🍁 1. Duka Gila 🍁
Malam, temans ....
"Turut berduka cita atas majunya Rindu Rembulan menuju tugas akhir dalam bimbingan Segara., S.T., M.T.I."
Rindu membaca apa yang tertulis di karangan bunga duka cita di depan sekretariat Mapala, diiringi beberapa tatapan geli mahasiswa yang sempat ikut membaca. Dia mengumpat dalam hati, menebak siapa yang punya kelakuan seaneh ini. Dengan langkah lebar, kakinya menuju sekretariat.
"Suka bunganya?" Putra menyambut kedatangannya dengan senyum lebar.
"Dasar teman kurang ajar," maki Rindu. "Malu-maluin."
"Makin malu-maluin, makin bagus. Kamu jadi makin terkenal." Putra tertawa tanpa rasa bersalah.
"Apa gunanya terkenal kalau bakal dikuliti Pak Gara?" Bibir Rindu mengerucut. Dia meletakkan tas di meja, lalu duduk sambil meneguk air mineral dari botol ungu dengan gantungan carabiner di bagian lehernya. "Mas Raga nggak kemari?"
"Buat apa cari Raga?" Putra terdengar tidak suka. "Pikirin Pak Gara!"
"Yang ada stres mikirin Pak Gara."
"Sudah tahu. Makanya aku kirim bunga duka cita. Biar semangat."
Dasar teman laknat, omel Rindu dalam hati. Dia yang dari tadi mati-matian menabahkan hati justru diingatkan kembali dengan kejadian itu. Demi apa dirinya harus membuat tugas akhir di bawah bimbingan dosen killer dan minim ekspresi. Belum lagi kalimatnya yang jauh dari kata menyenangkan. Kalau tak ingat dirinya akan drop out jika tidak selesai tugas akhir dalam enam bulan, lebih baik pergi naik gunung.
"Dasar banyak mulut!" Rindu melempar sebuah pisang ke kepala Putra. "kaya sendirinya sudah pinter aja. Kamu sama menderitanya mengerjakan tugas akhir."
Putra menangkap pisang yang dilempar Rindu. Mengupas kulit dan mulai memakannya. "Setidaknya ... pembimbingku bukan Pak Gara dan aku tidak berada dalam tenggat enam bulan sepertimu." Putra tertawa keras setelah menyelesaikan kalimatnya. Laki-laki itu tampak bahagia bisa mengejek Rindu. "Dan yang menyenangkan ... aku bisa tugas akhir dengan santai sambil naik gunung."
"Apa, sih, kencang banget ketawamu?" Adiyanto masuk ke sekretariat mahasiswa pecinta alam disusul Fitra, Rianti, Lena, dan Ika.
"Macan gunung kita kehilangan kukunya gara-gara harus tugas akhir sama Pak Gara."
Dasar mulut ember tanpa saringan. Putra membuka rahasia Rindu tanpa ragu-ragu. Memangnya tidak cukup sudah membuatnya malu dengan karangan bunga duka cita di depan sana? Sontak saja sekretariat penuh riuh tawa dari semua yang ada di sana. Rindu menarik napas panjang dan mengembuskannya keras. Dia frustrasi. Dari puluhan dosen di Fakultas Ilmu Komputer, kenapa harus Segara?
"Selamat, Ndu. Nilai bagus di depan mata."
"Selamat menikmati hari-harimu."
"Semangat, Ndu. Menaklukkan gunung saja bisa, masa tak bisa mengambil hati Pak Gara?"
Rindu tidak merasa perlu berterima kasih dengan ucapan teman-temannya. Tanpa bertanya pun dia tahu kalau mereka semua sedang mengejeknya. Wajah-wajah cengengesan itu terlihat menyebalkan. Kemudian, apa tadi? Mengambil hati Pak Gara? Halo, adakah yang tak kenal siapa Pak Gara di kampus ini? Si perfeksionis yang tak bisa ditawar maunya. Tidak sepenuhnya begitu, mungkin akan ada sedikit kompromi yang beliau berikan setelah diskusi panjang berdasarkan hal-hal yang bisa dipertanggungjawabkan.
"Ada yang lihat Mas Raga, gak, sih?" Rindu kembali menanyakan keberadaan Raga.
"Sudah dibilang cari cowok lain, nggak ngerti juga. Kenapa, sih, Raga melulu? Ganteng kagak, jengkelin iya." Putra kembali menjawab pertanyaan Rindu mengenai Raga.
"Bagian mana jengkelin?" Rindu tak terima. Dalam empat tahun hubungan mereka, Raga adalah sosok humoris dan penuh perhatian. "Dia selalu bantuin aku, tahu?"
"Halah!" Putra mengibaskan kedua tangan di depan wajah. "Nggak datang saat kamu butuh. Beberapa bulan terakhir malah jarang nongol di sini."
"Sibuk, tahu sendiri dia itu manajer perusahaan multi nasional." Fitra menimpali.
"Ndu, itu bucin. Please, bedain!" Lena tidak mau kalah.
"Rindu itu pantang untuk pindah ke lain hati." Rianti pun tak mau diam.
"Pak Gara urusan belakangan, yang penting Raga muncul dulu." Ika juga meledek dengan sepasang alis yang naik turun bergantian.
Teman-teman Rindu terus aja mengoceh, mengungkapkan kata-kata menjengkelkan yang membuat Rindu semakin geram. Meskipun begitu, tidak ada yang bisa dilakukannya karena keadaan tidak memberinya kesempatan untuk itu. Ponsel Rindu tiba-tiba berteriak dan ruangan menjadi hening. Beberapa pasang mata melirik ke arah benda berukuran layar enam inci yang tergeletak di meja. Dari identitas pemanggilnya saja sanggup membuat mental Rindu semakin down.
"Angkat saja, Ndu!" cetus Adiyanto. "Kualat mengabaikan panggilan orang tua."
"Tante Leni bukan orang tuaku!" balas Rindu. "Pembimbingmu, dia. Sama nggak enaknya dengan Pak Gara."
"Mau senggak enak apa pun, Bu Leni masih lebih ramah daripada Pak Gara. Nanti ...." Adiyanto diam sejenak. "Aku bilang sama Bu Leni supaya ngajarin kamu kelarin tugas akhir." Ucapan yang menurut Rindu tidak bermutu. Tantenya itu memiliki kesabaran setipis bulu mata, lalu berbagai macam sindiran pun akan memanaskan telinga. Di rumah saja dia enggan untuk berlama-lama berada dalam satu ruangan yang sama dengan tantenya, bagaimana caranya bisa minta diajari membuat tugas akhir? Dunia pasti sudah terbalik saat itu terjadi.
Tante Leni adalah adik dari papanya Rindu. Berusia tiga puluh delapan tahun dan belum menikah. Waktunya dihabiskan untuk sekolah dan kini mengabdi di universitas yang sama dengan tempat Rindu menimba ilmu. Tidak pernah ada kecocokan antara tante dan keponakan itu. Rindu yang santai tidak cocok dengan Leni yang serius serta tak bisa dibantah.
"Berisik. Bisa gitu kalian prihatin dikit?"
"Guys ... tenang sebentar!" Fitra menengahi keributan di ruangan seluas tiga puluh dua meter persegi itu. "Beri waktu pada Rindu untuk menerima telpon dari Bu Leni dan jangan berisik!"
Ruangan hening, tetapi Rindu masih enggan menjawab telepon. Dia sudah tahu apa yang akan didengarnya saat terhubung dengan si penelepon itu nanti. Tak akan jauh-jauh dari waktu kuliahnya yang semakin sempit dan keharusan untuk serius serta melupakan kesenangannya sejenak. Adakah jalan untuk menghindar? Sudah pasti tidak. Dengan semua perkiraan itu, Rindu menggeser tombol hijau di ponselnya. "Ya, Tante?"
Apa yang sudah Rindu prediksi benar-benar terdengar di telinganya. Omelan untuk tidak menganggap remeh segala sesuatu dan mulai serius memikirkan pendidikan. Siapa yang meremehkan? Rasanya Rindu tidak terima kalimat itu. Lagi pula, kalau dirinya tidak peduli pada pendidikan, dia tidak akan mau kuliah sampai sejauh ini.
"Iya, Te. Rindu di kampus, kok."
Respons tantenya tetap tak mengenakkan meskipun Rindu sudah mengabarkan keberadaannya. Apa yang salah dengan tante dan orangtuanya? Bukankah sudah bagus kalau dirinya ada di kampus? Di masa-masa masih ada perkuliahan, dia juga bukan orang yang malas.
"Iya, Te. Sebentar lagi aku menemui Pak Gara."
Panggilan diakhiri secara sepihak. Rindu tidak ambil pusing dengan hal itu. Malah bagus menurutnya, tetapi ada masalah yang harus diselesaikan. Menemui dosen pembimbingnya atau dia akan kembali mendapatkan kuliah dua SKS dari tantenya saat pulang sore nanti. Bagaimana hasilnya bisa dipikir belakangan. Yang penting melaksanakan ucapannya pada sang tante.
"Kenapa mukamu kelihatan jelek begitu, Ndu, padahal bungamu di depan bagus?" Galang masuk dan menghempaskan diri di kursi kosong yang tersisa. Dari ekspresinya, pria itu terlihat menahan tawa. "Santai saja dan siap-siap untuk ekspedisi Satu Suro ke Gunung Lawu."
Satu orang yang bagi Rindu sama menyebalkannya dengan yang lain. "Mungkin aku nggak ikut, Mas." Mengabaikan ekspresi Galang, Rindu melipat kedua tangan di meja dan merebahkan kepala di atasnya. Suaranya terdengar kalah, seolah dunia akan berakhir besok.
"Nggak ikut?" Suara Galang terdengar heran. "Yakin? Ini acara tahunan yang selalu seru. Ada banyak orang di sana dan inilah hari di mana seluruh jalur pendakian dibuka. Sangat menyenangkan."
"Tugas akhir, Mas." Lena menjawab sesuatu yang tak mampu diucapkan oleh Rindu. "Pak Gara tak mungkin bisa memberikan banyak kompromi."
"Pak Gara?" Galang mengulang nama yang disebut Lena. "Maksudmu Segara yang Kaprodi? Kupikir candaan doang bunga di depan tadi. Kalian kalau iseng 'kan suka gila-gilaan?"
"Iya, Mas. Pak Gara yang itu. Nggak ada nama itu selain beliau di kampus ini."
"Terus ... kenapa Rindu kelihatan tidak senang? Ini adalah Pak Gara. Tugas akhirmu akan menjadi yang terbaik di tangannya. Beliau itu salah satu dosen terbaik di universitas ini. Reputasinya keren. Sering diminta kampus untuk mendampingi berbagai lomba dan pulang membawa juara. Sejauh ini, beliau tak pernah gagal mengharumkan nama kampus. Urusan sebesar itu saja Pak Gara sanggup urus dengan mudah, apalagi yang cuma tugas akhirmu. Kecil itu, sih, Ndu."
Rindu tidak terkesan dengan segala pujian atas prestasi dosen pembimbingnya. Menurutnya, itu memang pekerjaan beliau dengan para mahasiswa kutu buku kurang piknik yang hobi utak-atik ketidakjelasan. Kemudian berkumpul membicarakan sistem, coding, dan banyak istilah yang tidak semuanya dia hafal. Untuk dirinya yang suka sekali berpetualang, semua kegiatan anak didik Segara bukanlah hal yang menyenangkan.
Salah. Rindu mengerutkan alis untuk meralat pemikiranya. Kegiatan anak didik Segara tak sepenuhnya membosankan. Ada bagian yang menyenangkan yaitu mengunjungi suatu tempat dan itu gratis. Namun, hanya di situ saja. Setelah menang, lalu apa? Mereka akan kembali berkutat dengan buku-buku dan memelototi layar laptop sampai mata pegal dan buram.
"Rindu sudah patah semangat begitu mendengar nama Pak Gara."
"Semangatlah!" Galang mengetuk kepala Rindu dengan ujung jari. "Pak Gara tak seburuk itu. Lagian ... kalau pikiran awalmu sudah jelek, bimbinganmu nggak akan berjalan mulus. Santai saja dan mulai berpikir positif."
"Pak Gara terlalu hebat untuk aku yang biasa saja." Rindu beralasan, mungkin ada sedikit jalan keluar dari Galang yang setelah mendengar keluhannya. Cara untuk ganti dosen pembimbing, misalnya.
"Hebat sih hebat, Mas Galang. Tapi Rindu sudah patah arang. Nilainya hanya C di tangan Pak Gara. Pernah B, itu pun diraih dengan susah payah."
Riuh tawa kembali terdengar. Rindu tidak mendebat kali ini. Perkataan Adiyanto memang benar. Seingatnya, dosen spek super itu susah membuat huruf A jika menyangkut nilai mahasiswa. Hobinya cuma satu, meminta seisi kelas selalu membaca dan membaca.
"Mas Galang, Mas Raga ke mana, sih?"
"Kok nanya aku? Yang pacarnya siapa?"
"Hoi, Kang Madun, kalian satu kantor. Wajar kalau aku nanya. Kalau dia nggak ngilang selama ini, aku nggak bakalan tanya."
"Namaku masih Galang, belum ganti Madun." Galang menarik sejumput rambut panjang Rindu. "Ganti pacar aja, kenapa?"
"Nah, itu ...." Putra yang sesaat lalu asyik dengan ponsel, kembali bersuara. "Sama aku saja, Ndu. Nggak kalah makmurnya dengan Raga."
"Ngarang," sahut Galang. "Yang belum ada masa depan, harap menyingkir. Duit masih nodong orang tua, belum pantas itu."
Rindu mengernyit."Kenapa, sih, bete banget sama Mas Raga?" Suaranya meninggi seiring kesal yang mulai menyusup ke hati.
"Lah ... dibutuhin, nggak muncul," jawab Putra santai. "Jangan terlalu bucin, Ndu!"
"Tapi aku—"
"Cinta? Cinta itu dibuktikan, Ndu." Putra memotong ucapan Rindu tanpa sungkan. "Atau mau dibilang sayang? Sayang itu memperhatikan. Kalau masih bisa cuek artinya kamu bukan apa-apa."
"Putra kebanyakan teori," ejek Galang. "Putusin Raga, Ndu, terus jadian sama aku aja."
"Wih ... Mas Galang nggak ada akhlak." Putra meninju lengan Galang "Nikung Rindu langsung di depanku. Aku duluan yang ngajak jadian."
"Segalanya boleh dalam perang dan cinta. Jangan lupakan itu!"
"Yang kalian bicarakan itu ada di depan kalian. Dan dia nggak jomlo. Gendeng kabeh!" omel Rindu.
"Kebiasaan Mas Galang itu."
"Cukup." Galang tak ingin memperpanjang percakapan mereka. "Lebih baik pergi ngadep Pak Gara sana, Ndu! Lebih manfaat daripada ngomel di sini."
"Tapi ...."
"Santai saja, Ndu!" Galang kembali mengetuk kepalanya. "Kamu pasti bisa!"
"Gitu, ya?" Rindu bangkit dan memasukkan ponsel ke tas. "Pak Gara nggak makan orang, 'kan?"
"Nggak." Galang tertawa sejenak. "Tapi, menerkam!"
Eak ... serius amat. Sudah suka belum sama yang ini? Gas ... kasih saia vote dan komen. Seperti biasa, ya, bacanya pas on going.
Yang dulu suka molor tugas akhir dan skripsi, ngumpul sini😁😁
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top