orang perlu pemahaman sedikit lebih lama dan itu termasuk dirinya.
"Sudah selesai?"
Rindu mendongak dari keasyikannya membaca pekerjaan di layar laptop. Segara datang dengan menjinjing tas, langsung menuju meja kerja. Matanya mengikuti sang dosen yang duduk, lalu menandaskan air mineral dalam botol.
"Sudah, Pak."
"Sudah dibagi Drive-nya?"
"Sudah, Pak!"
"Kamu duduk sini! Saya sedang tidak mau berbicara kencang."
Tanpa diminta dua kali, Rindu pindah tempat duduk di depan Segara. Seperti biasa, saat dosennya sibuk membaca, dia akan memperhatikan wajah Segara yang fokus mengoreksi tulisannya. Masih tampan dan seksi. Rindu menarik napas panjang. kata seksi yang muncul di kepalanya adalah sesuatu yang menurutnya serius. Dia bisa gila jika lama-lama membayangkan sesuatu tentang sang dosen.
"Kenapa kamu menarik napas begitu? Ada masalah?"
"Ti-tidak, Pak!" Rindu gelagapan, Tidak menyangka kalau Segara memperhatikannya dalam fokusnya meneliti tulisan.
"Kamu perhatikan yang saya tandai di beberapa kalimat. Di situ, kamu bisa sedikit menghaluskan bahasamu. Ada beberapa kata asing yang belum kamu cetak miring. Beberapa typo juga kamu bikin. Kemudian, di bagian akibat itu ada yang kamu tulis dua kali. Baca lagi dengan saksama, mestinya kamu sudah nggak bikin kesalahan kecil seperti ini."
"Siap, Pak."
Ini revisi ringan, tetapi otak Rindu rasanya sudah mendidih. Dia perlu sedikit refreshing sebelum kembali berkutat dengan huruf-huruf dan semua kalimat Segara yang baginya masihlah kurang manusiawi. Istilah-istilah yang gagal dihafal atau sekadar memperhatikan itu bahasa Indonesia atau asing.
"Pak," panggil Rindu takut-takut.
"Apa?" Segara sudah kembali pada mode menjawab segala sesuatu, tetapi fokusnya tetap di layar laptop.
"Boleh nggak kalau ...." rasanya tak punya nyali untuk mengatakan kalau dirinya sedang jenuh.
"Apa?" Kali ini Segara melihat wajah Rindu setelah melepas kacamata. "Jangan bilang kalau kamu mau bekerja di meja saya!"
"Ti-tidak, Pak." Rindu kembali terbata, tidak menyangka Segara mengucapkan kalimat yang membuatnya ngeri. Demi apa dia meminta bekerja di meja pria itu? Memikirkannya saja belum pernah.
"Lalu, mau apa?"
"Saya jenuh, Pak. Boleh tidak kalau saya naik gunung? Janji ... hari Senin nanti saya kembali ke sini dengan pikiran yang sudah segar dan siap melanjutkan tugas akhir ini lagi."
Ruangan hening. Rindu sudah berpikir dirinya memang mencari mati dengan bertanya tentang refreshing. Kalau memang mau pergi, mestinya langsung pergi saja seperti yang sudah-sudah. Naik gunung bukanlah hal besar yang harus dipermasalahkan, apalagi ini hari Sabtu. Cukup kalau hanya untuk gunung di wilayah Malang.
"Nggak boleh." Segara menjawab setelah keterdiaman yang Rindu rasakan seperti setahun.
"Kalau begitu, arung jeram boleh? Saya pergi Minggu pagi sekali, dan sudah kembali sore hari."
"Nggak boleh."
"Cuma arung jeram, Pak. Tidak menghabiskan banyak energi dan bikin saya kecapekan, lalu melupakan tugas akhir. Saya janji hari Senin akan menghadap."
"Tidak." Segara masih pada pendiriannya.
"Pak, tapi—"
"Katanya pacar, kenapa nggak mau mendengarkan saya?"
"Pa ... car ...." Rindu melongo mendengar ucapan Segara.
"Lebih dari seminggu lalu, kamu bertanya boleh nggak kalau jadi pacar saya, lupa?"
"Pak, itu ...." Rindu tak mampu melanjutkan kalimatnya.
"Kamu boleh jadi pacar saya, asal nggak keberatan dengan usia saya yang sudah 36 tahun."
Rindu tersenyum. Di matanya, Segara tidak terlihat seperti pria berusia 36 tahun. Pria itu bahkan terlihat muda dan tak akan ada yang tahu seandainya dia berkata umurnya 26 tahun. Rambutnya masih hitam legam tanpa terganggu sehelai uban pun.
"Nggak apa-apa, Pak." Rindu merasa senang dan santai di saat bersamaan. Kegelisahannya selama lebih dari satu minggu seperti tak berarti digantikan butir-butir bahagia yang terasa menggelitik hati. "Kalau nggak boleh naik gunung dan arung jeram sendiri, Bapak boleh menemani."
"Nanti, kalau selesai sidang."
Rindu menunduk lesu. "Baiklah, Pak!" Tak apa menahan diri untuk tidak berpetualang. Mungkin, Segara berpikir bahwa tugas akhir ini memang harus selesai sesegera mungkin.
"Mestinya kamu lebih senang sama saya daripada naik gunung atau yang katamu sekadar arung jeram?"
"Saya senang, Pak. Tapi, setidaknya beri saya libur dua hari!"
"Kamu punya paspor?"
"Nggak punya. Buat apa? Saya nggak kepikiran buat naik gunung sampai luar negeri."
"Bikinlah! Dalam tiga minggu saya akan pergi ke Malaysia mendampingi lomba."
"Ya nggak apa-apa kalau Bapak mau pergi mendampingi lomba. Sudah biasa begitu, 'kan?"
Ini bukan hal baru untuk Rindu. Bukan sekali atau dua kali Segara mendapat tugas serupa. Jadi, hal itu tak mengherankan lagi untuknya.
"Saya nggak ada di tempat paling tidak selama empat hari dan nggak bisa ditemui selama seminggu. Bisa jadi lebih karena saya lelah setelah pulang dari acara itu. Biasanya, saya menunda bimbingan."
"Wah, jangan kalau yang bagian terakhir itu, Pak!" Rindu mulai ketar-ketir dengan ketersediaan waktu Segara. Kemarin saja, dia sudah mangkir lama, bagaimana jika dosennya menunda? Tugas akhir bisa kacau tanpa kehadiran Segara. "Bisa gagal sarjana saya."
"Makanya, urus paspor dan kamu bisa ikut saya. Pacar, 'kan?"
Rindu memperhatikan ekspresi Segara yang sedang menatapnya. Kali ini, wajah itu terlihat lembut. Bahkan Raga yang pernah menjadi kekasihnya selama lebih dari empat tahun belum pernah menatapnya seperti yang dilakukan Segara. Dia terpesona dan berharap semuanya baik-baik saja setelah ini.
"Ini Bapak serius?" Telinganya mendengar ajakan Segara dengan jelas, tetapi akal sehatnya masih tidak memiliki keyakinan. Demi apa Rindu diajak ke luar negeri supaya bimbingannya tak terputus karena kesibukan dosennya?
"Menurutmu?"
Jadi, sudah pacaran belum, sih?
Atau cuma ngamanin tugas akhir?
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top