6. Ruang Kosong
Nara membenarkan jas sekolah Rhys yang dipakai untuk menutupi rok dan kaki jenjangnya saat membonceng motor sport sang kekasih. Saat ini Nara mengenakan seragam lengkap khas SMA Biru yang dipakai setiap hari Senin. Seragam sekolah perpaduan bawahan warna abu-abu dan blazer biru navy dengan kancing emas yang menutupi kemeja putih berlengan panjang. Ditambah dasi atau pita berwarna merah magenta.
Tangan kiri Rhys reflek menyentuh kaki Nara untuk menutupi, ketika motornya berhenti di lampu merah. Kepalanya menoleh ke arah kiri saat merasa diperhatikan oleh seseorang. Rhys menatap mereka dengan tatapan tajam dan sebal. Orang-orang tersebut memerhatikan Nara tanpa berkedip.
Rhys menoleh ke belakang karena khawatir, "Gwaencana?"
"Gwaencana," sahut Nara menyatakan tidak apa-apa.
"Temani Abang makan, ya."
"Eung."
"Kamu mau makan apa?"
"Apa aja."
"Benar?"
"Eung."
Kepala Rhys mengangguk. Ia mulai menjalankan motornya kembali kala lampu hijau sudah menyala. Mencoba membelah jalanan Ibu Kota yang sudah macet di sore hari--Pukul 16.30 tepat. Sesaat setelah lengang, Rhys menancap gas motor sport-nya agar segera sampai di tempat tujuan. Perutnya sudah keroncongan karena lapar.
Nara memerhatikan para pedagang kaki lima di sepanjang jalan yang dilewati. Ia merasa tertarik dengan beberapa makanan yang belum pernah dimakannya. Tidak ada yang pernah mengajaknya untuk sekedar bermain atau makan di luar rumah. Keseharian Nara hanya berkutat di rumah, sekolah dan coffee shop tempat di mana menyalurkan hobi terpendamnya. Hingga ia tidak sadar jika motor Rhys sudah berhenti di tempat parkir.
"Ayo turun," ajak Rhys setelah melepas helm, dan turun dari motor terlebih dahulu.
Tangan kanan Rhys terulur lagi. Ia membantu Nara untuk turun dari motor sport-nya. Kemudian melipat jas seragam sekolah yang dipegang Nara, dan memasukkannya ke dalam tas ransel. Senyumnya tersungging kala Nara kesulitan membuka pengait helm yang dipakai.
"Abang bantu," ujar Rhys sebelum melepas pengait helm milik Queen. "Setelah ini, kita beli helm buat kamu."
"Kok, dibawa?" tanya Nara saat melihat Rhys membawa helm yang dipakainya.
"Kalau helm ini hilang, Queen bisa marah selama berbulan-bulan," terang Rhys yang telah menggandeng Nara dengan tangan kanannya, sementara tangan kiri menenteng helm kesayangan Queen yang memiliki telinga seperti kepala kucing hitam.
"Mahal?" Nara penasaran.
"Hampir sepuluh juta kayaknya," bisik Rhys. "Mau beli yang kayak gini?"
Nara menggeleng, "Yang biasa aja. Tapi modelnya sama. Ada?"
"Ada. Nanti kita cari."
Nara mengangguk. Ia mengalihkan pandangannya karena malu bersitatap lama dengan Rhys. Rhys hanya terkekeh melihatnya. Ia menoleh lagi ke arah Nara yang sedang memandang penjual rujak buah.
"Mau beli?" tanya Rhys yang telah menghentikan langkahnya.
"Suka?" tanya Nara balik.
"Suka," jawab Rhys yang tidak mengerti makan suka bagi Nara. "Mau?"
Nara mengangguk kembali menjawab pertanyaan Rhys. Rhys mulai terbiasa dengan tutur kata singkat Nara. Ia bersyukur karena Nara bisa diajak berbicara dengan baik. Meski dirinya belum bisa membuat Nara tersenyum bahkan tertawa.
"Mau beli apa lagi? Cilung?"
"Cilung?"
"Aci digulung."
"Suka?"
"Nggak terlalu suka. Abang lebih suka batagor sama seblak."
"Batagor?"
"Pernah makan siomay?"
"Eung."
Rhys menjelaskan dengan singkat, "Batagor itu mirip kayak siomay, tapi bakso dan tahunya digoreng."
"Kalau seblak?"
"Seblak itu makanan dari rendaman kerupuk yang dimasak hingga empuk. Diberi tambahan oseng telur, ada juga yang dicampur dengan sayuran, potongan bakso sapi, ceker ayam, makaroni, dan juga mie kuning. Rasa pedasnya tergantung selera."
Lagi. Nara menganggukkan kepala pertanda mengerti akan apa yang Rhys jelaskan. Walau begitu, ia hanya bisa membayangkan bagaimana bentuk dan rasa makanan tersebut. Pandangan Nara memendar ke sekeliling, ketika Rhys membawa masuk ke warung mie ayam dan bakso. Tatapannya langsung terfokus saat melihat mie ayam bakso diracik.
"Sore, Mas Rhys," sapa Pak Yanto, penjual mie ayam bakso langganan Rhys.
"Sore, Pak. Kayak biasa, ya, Pak. Mie ayam bakso lengkap," pesan Rhys sebelum bertanya pada Nara, "Mau makan apa? Mie ayam, Bakso, atau mie ayam bakso?"
"Aku minta sedikit aja," tutur Nara berbisik tanpa berjinjit.
Tinggi badan Nara yang tidak seperti perempuan asli keturunan Indonesia, membuatnya tidak terpaut jauh dari tinggi badan Rhys. Tinggi Nara sekarang 169cm, sedangkan Rhys 185cm. Karena itu juga, Rhys langsung tertarik pada Nara saat pertama kali bertemu. Ia tidak ingin seperti ayahnya yang selalu menunduk jika berdiri berhadapan dengan sang ibunda.
"Satu lagi, Pak. Mie ayam bakso setengah porsi aja," tambah Rhys.
"Andwae. Nanti nggak habis," protes Nara.
"Abang yang habisin nanti," jawab Rhys. "Minumnya?"
"Teh botol."
"Pak, teh botol dua, air mineral satu."
Pak Legi tersenyum sumringah, "Siap, Mas."
Rhys membawa Nara ke tempat duduk yang berada di pojok warung. Melewati beberapa orang yang sedang makan, dan membuat mereka mengalihkan pandangannya pada Nara. Raut wajah Nara memang identik dengan para idol Kpop. Percampuran darah Korea dan Bali, menjadikan kontur wajahnya tampak semakin menawan--Cantik, dan tidak membosankan saat dipandang.
Tangan kanan Rhys membuka retsleting jaketnya sembari memerhatikan Nara yang sedang membersihkan meja. Nara mengelap meja dengan tisu basah beberapa kali setelah sebelumnya menyemprotkan desinfektan. Seulas senyum Rhys terukir. Ia teringat akan ulah Queen dan Gigi saat pertama kali makan di warteg--Persis dengan tingkah Nara sekarang.
"Biar saya bersihkan, Mbak," tutur pelayan yang membawakan pesanan minuman Rhys.
"Aniyo," jawab Nara singkat.
"Nggak usah, Mas. Nanti dibersihkan sendiri," terang Rhys sopan. "Maaf, ya, Mas. Pacar saya nggak pernah makan di warung."
"Nggak apa-apa, Mas Rhys. Nggak takut mbaknya sakit perut, Mas? Kasihan nanti," kata pelayan.
"Sengaja, Mas. Biar kebal badannya. Kalau sakit perut, aku bawa langsung ke IGD," canda Rhys yang langsung mendapat cubitan kecil di lengannya.
"Doa baik-baik." Nara memprotes.
"Mian," ucap Rhys meminta maaf sambil mengusap pucuk kepala Nara.
Nara mengambil bungkusan plastik yang berisi sekotak potongan-potongan buah segar untuk menutupi kegugupannya. Ia mencelupkan potongan buah bengkuang ke dalam bumbu kacang di wadah kecil. Kemudian ia menawari Rhys untuk mencobanya. Tetapi Rhys hanya mengangguk sambil membuka tutup botol air mineral.
"Enak?" tanya Rhys ingin tahu.
Nara mengangguk seraya menyunggingkan senyum kecil, "Suka."
Rhys ikut tersenyum. Ia mencoba menghubungkan perkataan Nara di sepanjang jalan tadi. Nara selalu mengungkapkan kata suka. Ternyata arti kata suka bagi Nara berbeda dengan suka yang biasa Rhys maksudkan.
"Kamu cantik banget kalau senyum," puji Rhys yang sedang memandang Nara.
"Gomawo. Abang juga," sahut Nara singkat, mengalihkan pandangannya ke depan.
"Maksudnya, Abang juga cantik?"
Senyum Nara melebar, "Ani. Cakep."
"Abang pikir kamu nggak bisa senyum."
"Kadang-kadang."
"Boleh Abang minta sesuatu sama kamu?"
"Mwo? Apa?"
"Senyumnya buat Abang aja. Eotteokhe?"
Nara hanya berkedip, lalu tersenyum kecil dan menganggukkan kepala dengan malu-malu. Membuat Rhys gemas bukan main.
Tiba-tiba Rhys terdiam ketika seseorang berbadan tinggi besar bak bodyguard masuk ke dalam warung. Orang itu memesan bakso, kemudian meminta orang-orang yang sedang mengambil gambar ke arah Rhys dan kekasihnya untuk berhenti. Meminta menghapus, hingga mengancamnya.
"Terima kasih, Mas," ucap Rhys saat pesanan mie ayam baksonya datang. "Punya kamu."
"Habis ini pulang," bisik Nara pelan.
"Huum. Itu bodyguard Abang. Mereka ambil gambar kita tanpa izin. Takut?"
Nara menggeleng, "Tidak nyaman."
"Mianhae."
"Ani. Gomawo, Abang."
"Buat?"
"Terima kasih sudah ajak aku ke sini."
"Sama-sama."
Rhys mengajari Nara bagaimana cara memakan mie ayam. Menambahkan saus, sambal, daun bawang dan acar timun. Kemudian mencampurkannya sebelum dimakan menggunakan sumpit. Senyum Nara kembali merekah ketika Rhys menanyakan apakah sang pacar suka atau tidak. Lagi-lagi Nara mengagumi makanan yang belum pernah dinikmatinya.
Nara bukanlah anak konglomerat. Tetapi orang tuanya selalu mengajarkan untuk tidak makan makanan sembarangan. Lingkungan dimana ia tumbuh juga jauh dari makanan-makanan kaki lima. Apa pun yang Nara ingin makan, orang tuanya akan langsung membuatkan.
♡♡♡
Nara mengurungkan niatnya untuk memakai helm. Ia meletakkan helm berbentuk kepala kucing itu di atas jok bagian belakang sebelum mengambil smartphone di saku baju seragamnya. Rhys pun mengurungkan untuk mengeluarkan motor dari tempat parkir, dan memilih berdiri di samping Nara setelah memakai helm full face-nya.
"Halo. Iya, Mas Roni. Wae?" Nara menjawab teleponnya.
"Ra, sudah pulang sekolah? Kamu bisa ke sini sekarang nggak?"
"Ada apa?"
"Renita ada urusan keluarga, katanya habis isya baru datang. Home band sudah menungu. Bisa, Ra?"
"Lingga Oppa mana?"
"Mas Lingga belum pulang dari kampus."
"Aku ke sana."
"Terima kasih, Ra. Hati-hati."
"Eung."
Nara memasukkan smartphone-nya kembali ke dalam saku baju. Ia menoleh ke arah Rhys yang sedang memandangnya dalam diam. Ditatap lekat oleh Rhys, membuat jantung Nara melompat-lompat tidak tenang.
"Aku ada urusan. Abang nggak usah antar aku pulang," tutur Nara yang langsung ditolak oleh Rhys.
"Kamu mau kemana? Abang antar," sahut Rhys memakaikan helm pada Nara.
"Ke coffee shop."
"Oke."
"Pulangnya malam."
"Abang biasa pulang malam. Coffee shop mana?"
"The Coffee Story."
"Abang antar. Abang tunggu sampai urusan kamu selesai."
Nara pasrah. Pikirannya bercabang. Apa yang akan terjadi jika Lingga Oppa bertemu dengan Rhys? Apakah tidak akan menjadi masalah? Bagaimana jika Rhys mengetahui apa yang akan dikerjakannya di coffee shop? Nara hanya bisa berdoa, semoga pilihannya hari ini tidaklah buruk.
♡♡♡
Sembari mengenakan celemek barista berwarna hitam, Lingga mulai masuk ke tempat kerjanya. Bergabung dengan rekannya yang mengenakan celemek berwarna cokelat coffee dilengkapi nama mereka di sisi kanan atas. Sementara para karyawan lain mengenakan celemek biasa berwarna cokelat khaki. Pandangan mata Lingga terhenti sejenak di salah satu sudut coffee shop. Memastikan jika apa yang dilihatnya tidaklah salah. Ini kali pertama bertemu dengan wanita yang sempat membuatnya penasaran di coffee shop tempatnya bekerja.
"Pesanan meja nomor 8 sudah dibuat?" tanya Lingga pada salah satu partnernya hari ini.
"Belum, Mas. Kita masih bikin pesanan meja nomor 5 dan take away," jawab Roni.
"Nanti saya yang buat pesanan meja nomor 8," kata Lingga sambil melihat kertas pesanan. "Caffe latte, Choco velvet cake."
Dengan cekatan Lingga membuat racikan caffe latte untuk pelanggan barunya. Ia berharap pelanggan baru ini akan kembali lagi ke coffee shop-nya. The Coffee Story, tempat dimana cita-cita Lingga sebagai seorang barista bertumbuh. The Coffee Story sudah memiliki nama besar di kota kelahirannya, Jogja. Di sana The Coffee Story telah memiliki 5 cabang. Cabang lain berada di tiap-tiap kota besar--Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, dan terakhir Jakarta.
Selama kurang lebih dua tahun, Lingga berusaha memperkuat cabang The Coffee Story di Jakarta dengan bantuan ibundanya. Bertahan di tengah-tengah coffee shop lain yang juga sedang berkembang di sekitarnya.
"Saya bantu, Mas," tawar Aris, partner Lingga lainnya.
"Kamu kerjakan pesanan yang lain saja," tutur Lingga seraya tersenyum kecil.
"Oke," sahut Aris sambil memandang gadis yang berada di meja nomor 8.
Setelah caffe latte selesai dibuat, Lingga mengambil sepotong Choco velvet cake sesuai pesanan. Kemudian menatanya di nampan kayu sebelum diantar ke pemesan. Beberapa rekan kerja dan karyawan memerhatikan Lingga yang mengantar pesanan pelanggan sendiri. Mereka saling menatap satu sama lain, lantas tersenyum penuh arti melihat tingkah laku sang bos.
"Permisi, Kak. Caffe latte dan Choco velvet cake," ucap Lingga yang membuat gadis itu mendongakkan kepala.
Re terkejut melihatnya, "Kamu kerja di sini?"
"Iya," jawab Lingga singkat. "Boleh saya duduk di sini sebentar?"
"Oh, silakan. Nggak apa-apa kamu duduk di sini? Kalau bos kamu lihat gimana?" tanya Re beruntun.
"Saya sudah minta izin," dusta Lingga dengan wajah seriusnya. "Ini untuk kamu."
Lingga memberikan kartu member The Coffee Story berwarna platinum dan sebuah flashdisk kecil kepada Re. Kening Re mengerut perlahan. Ia memandang Lingga penuh tanya.
"Ini sebagai permintaan maaf saya karena sudah membuang waktu berharga kamu tadi siang. Maaf," ucap Lingga.
"Aku yang seharusnya minta maaf sama kamu. Sorry," balas Re tidak enak. "Ini kartu member sini? Terus flashdisk-nya?"
"Ini kartu member platinum. Kartu ini bisa kamu gunakan diseluruh gerai The Coffee Story, dan kamu bisa mendapat cake atau snacks gratis di setiap pemakaiannya. Ini seperti kartu VIP," terang Lingga.
"Wooow. Jadi hanya orang tertentu yang memiliki kartu member ini?"
"Iya. Khusus untuk VIP member."
"Gaji kamu nggak dipotong, kan, karena kartu ini?"
Lingga tersenyum. Hal kecil itu ternyata mampu membuat fokus Re tidak teralihkan dari Lingga. Lingga bisa dikategorikan sebagai lelaki tampan. Wajahnya yang terlihat serius dan tegas, ditambah senyum manis dengan kulit tanned seperti Rhys, serta tutur kata sopan nan lembut, menjadikan Lingga tampak berbeda di mata Re.
"Enggak, kok," jawab Lingga. "Flashdisk itu berisi rekaman dari smartphone saya."
Re mengangguk, "Ah. Thanks."
"Saya juga mau bertanggung jawab atas kejadian tadi," ungkap Lingga.
"Bertanggung jawab apa?"
"Karena kamu nggak mendapat acc judul skripsi."
"Oh. Itu bukan salah kamu. Emang belum rejekinya aku aja buat mengerjakan skripsi. Sial."
"Apa kamu sudah pernah mengajukan ulang semua judul-judul skripsi kamu?"
"Satu hari itu cuma bisa mengajukan dua judul skripsi, atau dua lembar kertas pengajuan. Nggak boleh lebih. Lagipula, Pak Wiyaka pasti inget sama judul-judul yang sudah ditolak itu."
"Kenapa nggak dicoba aja? Nggak semua dosen itu selalu ingat dengan para mahasiswanya, apalagi cuma judul skripsi yang hanya dibaca sepersekian detik. Terkecuali judul itu sudah digunakan beratus-ratus kali."
"Tapi Pak Wiyaka hapal banget sama mukaku. It's impossible."
"Nothing is impossible. Dicoba dulu saja. Berhasil atau tidak, kamu kabari saya. Gimana?"
"Kamu mau ketemu lagi sama aku?"
"Tentu."
"Let's see. Apa kita bisa bertemu lagi atau tidak. Aku ke sini karena mobilku bocor di ujung jalan sana."
"Saya berharap ada sesuatu hal yang membuat kamu tertarik untuk kembali ke sini. Saat itu tiba, bisakah kamu memberi ruang kosong untuk saya?"
"Ruang kosong?"
"Bukankah di jurusan DKV ada istilah ruang kosong? Atau biasa disebut dengan white space--Ruang kosong yang sengaja dibuat untuk memberikan jarak pada setiap unsur dalam suatu desain.
Saya ingin mengenal kamu lebih dekat. Semoga kamu bisa memberikan ruang kosong di hati kamu untuk saya."
"Let's see."
Lingga memandang seseorang yang baru saja datang--Nara dan seorang pemuda tampan. Ia melanjutkan mengobrol sebentar dengan Re sebelum berpamitan. Ia akan menyapa Nara yang sudah berada di depan tempat pemesanan sekaligus kasir.
Setelah sendiri, Re mencecap caffe latte untuk menenangkan kegugupannya atas kalimat pamungkas Lingga. Ia terdiam sejenak setelah mencicipi minuman itu. Kemudian menyunggingkan senyum karena rasa enak dari minuman tersebut, sambil mengingat permintaan Lingga sebelum pergi--Ruang kosong.
"Pesan apa?" tanya Nara sambil melihat makanan yang dipajang di lemari kaca etalase.
"Caffe Americano," jawab Rhys.
"Snacks?"
"Chocolate chip cookies, sama Cinnamon roll."
"Tambah apa lagi?" tanya kasir dengan name tag bernama Sasa.
"Udah, Mbak." Rhys mengambil smartphone dari saku dalam jaketnya untuk membayar.
"Pakai ini aja. Biar dapat bonus," cegah Nara menunjukkan kartu member platinumnya. "Mbak Sasa, bonusnya Dark chocolate cake."
"Oke. Take away atau dimakan di sini?" tanya Sasa.
"Makan sini." Rhys dan Nara menjawab serempak, lantas saling beradu senyum.
Sasa kembali bertanya, "Mau dimakan di mana?"
"Dekat jendela itu, Mbak," jawab Rhys sembari memerhatikan kakaknya yang sedang menikmati cake.
"Sudah izin sama Appa?" tanya Lingga yang mengagetkan Nara.
"Kamjagiya!" Nara terkejut.
"Appa di Bandung. Nggak perlu izin," jawab Nara yang hanya dibalas anggukkan kepala dari Lingga.
"Tumben kamu bawa teman," kata Lingga sambil memerhatikan Rhys yang sedikit lebih tinggi darinya.
"Abang, ini Lingga Oppa, pemilik 'The Coffee Story'." Nara memperkenal Rhys pada Lingga, "Oppa, ini Abang Rhys."
Rhys menjabat tangan Lingga, "Rhys, pacar Nara."
"Pacar?!" seru Lingga tidak percaya.
"Eung. Wae? Bikyeo!" seru Nara meminta Lingga minggir sebelum terjadi perdebatan, lantas menarik tangan Rhys ke meja yang sudah di pesan.
Tbc.
Thu, 25 May.23
19.06.23
Annyeong...
Bagaimana?
Semoga bisa selalu menghibur, ya.
Jadi, di sini ada dua couple yang akan diceritakan--Tentang Re dan Rhys. Dan ada beberapa couple yang akan menjadi pelengkap cerita mereka. Semoga kalian tidak bingung, ya.
Terima kasih. Jangan lupa vote and comments. 💕
See you next time....
🤗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top