🍁 13. Kepo 🍁

Malam, temans. Rindu hadir tepat waktu, yaa. Kuyy merapat. Selamat membaca.

Rindu melajukan motornya melewati jalan besar Soekarno Hatta sampai masuk ke perumahan yang satpamnya siaga 24 jam. Dia mengamati rumah dengan dinding berwarna abu-abu. Ada pohon rambutan yang buahnya sudah mulai menguning. Beberapa sudah merah dan siap dipetik.

Rindu menekan bel di sebelah kiri pagar bagian dalam. Sembari menunggu, matanya kembali menatap sekeliling. Ada mawar jambe di bawah jendela yang dia duga sebagai kamar. Kemudian, ada rumpun melati, dan beberapa bunga hias lainnya tertata rapi memperindah halaman yang tidak luas.

Rindu berniat untuk kembali menekan bel saat terdengar suara kunci diputar. Meskipun pagar rumah tinggi, dia masih bisa melihat Segara berjalan dan membuka pagar. Apa yang dilihatnya kemudian adalah penampilan sang dosen yang seratus persen berbeda dari biasanya.

"Sore, Pak," sapa Rindu.

"Sore," jawab Segara.

Mengenakan celana santai selutut dan kaus oblong warna hitam, Segara tampak santai meski aura seriusnya tidak pudar. Pria itu berbalik masuk setelah Rindu memasukkan motor ke garasi. Setelahnya, dia mengekor dosennya, dan duduk di ruang tamu.

"Bapak kenapa nggak masuk?" Rindu melontarkan pertanyaan pertama yang mengusik pikirannya sepanjang siang sambil mengeluarkan berkas.

"Nggak enak badan." Segara menerima berkas Rindu, lalu mulai membaca.

Rindu mengamati rumah Segara. Dari ruang tamu, ruang tengah terlihat karena tanpa sekat. Terlihat ada dua ruangan di sisi kanan dengan pintu tertutup yang sudah pasti itu adalah kamar.

Setelah sekilas mengamati rumah Segara, fokus Rindu kembali pada pekerjaannya. Dia sempat menangkap kerutan sepasang alis dosennya. Saat itulah napas panjangnya terembus pelan. Mau sebagus apa pun dirinya berusaha, kesalahan akan terus ada.

"Buku apa yang kamu baca?" tanya Segara seraya meraih pulpen di meja.

"Buku di rak ruang kerja Bapak dan beberapa dari perpustakaan." Rindu mencoba mengingat, dari mana dia mendapatkan isi bab dua. "Ada juga yang dari internet. Waktu membaca dan kebetulan ada di internet, saya copas dari sana."

"Sudah saya bilang, 'kan, kalau copas itu dibaca dulu?"

"Saya baca, loh, Pak."

"Kalau membaca, mestinya nggak ada kesalahan semacam ini." Segara menandai beberapa bagian, kemudian membalik berkas Rindu untuk melakukan hal yang sama. "Ini sama, hanya beda kalimat saja."

Rindu tak berani membantah. Kali ini, dia membaca dengan saksama poin-poin yang dimaksud Segara. Dia membodohkan diri sendiri. Apa yang sang dosen tunjukkan, memang benar adanya.

"Beberapa teori memang sama, tapi kamu harus bisa memilih yang cocok untuk digunakan. Membaca banyak itu digunakan sebagai pembanding, mana yang lebih lengkap. Kalau ada teori lain, pastikan itu berbeda sehingga tulisanmu menjadi lebih kaya. Bukannya berputar di situ-situ saja."

"Ya, Pak."

"Jangan cuma iya, Pak, tapi nggak dilakukan. Kamu kira, saya nggak tahu kalau kamu nggak menambahkan bab sebelumnya seperti yang saya arahkan?"

Mampus. Rindu tidak merasa sudah mengabaikan ucapan Segara mengenai kesalahan-kesalahan menulisnya. Ini pasti murni otaknya yang memang tidak menangkap penjelasan dengan sebagaimana mestinya. Lagi pula, demi apa Segara masih membaca bab yang sudah lewat, padahal yang dia konsultasikan adalah pekerjaan baru.

"Pak, itu ...."

"Itu apa? Malas merevisi?"

"Bukan gitu, Pak, tapi ...."

"Tapi apa?"

"Otak saya yang korslet."

Rindu mengutuk mulutnya yang terlalu spontan. Dia berpikir bahwa sebentar lagi Segara akan marah dan mengusirnya lagi. Namun, ketika matanya menangkap tatapan sekilas dosennya disertai senyum kecil, lalu kembali fokus membaca, hatinya jadi sedikit tenang.

Beberapa minggu kerja dalam pengawasan Segara membuat Rindu mengerti bahwa kesalahan itu diperbaiki. Bukannya mengelak atau membantah. Dosennya menoleransi banyak hal asalkan ada niat baik untuk belajar.

Seperti hari ini, Rindu menerima banyak hal baru dari Segara. Apa yang kurang dan seharusnya ada dia ketik di ponsel. Dirinya memastikan, tak akan ada kesalahan yang sama saat revisi berikutnya. Pikirannya harus mengingat bahwa Segara memiliki kebiasaan membaca seluruh berkas.

"Kamu ngerti?"

"Ngerti, Pak!"

"Besok, kamu baca-bacalah lagi di ruangan saya. Ada itu beberapa contoh tugas akhir di sana, tapi jangan dicontek!"

"Siap, Pak!"

"Ya sudah. Ada lagi yang mau ditanyakan?"

"Boleh bikin bab tiga, Pak?"

"Nggak!" Segara menjawab pertanyaan Rindu tanpa berpikir atau bahkan sekadar mempertimbangkan. "Babmu tidak sempurna kalau saya bilang kamu boleh lanjut. Jadi, bereskan ini dulu kalau mau masuk bab tiga!"

"Tapi, Pak ...." Rindu urung melanjutkan kalimatnya. Sorot mata Segara mengatakan bahwa pria itu tak mau dibantah.

Baiklah. Seperti saran Galang yang mengatakan untuk menurut pada Segara maka itulah yang dilakukannya. Dia sedang berada dalam tenggat dan dosennya tahu itu. Sebagai pendidik, tak mungkin Segara membiarkan anak didiknya gagal. Rindu hanya perlu berpegang pada fakta itu untuk terus maju memperjuangkan nasib.

"Pak, kok rumahnya sepi? Ibu ke mana?"

Rindu gagal membendung rasa ingin tahu. Sejak datang, matanya sudah mengamati seisi rumah dan tidak mungkin penghuninya ada di kamar untuk waktu yang lama. Kalaupun di kamar, setidaknya ada pergerakan yang menunjukkan tanda-tanda kehidupan.

"Di rumah orang tuanya," jawab Segara.

"Maksudnya ... tinggal terpisah, ya, Pak?"

Segara meletakkan berkas Rindu dan mengambil berkas lain dari bawah meja. "Kebetulan aja lagi ke rumah orang tuanya."

"Kapan baliknya, Pak?"

"Kamu terlalu kepo. Mendingan buka laptop dan mulai membenahi apa yang saya bilang."

Rindu berdecak. "Bapak ini ...." Bibirnya berkerut seolah merajuk. "Sekali-kali santai, 'kan, nggak apa-apa, Pak?" Meski begitu, Rindu menuruti ucapan Segara dengan langsung mengeluarkan laptop dari tas.

Sebentar saja, Rindu sudah mulai merevisi hal-hal yang dikatakan Segara. Sebagian lagi hanya dia tandai supaya tidak lupa karena bagian itu perlu buku dan contoh seperti yang disarankan dosennya. Mata dan pikirannya memang bekerja, tetapi hatinya masih ingin mengintip kehidupan pribadi pria yang menurut banyak orang luar biasa.

"Kalau ibunya Bapak, di mana?" tanya Rindu tanpa mengalihkan fokus dari layar laptop.

"Palembang." Segara pun menjawab singkat, nyaris tanpa berpikir.

"Sama siapa di sana?"

"Kakak dan keluarganya."

"Ibunya Bapak nggak kangen gitu sama Bapak?"

"Nggak," tukas Segara cepat. "Kalau kangen, saya yang ke sana. Lagi pula, pesona cucu itu mengalahkan pesona anak."

"Oh ...." Rindu mengangguk-angguk. "Kalau rumah orang tua istri Bapak, di mana?"

"Betek."

"Oh ... Mbetek. Pasti orangnya Londo sekali. Secara, ya, daerah itu sudah ada sejak ratusan tahun."

Rindu berceloteh tentang daerah yang disebut Segara. Tentang tanaman bambu yang ditanam sebagai pagar (disebut betek) supaya tanah tidak longsor tergerus aliran Sungai Brantas. Daerah itu juga disebut Jenggrik yang bermakna kaki atau lereng. Namun, yang dimaksud dengan lereng dan kaki di sini bukanlah lereng dan kaki gunung, melainkan lereng candi pusat Kerajaan Kanjuruhan di Dinoyo.

"Kenapa nggak kuliah sejarah saja kamu?" Segara berkomentar setelah Rindu diam.

"Kata Papa saya, kuliah itu bagusnya yang kekinian. Biar nggak gaptek ... ya meski saya tetap gaptek juga sebenarnya."

Hening mengambil alih suasana. Rindu melirik Segara yang masih terus membaca, sementara dirinya sudah bosan setengah mati menghadapi huruf-huruf di layar. Sungguh, dia tak pernah tahu mengapa orang berkata membaca itu menyenangkan dan bahkan menyatakannya sebagai hobi.

"Bapak, 'kan, lagi nggak enak badan ... uhm ... kenapa Ibu nggak ke sini nemenin?"

Kembali hening. Dalam bimbingan yang Rindu selingi dengan obrolan, otaknya menyimpulkan beberapa hal. Segara menjawab cepat segala hal mengenai orang tua dan keluarganya. Namun, pria itu diam ketika Rindu bertanya tentang istrinya. Bahkan cenderung menghindar, pikir Rindu.

"Kamu nggak mau cari pacar baru?"

Hayo, lohh, kicep nggak Ndu kalo dibalik gitu?

Love, Rain❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top