15. Bukan Algoritma
"See you, Sayang 😘"
"See U soon, Abang 🥰"
"Saranghae ❤️"
"🫰🏻"
Senyum manis Rhys terukir, hingga menampilkan kedua gigi taringnya. Ia mengakhiri obrolan tertulisnya dengan Nara sebelum berangkat untuk bertanding drifting. Terkadang Rhys merasa sedih kala melihat balasan pesan Nara yang apa adanya. Balasan yang sama persis seperti sikap Nara selama ini--Pendiam, pemalu, dan irit bicara.
Nara sampai saat ini belum pernah mengungkapkan kata cinta kepada Rhys. Meski Rhys sudah bisa merasakan kasih sayang Nara kepadanya dari hari ke hari. Rhys mencoba memaklumi. Karena menurut Lingga, ia adalah kekasih pertama Nara. Ya, Rhys akan selalu menunggu sampai Nara bisa mengucapkan kata cinta kepadanya suatu saat nanti.
"Miaw...." Suara Momogi berlari mengikuti langkah Rhys.
"Lariii...," ajak Rhys kepada kedua kucing kesayangan.
Langkah panjang Rhys mempersingkat waktunya saat menuruni tangga menuju dapur. Suasana dapur sudah ramai. Ibu, kakak, dan dua asisten rumah tangga sedang memasak sembari mengobrol bahkan bercanda. Keramaian itu hanya bisa dilihat ketika Rhys akan bertanding. Entah itu bertanding basket, olimpiade sains, atau balap mobil. Mereka semua bergotong royong mempersiapkan kebutuhan yang akan dibawa Rhys nanti.
"Pagi cantik-cantiknya Rhys," sapa Rhys sebelum mencium pipi sang ibu.
"Pagi, Den." Dua asisten rumah tangga menyahut bersamaan.
"Pagi, Sayang," sahut Aries yang masih mengenakan baju tidur kimono panjangnya.
"Manis banget Adek aku yang paling ganteng," goda Re sambil memakan sandwich yang baru saja dibuat oleh ibunya. "Dikasih bekal apa sama Ayang?"
"Ppo-ppo," jawab Rhys singkat sebelum meletakkan tas ransel dan jaketnya di kursi makan. "Mochi sama Momogi sudah makan?"
Bi Dani menyahut, "Sudah, Den. Mbak Re tadi yang kasih makan."
"Lihat, Bu. Udah bisa ppo-ppo anak bayi, Ibu," ledek Re lagi.
"Nggak papa ppo-ppo, yang penting jangan bobo bareng lagi," peringat Aries.
"Ppo-ppo, itu apa, Bu?" tanya Mbak Sinta, salah satu asisten rumah tangga termuda Aries.
"Ciuman, Mbak. Kiss, kiss," terang Re singkat, dan langsung membuat Mbak Sinta kaget.
"Bobok bareng nggak papa, Bu. Yang nggak boleh itu ML bareng-bareng," canda Rhys yang dibalas dengan pelototan tajam dari sang ibu.
Rhys kembali menimpali, "Kan, Ayah yang bilang gitu."
"Ayahmu menyesatkan," timpal Aries sebal kala teringat suaminya yang sering frontal saat berbicara.
"Tapi bener, kan, Bu? Kalau ML, ya, nggak bisa bareng-bareng, dong?" Re menambahkan.
"Lho, kalau mabar ML, kan, pasti rame-rame, Mbak?" ujar Bi Dani yang disambut tawa oleh Re dan Rhys.
"Iya, Bi. Bener-bener, Kak Re sok tahu," kata Rhys yang ingin menghentikan kesalahpahaman para asisten rumah tangga sang ibu. "Ayah sudah bangun, bu? Phuu mana?"
"Phuu joging sama Pak Endi. Ayah belum bangun," jawab Aries sambil memberikan sepiring sandwich buah pesanan Rhys. "Duduk makannya."
"Terima kasih, Ibu," tutur Rhys sebelum mencium pipi ibunya kembali. "Ayah udah janji mau nonton Rhys tanding hari ini."
"Kalau Ayah sudah janji, ya, berarti nanti bangun cepat," kata Aries menata sandwich daging sapi ke dalam kotak makan Rhys, lalu memasukkannya ke dalam tas makan beserta dengan segelas kopi hitam dan sebotol air mineral.
Setelahnya, Aries memasukkan semua itu ke dalam tas ransel Rhys seperti biasa.
"Ini mau piknik atau tanding??" Re menyusul Rhys duduk di kursi makan.
"Tanding sekalian piknik." Rhys menjawab singkat.
"Nggak usah bikin ribut, ya, Kak," tutur Aries yang melihat gelagat sebal dari Rhys.
Terkadang Aries merasa kasihan pada Rhys. Rhys selalu menurut apa kata Re. Ia juga tidak pernah membalas perlakuan nakal Re padanya. Rhys mengatakan, jika ia membalas maka Re bisa habis nanti. Karena tenaga dan badan Rhys lebih besar dari pada Re. Ia tidak ingin menyakiti Re, atau orang-orang terdekatnya.
"Lho, Re nggak ngajak ribut," elak Re yang mendapat tatapan tajam dari Rhys.
"Jangan ganggu orang lagi makan," peringat Aries keras.
"Pagi," sapa Rasi yang baru saja bangun.
Mendekati Aries, lalu mencium kening dan dilanjutkan mengecup bibir sang istri di depan semua orang seperti biasa tanpa malu. Membuat orang yang melihat menjadi lupa untuk membalas salam paginya.
"Ayah..., ada anak-anaknya loh di sini," sela Re.
"Nanti Rhys coba praktekkan," gurau Rhys yang langsung mendapat uluran tangan dari Rasi, kemudian mengacak-acak tambut sang putra bungsu. "Ayah! Jangan berantakin rambut. Ish...."
"Nggak usah iri," ucap Rasi santai, lalu mencium salah satu pipi Re. "Belum ada bekasnya Lingga, kan?"
"Mas Lingga nggak cium pipi kali, Yah. Langsung mukbang bibir," sahut Rhys membalas godaan Re sebelumnya.
"Jangan suka lempar-lempar barang!" Rasi menahan tangan Re yang akan melempar air mineral botol mini pada Rhys. "Kebiasaan jelek."
"Masih pagi, nih. Nggak usah bikin panas," kata Re kesal.
Tawa Rhys menggema, "Hei..., siapa yang mulai duluan tadi??"
"Awas kamu!" sungut Re yang sudah tidak bisa berkutik di tatap ayahnya.
"Kalian boleh melakukan apa pun yang kalian mau. Tapi ingat, jangan bikin malu keluarga. Banyak mata yang selalu memerhatikan kalian," tutur Rasi sebelum meminum kopi hitam buatan sang istri.
Re dan Rhys mengangguk patuh. Suasana seperti ini hanya akan terjadi ketika sarapan bersama. Rasi akan menggunakan sedikit waktunya untuk memberi pesan-pesan penting pada Re dan Rhys. Pun Alrescha, kakek Re dan Rhys, akan selalu menambahkan wejangan pada cucu-cucu kesayangannya itu. Berbeda dengan Aries yang selalu bertemu dengan anak- anak setiap hari. Aries selalu berusaha ada di rumah ketika Re dan Rhys pulang. Meski ia telah menjadi CEO di RAN Esports.
"Kamu baru memperpanjang kontrak dengan RAN Esports, kan?" tanya Rasi pada putrinya.
"Huum. Kalau misal Re menikah, kena pinalti nggak?" tanya Re serius.
"Kamu nggak baca surat kontraknya kemarin?" tanya Aries yang duduk di sebelah Re.
Re meringis, "Enggak, Bu. Kayaknya nggak ada pasal brand ambassador dilarang menikah."
"Stupid," olok Rhys. "Iqro, Kak. Iqro!"
"Diem," perintah Re pada Rhys.
"Ya, nggak ada, sih. Tapi apa suami kamu nanti mengizinkan? Karena kamu harus mengikuti jadwal dari klub kapan pun itu," tutur Aries sambil mengambilkan kerupuk udang untuk Rasi yang sedang memakan nasi goreng seafood.
"Emang Mas Lingga jadi nikahin Kakak?" ledek Rhys yang telah selesai menghabiskan sarapan dan meminum susu cokelatnya.
"Kakak nggak mau kamu langkahin," peringat Re keras.
"Adek mau nikah?!" ucap Aries yang menolak suapan suaminya karena perkataan Re.
"Kamu ngapain aja kemarin waktu tidur sama Nara?" tanya Rasi sebelum kembali makan.
"Rhys nggak ngapa-ngapain, Yah. Sumpah! Cuma tidur doang," Rhys kembali mengembuskan napas beratnya akan ulah sang kakak.
"Nara minta dinikahin sama Adek, Bu," cerita Re. "Minta dihamilin lagi."
Aries tersedak saat sedang mengunyah nasi goreng. Membuat Rasi menghentikan kegiatan makannya, dan membantu Aries untuk minum.
"Kamu apain Nara, Dek??" tanya Aries penasaran.
"Astaghfirullahal'adzim. Ibu tanya ayah aja, deh. Ceritanya panjang. Rhys harus berangkat," jawab Rhys sebelum beranjak untuk mencuci tangan sambil membawa piring dan gelas kotor yang dipakainya.
"Abang sudah tahu?" tanya Aries serius.
"Tahu apa?" Rasi balik bertanya karena pertanyaan ambigu sang istri.
"Soal Rhys dan Nara."
"Enggak. Rhys belum cerita soal itu."
Rhys memakai jaket, lalu menggendong tas ransel di depan orang tuanya, "Ayah pasti sudah tahu soal Nara. Ya, kan?"
"Ayah tahu juga soal Mas Lingga?" tambah Re ingin tahu.
"Sure. Itu cara Ayah menjaga kalian dari jauh," tegas Rasi, kemudian mengelus pucuk kepala Aries. "Nanti Abang ceritain."
"Ayah setuju Rhys sama Nara?" tanya Rhys sebelum berpamitan kepada kedua orang tuanya, dan dijawab dengan anggukan kepala dari Rasi.
"Re sama Mas Lingga?" Re tidak mau kalah.
"Kalau nggak setuju, Ayah nggak akan menemui Lingga kemarin," tandas Rasi.
"Ayah sama Ibu nggak akan melarang kalian untuk berhubungan dengan siapa pun. Kalau itu bisa membuat kalian bahagia," tutur Aries. "Asal kalian tahu batasannya. Dan jangan pernah mengecewakan Ayah, Ibu, Phuu, Yaya."
"Siap!" Re dan Rhys serempak menyahut dengan binar bahagia.
"Kalau sudah menikah, kalian bukan tanggung jawab Ayah dan Ibu lagi," terang Rasi yang melanjutkan sarapannya.
"Termasuk uang pendidikan?" tanya Rhys setelah bersalaman dengan ayah dan ibunya.
"Kerja woy!!" kata Re.
"Ini mau berangkat kerja," balas Rhys santai.
"Soal itu, kalian sudah memiliki tabungan pendidikan masing-masing. Ayah sama ibu mau kalian menyelesaikan pendidikan sampai setinggi-tingginya. Bisa?"
"Siap!" Rhys menyahut sebelum pergi.
"S1 aja boleh nggak, Yah?" Re menawar.
"Nggak malu sama Lingga?" ejek Aries. "Lingga bilang mau lanjut S3 nanti. Kamu mau dibawa keluar negeri."
"What?!" seru Re terkejut karena Lingga belum pernah membahas hal itu padanya.
"Tabungan pendidikan nggak bisa dicairkan. Kalau mau cair, ya, harus dipakai buat sekolah," jelas Rasi seusai menghabiskan kopi hitamnya.
Re mencibir. Otaknya terasa dipukul keras akan perkataan sang ayah beberapa menit lalu. Ia merasa trauma dengan mengerjakan skripsi yang tidak kunjung selesai. Bagaimana dengan mengerjakan thesis nanti? Atau, bagaimana dengan tugas-tugas kuliah S2 nanti? Otak Re serasa mengebul saat memikirkannya.
"Minimal kamu kayak Ibu, S2," imbuh Rasi yang membuat Re tiba-tiba merasa lemas di tempat.
♡♡♡
Nara menegakkan tubuhnya, lalu bergeser sedikit ke samping kanan. Ia menatap lurus ke depan. Melihat jalanan yang tampak sedikit macet karena akhir pekan. Kedua matanya melirik Re dan Lingga yang duduk di depan. Lingga yang sedang meminum kopi hitamnya sambil memegang kemudi mobil. Sementara Re terlihat sedang mencari-cari sesuatu di dalam tasnya.
Hari ini untuk pertama kalinya Nara akan menonton Rhys bertanding drifting. Ia sudah tidak sabar melihat Rhys kembali mengenakan baju balap. Setelah keduanya bermalam di vila kala itu, Nara mulai merasakan rindu kepada Rhys. Ia menjadi mulai sering mencari keberadaan Rhys. Terlebih jika dirinya merasa kesepian. Posisi Lingga sebagai orang terdekatnya sudah tergantikan oleh Rhys dalam waktu singkat.
"Nara, Oppa boleh tanya sesuatu?" Lingga mulai membuka obrolan seriusnya di tengah suasana yang mulai macet menuju tempat pertandingan.
"Eung. Lingga oppa mau tanya apa?" tanya Nara ingin tahu.
"Kenapa kamu ingin menikah dengan Rhys?" tanya Lingga penasaran.
Nara terdiam sesaat sebelum menjawab, "Karena aku mau sama-sama terus dengan Abang. Kata Mbok, kalau pacaran itu dosa. Dari pada dosa, ya, langsung menikah aja."
"Tapi kamu masih kecil, Ra," sela Re setelah mendapatkan barang yang dicarinya--Masker.
"Waeyo? Abang bilang, setelah selesai sekolah akan menikahi aku," cerita Nara.
"Appa sudah tahu soal ini?" tanya Lingga lagi.
"Aniyo."
"Tapi kalau mau menikah itu harus ada wali. Walinya kamu itu, ya, Appa," jelas Re.
"Appa non muslim," ungkap Nara.
"Ah." Re kehilangan kata-kata setelah mendengar jawaban singkat Nara.
"Kenapa harus menikah dengan Rhys?" desak Lingga yang tidak puas dengan jawaban Nara.
"Waeyo? Lingga Oppa nggak suka dengan Abang?" Nara balik bertanya, hingga membuat Re menoleh ke arah Lingga yang duduk di kursi kemudi.
"Ini bukan soal Oppa suka Rhys atau tidak. Oppa hanya ingin tahu, apa ada alasan lain? Kenapa kamu ingin menikah?" ungkap Lingga sabar.
"Aku nggak mau sendiri. Lingga Oppa sudah sibuk sekarang. Cuma Abang Rhys yang bisa menemaniku," cerita Nara yang mampu membuat Re dan Lingga bergeming di tempat.
Sendiri--Kata yang menjadi poin penting dari semua ucapan Nara sedari tadi. Re dan Lingga pun akhirnya mengerti, apa maksud permintaan Nara yang ingin menikah dengan Rhys.
"Oppa tahu, kan, aku nggak pernah punya teman. Abang Rhys satu-satunya teman yang aku punya sekarang. Dan aku nggak mau kalau nanti tiba-tiba Abang pergi ninggalin aku.
Kalau pacaran, nanti bisa putus. Tapi kalau menikah, kita bisa selalu bersama. Aku boleh, kan, terus sama-sama Abang? Apa aku salah meminta seperti itu?" tutur Nara yang membuat Re dan Lingga sedih.
"Gimana kalau seandainya kamu nggak berjodoh dengan Rhys?" tanya Re yang tidak ingin membuat Nara terlalu banyak berharap di usianya yang masih belia.
"Re Unnie nggak suka sama aku?" Nara bertanya balik.
"Unnie suka sama kamu, sangat suka. Tapi kita nggak pernah tahu, siapa jodoh kita nanti. Semua itu rahasia Allah. Unnie hanya bisa berdoa, semoga kamu dan Rhys bisa selalu bersama-sama," jelas Re sabar.
"Kalau Abang bukan jodoh aku..., aku akan pergi," imbuh Nara lirih.
"Jadi, kamu mau menikah dengan Rhys, karena kamu ingin selalu bersama dia? Hanya itu?" Lingga kembali bersuara.
"Ne. Mbok bilang, kalau aku sudah menikah, aku bisa pergi dari rumah," cerita Nara yang akhirnya membuat Lingga mendapat pencerahan.
"I see," kata Lingga sambil menyunggingkan senyum. "Kalau begitu, kamu harus mengenalkan Rhys kepada Appa. Bagaimana caranya Rhys bisa menikahi kamu, kalau Appa tidak mengetahui siapa pacar kamu."
"Kalau Appa marah?" Nara tiba-tiba merasa khawatir dan takut.
"Appa akan marah kalau kamu berbohong," tutur Lingga menasehati.
"Oppa bisa bantu? Aku takut."
"Sure. Oppa akan coba bicara dengan Appa. Apa kamu sudah mendapat pelajaran tentang Algoritma?"
"Algoritma? Materi di pelajaran Informatika?"
"Huum. Apa kamu sudah mempelajarinya?"
"Eung. Kemarin Abang baru aja mengajari materi itu. Waeyo?"
Re menatap Lingga dengan lekat. Jika Lingga mulai bertanya tentang materi pelajaran, itu berarti ada hal penting yang akan disampaikan. Lingga selalu menasehatinya dengan hal-hal akademis yang tidak akan bisa dibantah oleh siapa pun. Seperti sekarang.
"Kata Abang, Algoritma adalah urutan langkah-langkah atau instruksi yang disusun secara logis dan sistematis untuk menyelesaikan suatu masalah. Benar?" ungkap Nara mengingat-ingat perkataan Rhys.
"Ya, Algoritma melibatkan proses pengulangan dan pengambilan keputusan untuk menghasilkan output tertentu.
Kamu tidak bisa menyelesaikan suatu masalah dengan cara pendek seperti tadi--Keinginan untuk menikah. Itu terlalu berisiko.
Tujuan kamu menikah dengan Rhys, karena kamu ingin pergi dari rumah, bukan?" pungkas Lingga yang membuat Nara terdiam membisu.
"Pernikahan tidak seperti itu, Nara. Kalau kamu menikah dengan tujuan tersebut, maka semuanya akan berantakan," jelas Lingga lagi.
"Seperti pernikahan Appa dan Mama?" tutur Nara yang membuat Re langsung menoleh ke belakang, dan menatapnya kaget. "Mereka akan bercerai."
"Kamu tahu dari mana?" tanya Lingga yang sedang terkejut.
Kata-kata yang sudah tersusun rapi di otak Lingga untuk menasehati Nara, tiba-tiba berantakan tercerai berai. Semua rencana Lingga terdistraksi dengan kalimat singkat Nara--Bercerai.
"Waktu Appa dan Mama bertengkar," jawab Nara apa adanya.
"Nara, gwencana?" Re tiba-tiba merasa sedih dan khawatir melihat Nara.
"Naneun gwencanayo. Mungkin kalau aku pergi, Appa dan Mama nggak akan bertengkar," ujar Nara yang semakin membuat Re tidak enak hati.
"Kenapa kamu berbicara seperti itu? Orang dewasa memang terkadang perlu bertengkar untuk menyelesaikan masalah. Tapi itu tidak untuk ditiru," kata Lingga menasehati.
"Yuna Unnie bilang seperti itu. Kalau mereka tidak suka aku, kenapa aku dilahirkan?" jawab Nara yang akhirnya membuat Lingga menoleh, sementara mobil berhenti karena lampu merah.
"Kalau kamu nggak dilahirkan, Oppa nggak akan punya adik perempuan secantik kamu. Ketika kamu dilahirkan, itu artinya kamu adalah pejuang terbaik yang mampu bertahan untuk hidup di dunia," kata Lingga sebelum mengusap kepala Nara. "Kamu nggak akan pernah sendiri lagi. Ada Oppa, Re Unnie dan Rhys, yang akan selalu menemani kamu. Arasseo?"
Nara bergeming kala kedua matanya terasa memanas. Menatap Lingga yang sedang menunggunya memberi jawaban. Perlahan kepala Nara mengangguk.
"Arassoyo," lirih Nara.
"Kita semua sayang sama Nara. Jadi jangan pernah merasa sendiri," imbuh Re sambil menggenggam salah satu tangan Nara, sementara Lingga kembali mengemudikan mobil.
"Eung. Gomawoyo, Unnie, Lingga Oppa."
Senyum Re tersungging mendengar ucapan terima kasih dari Nara, "Kamu bisa menghubungi Unnie kapan aja. Oke?"
Nara kembali menggangguk, seraya tersenyum bahagia. Ia merasa sangat senang karena bisa bertemu dengan orang-orang baik seperti Rhys dan Re. Sejak pertemuan mereka di vila, Re seakan menemukan sosok adik perempuan yang diinginkannya sedari dulu. Sikap Nara yang penurut dan lemah lembut, menjadikan siapa pun jatuh hati padanya.
Re mencoba mengalihkan pembicaraan, "Nih, nanti dipakai."
Re memberikan masker kepada Nara. Melaksanakan perintah Rhys untuk menjaga privasi Nara saat menonton drifting.
"Kenapa harus pakai masker?" tanya Nara ketika menerima masker dari Re.
"Kalau kamu nggak pakai masker, kamu akan viral nanti. Kamu itu pacar Rhys, apa pun yang kamu lakukan akan ada berita tersebar bak virus. Kamu mau?" terang Re.
"Gwencanayo, Unnie. Abang sudah cerita tentang itu," jawab Nara santai.
"Kamu yakin? Nggak akan terganggu?" tanya Lingga memastikan.
"Ne. Gwencanayo...." Nara membalas dengan penuh semangat.
Nara sudah memutuskan untuk memberitahu kepada semua orang bahwa ia adalah kekasih Rhys. Ia merasa sebal ketika membaca beberapa komentar di sosial media. Para fans fanatik Rhys memuja-muja kekasihnya dengan bahasa yang sedikit vulgar bagi Nara. Nara bukan hanya sebal, tetapi juga muak membacanya.
"Oke. Pokoknya, kalau nanti ada apa-apa, kamu harus cerita sama Unnie!" ucap Re memerintah.
"Eung," sahut Nara suka cita.
"Kaja," ajak Re ketika mobil Lingga sudah terparkir.
"Josimhae," tutur Lingga sebelum membuka kunci pintu mobilnya.
"Ne." Nara menyahut dengan bersemangat.
"Apa artinya?" tanya Re tidak tahu.
"Hati-hati, Sayang...," jelas Lingga sambil mengusap kepala Re.
Senyum Re merekah mendengar ucapan Lingga. Tanpa terduga, Re mencium bibir Lingga dalam beberapa detik sebelum turun dari mobil.
"Saranghae...," ucap Re setelah membuat Lingga linglung sesaat.
Tbc.
Tue, Nov 19. ♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top