9. Hukum Lavoisier

"Sorry," ucap Nara ketika tidak sengaja menabrak Bella yang sedang mencari buku.

"Lu lagi. Kalau jalan lihat-lihat dong!" sungut Bella sebal saat bertemu lagi dengan Nara.

"Maaf," ulang Nara sambil sedikit membungkuk sebelum beranjak pergi.

"Eh. Tunggu!" perintah Bella sebelum menghadang jalan Nara. "Ulangi minta maafnya. Nggak sopan Lu. Kalau mau membungkuk itu harus 90°. Lu kira gue nggak tahu gimana cara orang Korea minta maaf?"

"Aku sudah minta maaf dua kali tadi. It's enough. Dan sekarang kita ada di Indonesia, jadi nggak perlu pakai aturan dari negara lain," tolak Nara yang membuat semua orang di perpustakaan menatapnya.

"Lu berani, ya!" Bella memegang wajah Nara dengan kasar.

Nara mencoba melepaskan tangan kanan Bella yang sedang mencengkeram rahangnya. Ia mulai merasa kesakitan atas ulah Bella tersebut. Kedua tangan Nara akhirnya mulai memelintir pergelangan tangan Bella agar melepaskan cengkeraman itu. Menjatuhkan buku-buku yang akan dipinjamnya untuk beberapa hari ke depan.

Pekikkan Bella mulai terdengar. Membuat suasana perpustakaan yang hening menjadi gaduh. Beberapa orang menonton keributan Nara dan Bella. Mengerubungi Bella dan Nara yang sedang bergantian menampar satu sama lain. Kemudian berlanjut dengan Bella menjambak Nara. Ia marah karena Nara terus melawannya tanpa takut.

Sementara di gedung yang lain Rhys hanya bergeming. Memandang guru Matematika yang juga sedang menatapnya dalam diam. Sang guru kebingungan karena Rhys menolak untuk mengikuti Olimpiade Matematika. Rhys justru lebih memilih mengikuti turnamen balap di tahun depan, dibandingkan mengikuti Olimpiade Matematika Nasional atau Olimpiade Sains.

"Apa kamu sudah mendiskusikannya dengan orang tua kamu, Rhys?" tanya Miss Afriz serius.

"Belum, Miss. Tapi Ayah dan Ibu memberi kebebasan kepada saya untuk memilih serta melakukan apa yang ingin dilakukan. Dan sekarang saya ingin kembali ke arena balap," tutur Rhys jujur.

"Kamu bisa mengerjakan keduanya dengan berbarengan, seperti tahun lalu." Miss Afriz masih berharap agar Rhys mengubah pikirannya.

"Tetapi hasilnya tidak akan maksimal, Miss. Miss ingat, kan, kalau tahun kemarin saya hanya mendapat juara dua di Olimpiade Sains Nasional. Sementara di balap, saya hanya bisa masuk ke babak semi final saja. Tahun ini saya ingin memenangkan salah satunya. Dan saya memilih kembali ke arena balap," tegas Rhys menolak. "Masih banyak teman-teman yang mampu mengikuti Olimpiade Matematika dan Olimpiade Sains. Miss bisa memberi mereka kesempatan untuk itu."

Miss Afgriz mengembuskan napas kecewanya. Lantas menganggukkan kepala seraya mengulas senyum menyutujui pendapat Rhys. Merelakan Rhys untuk bertanding di tempat lain.

"Baiklah. Kalau kamu berubah pikiran, kabari Miss secepatnya. Oke?" ujar Miss Afriz dengan penuh harap.

"Baik, Miss. Terima kasih," sahut Rhys sopan sebelum beranjak pergi.

Langkah besar Rhys terlihat santai meninggalkan ruang guru. Ia mengambil smartphone-nya dari saku celana seragam pramuka. Mengecek pesan yang dikirimkannya kepada Nara beberapa menit lalu. Pesan yang tidak kunjung mendapat balasan.

"Rhys! Riris!!" panggil seseorang yang amat dikenal oleh Rhys sedari kecil, Kakak sepupunya, Abidzar.

Abidzar mengangkat smartphone-nya ke atas. Ia memberi kode kepada Rhys untuk mengecek pesannya sesegera mungkin dari lantai bawah.

"Cewek Lu berantem di perpus," tulis Abidzar.

Rhys segera berlari menuju perpustakaan yang berada di gedung sebelah. Ia melihat Prince dan Queen memasuki perpustakaan dengan tergesa-gesa. Tangan kanan Rhys segera memasang handsfree di salah satu telinganya. Kemudian segera menekan salah satu angka di layar smartphone untuk menghubungi Queen.

"Rhys, come here!!" teriak Queen.

"Cek CCTV perpus sekarang. Ambil rekamannya sampai selesai," perintah Rhys sambil berlari secepat mungkin.

"Oke."

Rhys memasuki perpustakaan dengan napasnya yang terputus-putus. Ia memecah sekerumunan murid-murid yang sedang menonton perkelahian Nara dan Bella. Hampir sebulan lebih semenjak Rhys dan Nara menjalin hubungan, Bella tidak berulah. Hari ini Bella sepertinya kembali membuat Nara marah.

Bug.

Suara berdebum terdengar ketika Rhys akan melerai perkelahian itu. Nara telah membanting Bella dengan salah satu jurus Tae kwon do. Membuat Bella berteriak karena malu dan sakit. Sementara Nara hanya terdiam menyaksikan Bella yang sudah terlentang di lantai sembari mengatur napas. Bella terlihat meminta pertolongan pada teman-teman satu gengnya.

"Shit!" umpat Rhys pelan.

Rhys bergeming sejenak sembari memainkan lidahnya di dalam mulut. Reaksi spontan Rhys ketika sedang memikirkan sesuatu sebelum bertindak. Ia mengira-ngira apa saja yang telah dilakukan Nara dan Bella beberapa menit lalu, serta hukuman apa yang akan diterima kedua gadis itu jika pihak sekolah turun tangan. Hal itu akan membuatnya kesulitan untuk menolong Nara nanti.

Setelahnya, Rhys segera menarik salah satu tangan Nara agar menyingkir dari hadapan Bella. Ia mencoba menghindari serangan lanjutan dari Nara yang masih tampak menahan marah pada Bella. Nara terkenal dengan sikap pendiamnya. Tetapi ia akan segera melawan jika seseorang mencubit bahkan bermain tangan padanya tanpa pikir panjang.

"Gwencana?" tanya Rhys sambil merapikan rambut Nara yang berantakan.

Nara tidak menjawab. Ia hanya menatap Rhys dalam diam. Masih mencoba menetralkan degup jantungnya yang sedang berdetak kencang karena ledakan amarah dan kesal beberapa menit lalu. Ada luka cakaran di leher dan luka benturan di pelipis Nara. Membuat Rhys hanya bisa mengembuskan napas khawatirnya.

"Kalian berdua, ke ruang BK sekarang," perintah seorang pustakawan lelaki. "Saya sudah menghubungi Pak Rawi tadi. Beliau menunggu kalian di ruangannya."

"Abang temani," ucap Rhys yang membuat Nara langsung melenggang pergi menuju ruang BK tanpa mengindahkan siapa pun di sekitar.

♡♡♡

Rhys bersandar di sebelah pintu ruang BK, berharap mendengar sesuatu ketika Nara dan Bella di sidang oleh salah satu guru BK senior, Pak Rawi. Namun ia sama sekali tidak mendengar suara Nara menyahut atau membela diri. Perlahan ia menggigit bibir bawahnya sesaat setelah Queen berhasil mengirimkan bukti rekaman cctv perpustakaan sekolah kepada guru-guru BK dengan nomor tidak dikenal. Tidak lupa juga mengirimkan bukti-bukti lain ketika Bella menyerang Nara dan siswa-siswi kelas X di lingkungan sekolah.

Sementara itu di dalam ruang Bimbingan Konseling, helaan napas berat Pak Rawi berembus setelah selesai menonton rekaman cctv yang entah dikirim oleh siapa. Bukti-bukti rekaman tersebut akan menjadi pertimbangan poin pelanggaran beserta sanksi yang akan diberikan pada Nara dan Bella nantinya.

"Apa ada yang mau kalian sampaikan, sebelum Bapak menuliskan poin pelanggaran dan memberikan hukuman pada kalian?" tanya Pak Rawi tegas.

"Nara yang memulainya, Pak. Dia mendorong saya terlebih dahulu. Setelah saya melawan, dia malah membanting saya," kata Bella membela diri.

"Benar, Nara? Kenapa sedari tadi kamu hanya diam saja?" desak Pak Rawi agar Nara juga membela dirinya.

Nara mengembuskan napas kesalnya karena mendengar pengakuan dusta dari Bella. "Apa Bapak akan percaya dengan pembelaan versi saya?"

"Bapak akan berusaha bersikap adil kepada siapa pun. Siapa yang bersalah, dia yang akan mendapat hukuman lebih berat," ujar Pak Rawi.

"Silakan Bapak mengecek rekaman cctv di perpustakaan. Atau mungkin rekaman cctv kantin di awal tahun ajaran baru kemarin. Semoga rekaman itu belum dihapus," pinta Nara.

Bella mati kutu mendengar perkataan Nara. Tubuhnya mendadak panas dingin karena melupakan keberadaan cctv di dalam perpustakaan. Sementara bukti di tempat lain sudah dibereskan setelah menindas para adik kelas yang berani melawannya.

"Bapak sudah melihat rekaman cctv itu. Di sana terlihat Bella yang menyerang kamu terlebih dahulu. Dan juga beberapa bukti lain saat Bella menindas junior di sekitar lingkungan sekolah," ungkap Pak Rawi yang membuat Bella kalang kabut dibuatnya.

"Maksud, Bapak?!" Bella tidak terima.

"Bapak sudah melihat semuanya Bella," terang Pak Rawi sembari menunjukkan beberapa bukti rekaman cctv pada Bella. "Bapak akan menyimpan bukti ini untuk ditunjukkan kepada orang tua kamu."

"Pak, jangan!!! Please...." Bella memohon, tetapi Pak Rawi acuh tak acuh.

"Choi Nara, kelas X2. Kamu mendapat 15 poin pelanggaran. Melakukan tindakan tidak menyenangkan kepada sesama siswa di sekolah.

Kamu akan mendapatkan sanksi berupa surat teguran tertulis dan surat perjanjian pertama dari wali kelas, Miss Afgriz. Kamu mengerti, Nara?" tegas Pak Rawi.

Nara hanya mengangguk patuh. Ia sudah malas bersuara, dan ingin segera keluar dari ruang Bimbingan Konseling. Ia hanya terdiam memandang Pak Rawi yang sedang mengisi sebuah data atas nama dirinya sebelum memberikan hukuman pada Bella.

"Nora Arabella, kamu mendapat 75 poin pelanggaran. Melakukan tindakan intimidasi atau bullying kepada sesama siswa dengan kekerasan.

Sanksi dari poin pelanggaran tersebut adalah mendapat surat perjanjian tertulis bermaterai, dan skorsing maksimal 3 hari efektif, diketahui oleh Kepala Sekolah," terang Pak Rawi.

"Kenapa Nara hanya mendapat poin 15 saja?! Dia juga menyerang saya, Pak. Bapak bisa cek lagi rekaman cctv-nya," sungut Bella tidak terima. "It's not fair!"

"Nara menyerang karena kamu yang memulainya. Dari beberapa rekaman cctv yang Bapak lihat, kamu yang selalu membuat keributan terlebih dahulu.

Melawan Kepala sekolah, guru dan karyawan mendapat 75 poin pelanggaran. Apakah perlu Bapak memasukkannya juga, Bella?" tegas Pak Rawi lagi, dan mampu membuat Bella diam berpasrah.

"Kalian boleh kembali ke kelas. Bapak akan mengawasi kalian berdua, terutama kamu, Bella. Kamu pasti tahu, apa yang akan terjadi jika poin pelanggaran telah mencapai 100 poin, bukan?" peringat Pak Rawi sebelum Nara dan Bella berpamitan keluar ruangan.

Bella menatap Nara dengan tatapan bencinya ketika keluar dari ruangan BK. Ia juga memandang sebal pada Rhys yang sedang menatapnya penuh arti. Ia seakan mendapat serangan pertama dari Rhys. Dua kali Bella telah mendapat peringatan dari Rhys. Langkah terakhir adalah menyerang tanpa aba-aba. Begitulah cara kerja otak Rhys selama ini.

"Ayo," ajak Rhys sambil menggandeng Nara yang sedang menjadi pusat perhatian para siswa di sekolah.

♡♡♡

Rhys menggerutu sembari berjalan menyusuri koridor sekolah mencari Nara. Ia tidak bisa melacak keberadaan Nara karena smartphone sang kekasih tidak aktif. Setelah keluar dari ruang Bimbingan Konseling, Rhys mengantar Nara kembali ke kelasnya. Saat istirahat kedua, Rhys langsung pergi ke masjid sekolah untuk salat jumat berjamaah. Membuatnya tidak bisa langsung bertemu Nara kembali.

"Gimana, Gas? Nara udah di kantin?" tanya Rhys tidak sabar melalui handsfree di telinganya.

"Nggak ada, Rhys," jawab Bagas singkat.

"Nggak ada yang lihat Nara?"

"Mereka bilang, nggak ada yang melihat Nara. Tapi kata Dino, tadi Nara diberi tugas tambahan karena terlambat masuk ke kelas."

"Kabari aku kalau Nara ke kantin."

"Oke."

"Thanks."

"Anytime."

Rhys menghentikan langkahnya di depan koperasi siswa atau Kopsis. Kopsis yang lebih mirip seperti minimarket dan kafe. Dimana tempat tersebut biasa digunakan para murid untuk mengerjakan tugas-tugas sembari makan atau sekedar minum. Berbeda dengan kantin yang hanya digunakan untuk makan saja. Mereka yang memasuki kantin sekolah tidak diizinkan untuk melakukan aktivitas selain makan.

"Selamat siang, selamat berbelanja," ujar salah seorang karyawan kopsis ketika Rhys masuk.

"Siang, Mbak Rani. Tadi cewekku masuk ke sini nggak?" tanya Rhys sambil melihat-lihat setiap sudut kopsis.

"Cewek kamu yang mana? Mbak belum hapal wajah cewekmu. Lagian di sini, kan, banyak banget yang mukanya oriental," tutur Rani jujur.

Rhys mengambil smartphone dari saku baju seragam pramukanya. Setelah itu menunjukkan foto Nara kepada Mbak Rani. Membuat Mbak Rani tersenyum dan mengangguk mengerti.

"Oh. Dia tadi beli kopi gula aren sama ramyeon cup. Kayaknya tadi ke belakang," cerita Mbak Rani.

"Thanks, Mbak," ujar Rhys sebelum membeli beberapa makanan di kopsis. "Oia Mbak, aku mau Onigiri Teri dua. Tolong hangatin, ya."

"Oke. Ada lagi?"

"Aku ambil yang lain dulu."

Rhys mengambil nasi bento ayam woku. Tidak lupa membeli es kopi hitam, air mineral, obat antiseptik luka, plester luka, tisu dan permen karet mint. Setelahnya ia bergegas ke kasir untuk membayar. Kemudian segera mencari Nara.

Nara tampak sibuk menulis sesuatu di bukunya. Ia duduk di ujung kopsis kafe sendirian dengan smartphone yang sedang di-charge. Rhys mengambil sebuah kursi kosong, dan meletaknya di samping kiri Nara setelah meminta izin kepada seseorang untuk bergeser sedikit.

"Annyeong," sapa Rhys menginterupsi kesibukan Nara.

Nara menoleh ketika merasa ada seseorang yang berbisik di salah satu telinganya. Ia memandang Rhys yang sedang menyunggingkan senyum sambil mengambil earphone di salah satu telinganya.

"Annyeong," ulang Rhys menyapa.

"Annyeong," jawab Nara sambil menunduk pelan.

"Sibuk? Abang boleh duduk di sini?" tanya Rhys melihat ramyeon cup Nara sudah kosong.

Nara mengangguk pelan. Nara adalah tipikal orang yang tidak harus memakan nasi seperti kebanyakan orang Indonesia. Bagi Nara, karbohidrat bisa didapat dari mie, roti atau makanan selain nasi. Terlebih jika dirinya sedang malas makan.

"Hukum Dasar Kimia," baca Rhys ketika melihat halaman buku paket Nara yang sedang terbuka. "Kamu disuruh ngapain sama Bu Pantja?"

"Merangkum, mengerjakan soal, dan menulis daftar pustakanya," jawab Nara sambil menulis.

Rhys membuka penutup nasi bento ayam woku, lalu menyendok sedikit dan menyodorkannya ke depan mulut Nara. Memaksa Nara untuk makan nasi. Setahu Rhys, Nara jarang memakan nasi saat sarapan. Jadi sudah bisa dipastikan, belum ada nasi yang masuk ke perut Nara hari ini. Nara menghindar, lantas kepalanya menggeleng.

"Dimakan sedikit," pinta Rhys yang masih berusaha menyuapi Nara dengan sabar.

"Nanti Abang bantu mengerjakan tugas itu," bujuk Rhys hingga Nara menerima suapannya.

"Udah," tolak Nara saat Rhys menyuapinya lagi.

"Baru satu suap."

"Kenyang."

"Dimakan lagi. Nanti sore ada latihan Pramuka, kan?"

Nara menurut. Menerima suapan Rhys lagi dengan terpaksa. Disuapan ketiga Nara menggeleng. Membuat Rhys meliriknya tajam.

"Nanti muntah," ujar Nara yang membuat Rhys mengembuskan napas kecewa.

Rhys memberikan sebotol air mineral pada Nara. Meminta Nara untuk meminum air putih. Berlanjut Rhys memakan sisa nasi bento itu dalam beberapa suapan saja. Membuat Nara menatapnya dalam diam. Nara sering sekali takjub dengan tingkah Rhys saat makan bersama. Rhys tidak pernah menyia-nyiakan makanan sedikit pun. Ia juga begitu cepat saat melahap makanannya. Berbeda dengan Nara yang begitu lambat saat mengunyah makanan.

"Nanti dimakan onigirinya." Rhys meletakkan satu onigiri kesukaannya di sebelah buku paket Nara. "Sini. Abang obatin lagi lukanya."

Rhys mengambil obat antiseptik luka dari tote bag belanjanya. Meneteskannya pada luka di bagian pelipis dan leher Nara, lantas mengelapi obat yang melebar berantakan dengan tisu sebelum menutup luka-luka itu menggunakan plester luka berwarna kuning dan bergambar jerapah.

Sementara itu Nara bergeming. Memandang Rhys dengan jarak yang begitu dekat. Satu jengkal di depan wajahnya. Hingga mampu merasakan embusan napas Rhys yang sedang memakan permen karet mint. Mengiringi degup jantungnya yang berdetak lebih kencang, kala tangan besar Rhys menyentuh lehernya untuk merekatkan plester luka. Hal itu juga membuat kedua mata Nara memanas atas perhatian kecil yang selalu Rhys berikan kepadanya.

"Mianhaeyo," ucap Nara lirih meminta maaf.

"Buat?" tanya Rhys sebelum meminum es kopi hitamnya.

"Abang juga dihukum, kan, karena terlambat masuk ke kelas?"

"Nggak ada yang berani menghukum Abang." Rhys melanjutkan memakan onigiri.

"Waeyo?" tanya Nara kenapa dalam bahasa Korea singkatnya.

Rhys menatap Nara setelah menghabiskan onogiri, "Karena Abang pintar."

"Arayo," kata Nara yang sudah membuktikan seberapa pintar Rhys di sekolah.

Rhys merupakan salah satu siswa teladan di Sekolah Biru--Pintar, rajin, berprestasi dan pekerja keras. Tetapi Rhys tidak menyukai predikat tersebut. Ia tidak ingin menjadi contoh siapa pun. Ia ingin hidup bebas. Melakukan apa pun sesuka hati tanpa ingin diperhatikan.

"That's my privilege. Privilege yang abang dapat dengan usaha sendiri, pintar berhitung. Jadi biasanya guru matematika, kimia, fisika, selalu baik sama Abang. Ya, kalau dihukum paling cuma disuruh berhitung aja," ungkap Rhys.

"Abang yang seharusnya meminta maaf sama kamu," ucap Rhys yang membuat Nara menatapnya karena bingung. "Mianhae. Abang nggak bisa bantu banyak tadi."

Nara menggeleng, "Aniyo. Kalau bukan karena Abang, aku pasti dapat poin yang sama kaya Bella. Abang, kan, yang mengirim video cctv itu ke guru-guru BK?"

"Bukan Abang, Queen yang melakukannya."

"Kak Queen?"

"Huum. Queen itu hacker di Kancil."

"Tapi karena Abang juga, Kak Queen mau bantu aku. Gomawo."

"Kiyowo...." Rhys menggoda dengan membalas ucapan terima kasih Nara dengan kata pujian yang berarti imut atau menggemaskan.

Kata itu membuat Nara terdiam sejenak sebelum mengerjapkan mata untuk menyadarkan diri sendiri. Rasa kesal masih dirasakan Nara hingga malas mengulas senyum. Ia juga malu untuk mengomentari pujian Rhys yang selalu terucap setiap hari--Cantik, atau imut dalam bahasa Korea.

Rhys terus menatap Nara yang sedang membuka-buka buku paket kimianya setelah berterima kasih. Kepala Nara menoleh saat tidak menemukan apa yang dicarinya di buku-buku kimia. Ia memandang Rhys dengan tatapan bingung dan penuh pertimbangan. Sementara Rhys hanya memandang balik Nara dalam diam. Ia sedang menunggu, kata-kata apa yang akan Nara ucapkan dengan raut wajah lugu menggemaskan itu.

"Abang jadi bantuin aku ngerjain ini nggak?" tanya Nara yang hanya dibalas anggukkan kepala dari Rhys.

"Tentang Hukum Lavoisier. Di buku cuma ada bunyi dari hukumnya saja. Tapi contohnya cuma ada satu. Ottokhe?" ungkap Nara malu-malu.

"Contoh Hukum Lavoisier itu seperti apa yang kamu lakukan pada Bella tadi," jawab Rhys yang membuat Nara semakin bingung.

"Hah?"

"Coba baca bunyi Hukum Lavoisier."

"Hukum Lavoisier berbunyi, 'Massa total zat-zat sebelum reaksi akan selalu sama dengan massa total zat-zat hasil reaksi'."

"Sudah berapa lama kamu memendam marah pada Bella? Sekarang kamu masih marah nggak sama Bella?"

Nara bergeming. Ia mencoba menghubungkan pertanyaan Rhys dengan bunyi Hukum Lavoisier.

Rhys mulai menjelaskan, "Amarah yang selama ini kamu pendam itu, sama dengan amukan kamu pada Bella tadi. Tanpa banyak kata, kamu langsung menyerang Bella tanpa ragu-ragu. Kamu nggak peduli, resiko apa yang akan kamu dapat ketika menghajar Bella tadi."

"Pada percobaan Lavoisier, ia menganalisis massa zat sebelum dan sesudah reaksi. Hasilnya, massa zat sebelum dan sesudah reaksi selalu sama. Jadi, saat terjadi perubahan kimia, suatu zat bukan diciptakan atau dihancurkan melainkan diubah.

Amarah terpendam kamu telah berubah menjadi serangan tanpa ampun pada Bella. Perasaan sebelum dan sesudah beraksi itu masih sama, kan? Marah," terang Rhys panjang lebar. "Do you get my point?"

Rhys tersenyum simpul, ketika Nara menampilkan mimik bingung nan lucu karena tidak paham dengan apa yang dijelaskannya. Tangan kiri Rhys terulur. Mengambil pensil Nara untuk menuliskan sesuatu di buku catatan kekasihnya. Ia akan memberikan contoh soal sederhana tentang Hukum Lavoisier.

"Tadi itu cuma contoh perumpamaan saja," kata Rhys yang sebenarnya ingin membahas soal perkelahian Nara dan Bella.

Rhys pun menulis contoh yang sebenarnya, "Contoh soal:

Terdapat magnesium 12 (Mg) yang bereaksi dengan unsur 16 belerang atau sulfur (S), maka berapa jumlah Magnesium Sulfida (MgS) yang dihasilkan? Tuliskan persamaan reaksinya.

Jawab:

12gram Mg + 16gram S -> 28gram MgS."

Rhys mengusap pucuk kepala Nara setelahnya, "Ada yang mau ditanyakan lagi?"

Nara menggeleng. Ia segera menyalin tulisan Rhys dengan hati-hati sebelum menghapusnya.

"Kamu boleh melakukan apa pun yang kamu mau. Tetapi jangan pernah melakukan hal yang akan merugikan diri kamu sendiri," ujar Rhys setelah meminum es kopi hitamnya lagi.

"Kita harus bermain cantik untuk melawan mereka. Pikir dahulu sebelum bertindak," lanjut Rhys menasehati.

"Playing victim?" kata Nara ragu.

Senyum lebar Rhys terukir saat Nara dengan cepat menangkap maksud dari perkataannya, "Huum. Why not? Kalau itu bisa mengurangi resiko yang akan membahayakan kamu. Kamu lihat kondisi sekitar sebelum bertindak, jangan sampai pihak sekolah turun tangan seperti tadi. Karena Abang nggak bisa membantu kamu kalau sekolah sudah ikut campur. Nggak semua guru dan staf sekolah bisa diajak bernegosiasi. You know what I mean?"

"Eung."

"Jangan sampai kita menambah poin pelanggaran lagi."

"Eung."

Nara melanjutkan menyalin tulisan Rhys sebelum berlanjut mengerjakan soal-soal yang tidak dimengertinya. Hukuman ini membuat Nara menjadi semakin benci terhadap pelajaran Kimia. Ditambah dengan sang guru Kimia yang terkenal berdarah dingin. Menurut kabar hanya murid-murid pintar saja yang bisa membuat Bu Pantja tersenyum dan melontarkan pujian--Rhys contohnya.

"Kalau contoh penerapan Hukum Lavoisier di kehidupan sehari-hari?" tanya Nara lagi.

Rhys tampak berpikir sejenak. Mengingat-ingat materi pelajaran Kimia saat kelas sepuluh dulu sembari memandang Nara yang sudah membuatnya gemas bukan main. Salah satu tangan Rhys mengepal. Berusaha agar tidak mencubit, atau mengusap wajah ayu Nara yang selalu terlihat lucu ketika dilanda kebingungan.

"Contohnya itu, saat membakar papan kayu akan menghasilkan energi panas, asap dilepaskan, dan menyisakan abu. Massa papan kayu sebelum dibakar sama jumlahnya dengan massa abu dan asap," ungkap Rhys sambil merapikan anak rambut Nara yang sedikit menutupi sebagian wajah.

Nara langsung menulis apa yang Rhys ucapkan. Ia meminta Rhys untuk mengulangi kembali kata-kata itu dengan perlahan. Hal yang selalu Nara lakukan ketika Rhys dalam mode bicara cepat.

"Mau tanya apa lagi?" tanya Rhys sambil mengecek pesan di smartphone.

"Hukum Lavoisier disebut juga dengan Hukum Kekekalan Massa. Apa sama dengan Hukum Kekekalan Energi?" Nara mengungkapkan apa yang ingin diketahuinya.

"Menurut Abang beda. Hukum Kekekalan Massa ada pada Kimia, sedangkan Hukum Kekekalan Energi itu ada pada Fisika. Penemu rumusnya saja berbeda.

Tapi seingat Abang, berdasarkan relativitas spesial, kekekalan massa merupakan pernyataan dari kekekalan energi. Massa partikel yang tetap pada suatu sistem, ekuivalen dengan energi momentum pusatnya. Contohnya pada beberapa peristiwa radiasi, terlihat adanya perubahan massa menjadi energi.

Masih ingat bunyi Hukum Kekekalan Energi?"

"Ani," jawab Nara malu karena tidak tahu.

"Bunyi Hukum Kekekalan Energi, 'Energi tidak dapat diciptakan maupun dimusnahkan, namun dapat berpindah dari satu bentuk ke bentuk lainnya'."

"Maksudnya?"

"Maksudnya, suatu energi yang terlibat dalam proses kimia dan fisika dapat mengalami perpindahan atau perubahan bentuk. Contoh, energi radiasi dapat diubah menjadi energi panas, energi potensial dapat diubah menjadi energi listrik, energi kimia dapat diubah menjadi energi listrik. Paham, Sayang?"

Tubuh Nara mendadak kaku saat mendengar kata sayang dari Rhys. Hatinya berdebar-debar tiap kali Rhys mengucapkan panggilan sakral tersebut. Sedang Rhys tampak begitu menikmati wajah cantik Nara yang sedang terkejut itu dengan seulas senyum manisnya.

"Sedikit," jawab Nara malu, dan langsung kembali melanjutkan tugasnya.

"Tahu nggak, cinta Abang itu ibarat Hukum Kekekalan Energi?" goda Rhys lagi.

"Wae?" tanya Nara kenapa.

"Cinta Abang sama kamu itu tidak bisa diciptakan dan dimusnahkan, semuanya ada secara tiba-tiba ketika Abang pertama kali melihat kamu."

Senyum Nara tersungging malu-malu. Hingga menampilkan lesung pipi yang belum pernah dilihat oleh Rhys. Sementara Rhys tersenyum sumringah karena telah berhasil mencipta senyum indah di wajah cantik sang kekasih--Senyum lebar yang menampakkan kedua gigi taring khasnya.

Tbc.
Mon, Aug 14.2023

Happy Monday All,
Spam next di sini, ya, kalau mau lanjut.
Jangan lupa vote and comments juga.

Wattpad sepi banget sekarang. Hohoho.
Lagi kepikiran buat pindah rumah untuk nulis. Apa ada saran, tempat baru buat bikin cerita yang enak gitu? Share di sini, ya.

Semoga ceritanya masih bisa menghibur, ya. Aku lagi ngerjain Alrescha juga, jadi nulisnya so so slow. Hehe. Sabar-sabar, semua.

Have a great Monday,
dan Selamat Hari Pramuka semua.

Salam Pramuka. ⚜️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top